*

*

Ads

Minggu, 17 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 158

Benar saja, di kaki bukit itu, barisan besar bergerak-gerak seperti semut. Kwan Cu terkejut dan gemas sekali.

“Tak usah khawatir, aku sudah mendapatkan jalan keluar. Lihatlah goa itu, kelihatan keci, hanya dapat dimasuki orang dengan jalan merangkak. Akan tetapi di dalamnya lebar sekali dan goa itu merupakan terowongan yang menembus bukit dan keluar di sebelah selatan pegunungan ini. Kalau kita semua mengambil jalan ini, takkan ada orang yang dapat mengejar atau mencegat kita. Kau ingatlah baik-baik, seorang di antara kita harus dapat menolong mereka keluar dari sini. Mengerti?”

Kwan Cu mengangguk. Memang, melihat keadaan. lawan yang demikian banyaknya dan rata-rata terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi, Yok-ong merasa gelisah dan putus asa. Biar pun difihaknya ada Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian dan Seng Thian Siansu, akan tetapi menghadapi sekian banyaknya orang dan di sana ada pula orang-orang sakti seperti Hek-i Hui-mo, Kiam Ki Sianjin, Toat-beng Hui-houw dan lain-lain, sudah dapat diperhitungkan bahwa fihak pembantu pejuang rakyat pasti akan kalah.

Setelah memberi petunjuk kepada Kwan Cu, mereka kembali ke puncak akan tetapi kini menonton ke tempat itu dari balik batu karang.

“Locianpwe, kita tidak dikenal, lebih baik nonton dari dekat,” kata Kwan Cu.

“Begitupun baik. Akhirnya kita harus turun tangan pula,” jawab Raja Tabib itu dan keduanya lalu duduk di tempatnya yang tadi. Semua orang memandang dan tertawa.

“Eh, kalian berani datang lagi?” Kwa Ok Sin tidak dapat menahan keheranannya.

“Cucuku ini yang memaksa, katanya ingin melihat orang bermain senjata untuk menambah kegembiraan,” jawab Yok-ong ketolol-tololan.

“Hem, jangan terlalu dekat, jangan-jangan ada senjata yang mampir di lehermu,” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.

Yok-ong dan Kwan Cu memperlihatkan muka takut akan tetapi tetap saja duduk di tempat yang tadi.

Kalau di fihak Kiam Ki Sianjin semua orang sudah bersiap-siap adalah orang-orang dari Bu-tong-pai dan Kim-san-pai saja yang masih kelihatan dingin saja. Bian Kim Hosiang dari Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai, bukanlah penjilat-penjilat kaisar.

Mereka adalah orang-orang gagah yang tidak mau peduli tentang urusan kerajaan. Mereka berdua datang hanya karena marah terhadap Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai, karena dua orang tokoh itu telah membunuh dua orang sute mereka.

Kedatangan mereka untuk membalas dendam, atau untuk membuat perhitungan dengan Ku-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, bukan untuk mengurus soal kerajaan. Maka melihat bahwa pertandingan yang akan diadakan adalah urusan kerajaan, kedua orang tua ini dan murid-muridnya tidak mau turun tangan dan diam menonton saja.

Adapun tokoh-tokoh kawan-kawan Kiam Ki Sianjin, memberi kesempatan kepada murid-murid mereka untuk maju lebih dulu, hitung-hitung mengukur kepandaian lawan. Akan tetapi, murid-murid yang masih rendah kepandaiannya tentu saja tidak boleh maju,

Kiam Ki Sianjin memberi tanda kepada Bu-eng Siang-hiap, dua hwesio bersaudara yang kini menjadi pembantu-pembantunya. Dengan bangga Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang melompat maju ke tengah lapangan, lalu Mo Beng Hosiang berkata,

“Pinceng berdua saudara selalu maju berbareng, karena itu harap Siangkoan-lo-enghiong mengeluarkan jago-jagonya!” Berkata demikian, dua saudara ini menjura kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Melihat bahwa yang maju adalah dua orang hwesio setengah tua, dua orang murid Kun-Jun-pai yang bernama Tiong Ek Tosu dan Tong Seng Tosu minta ijin dari guru besar mereka, yakni Seng Thian Siansu sesungguhnya datang untuk menuntut balas atas gugurnya tiga orang muridnya, maka dia mengangguk menyetujui. Demikian pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai menyetujui.

Majulah dua orang murid Kun-lun-pai ini menghadapi Bu-eng Siang-hiap. Setelah saling memperkenalkan nama, empat orang pendeta ini mulai saling serang dengan hebatnya.
Ilmu silat dari Kun-lun-pai memang sudah amat terkenal, maka kepandaian dari dua orang muridnya ini juga amat lihai.






