*

*

Ads

Minggu, 17 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 159

Terdengar suara ketawa seperti kuda meringkik dan tubuh Toat-beng Hui-houw yang berwajah menyeramkan itu melompat keluar.

“Kiam Ki Sianjin, biarlah aku menghadapinya. Aku sudah mengenal kuda betina liar ini!”

Melihat majunya Toat-beng Hui-houw, seketika muka Sui Ceng menjadi merah sekali, sepasang matanya berapi-api dan bibirnya digigit untuk menahan hawa kemarahan yang naik dari dadanya.

“Toat-beng Hui-houw, siluman jahanam! Andaikata kau tidak muncul, aku pun pasti akan mencarimu untuk memenggal lehermu agar ibuku di alam baka dapat mengaso dengan tenteram!” Kedua tangan gadis ini gemetar saking hebatnya kemarahan yang menyerang dirinya.

“Sui Ceng, mundurlah, biarkan pinni menghadapi siluman ini!”

Kiu-bwe Coa-li, akan tetapi mana Sui Ceng mau mendengar kata-kata guru ini? Dengan pura-pura tidak mendengar kata-kata gurunya, sambil berseru keras dan nyaring gadis ini menyerang Toat-beng Hui-houw dengan pedangnya. Gerakannya bagaikan seekor burung walet menyambar dan tubuhnya diikuti oleh berkelebatnya sinar merah dari sabuknya.

Selama dikalahkan oleh Ang-bin Sin-kai dahulu dan bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li, kakek yang seperti siluman ini merasa gentar dan dia melatih diri sehingga memperoleh kemajuan pesat. Kalau dibandingkan dengan dahulu ketika dia menewaskan Pek-cilan Thio Loan Eng ibu dari Sui Ceng, kepandaiannya sekarang sudah maju pesat dan jauh sekali.

Namun dia tidak berani memandang rendah kepada gadis ini, karena tahu bahwa gadis ini adalah murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li. Kalau saja dia tidak berada di fihak Kiam Ki Sianjin dan tidak mengandalkan bantuan banyak kawan, sampai sekarang pun dia tidak berani mengganggu Sui Ceng.

Akan tetapi sekarang keadaannya lain lagi. Dalam pertempuran seperti ini, kalah menang atau kematian tidak boleh diurus panjang dan andaikata guru gadis ini akan membela, kawan-kawannya masih banyak yang gagah dan tangguh, maka hati Toat-beng Hui-houw menjadi besar.

Serangan pedang dari Sui Ceng dielakkannya, dan ketika pedang itu bagaikan bermata terus mengejar dan menyerangnya, dia lalu menggereng seperti harimau sambil menggerakkan kedua tangannya. Tiba-tiba sepuluh jari tangannya mengeluarkan kuku yang panjang-panjang seperti pisau. Tadi kuku-kuku jari ini tergulung dan dengan gerakan lweekang yang amat dahsyat, kuku ini menjadi kaku dan dapat dipergunakan sebagai senjata.

Pedang Sui Ceng menyambar lagi. Toat-beng Hui-houw menangkis dengan kukunya dan Sui Ceng merasa telapak tangannya tergetar hebat. Ia kaget dan tahu bahwa lawannya ini benar-benar tangguh. Akan tetapi ia tidak gentar. Nafsunya untuk membunuh musuh besar ini demikian memuncak sehingga ia menjadi nekat. Ujung sabuk merahnya menyusul pedangnya, menyambar dengan totokan ke arah leher Toat-beng Hui-houw.

“Pergilah!” Toat-beng Hui-houw membentak sambil menyambar ujung sabuk merah itu.

“Brettt!” sabuk itu putus menjadi dua!

“Ceng-moi, hati-hatilah……. !”

Kun Beng berseru dengan hati ngeri melihat betapa senjata sabuk dari tunangannya yang amat lihai itu telah dapat diputuskan.

Namun Sui Ceng masih menyerang dengan hebatnya. Kini dia mempergunakan pedangnya dan telah melemparkan sabuknya yang sudah tiada gunanya itu. Pedangnya dimainkan secara hebat, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk mengalahkan musuh besarnya ini.

Tubuh gadis itu lenyap terbungkus sinar pedang yang bergulung-gulung dan diam-diam Toat-beng Hui-houw harus memuji kepandaian gadis muda ini. Kalau sekiranya akhir-akhir ini dia tidak memperdalam ilmu kepandaiannya, agaknya akan sukar dan lamalah baginya untuk mengalahkan gadis ini.

