*

*

Ads

Rabu, 09 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 074

Mereka ini dilayani oleh anak-anak muda laki-laki dan perempuan yang bergerak seperti patung hidup. Kwan Cu terkejut sekali ketika melihat Swi Kiat berada di antara para anak muda yang melayani empat orang tokoh jahat itu.

Seperti anak-anak muda yang lain, Swi Kiat berwajah pucat dan pandang matanya tak bersinar. Mereka ini adalah Pek-eng Sianjin, Ang-eng Sianjin, dan Hek-eng Sianjin sedangkan yang perempuan adalah Ui-eng Suthai. Adapun Jeng-eng Mo-li tidak kelihatan karena wanita busuk ini sedang membujuk dan mengancam Kun Beng di dalam kamarnya sendiri!

Tadinya Ang-bin Sin-kai hendak menanti sampai lima tokoh jahat itu berkumpul semua agar dia dapat menyerang mereka dan memberi kesempatan kepada muridnya untuk menolong Pak-lo-sian, murid-muridnya, dan lain orang yang ditawan disitu.

Akan tetapi ketika kakek pengemis ini menyaksikan keadaan orang-orang muda itu, seketika mukanya menjadi merah padam dan alisnya berdiri. Kemarahannya memuncak, karena kakek ini mengerti apakah yang menimpa pada diri anak-anak muda itu!

Pada saat Ang-bin Sin-kai yang sudah marah sekali itu hendak turun tangan, tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dan juga amat ringannya, kemudian disusul oleh suara orang menyuling lagu kuno yang indah!

“Hang-hong-siauw Yok-ong datang….” kata Ang-bin Sin-kai perlahan pada muridnya. Kemudian dia berkata kepada bayangan yang datang itu.

“Yok-ong (Raja Obat), kebetulan sekali kau datang. Banyak pekerjaan mulia untukmu!”

Setelah berkata demikian, dengan hati girang dan besar, Ang-bin Sin-kai melompat turun dan segera melayang ke atas meja di tengah ruangan itu.

Ketika tadi mendengar suara suling dari Hang-hong-siauw Yok-ong, empat orang tokoh Kun-lun Ngo-eng itu terkejut sekali dan masing-masing melompat bangun dari tempat duduknya, apalagi ketika mereka mendengar suara Ang-bin Sin-kai yang belum mereka kenal. Tentu saja mereka amat kaget ketika mendengar suara orang di atas ruangan. Bagaimana ada orang bisa berada di atas genteng tanpa mereka dengar sama sekali suara kakinya? Padahal mereka rata-rata memiliki pendengaran yang amat tajam!

Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa hebat kekagetan mereka ketika tiba-tiba bertiup angin kencang dibarengi berkelebatnya bayangan manusia dan tahu-tahu di atas meja yang mereka hadapi tadi, kini telah berdiri seorang kakek pengemis yang rambut dan jenggotnya panjang dan pakaiannya tidak karuan macamnya.

Kakek ini ketika dari atas melayang ke atas meja, kini berdiri di atas dua buah mangkok sayur, memandangi masakan-masakan di atas meja sambil tersenyum-senyum lalu berkata mengejek,

“Masakan busuk…… aku tidak doyan….!”

Pek-eng Sianjin tahu bahwa tempat tinggalnya kedatangan orang pandai yang tentu sudah mengetahui akan semua peristiwa yang belum lama terjadi. Memang dia sudah merasa tidak enak sekali dengan tertawanya Pak-lo-sian dan juga Kun-lun Sam-lojin, dan tentu saja dia dapat menduga bahwa kedatangan kakek pengemis ini tentulah ada hubungannya dengan orang-orang kang-ouw yang tertawan itu.

Maka dia lalu memberi tanda rahasia kepada tiga orang saudaranya dan serentak empat orang ini mengepung dan menyerang tubuh Ang-bin Sin-kai yang masih berdiri di atas meja dengan kedua kaki di atas mangkok. Yang diserang dengan amat tenang hanya menggerakkan kedua kakinya dan melayanglah empat buah mangkok berisi sayuran ke arah empat penyerangnya!