Mereka mempergunakan pedang yang diputar dengan cepat dan tangguh, sesuai dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat. Adapun Mo Beng Hosiang berjuluk San-tian-jiu (Si Tangan Kilat) maka dalam pertempuran ini dia bertangan kosong, sedangkan adiknya, Mo Keng Hosiang berjuluk Hun-san-pian (Pian Pemecah Gunung).

Sengaja mereka maju berdua karena dengan maju berdua, mereka merupakan pasangan yang benar-benar amat tangguh. Mo Keng Hosiang bertugas menghadapi dan melindungi kakaknya dari serangan senjata lawan. Piannya amat kuat, dan setiap tangkisannya selalu membuat tangan lawan tergetar sehingga penyerangan kedua lawan nya itu menjadi lambat. Di lain fihak, Mo Beng Hosiang mulai menjalankan serangan maut dengan tangan kosong!

“Celaka, dua totiang dari Kun-Iun-pai itu pasti roboh….. ” kata Kwan Cu perlahan kepada Yok-ong.

Diam-diam raja tabib ini memuji ketajaman mata Kwan Cu dan dia melihat pemuda itu diam-diam meraih dua butir batu kecil.

“Jangan, Kwan Cu. Dalam pertandingan adil, tidak selayaknya kita turun tangan membantu, biarpun yang kita bantu adalah orang-orang yang berada di fihak benar. Ini sudah menjadi aturan kang-ouw yang tak boleh dilanggar oleh siapapun yang tidak menghendaki namanya terbenam di dalam lumpur.”

Kwan Cu tertegun dan terpaksa melepaskan kembali dua butir batu kecil tadi. Hatinya penasaran dan tak senang sekali melihat fihak Pak-lo-sian dikalahkan. Dugaannya tepat karena dalam lima puluh jurus saja, terdengar suara keras disusul pekik dan robohlah Tiong Ek Tosu dengan kepala pecah terpukul oleh tangan Mo Beng Hosiang!

Murid ke dua dari Kun-lun-pai tidak menjadi gentar. Baginya adalah menang atau mati, maka dia cepat memutar pedangnya melakukan serangan nekat. Ia berhasil menusuk pangkal lengan Mo Keng Hosiang, namun hwesio ini dapat miringkan tubuh sehingga kulit lengannya saja yang tergurat pedang dan pada saat itu, Mo Beng Ho siang sudah turun tangan memukul dada Tiong Seng Tosu. Tosu ini menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan dadanya pecah! Ia roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi.

Fihak kaki tangan kaisar berseri wajahnya, bahkan ada orang-orang muda yang bersorak girang. Pak-lo-sian tersenyum pahit dan Seng Thian Siansu menjadi pucat. Sebelum Kiu-bwe Coa-li dan yang lain-lain sempat mencegahnya, tahu-tahu bayangan Bun Sui Ceng sudah berkelebat dan nona ini telah berdiri dengan pedang di tangan, menghadapi sepasang hwesio yang berdiri dengan lagak sombong dan bangga.

Pak-lo-sian tidak dapat berbuat lain kecuali melompat dan mernyambar dua jenazah murid Kun-lun-pai itu untuk diletakkan di atas tanah di dekat batu karang. Mereka tak dapat ditolong lagi karena sudah tewas.

“Bu-eng Siang-hiap, aku Bun Sui Ceng maju sebagai jago dari fihak kami, kalian berdua boleh maju bersama!” tantang Sui Ceng sambil melintangkan pedang di depan dadanya.

Melihat bahwa penantangnya hanyalah seorang gadis muda yang cantik sekali, dua orang hwesio itu saling pandang dan tertawa lebar.

“Nona, pinceng berdua tidak mau berlaku licik. Biarlah kau memilih seorang diantara kami sebagai lawanmu!” kata Mo Beng Hosiang sambil tertawa menyeringai.

“Gundul sombong, kalian berdua majulah bersama, boleh ditambah lagi satu dua orang agar lebih ramai!”

Mendengar ucapan gadis ini, Bu-eng Siang-hiap menjadi naik darah.
“Semua orang yang berada disini mendengar bahwa kau yang minta kami maju bersama, kalau nanti kalah jangan bilang kami licik,” kata Mo Beng Hosiang dengan mata merah.

“Tutup mulut dan majulah!” seru Sui Ceng yang sudah mulai menggerakkan pedangnya.

Mo Keng Hosiang masih merasa sayang untuk membunuh atau melukai gadis yang begini cantik dan muda, maka dia lalu mengeluarkan seruan keras dan pian di tangannya menyambar ke arah pedang Sui Ceng, dengan maksud membikin pedang itu terlempar dalam segebrakan saja.

Melihat datangnya gempuran pian ini yang memang bertenaga amat kuat, Sui Ceng tersenyum dan sengaja tidak mau mengelakkan pedangnya. Alangkah kagetnya hati Mo Keng Hosiang ketika piannya membentur pedang gadis itu, karena dia merasa seakan-akan piannya yang berat itu membentur sehelai bulu saja dan tenaganya lenyap dengan sendirinya.

