*

*

Ads

Minggu, 17 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 160

“Sayang dia takkan dapat tertolong lagi,” kata Kiu-bwe Coa-li.

Suaranya tenang-tenang saja akan tetapi kalau orang melihat matanya ia akan bergidik. Mata itu membayangkan nafsu amarah dan bayangan-bayangan maut terbayang di situ.

Akan tetapi Kwan Cu tidak mempedulikan mereka semua, kini dia lalu mendekatkan mukanya pada leher Sui Ceng.

“Petani busuk, kau mau apa?” Kun Beng membentak marah dan mengangkat tangan hendak memukul.

“Diamlah kau! Mengapa begitu ribut?” bentak Pak-lo-sian sambil memandang kepada muridnya dengan alis dikerutkan.

Kun Beng merundukkan mukanya yang menjadi sedih luar biasa. Pak-lo-sian maklum akan kedukaan hati muridnya ini maka dia menghibur,

“Lihat, petani muda ini agaknya hendak berusaha mengobatinya.”

Memang benar, Kwan Cu telah menempelkan bibirnya pada luka di pundak Sui Ceng. la membuka mulutnya dan menggunakan giginya menggigit kulit di sekitar luka! la menggigit keras-keras, lalu mengumpulkan pil putih yang sudah dihancurkannya dengan ludah dikumpulkan di ujung lidah dan sambil mengerahkan lweekangnya, dia meniupkan hancuran obat itu ke dalam luka!

Hal ini tentu saja tidak terlihat oleh siapapun juga, bahkan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai saling pandang lalu mengangkat pundak. Dalam pandangan mereka, pemuda petani yang aneh ini hanya menggigit pundak itu saja!

“Eh, apa yang kau lakukan itu?”

Kembali Kun Beng bertanya karena pemuda itu tidak kuat melihat si muka merah seakan-akan mencumbu kekasihnya dan menciumi pundaknya!

Kwan Cu mengangkat mukanya dan dengan mukanya yang merah ketololan itu dia tersenyum menyeringai. Orang-orang melihat betapa gigi dan bibir pemuda ini berlepotan darah!

“Aku sudah usir setannya, sudah usir setannya!”

Kun Beng tak dapat menahan sabarnya lagi. Ia mengira bahwa pemuda muka merah ini gila dan dalam gilanya telah menggigit dan bahkan minum darah dari Sui Ceng. Dengan pengerahan tenaga sekuatnya dia lalu menendang pantat Kwan Cu yang masih berjongkok. Tubuh Kwan Cu bagaikan sebuah bal karet melayang kembali ke tengah lapangan di mana Toat-beng Hui-houw masih berdiri memandang semua itu.

Tubuh Kwan Cu yang melayang-layang tadi kini turun dan seperti yang tidak disengaja, tubuh pemuda muka merah ini melayang turun tepat di atas kepala Toat-beng Hui-houw.

Sebetulnya kakek bermuka harimau ini mendongkol sekali dan kalau menurutkan hatinya, sekali pukul saja dia dapat menghancurkan tubuh pemuda yang dianggapnya tolol itu. Akan tetapi tadi dia telah mendengar celaan dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ketika dia melukai pemuda muka merah itu, maka kini dia tidak mau melanjutkan perbuatannya. Pula dia memang melihat sendiri betapa pemuda tani ini terlempar kepadanya bukan karena kehendak sendiri, melainkan karena ditendang oleh pemuda murid Pak-lo-sian itu.

Maka dia lalu mengulur tangan dan sekali sambar dia sudah memegang leher baju Kwan Cu dan melontarkan tubuh pemuda itu ke tempatnya yang tadi, yakni didekat Yok-ong, juga dekat Kwa Ok Sin, Jeng-kin-jiu, dan Liok-te Mo-li.

Sambil berteriak-teriak ketakutan tubuh Kwan Cu terputar-putar di udara dan meluncur ke dekat Liok-te Mo-li. Nenek ini mengulur tangan dan menangkapnya, lalu melepaskannya di dekat Yok-ong sambil berkata,

“Orang muda, kau bersemangat besar. Aku kagum sekali!”

Kwan Cu tidak banyak cakap, lalu duduk di dekat Yok-ong, diam-diam menerima obat pemunah bisa dan menelannya menurut petunjuk Yok-ong.

“Kau lancang sekali, hampir-hampir terbuka rahasia kita,” kata Yok-ong.






“Teecu tidak bisa membiarkan Sui Ceng tewas,” jawab Kwan Cu.

Sementara itu, Pak-lo-sian menegur muridnya.
“Kun Beng kau benar-benar tidak tahu budi. Lihat, nona Bun tertolong nyawanya karena perbuatan pemuda muka merah tadi, dan kau bahkan menendangnya. Sungguh memalukan aku yang menjadi gurunya!”

Kun Beng terkejut dan ketika dia melihat, benar saja, Sui Ceng telah siuman kembali dan warna biru hitam pada pundaknya telah lenyap! Kiu-bwe Coa-li sedang memeriksa jalan darah muridnya dan ia mengangguk puas.