Kemarahan dan kenekatan Sui Ceng melihat musuh besar yang telah membunuh ibunya, membuat tenaganya berlipat ganda besarnya dan membuat gaya ilmu pedangnya amat ganas dan berbahaya. Karena kurang hati-hati, sebuah kuku jari kelingking dari tangan kiri Toat-beng Hui-houw kena terbabat putus ujungnya oleh pedang Sui Ceng.

Toat-beng Hui-houw marah sekali. Berkali-kali dia mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan tanah dan kini tubuhnya bergerak maju dengan serangan dahsyat, menubruk ke sana ke mari tanpa mempedulikan pedang lawannya.






Memang mudah saja baginya, dengan sebuah kuku saja dia berhasil menyampok pedang lawannya, dan dengan cepat kuku-kuku jarinya menyerang tubuh gadis itu. Mau tidak mau Sui Ceng menjadi ngeri dan mulailah dia main mundur saja.

“Sui Ceng, mundurlah dan mengaku kalah!” kata Kiu-bwe Coa-li karena ia merasa ngeri dan gelisah melihat nyawa muridnya yang terkasih itu terancam.

“Biarkan teecu maju membantunya!” kata Kun Beng.

Akan tetapi Pak-lo-sian melarangnya.
“Tidak boleh berlaku curang, biarpun nyawa kita akan habis semua di sini, kita harus mati sebagai orang-orang gagah!”

Terpaksa Kun Beng hanya memandang dengan hati seperti disayat-sayat melihat betapa tunangannya didesak terus.

Juga Kwan Cu yang mengerti bahwa tak lama lagi Sui Ceng pasti akan roboh di bawah tangan Toat-beng Hui-houw yang lihai itu, berbisik kepada Yok-ong dengan hati gelisah.

“Locianpwe, andaikata nona itu terluka oleh kuku tangan Toat-beng Hui-houw yang mengandung bisa berbahaya masih dapatkah dia tertolong?”

Yok-ong mengangguk.
“Memang racun di tiap kuku jari Toat-beng Hui-houw bisa mematikan dan sukar diobati. Akan tetapi aku telah mempunyai semacam obat penolak bisa yang luar biasa dan yang pasti akan dapat melawan bisa itu. Asal saja lukanya tidak amat berat.”

Kwan Cu segera berdiri dari tempat duduknya dan dengan tindakan perlahan dia mendekati tempat pertempuran, agaknya tertarik sekali. Yok-ong hendak mencegah namun tidak keburu.

Orang-orang di kedua fihak juga melihat ini, akan tetapi oleh karena pemuda muka merah yang mengaku petani Gunung Tai-hang-san itu bukan orang dari salah satu fihak dan dianggap sebagai petani biasa saja yang menonton, tak seorang pun memperhatikannya. Apalagi keadaan amat tegang dan semua mata memandang ke arah pertempuran yang hebat luar biasa itu.

Sui Ceng benar-benar terdesak hebat. Ia memang nekat dan biarpun dia mendengar perintah gurunya supaya mundur, namun mana bisa seorang gadis seperti Sui Ceng sudi mundur dan mengaku kalah? Apa lagi terhadap musuh besar yang sudah membunuh ibunya.

“Kalau aku tak berhasil membalaskan dendam ibu, biarlah aku mampus di sini!” pikir gadis ini sambil memutar pedangnya yang makin kacau gerakannya.

Tiba-tiba Toat-beng Hui-houw tertawa seperti ringkik kuda, disusul oleh gerengan seperti harimau dan tangan kirinya yang penuh kuku panjang itu berhasil merampas pedang Sui Ceng. Sekali kuku-kukunya bergerak, terdengar suara”krak!” dan pedang itu patah-patah menjadi tiga! Sui Ceng masih tidak mau melompat atau mengaku kalah, bahkan dia lalu menghantam dengan tangan kiri ke dada lawan!

Toat-beng Hui-houw tertawa besar dan sekali dia menangkis dengan tenaga sepenuhnya, Sui Ceng terhuyung ke kiri dan kesempatan ini dipergunakan oleh Toat-beng Hui-houw untuk menggunakan kuku-kukunya yang berbisa mencakar kearah dada Sui Ceng!

Nona ini maklum akan datangnya serangan maut. Cepat dia miringkan tubuhnya, akan tetapi kalah cepat. Terdengar baju robek dan pundaknya terkena cengkeraman itu. Sui Ceng mengerahkah lweekang dan meronta sehingga cengkeraman itu dapat terlepas, namun ia lalu terhuyung-huyung dan roboh. Pundaknya terasa panas sekali sampai menembus ke jantungnya. Racun-racun berbahaya dari kuku telah memasuki luka di pundaknya.

“Ha, ha, ha, kau boleh menyusul ibumu!” seru Toat-beng Hui-houw sambil menghampiri tubuh nona yang telentang pingsan itu, siap untuk mengirim pukulan terakhir.

