*

*

Ads

Minggu, 17 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 157

Ucapan ini disambut oleh tertawa mengejek dari Kiu-bwe Coa-li dan kembali pecutnya mengeluarkan bunyi, “Tar! Tar!” keras sekali.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa sambil mendongak ke atas.
“Kiam Ki Sianjin, kau memutar balikkan kenyataan, kau bukan mentaati kehendak Thian, bahkan mengingkari dan hendak memutar jalannya sejarah! Rakyat yang berjuang melawan penindasan kekuasaan penjajah asing kau sebut sebagai pemberontak! Sedangkan para pemberontak asing yang hendak menjajah, bahkan yang kini sudah menjadi penjajah kau sebut-sebut sebagai kaisar yang bijaksana! Kiam Ki Sianjin, di manakah mukamu sebagai orang Han? Hai, saudara-saudara sekalian yang kini berada difihak Kiam Ki Sianjin, apakah kalian bukan orang-orang Han? Patutkah orang-orang gagah melihat bangsa sendiri ditindas, tidak membantu perjuangan rakyat yang mulia, sebaliknya membantu kaisar asing penjajah hina dan suka menjadi anjing penjilatnya?” Pak-lo-sian Si-angkoan Hai berkata dengan penuh nafsu.

“Cukup! Pak-lo-sian, kami mengundang kalian bukan untuk mengumbar nafsumu, bukan untuk saling memaki. Kami mengajak berunding, berdamai dan menghabiskan semua pertempuran.”

“Mudah saja untuk menghabiskan pertempuran asal tuntutan rakyat dipenuhi,” kata Pak-lo-sian.

“Apakah tuntutan rakyat itu? Coba terangkan!”

“Tuntutan rakyat ialah menyeret turun kaisar asing, mengusir semua penjajah dari tanah air dan mengangkat seorang kaisar bangsa sendiri. Kalau kalian semua yang berada di sini insyaf dan membantu perjuangan rakyat, hal ini kiranya akan mudah dilakukan dan habislah semua pertempuran!”

“Pak-lo-sian, kau terlalu sekali! Apa kau kira akan dapat memperlihatkan kekuasaanmu di sini? Kau benar-benar mengeluarkan kata-kata tanpa kau pikir baik-baik. Kau berani mencoba untuk menyeret kami membantu pemberontak?” Kiam Ki Sianjin marah.

“Basmi saja pentolan-pentolan pemberontak itu!” teriak seorang anak murid difihak yang pro kaisar.

Akan tetapi para tokoh besar yang menghargai kedudukan sendiri, tidak mau sembarangan mengeluarkan kata-kata.

Teriakan murid yang berangasan itu disambut oleh kawan-kawannya dan sebentar saja fihak itu menjadi ramai, senjata-senjata dihunus, siap menyerbu kalau ada perintah. Akan tetapi Kiam Ki Sianjin mengangkat tangan mencegah mereka dan keadaan menjadi tenang kembali.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan kawan-kawannya tersenyum-senyum saja mengejek, akan tetapi Sui Ceng, Swi Kiat, Kun Beng, dan empat orang tosu dari Kun-lun-pai kelihatan merah mukanya, menahan rasa marah.

“Pak-lo-sian, kau melihat sendiri betapa pernyataanmu yang tanpa dipikir itu membangkitkan rasa marah pada kawan-kawan kami. pertentangan faham ini kiranya hanya akan beres menurut ketentuan senjata!” kata Kiam Ki Sianjin, kemudian disambungnya dengan senyum. “Kecuali kalau kalian suka mengubah pendirian.”

“Pendirian kami sudah tetap, membenarkan perjuangan rakyat. Adapun tentang penggunaan senjata di sini, kau yang mengundang kami dan kami datang bukan untuk berkelahi.”

“Kau takut?” Kiam Ki Sianjin mengejek.

“Siapa takut padamu, tua bangka? Biar ada sepuluh Kiam Ki Sianjin, aku tidak takut!” tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li membentak marah.

“Tidak ada soal takut atau tidak takut,” ‘kata Pak-lo-sian dengan suara seperti orang bernyanyi, “yang ada hanya dua kenyataan pahit. Pertama, kami diundang ke sini untuk berunding, bukan untuk berkelahi. Ke dua, kalau tuan rumah sudah begitu tidak tahu malu untuk mengajak berkelahi, itu pun hanya memperlihatkan betapa rendah akhlaknya. Kami hanya berkawan sepuluh orang, sedangkan fihakmu ada seratus orang!”