“Aneh sekali, nyawamu tertolong oleh suatu keajaiban, Sui Ceng.” kata nenek ini sambil memandang ke arah Kwan Cu yang masih duduk merengut.

Kun Beng menjadi girang dan juga malu. Ia lalu melompat ke tengah lapangan dan menghadapi Toat-beng Hui-houw.

“Sahabatku kalah olehmu, marilah kau coba mengalahkan aku!”

Pak-lo-sian mengomel,
“Kun Beng benar-benar berani mati dan gegabah sekali. Mana dia bisa menangkan siluman itu? Swi Kiat, suruh dia kembali!”

Gouw Swi Kiat mentaati perintah suhunya dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat di sebelah Kun Beng. Akan tetapi sebelum dia dapat menyampaikan pesan suhunya, Toat-beng Hui-houw yang mengira bahwa dia hendak dikeroyok dua, sudah tertawa bergelak dan siap untuk menyerang. Ia tidak gentar menghadapi dua orang pemuda ini dan dia dapat menduga bahwa mereka ini adalah murid-murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

“Toat-beng Hui-houw, kau mundurlah. Jasamu sudah cukup. Karena sekarang yang maju adalah murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai, biarkan pinceng yang menghadapinya.”

Yang berkata demikian ini adalah Bian Kim Hosiang, ketua Bu-tong-pai. Kata-kata ini amat mengherankan oleh karena biasanya, seorang ciangbunjin (ketua partai) tidak mau turun tangan dengan begitu mudahnya, apalagi menghadapi seorang anak murid partai lain, kecuali kalau menghadapi ketua lain partai.

Akan tetapi dalam hal ini, tindakan Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong pai ini dapat dimengerti. Ia merasa sakit hati sekali terhadap Pak-lo-sian Siang-koan Hai dan Kiu-bwe Coa-li yang disangka membunuh sutenya secara pengecut sekali. Maka kini dia hendak membalas dendam, hendak mengalahkan murid Pak-lo-sian dan kemudian setelah itu, kalau Pak-lo-sian merasa sakit hati baru dia akan melayani Dewa Utara itu.

“Benar, pinto juga ingin merasai kelihaian murid Pak-lo-sian!” kata Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai.

Seperti halnya Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai, juga ketua Kim-san-pai ini berpikiran sama. Melihat bahwa yang maju adalah dua orang murid Pak-lo-sian, maka dia juga ikut maju untuk memberi hajaran sebagai pembalasan.

Swi Kiat menjadi bingung ketika tiba-tiba dua orang pendeta dari fihak lawan itu melayang dan menghadapi dia dan sutenya. Ia tidak keburu menyampaikan pesanan suhunya, karena kalau fihak lawan sudah keluar dan dia bersama sutenya kembali, hal itu akan mendatangkan rasa malu yang luar biasa sekali. Tentu dia dan sutenya dianggap takut dan melarikan diri dari dua orang pendeta ini.

Swi Kiat yang menjadi bingung itu melirik ke arah suhunya dan Pak-lo-sian mengerti akan kebingungan hati muridnya. Kakek ini belum tahu duduknya perkara. Biarpun tadi beberapa kali dua orang ketua dari Bu-tong dan Kim-san itu menyindir dan memakinya, namun dia tidak sekali-kali mengira bahwa dia disangka membunuh murid-murid mereka secara curang. Ia sudah kenal kepada dua orang ketua ini dan tahu bahwa mereka bukanlah orang-orang jahat dan kejam. Maka dia lalu berkata sambil tersenyum.

“Anak-anak bodoh! Ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai hendak memberi pelajaran, mengapa tidak lekas-lekas menerimanya?”

Mendengai ini, Swi Kiat lenyap keraguannya dan dia lalu siap sedia dengan senjatanya yang lihai, yakni sepasang kipas yang disebut Im-yang-siang-san. Murid pertama dari Pak-lo-sian ini memang sudah mewarisi keahlian bersilat kipas dengan Ilmu Silat Im-yang San-hoat yang amat lihai. Adapun Kun Beng memang sejak tadi sudah mengeluarkan tombaknya.

Bian Kim Hosiang tertawa mengejek.
“Biarpun murid-murid kami terbunuh secara curang mempergunakan ilmu kotor atau ilmu siluman, akan tetapi kami tidak serendah itu dan kami akan merobohkan kalian secara jujur.”

Sambil berkata demikian, ketua Bu-tong-pai ini mengeluarkan sehelai saputangan panjang. Ia menggulung-gulung saputangan itu, menjadi gulungan kain, kemudian sekali dia menggerakkan tangan, gulungan kain itu menjadi kaku seperti sebatang toya! Benar-benar seperti Kauw-ce-thian (raja monyet dalam dongeng kuno yang mempunyai wasiat tongkat kim-kauw-pang) mainkan tongkat wasiatnya!