Kiu-bwe Coa-li meramkan mata, dan Kun Beng sudah siap melompat menolong tunangannya.

Tiba-tiba kelihatan pemuda dusun bermuka merah itu berlari-lari dan berteriak-teriak,
“Tidak adil……! Tidak adil…….!”

Ia berlari terus dengan kacau, menyeruduk Toat-beng Hui-houw yang hendak membunuh Sui Ceng. Melihat datangnya pemuda dusun ini, Toat-beng Hui-houw menjadi heran dan juga marah.

“Mau apa kau??” bentaknya sambil mendorong pundak Kwan Cu.

Pemuda ini tahu bahwa dorongan itu akan melukainya, akan tetapi karena dia mengandalkan kepandaian Yok-ong, dan pula dia ingin menolong nyawa Sui Ceng, dia pura-pura tidak tahu.

“Reeettt!”

Robeklah baju pundaknya dan kulit pundaknya tergores oleh kuku tangan Toat-beng Hui-houw.

“Toat-beng Hui-houw, kau terlalu sekali! Pemuda itu adalah orang luar, mengapa kau melukainya?” bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Sebetulnya bukan Pak-lo-sian terlalu sayang kepada pemuda yang aneh mukanya itu, melainkan karena pemuda itulah yang telah menolong nyawa Sui Ceng, maka dia membelanya. Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak dan mundur, lalu menudingkan telunjuknya yang berkuku panjang kepada Kwan Cu sambil membentak,

“Eh, kepiting rebus! Apa-apaan kau datang mencari kematian?”

Biarpun bertanya begini, di dalam hatinya Toat-beng Hui-houw merasa heran sekali. Bisa dikukunya amat hebat, sekali gurat saja orang tentu akan roboh dan pingsan atau sekaligus mampus.

Akan tetapi mengapa pemuda yang terang-terangan sudah terluka pundaknya ini tidak lekas-lekas roboh pingsan? la tidak tahu bahwa Kwan Cu telah mengerahkan tenaga dan seluruh hawa murni yang dia dapat dari latihan menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, sehingga bisa itu untuk sementara tertahan oleh hawa yang mengepul naik dari pusarnya menuju kepundak yang tergurat kuku berbisa tadi.

Kwan Cu dengan kedua tangan tuding sana tuding sini, mengeluarkan suara mengomel panjang pendek dan berteriak-teriak,

“Mana ada pertandingan macam ini? Masa seorang kakek-kakek tua melawan seorang gadis muda yang lemah? Tidak adil sekali. Seharusnya, gadis melawan gadis, kakek melawan kakek, pemuda melawan pemuda dan bocah melawan bocah. Ini baru senang ditonton. Masa kakek yang kukunya panjang mengerikan ini harus bertanding dengan gadis yang begini halus?”

Kwan Cu menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengangkat tubuh Sui Ceng dan dengan lagak seperti orang merasa berat menggendong tubuh itu, dia berlari-lari ke arah Yok-ong.

“He, kau mau bawa dia kemana?” teriak Kun Beng yang segera mengejar.

“Dia mati, harus dikubur baik-baik,” jawab Kwan Cu tanpa menoleh.

Yok-ong menyambut Kwan Cu dan tanpa dilihat orang lain, raja tabib ini menotok tiga jalan darah di tubuh Sui Ceng lalu menyuruh Kwan Cu memberikan tubuh gadis itu kepada Kun Beng yang datang berlari-lari.

“Berikan dia padaku!” kata Kun Beng.

“Eh, eh, eh, kau ini pemuda mau apakah? Kalau dia harus dibawa ke sana biarlah aku menggendongnya ke sana. Mengapa menggendong tubuhnya saja orang harus berebut? Kau agaknya ingin sekali menggendongnya!”

Kwan Cu lalu membawa gadis itu berlari-larian kembali menuju ke tempat Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Semua orang memandang kepada pemuda muka merah ini dan merasa lucu juga kasihan. Bahkan Kiu-bwe Coa-li sendiri merasa terharu melihat seorang petani bodoh masih memiliki perikemanusiaan begitu besar .

Kwan Cu tadi ketika membawa Sui Ceng kepada Yok-ong, memang sengaja memberi kesempatan kepada Yok-ong untuk mengobati gadis itu, kemudian tanpa diketahui oleh siapapun juga, dia menerima sebuah pil besar berwarna putih dan mendapat bisikan dari Yok-ong. Kini pil besar itu telah dimasukkan ke dalam mulutnya. Ia menurunkan gadis itu di atas tanah.

“Kau baik sekali, orang muda,” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.






Tidak ada komentar :