*

*

Ads

Rabu, 09 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 073

Ketika siuman kembali, Kun Beng mendapatkan dirinya sedang rebah di atas sebuah pembaringan yang ditilami oleh kain sutera hijau. Pembaringan itu indah sekali dan bantalnya disulam benang emas, berbau harum sekali. Kamar itupun amat indahnya, dihias dengan dinding yang penuh dengan gambar-gambar pemandangan dan bunga, dengan perabot-perabot yang serba mahal dan indah seperti kamar seorang puteri bangsawan.

Semua ini masih belum mengherankan hati Kun Beng yang masih merasa pening, akan tetapi ketika dia mendengar suara ketawa merdu di dekatnya dan dia menengok, serentak dia melompat turun dari pembaringan dan berdiri di atas lantai. Ternyata bahwa di dekatnya tadi duduk Jeng-eng Mo-li yang tertawa-tawa manis kepadanya.

Perempuan ini sekarang tidak kelihatan galak, melainkan telah berhias dengan bedak dan gincu tebal dan lagaknya tersenyum-senyum dengan mata melirik-lirik itu benar-benar membuat Kun Beng merasa bulu tengkuknya berdiri dan muak sekali.

Pemuda yang baru menjelang dewasa ini masih belum tahu akan segala kemesuman perempuan cabul seperti Jeng-eng Mo-li, akan tetapi dia telah dapat merasa dan mengerti akan sikap perempuan itu dan karenanya dia merasa muak sekali.

Seketika itu juga teringatlah dia akan semua peristiwa yang terjadi dan tahulah dia bahwa dia telah tertawan dan dibawa kekamar perempuan rendah ini. Wajahnya menjadi merah sekali saking jengah dan marahnya.

“Anak yang baik, kau telah berada disini. Berlakulah manis kepadaku dan kau akan hidup sebagai seorang pangeran di tempat ini,” kata Jeng-eng Mo-li dengan suara dibuat-buat agar terdengar menarik merdu.

“Siluman jahat!”

Kun Beng membentak dan pemuda ini hendak melompat keluar dari kamar itu. Akan tetapi, baru saja tiba di pintu, lengan kanannya telah ditangkap oleh Jeng-eng Mo-li dan perempuan itu menariknya kembali ke dalam kamar.

“Kalau kau keluar, kau akan menjumpai maut. Di luar menanti kematian dan di dalam kamar kau akan hidup penuh kesenangan,” kata Jeng-eng Mo-li dengan suara membujuk.

“Anjing hina-dina, lebih baik aku mati!” seru Kun Beng dan kali ini pemuda ini mengayun tangan kanan memukul ke arah kepala Jeng-eng Mo-li!

Akan tetapi, dengan mudah saja Jeng-eng Mo-li miringkan kepala mengelak dari pukulan ini, bahkan sekali ia menggerakkan tangan, ia telah dapat menangkap pergelangan tangan Kun Beng dan sebelum pemuda itu sempat bergerak, lengan kedua sudah ditangkap pula sehingga Kun Beng tidak berdaya lagi!

“Bodoh, kau menurutlah saja. Aku amat sayang kepadamu karena kau lain daripada pemuda-pemuda yang lemah itu. Kalau kau mau berlaku manis dan tidak membandel, kau akan kujadikan pangeran di antara mereka semua dan kau tidak usah diberi minum arak pembius. Kau lihat, orang-orang muda yang berada di sini dipaksa dengan minum obat sehingga mereka seperti boneka hidup. Aku tidak suka akan boneka-boneka hidup, aku ingin seorang kekasih yang betul-betul suka kepadaku. Nah, berlakulah manis, kau tentu akan hidup bahagia di sini.”

Namun, sebagai jawaban atas bujukan ini, kaki Kun Beng bergerak-gerak cepat sekali dan tahu-tahu dia telah mengirim tendangan yang amat kuat dan berbahaya sekali bagi keselamatan Jeng-eng Mo-li!

Karena Jeng-eng Mo-li sedang memegangi kedua tangan Kun Beng dengan kedua tangannya sendiri, maka tendangan yang tiba-tiba dan dari jarak dekat datangnya ini, tak dapat ditangkis. Terpaksa ia melepaskan pegangannya dan melompat mundur. Namun Kun Beng yang sudah menjadi marah dan benci sekali kepada perempuan ini, cepat menyambar meja di depannya dan dengan meja di tangan, dia menyerang Jeng-eng Mo-li dengan hebatnya!

“Bocah tak kenal budi!”

Jeng-eng Mo-li membentak keras karena ia pun merasa jengkel sekali menghadapi pemuda yang nekat ini. Dengan sebuah bangku di tangan, ia menangkis serangan Kun Beng dan terdengar suara keras ketika meja dan bangku beradu.

Patah-patah kaki meja yang dipegang Kun Beng dan pemuda ini sendiri terlempar oleh benturan pukulan ini. Namun Kun Beng tidak takut dan dia melangkah maju lagi dengan kedua tangan terkepal, siap untuk menyerang dan melawan mati-matian.