Ketika Pek-eng Sianjin dan tiga orang saudaranya melihat mangkok melayang ke arah mereka, cepat mereka memukulkan dengan pedang dan alangkah kaget hati mereka ketika telapak tangan mereka terasa sakit dan panas walaupun mangkok-mangkok itu dapat dipukul pecah.

Mereka mendesak maju mengurung meja, namun dengan mangkok-mangkok di atas meja, Ang-bin Sin-kai melayani mereka dengan menendangi mangkok-mangkok itu ke arah empat pengeroyoknya.

Sementara itu, Hang-hong-siauw Yok-ong juga melayang turun, akan tetapi raja obat ini sama sekali tidak ikut bertempur. Bahkan dia tertawa geli melihat cara Ang-bin Sin-kai melayani empat orang lawannya dan untuk beberapa lama menonton sambil tertawa-tawa.

Kemudian dia menotoki roboh semua orang muda yang tadi melayani Pek-eng Sianjin dan saudara-saudaranya. Tubuh para orang muda itu oleh Yok-ong dikumpulkan di sudut ruangan yang lebar itu, dibaringkan saja berjajar di atas lantai, lalu dia mencar-cari lagi anak-anak muda yang lain yang memang banyak terculik oleh lima orang jahat itu.

Kwan Cu setelah melihat suhunya dikeroyok oleh empat orang lawan di dalam ruangan itu, lalu melompat turun ke bagian belakang. Tugasnya ialah menolong orang-orang yang tertawan di situ, akan tetapi di manakah tempat untuk menyimpan para tawanan?






Ketika dia tengah mencari, tiba-tiba dia mendengar suara orang bernyanyi. Ia mengenal suara Pak-lo-sian Siangkoan Hai, maka cepat-cepat dia menghampiri tempat dari mana suara itu datang dari dalam sebuah sumur yang amat dalam dan gelap.

“Pak-lo-sian Locianpwe……..!” Kwan Cu memanggil dari atas sumur.

Suara nyanyian itu berhenti dan tak lama kemudian terdengar suara tertawa.
“Ha-ha-ha, bocah gundul. Bukankah kau murid Ang-bin Sin-kai? Lekas kau mencari tambang yang panjang dan masukkan ujungnya ke dalam sumur. Ujung yang lain kau ikatkan kepada tiang agar aku dapat naik!”

“Baik, Locianpwe, tunggulah sebentar.”

Kwan Cu lalu berlari-lari ke belakang untuk mencari tambang yang cukup panjang. Ia bertemu dengan beberapa “murid” Kun-lun Ngo-eng yang segera menyerangnya. Akan tetapi, sebetulnya para murid ini hanya mengerti ilmu silat kembangan saja dan mereka itu bertempur seperti orang-orang yang digerakkan oleh mesin, maka sebentar saja Kwan Cu sudah dapat meloloskan diri dari kepungan.

Anak gundul yang cerdik ini dapat melihat sikap mereka yang aneh, maka dia menjadi curiga dan tidak mau memukul atau merobohkan mereka, hanya menangkis saja yang membuat mereka terpental mundur, lalu dia dapat menemukan tambang yang panjang dan cepat dia membawa tambang itu ke tempat di mana terdapat sumur tadi.

“Locianpwe, tangkap tambang!” serunya ke dalam sumur sambil mengulur tambang itu ke dalam sumur yang amat gelap itu.

Ia tidak mengikatkan ujung tambang pada tiang, melainkan memeganginya dan membelit-belitkan pada kedua tangannya. Tak lama kemudian tambang itu bergerak-gerak dan dengan cepatnya tubuh Pak-lo-sian Siangkoan Hai merayap naik melalui tambang bagaikan seekor kera saja.

