*

*

Ads

Rabu, 09 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 072

Terdengar suara orang-orang tertawa, disusul oleh suara Jeng-eng Mo-li yang merdu dan nyaring,

“Siangkoan Hai, kau boleh bertapa disitu sampai mampus. Murid-muridmu akan menjadi murid kami dan sewaktu-waktu kau boleh melihat mereka. Ha-ha-ha!”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai hanya bisa memaki-maki gemas, akan tetapi Kun-lun Ngo-eng itu meninggalkan tempat itu. Suara tertawa mereka makin lama makin menjauh. Siangkoan Hai memukul-mukulkan tongkatnya di sekitarnya, akan tetapi yang nampak hanya bunga api berpijar. Dia benar-benar tidak berdaya lagi! Dewa Utara yang gagah perkasa itu kini seperti seekor naga yang terkurung dan tidak berdaya keluar.

Kun Beng dan Swi Kiat masih mengamuk di halaman depan dan kini para murid Kun-lun Ngo-eng yang berpakain mewah itu telah dibikin kocar-kacir.

“Suheng, jangan berlaku kejam kepada mereka. Kulihat mereka ini seperti orang-orang mabuk.”

Berkali-kali Kun Beng memperingatkan suhengnya, karena Swi Kiat kalau sudah marah, tidak peduli lagi kepada orang lain dan tidak kenal kasihan. Di sana-sini nampak tubuh para murid itu bergelimpangan, mengerang kesakitan karena pukulan dan tendangan dua orang muda itu.

Tiba-tiba muncul lima orang aneh yang tadi bertempur dengan Siangkoan Hai. Melihat mereka, Kun Beng dan Swi Kiat menjadi pucat, karena munculnya lima orang ini berarti bahwa suhu mereka tentu telah mengalami bencana.

“Dimana Suhuku?” seru Swi Kiat sambil melompat ke tempat mereka.

Pek-eng Sianjin tertawa bergelak, dan Ui-eng Suthai menghampiri Swi Kiat, memandang tajam dengan mata kagum.

“Kau benar-benar gagah, orang muda,” katanya.

Adapun Jeng-eng Mo-li juga melompat di depan Kun Beng, mengulur tangan untuk meraba pipi pemuda itu, Kun Beng mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan pipinya telah disentuh oleh wanita berpakaian hijau ini.

“Kau tampan sekali,” kata Jeng-eng Mo-li.

Melihat sikap mereka, Kun Beng tak dapat menahan sabar lagi dan mencabut tombaknya yang tadi sudah disimpan. Apalagi Swi Kiat. Dengan muka merah dan dada berombak, pemuda cilik ini mengeluarkan kipasnya dan serentak menyerang Ui-eng Suthai yang berada di depannya. Juga Kun Beng segera mengerjakan tombaknya menyerang Jeng-eng Mo-li sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

“Bagus, pemuda yang tampan dan gagah, memiliki kepandaian yang berisi juga!” kata Ui-eng Suthai sambil mengelak dari serangan Swi Kiat.

“Benar, Suci (Kakak Seperguruan). Pemuda yang ini pun ilmu tombaknya tak tercela. Benar-benar pemuda yang menawan hati!” kata Jeng-eng Mo-li sambil tertawa ha-ha-ha-hi-hi dan menghadapi Kun Beng dengan tangan kosong.

Memang, kepandaian Swi Kiat dan Kun Beng sudah tinggi dan boleh di bilang luar biasa kalau dibandingkan dengan pemuda-pemuda yang sebaya dengan mereka. Akan tetapi kini mereka menghadapi dua orang tokoh kang-ouw yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga sudah matang pengalamannya.

Beberapa jurus kemudian, setelah menghindarkan diri dari serangan dua orang pemuda itu tanpa membalas sedikit pun, Ui-eng Suthai lalu mencabut keluar sehelai saputangan kuning dari saku bajunya dan sekali ia mengebutkan saputangan itu ke arah muka Swi Kiat, pemuda ini mencium bau yang amat wangi dan yang membuatnya lemas dan pening. Tak tertahankan lagi dia terhuyung-huyung dan roboh pingsan dalam pelukan Ui-eng Suthai!

Hampir berbareng, Jeng-eng Mo-li juga mengebutkan saputangannya yang berwarna hijau dan juga Kun Beng roboh pingsan dalam pelukannya. Sambil tertawa-tawa dengan pipi menjadi merah, kedua orang wanita cabul ini lalu memondong tubuh korban mereka dan membawanya lari kedalam, diikuti oleh pandangan mata tiga orang saudara seperguruan mereka yang tersenyum-senyum geli. Demikianlah perangai Kun-lun Ngo-eng yang bejat moralnya!