Kalau saja Kun Beng tidak memiliki wajah yang tampan dan yang menarik hati Jeng-eng Mo-li, tentu perempuan ini telah menggunakan kepandaian untuk membunuhnya. Jeng-eng Mo-li merasa amat tersinggung dan juga kecewa, akan tetapi ia masih sayang kepada pemuda ini, maka ketika Kun Beng menyerbu lagi, cepat ia mengebutkan saputangan hijaunya dan robohlah Kun Beng untuk kedua kalinya!






Sama halnya dengan Kun Beng, di kamar lain Swi Kiat tengah digoda dan dibujuk oleh Ui-eng Suthai. Pemuda yang berangasan ini memaki-maki dan memberontak sehingga terpaksa Ui-eng Suthai menotoknya dan memberinya minum semacam arak yang dicampur dengan bisa yang amat luar biasa.

Bisa ini seketika itu juga membuat lumpuh semangat dan menutup semua pikiran sehingga Swi Kiat seakan-akan menjadi boneka hidup yang hanya mempunyai satu maksud, yakni menurut dan mentaati segala kehendak dan perintah yang dikeluarkan oleh Ui-eng Suthai!

Namun sebelum Swi Kiat berada dalam keadaan lumpuh itu, satu pikiran terkandung dalam otaknya, yakni pikiran membenci perempuan karena dia merasa muak dan benci kepada semua lagak dan kelakuan Ui-eng Suthai.

Adapun Pak-lo-sian Siangkoan Hai orang aneh yang wataknya juga luar biasa sekali itu, setelah mendapat kenyataan bahwa dia tidak dapat keluar dari sumur kering, bukannya menjadi gelisah atau bingung, bahkan sehabis memaki-maki Kun-lun Ngo-eng dengan kata-kata kotor, dia lalu bernyanyi-nyanyi dengan suara keras sehingga gemanya keluar dari sumur dan terdengar sampai jauh dari bangunan besar itu!

Akan tetapi, tidak lama kemudian suaranya tidak terdengar lagi, agaknya orang tua ini telah tidur pulas. Betulkah Siangkoan Hai dapat tidur dalam keadaan seperti itu?

Sama sekali tidak! Kakek yang aneh ini ketika bergerak-gerak dan meraba-raba di dalam sumur kering, tiba-tiba tangannya menyentuh tulang-tulang manusia. Ketika dia meraba terus, ternyata bahwa tulang-tulang itu masih utuh, bahkan adapula tengkoraknya. Dan di tangan rangka manusia ini, dia mendapatkan selembar benda terbuat daripada kulit.

Siangkoan Hai mengambil benda itu dan disimpannya di saku bajunya, hendak diselidikinya apabila dia dapat keluar dari kurungan itu. Ia percaya penuh bahwa tentu suara nyanyiannya yang keras terdengar oleh orang-orang gagah yang berada di Kun-lun-san, maka setelah menyimpan benda itu, kembali dia bernyanyi-nyanyi keras.

Kakek ini tidak merasa khawatir karena menghadapi kepandaian Kun-lun Ngo-eng, dia tak usah takut. Mereka berlima itu tidak dapat mengganggunya walaupun dia telah tertawan di dalam sumur. Adapun soal makan. Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini adalah seorang yang aneh. pernah dia tidak makan sampai sebulan lamanya dan sekali dia “membuka puasanya” dia dapat menghabiskan belasan kati daging dan beberapa guci arak besar! Selama itu, dia dapat mempertahankan diri dan tentu akan datang orang gagah menolongnya, pikir kakek ini.

Tidak seperti Ui-eng Suthai yang tidak sabar lagi dan terus saja memberi minum arak pembius kepada Swi Kiat. Jeng-eng Mo-li masih merasa sayang kepada Kun Beng. Beberapa kali kalau pemuda ini siuman, dia membujuk dengan kasar dan halus, kemudian membuat pemuda ini pingsan kembali dengan kebutan saputangan hijaunya. Namun, Kun Beng berjiwa gagah dan bersemangat pendekar, mana dia sudi menuruti kehendak perempuan cabul yang berjiwa kotor itu?

“Kau benar-benar bandel dan agaknya kau lebih suka menjadi anjing hidup!” kata Jeng-eng Mo-li marah dan jengkel sekali. Ia keluar dari kamar dan tak lama kemudian ia datang kembali diikuti oleh seorang gadis muda yang cantik dan seorang pemuda yang tampan, akan tetapi wajah kedua orang muda ini pucat dan sinar matanya lenyap seakan-akan tidak bercahaya lagi.

Melihat mereka ini, Kun Beng bergidik karena dia kini maklum bahwa yang dianggap murid-murid Kun-lun Ngo-eng, tidak tahunya hanyalah orang-orang muda yang berada di bawah pengaruh obat pembius sehingga mereka ini lebih tepat disebut boneka-boneka hidup!