Ketika tiba di atas dan melihat betapa tambang itu dipegangi oleh Kwan Cu, Pak-lo-sian tertawa memuji. Akan tetapi Kwan Cu berkata,

“Cepat, Locianpwe, di kamar belakang sebelah kiri teecu mendengar suara Kun Beng memaki-maki. Agaknya dia dalam bahaya!”

Memang ketika mencari tambang tadi, Kwan Cu mendengar suara Kun Beng yang sedang memaki-maki Jeng-eng Mo-li. Bocah gundul ini tidak berani menolong karena dia dapat menduga bahwa orang kelima dari Kun-lun Ngo-eng boleh jadi sekali berada di kamar itu dan dia maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih jauh untuk menghadapi lawan tangguh.

Mendengar ini, Pak-lo-sian Siangkoan Hai lalu melompat dan lenyap dari situ. Sebagaimana dituturkan di bagian depan, dengan tepat sekali Pak-lo-sian Siangkoan Hai dapat menyelamatkan Kun Beng dari bahaya terkena obat bius yang berbahaya.

Adapun Jeng-eng Mo-li setelah berlari keluar dan melihat empat orang saudaranya mengeroyok Ang-bin Sin-kai namun kelihatan amat terdesak, segera membantu.

“Ha-ha-ha! Kini lengkap Kun-lun Ngo-mo (Lima Iblis Kun-lun-san)! Bagus, bagus!”

Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menggerakkan kakinya. Terdengar teriakan kaget dan tubuh Ui-eng Suthai terlempar ke arah Yok-ong yang kini berada di sudut, menjaga orang-orang muda yang semua telah ditotoknya dan kini dibaringkan di atas lantai berjajar, belasan orang jumlahnya.

Sambil meniup sulingnya, Yok-ong tadi menonton pertandingan antara Ang-bin Sin-kai dikeroyok lima orang. Nampaknya dia gembira sekai dan sulingnya ditiup keras, menyanyikan lagu perang sehingga sesuai sekali dengan jalannya pertempuran.

Karena inilah maka Ang-bin Sin-kai mendongkol sekali dan sengaja menendang seorang lawannya ke arah Yok-ong. Melihat tubuh wanita jahat itu melayang ke arahnya, Yok-ong tidak menghentikan suara sulingnya, hanya mengangkat kaki kirinya dan sekali mendupak, tubuh Ui-eng Suthai telah dikirim kembali ke tengah medan pertempuran!

Pak-lo-sian Siangkoan Hai sebelum membawa Kun Beng ke tempat itu, lebih dulu menolong dan membebaskan Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, dua orang tokoh Kun-lun-pai yang ditawan di dalam sebuah kamar besi. Kemudian beramai-ramai mereka menuju ke ruang tengah di mana terjadi pertempuran antara Ang-bin Sin-kai dikeroyok lima.

Pak-lo-sian marah sekali ketika mendengar dari Kun Beng tentang kejahatan Kun-lun Ngo-eng. Apalagi ketika tiba di ruang itu dia melihat muridnya yang pertama, Swi kiat, rebah bersama orang-orang muda lain dengan muka pucat.

“Harus kubikin mampus kelima Kun-lun Ngo-eng!” katanya penuh geram.

Kebetulan sekali Ang-bin Sin-kai yang sedang mempermainkan lima orang lawannya, melihat betapa Pak-lo-sian Siangkoan Hai masuk dari sebuah pintu, diikuti oleh Kun Beng dan dua orang kakek Kun-lun-pai, segera berkata,

“He, Pak-lo-sian, mari kau ikut main-main!” serunya dan kembali seorang pengeroyok, kini Hek-eng Sianjin, terlempar tubuhnya terkena dorongannya.

Tubuh Hek-eng Sianjin berputar-putar di tengah udara dan melayang menuju ke tempat Pak-lo-sian Siangkoan Hai berdiri. Kakek sakti dari utara ini yang sudah merasa amat gemas dan marah kepada lima orang jahat itu, mengulur tangan kanannya dan sekali sambar dia telah dapat menangkap leher Hek-eng Sianjin, kemudian sambil berseru,

“Mampuslah kau!” tubuh itu dia lemparkan ke arah dinding.