Tertawannya Pak-lo-sian Siangkoan Hai, menimbulkan amarah besar kepada Kun-lun Sam-lojin. Mereka menganggap bahwa kini Kun-lun Ngo-eng berlaku keterlaluan sekali. Kun-lun Sam-lojin mengenal Pak-lo-sian sebagai tokoh besar di dunia kang-ouw, dan kalau sampai sekarang orang tua itu mendapat celaka di Kun-lun-san, bukankah itu memburukkan nama Kun-lun-pai?






“Mereka sudah terlalu berani. Kalau didiamkan saja, akhirnya kita jugalah yang akan mendapat nama buruk. Kejahatan merajalela di depan mata, apakah kita harus diam saja?” kata Seng Giok Siansu, orang termuda dari Kun-lun Sam-lojin.

Memang orang termuda dari Kun-lun Sam-lojin ini beradat paling keras diantara saudara-saudaranya.

“Habis apakah yang harus kita lakukan? Twa-suheng Seng Thian Siansu melarang kita mencampuri urusan mereka dan mencari permusuhan, kalau kita turun tangan, tentu twa-suheng marah sekali,” kata Seng Te Siansu hati-hati.

“Memang sukar,” kata Seng Jin Siasu, “menurutkan twa-suheng dan tinggal peluk tangan saja, hati dan pribadi tidak mengijinkan. Kalau menyerbu Kun-lun Ngo-eng dan melanggar larangan twa-suheng, berarti pembangkangan terhadap saudara tua. Akan tetapi, kurasa lebih baik melanggar larangan daripada melanggar perikemanusiaan dan kewajiban sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi perikebajikan! Sekarang twa-suheng sedang bersiulian (bersamadhi) dan tak mungkin diganggu. Bagaimana kalau diam-diam kita pergi ke sana dan mengusir orang-orang jahat sambil menolong Pak-lo-sian? Kalau kelak twa-suheng marah, biarlah kita beramai mohon maaf dan memberi alasan yang tepat.”

Akhirnya dua orang saudaranya setuju dan berangkatlah mereka bertiga menyerbu bangunan besar tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Terjadi pertempuran hebat sekali antara Kun-lun Ngo-eng dan Kun-lun Sam-lojin.

Akan tetapi, ternyata bahwa ilmu pedang dari Kun-lun Ngo-eng lihai sekali dan jumlah mereka juga lebih besar. Dalam pertempuran mati-matian, akhirnya orang ketiga dari Kun-lun Sam-lojin, yakni Seng Giok Siansu, roboh dan tewas oleh jarum lihai dari Ui-eng Suthai yang disebut Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa). Adapun dua orang tokoh Kun-lun-pai yang lain, Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, terluka dan dapat ditawan!

Setelah terjadi hal yang hebat ini, barulah Seng Thian Siansu keluar dari tempat pertapaannya dan turun gunung. Ia memaksa diri biarpun tubuhnya sudah tua dan lemah dan berniat hendak mengadu jiwa dengan Kun-lun Ngo-eng.

Agaknya, kakek yang sudah tua sekali ini biarpun kepandaiannya lihai, akan menghadapi bencana di depan bangunan tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Baiknya di tengah jalan dia bertemu dengan Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu!

Mendengar penuturan kakek tua renta itu, Ang-bin Sin-kai menjadi marah sekali.
“Locianpwe, mereka itu benar-benar jahat dan patut sekali dibasmi. Kiranya tak perlu Locianpwe sendiri mengotorkan tangan, biarlah teecu mewakili Locianpwe untuk membereskan persoalan ini, menolong Pak-lo-sian dan sute-sute dari Locianpwe,” kata Ang-bin Sin-kai.

“Terima kasih, Ang-bin Sin-kai, terima kasih. Kalau bukan engkau yang mengajukan penawaran membantu, agaknya aku takkan percaya dan terpaksa turun tangan sendiri, biarpun tenagaku sudah lemah. Akan tetapi kepadamu aku pecaya penuh dan kau wakililah aku. Kelak mungkin sekali sebelum aku mati aku akan dapat meninggalkan sesuatu untukmu.”

Ang-bin Sin-kai tersenyum lalu menoleh kepada Kwan Cu.
“Kwan Cu, kau mendengar sudah bahwa Locianpwe hendak memberi hadiah sesuatu. Kelak kalau ada kesempatan, kau wakililah gurumu menerima hadiah itu.”

Setelah itu, Ang-bin Sin-kai memberi hormat kepada Seng Thian Siansu, lalu mengajak muridnya cepat-cepat menuju ke tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng.

**** 072 ****






Tidak ada komentar :