Jeng-eng Mo-li berkata kepada Kun Beng,
“Anak bodoh, kau lihat ini. Sukakah kau menjadi seperti mereka?”

Kemudian wanita jahat itu menoleh kepada sepasang pemuda-pemudi yang berdiri seperti patung di situ, memandang tajam dan membentak keras,

“Kalian berdua sekarang menjadi anjing. Hayo merayap di atas empat kakimu!”

Dua orang muda itu ketika mendengar ucapan ini, segera berlutut dan merangkak-rangkak memutari kamar itu seperti dua ekor anjing jantan dan betina! Sambil tertawa genit Jeng-eng Mo-li lalu mengambil dua potong kue dari atas meja yang tadinya dipergunakan untuk membujuk dan menjamu Kun Beng, melemparkan dua potong kue itu di atas lantai dan berkata lagi,

“Makan kue itu seperti anjing makan, pergunakan mulutmu!” Dan benar saja, dua orang muda itu lalu makan kue itu seperti dua ekor anjing saja!

“Keluar dari sini!”

Jeng-eng Mo-li membentak dan berlarilah keluar dua orang muda itu seperti anjing-anjing dipukul!

Menyaksikan pertunjukkan yang hebat ini, Kun Beng menjadi pucat sekali dan segera mukanya berubah merah.

“Perempuan iblis, kau harus mampus!”

Sambil berkata demikian, pemuda ini melompat dan menerkam Jeng-eng Mo-li, hendak mencekik leher perempuan jahat ini. Akan tetapi memang kepandaiannya kalah jauh, beberapa gebrakan saja dia telah kena ditotok jalan darahnya dan tak dapat berkutik lagi. Jeng-eng Mo-li kini sudah marah sekali dan habis kesabarannya.

“Kalau kau tidak mau menurut kepadaku, baik! Kau akan menjadi boneka hidup!”

Setelah berkata demikian, ia lalu mengambil sebotol arak berwarna hitam dan ketika ia membuka tutup botol itu, bau yang keras sekali memenuhi kamar. Ia menghampiri Kun Beng yang sudah di atas pembaringan tak dapat bergerak lagi dan hendak menuangkan isi botol ke dalam mulut pemuda itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras dari luar kamar.

“Perempuan iblis!” dan menyambarlah angin pukulan yang demikian kerasnya sehingga ketika Jeng-eng Mo-li mengelak, botol di tangannya itu terpukul oleh angin pukulan dan terlepas dari pegangan! Botol itu jatuh pecah di atas lantai, dan bau yang keras itu makin menghebat.

Jeng-eng Mo-li terkejut sekali karena suara itu adalah suara Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Ia cepat melompat keluar kamar dari pintu rahasia. Pak-lo-sian Siangkoan Hai tidak mempedulikannya, sebaliknya lebih dulu membebaskan muridnya dari pengaruh totokan, kemudian dia mengajak Kun Beng melompat keluar.

Bagaimanakah Pak-lo-sian dapat keluar dari sumur kering dan dapat menolong Kun Beng pada saat yang amat tepat? Mudah diduga bahwa ini tentulah hasil usaha Ang-bin Sin-kai, akan tetapi sesungguhnya bukan kakek sakti ini, melainkan muridnya yang menolong Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, dengan cepat sekali Ang-bin Sin-kai dan muridnya berlari menuju ke tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng atau lima garuda dari Kun-lun-san itu.

Tidak seperti Siangkoan Hai yang menantang dari depan, Ang-bin Sin-kai yang sudah dapat menduga bahwa orang seperti Pak-lo-sian itu kalau sampai kalah, tentu di situ terdapat tempat-tempat rahasia dan jebakan-jebakan, mengambil jalan dari atas!

Ia memegang tangan Kwan Cu dan mengajak muridnya melayang naik ke atas pagar tembok yang tinggi, kemudian dengan mengenjotkan sebelah kaki ke atas tembok, dia dapat melompat terus genteng dengan gerakan sedemikian ringannya sehingga tidak terdengar sedikitpun oleh orang-orang yang berada di bawah.

Dalam percakapan dengan Seng Thian Siansu, Ang-bin Sin-kai sudah mendengar bahwa di dalam bangunan itu, orang-orang yang berbahaya hanyalah Kun-lun Ngo-eng saja, sedangkan para “murid-muridnya” tidak memiliki kepandaian berarti.

“Kwan Cu, kau lihat baik-baik. Kalau aku sudah di keroyok oleh lima orang Kun-lun Ngo-eng itu, barulah kau boleh turun dan cari orang-orang yang perlu ditolong,” kata pengemis sakti itu kepada muridnya.

Kemudian, guru dan murid ini tiba di tengah-tengah bangunan itu dimana terdapat sebuah ruangan di bawahnya. Mereka melihat tiga orang laki-laki tua dan seorang wanita setengah tua yang cantik dan genit duduk menghadapi meja dan sedang makan minum dengan senangnya.






Tidak ada komentar :