Terdengar suara keras dan kepala Hek-eng Sianjin pecah beradu dengan dinding batu yang keras. Tubuhnya menggeletak di bawah tembok dan darah mengalir membasahi lantai.

Yok-ong menghentikan tiupan sulingnya dan berkata memuji,
“Memang begitulah seharusnya menghukum orang jahat. Kalau tidak dihabiskan jiwanya, iblis yang mengeram di dalam tubuhnya takkan mau pergi!”

Akan tetapi baru saja dia menutup mulutnya, Ang-bin Sin-kai telah menangkap lengan Ui-eng Suthai yang ternyata masih dapat mengeroyok juga setelah tadi dipergunakan sebagai bal oleh Yok-ong dan Ang-bin Sin-kai, kemudian sambil membetot dia melemparkan tubuh Ui-eng Suthai ke arah Yok-ong !

“Ini bagianmu!” seru Ang-bin Sin-kai lantang.

“Eh, eh, eh, aku tidak biasa menghancurkan kepala orang!” kata Yok-ong gugup karena tidak tersangka bahwa dia harus menewaskan seorang di antara Kun-lun Ngo-eng.

Dia seorang Raja Obat, kesukaannya menyembuhkan orang sakit dan mencegah orang tercengkeram dan terbawa oleh Giam-lo-ong (Raja Maut). Bagaimana dia dapat membunuh orang? Maka setelah tubuh Ui-eng Suthai itu melayang ke dekatnya, dia lalu mendorongnya kembali sehingga tubuh wanita itu terpental ke arah Pak-lo-sian Siangkoan Hai!

Pak-lo-sian Siangkoan Hai dapat menduga bahwa muridnya, yakni Swi Kiat, tentu menjadi korban perempuan ini karena perempuan kedua Kun-lun Ngo-eng, yakni Jeng-eng Mo-li, dilihatnya tadi menggoda Kun Beng.

Maka marahnya tak dapat dikendalikan lagi dan melihat perempuan ini, dia mengangkat kaki kanannya menendang ke arah lambung Ui-eng Suthai. Wanita ini menjerit ngeri dan tubuhnya terlempar ke arah dinding, terbentur keras dan roboh di atas tubuh Hek-eng Sianjin dalam keadaan tak bernyawa pula.

Yang membunuhnya adalah tendangan tadi karena Pak-lo-sian tidak mau berlaku kepalang dan telah mengerahkan seluruh tenaga dalam tendangannya. Mana Ui-eng Suthai kuat menahan tendangan itu?

Pak-lo-sian Siangkoan Hai telah menewaskan dua orang jahat itu, menjadi makin buas. Ia memang paling benci kepada orang-orang jahat, apalagi setelah dia melihat keadaan orang-orang muda itu, terutama sekali keadaan muridnya yang tersayang.

Sambil mengeluarkan seruan keras dia melompat maju dan menyerang tiga orang lain yang masih dipermainkan oleh Ang-bin Sin-kai. Bagaimana tiga orang itu dapat bertahan menghadapi serangannya? Sedangkan menghadapi Ang-bin Sin-kai seorang saja mereka telah menjadi sibuk dan terdesak hebat.

Kini Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang kepandaiannya setingkat dengan Ang-bin Sin-kai ikut pula menyerbu, tentu saja mereka tak dapat mempertahankan diri lagi. Jeng-eng Mo-li yang mula-mula menjadi korban dari kipas hitam di tangan Pak-lo-sian. Kipas ini menyambar bagaikan seekor burung gagak liar, dan biarpun Jeng-eng Mo-li berusaha sedapat mungkin untuk menangkis dengan pedangnya, namun sia-sia belaka.






Tidak ada komentar :