Dengan senjata buatan sendiri ini, ternyata bahwa Bian Kim Hosiang tidak saja memandang ringan pada lawannya, juga dia telah memperlihatkan bahwa tenaga lweekangnya bukan main besarnya. Sambil memutar toya kain ini Bian Kim Hosiang menghadapi Kun Beng yang bersenjata tombak.

Adapun Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai, orangnya lebih sabar daripada ketua Bu-tong-pai, juga kepandaiannya tidak kalah. Bin Kong Siansu terkenal sebagai tokoh besar yang telah memperkembangkan dan memperbaiki Ilmu Pedang Kim-san Kiam-hoat yang sudah tersohor lihai itu sehingga Ilmu Pedang Kim-san Kiam-hoat boleh direndengkan dengan ilmu-ilmu pedang dari partai-partai besar, bahkan ada yang menyatakan bahwa ilmu pedang ini sesumber dengan ilmu pedang dari Thian-san-pai yang banyak dikagumi orang. Tosu ini menghadapi Swi Kiat dan mengulur tangan mencabut keluar sebatang pedang tipis.

“Orang muda, majulah untuk menerima hukuman dari dosa yang diperbuat oleh gurumu,” katanya perlahan.

Swi Kiat tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan kata-kata ini, akan tetapi melihat betapa Kun Beng sudah mulai bertanding melawan Bian Kim Hosiang, dia pun menjura kepada ketua Kim-san-pai itu, lalu dengan sepasang kipasnya, dia melakukan penyerangan hebat.

Bin Kong Siansu menggerakkan pedangnya dan sekali saja pedangnya bergerak, dua sinar berkelebat ke arah sepasang kipas di tangan Swi Kiat. Tentu saja pemuda ini terkejut dan tidak membiarkan kipasnya rusak dalam segebrakan saja.

Sebagai seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya, dia sudah dapat melihat bahwa pedang lawannya tadi melakukan semacam gerak tipu seperti Goat-kan-ji-jit (Bulan Mengejar Dua Matahari) dan hendak menusuk bolong sepasang kipasnya. Maka cepat dia mengelak dan kini sepasang kipasnya mulai digerakkan dalam permaiann silat kipas yang amat lihai dari suhunya, yakni Im-yang San-hoat.

Sepasang kipas ini dimainkan dengan gerakan yang saling bertentangan, misalnya kalau kipas kanan menyambar dari kanan, kipas kiri menyambar dari kiri, atau kalau yang pertama menyambar dari atas, yang ke dua menyusul dengan serangan dari bawah dan sebagainya. Yang amat sukar adalah betapa lawan tidak dapat menduganya, yang kanan ataukah yang kiri yang menjadi penyerang sesungguhnya dan mana pula yang hanya pancingan belaka.

Namun Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Tingkatnya masih melebihi Swi Kiat, demikian pula ilmu ginkang dan lweekangnya, maka dengan pedangnya yang digerakkan secara cepat dan kuat, dia dapat menggagalkan semua serangan balasan dari pemuda itu, sebaliknya dia terus menggencet lawannya.

Bagaimana dengan Kun Beng? Sama saja keadaannya dengan suhengnya. Kepandaian ketua Bu-tong-pai sudah sejajar dengan kepandaian tokoh-tokoh besar lainnya. Biarpun Bian Kim Hosiang hanya mempergunakan toya terbuat daripada kain, namun setiap kali tombak di tangan pemuda itu terpukul senjata aneh ini, Kun Beng merasa telapak tangannya sakit-sakit.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai tahu benar bahwa kedua orang muridnya takkan dapat mencapai kemenangan. Hal ini pun tidak dianggap memalukan, karena dia sudah tahu bahwa dia sendiri kiranya takkan mudah mengalahkan ketua-ketua dari Kiam-san-pai dan Bu-tong-pai itu, apalagi kedua muridnya itu boleh di bilang sudah patut dipuji, karena menghadapi dua orang ciangbunjin itu masih dapat mempertahankan diri sampai lima puluh jurus!

Pula, semenjak tadi sebagai guru, Pak-lo-sian memperhatikan semua gerakan ilmu silat muridnya dan dia tidak melihat adanya kesalahan-kesalahan. Mereka terdesak bukan karena kalah lihai ilmu silat yang mereka pelajari, hanya karena tingkat mereka masih kalah tinggi, baik dalam hal tenaga dalam mau pun kecepatan atau pengalaman bertempur. Ia pun tidak gelisah ketika pada saat hampir bersamaan Swi Kiat tersabet pedang pundaknya sehingga pemuda ini terhuyung-huyung lalu roboh mandi darah dan Kun Beng mengeluh kesakitan ketika pangkal pahanya terpukul oleh toya kain yang kadang-kadang keras seperti baja itu sehingga pemuda ini pun roboh.

Pak-lo-sian dapat melihat bahwa luka-luka yang diderita oleh dua orang muridnya itu tidak berbahaya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat dua orang pendeta itu memburu maju dan mengangkat senjata untuk membinasakan dua orang muridnya.






Tidak ada komentar :