Kekagetannya bertambah ketika terdengar suara “tar!” dan pipinya terasa amat pedas dan perih. Ia hanya melihat bayangan merah berkelebat di depan mukanya, itu adalah ujung sehelai ikat pinggang sutera berwarna merah! Sui Ceng telah mencabut senjatanya yang istimewa ini, yaitu sabuk merahnya.

Bukan main marahnya Mo Keng Ho-siang, ketika mendengar suara ketawa gadis itu. Dengan membuta dia lalu mengayun piannya dan menyerang bagaikan badai mengamuk. Juga Mo Beng Ho-siang yang kini mengerti menghadapi seorang lawan tangguh, cepat maju dan melakukan pukulan-pukulan dengan kedua tangannya yang lihai.

“Ji-wi Beng-yu, hati-hati, kalian menghadapi murid dari Kiu-bwe Coa-li!” kata Kiam Ki Sianjin yang mengenal sabuk merah ini sebagai ilmu cambuk yang biasa dimainkan oleh Kiu-bwe Coa-li.

Bu-eng Siang-hiap terkejut dan kini mereka tidak berani memandang ringan. Dengan hati-hati mereka lalu bergerak seperti ketika menghadapi dua orang lawan dari Kun-lun-pai tadi, yakni Mo Keng Hosiang mempergunakan pian untuk mempertahankan diri mereka berdua. Sedangkan Mo Beng Hosiang melakukan serangan-serangan dengan tangan kilatnya.

Namun ilmu silat yang dimiliki oleh Sui Ceng adalah ilmu silat yang diturunkan oleh seorang ahli. Bukan main hebatnya pedang yang bergerak bagaikan hidup di tangannya, sedangkan sabuk merah di tangan kirinya lebih lihai lagi. Dia pun mempergunakan siasat untuk mengimbangi kedua orang itu.

Sabuknya yang lemas menghadapi pian, berusaha untuk menangkap dan merampas senjata, sedangkan pedangnya menghadapi pukulan-pukulan Mo Beng Hosiang. Sebentar saja kedua orang hwesio itu terdesak hebat oleh dara perkasa ini.

“Dia hebat….. dia hebat sekali……” tak terasa pula mulut Kwan Cu berbisik-bisik dan sepasang matanya memandang kagum.

Melihat lagak pemuda ini, Yok-ong tersenyum.
“Bagus, Kiam Ki sianjin akan mengalami hajaran pertama!”

Belum habis kata-kata ini diucapkan, keadaan pertempuran sudah berubah sama sekali. Dengan ujung sabuknya, Sui Ceng tiba-tiba mengubah gerakan dan kini sabuk itu meninggalkan pian dan menyerang atau lebih tepat menangkis pukulan Mo Beng Hosiang.

Ujung sabuk merah ini membelit pergelangan tangan hwesio ini dan sekali disentakkan, tubuh Mo Beng Hosiang terpental ke atas. Sebelum hwesio itu sempat mengerahkan ginkangnya, sabuk disentakkan kembali ke bawah sehingga tubuhnya terbanting ke atas lantai batu karang.

“Ngekkk!!”

Tubuh Mo Beng Hosiang tak dapat berkutik lagi! Pedang di tangan Sui Ceng sementara itu tidak tinggal diam. Ia melihat pian menyerang ke arah kepalanya, cepat ia menggerakkan tubuhnya, miring dan dari samping pedangnya menyambar. Mo Keng Hosiang menjerit kesakitan, piannya terlepas berikut tangan kanannya sebatas siku terbabat putus oleh pedang Sui Ceng!

Gadis ini tidak tega melihat penderitaan kedua lawannya. Pedangnya bergerak dua kali dan putuslah urat besar di dekat leher dua orang hwesio itu yang seketika itu juga menghembuskan napas terakhir tanpa menderita lagi.

Lima orang-orang muda dari fihak Kiam Ki Sianjin melompat maju dan mengeroyok Sui Ceng. Mereka ini adalah perwira-perwira yang menjadi kaki tangan Kam Cun Hong, panglima dari Si Su Beng.

“Curang….. !”

Dua orang murid Kun-lun-pai yang belum maju mencela dan cepat mereka melompat untuk membantu Sui Ceng.

Akan tetapi sebetulnya hal ini tidak perlu, karena dengan pedangnya, Sui Ceng menahan serangan lima orang perwira itu dan dalam beberapa jurus saja kembali dua orang lawan roboh mandi darah!

“Mundur!” teriak Kiam Ki Sianjin.

Tiga orang perwira melompat mundur dengan muka merah. Kiam Ki Sianjin menggerakkan tangan memberi tanda kepada orang-orangnya dan empat orang mayat kawannya itu ditarik ke belakang. Kemudian Kiam Ki Sianjin bertanya,

“Siapa diantara sahabat-sahabat yang berani menghadapi gadis liar itu?”






Tidak ada komentar :