Kiam Ki Sianjin merah mukanya.
“Tak usah banyak mulut, Pak-lo-sian, memang kita sudah menjadi musuh lama. Pendeknya, kau berani atau tidak memutuskan pertentangan faham ini di ujung senjata?”

“Aku datang bukan untuk berkelahi, kalau sudah tidak ada omongan lain, aku akan pergi dengan kawan-kawanku!”






Pak-lo-sian biarpun tua dan aneh wataknya, namun dia amat cerdik. la melihat bahwa fihak lawan amat besar jumlahnya, penuh dengan orang-orang pandai pula, maka kalau sampai terjadi pertempuran, fihaknya menghadapi bahaya. Dia sendiri dan Kiu-bwe Coa-li agaknya akan dapat meloloskan diri, akan tetapi yang lain-lain bagaimana ?

“Ha, ha, ha, Pak-lo-sian, akan melarikan diri!” Kiam Ki Sianjin berteriak mengejek. “Pak-lo-sian, kalau kau lari, terpaksa kami akan mengejarmu dan mencegah kau turun gunung sebelum persoalan ini dibereskan!”

Kini marahlah Pak-lo-sian.
“Kiam Ki Sianjin, majulah kau, biar kita berdua yang memutuskan hal ini di ujung senjata!”

Keadaan menjadi amat tegang dan tiba-tiba terdengar suara Kwa Ok Sin yang cepat berdiri dan berseru,

“Cu-wi sekalian, harap tenang dulu. Amat memalukan kalau kita sebagai orang yang menjunjung kegagahan, bercekcok mulut seperti anak kecil yang hendak berkelahi! Apakah tidak ada jalan lain ke arah perdamaian antara kedua fihak? Bagaimanapun jalan pikiran dan faham masing-masing, harus diingat bahwa kita adalah segolongan, yakni orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan.”

Semua orang berdiam diri dan tiba-tiba dari bawah puncak terdengar seruan keras,
“Cocok…….. ! Memang pertempuran tak perlu dilanjutkan!” Dari bawah puncak “menggelundung” naik tubuh seorang hwesio yang gendut dan bundar, dan ternyata dia ini bukan lain adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!

Kwan Cu kembali menggigil tangannya melihat hwesio bundar ini. Sekarang musuh besar gurunya telah lengkap berada di tempat itu. Akan tetapi dia harus menekan semua perasaannya karena persoalan yang dihadapi adalah persoalan besar, persoalan yang dulu pun diributkan oleh kong-kongnya, oleh gurunya sehingga mereka berkorban nyawa.

Tadi dengan berbisik dia menanyakan semua orang-orang yang berada di situ kepada Yok-ong dan ketika dia tahu siapa adanya hwesio tinggi kurus berjubah hitam yang pernah dilihatnya di malam hari, yakni Coa-tok Lo-ong sute dari Hek-i Hui-mo dan melihat pula ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai berada di fihak Kiam Ki Sianjin, terbukalah mata Kwan Cu.

Tahulah dia kini akan rahasia peristiwa pembunuhan di kelenteng atas diri Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu dari Kim-san-pai. Sudah dapat dia menduga bahwa pembunuh kedua pendeta ini pasti Coa-tok Lo-ong yang membunuh dalam rahasia kemudian meninggalkan kesalahan itu ke pundak Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Dengan jalan ini, fihak Kiam Ki Sianjin tentu saja dapat menarik Bu-tong-pai dan Kim-san-pai untuk membantu mereka menghadapi Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian!

“Locianpwe, mengapa yang datang hanya mereka sepuluh orang itu? Dimana adanya tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin pejuang rakyat yang lain?” tanya Kwan Cu bisik-bisik kepada Yok-ong.

Raja tabib itu tersenyum,
“Kiam Ki Siajin memang cerdik. Selain merencanakan untuk membasmi musuh-musuh besar di sini juga dia hendak memancing keluar semua pemimpin sehingga dengan mudah dia akan mengetahui siapa-siapa adanya pemimpin pejuang rakyat. Akan tetapi aku mendahuluinya dan aku memperingatkan mereka yang menjadi pemimpin pejuang sehingga tak seorang pun diantara mereka mau memperlihatkan diri.”

Diam-diam Kwan Cu memuji kecerdikan Hang-houw-siauw Yok-ong, akan tetapi raja tabib itu mencegah dia membuka mulut lagi karena melihat munculnya Jeng-kin-jiu, keadaan menjadi lebih ramai.

Begitu tiba di puncak, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata keras,

“Cu-wi sekalian dari kedua fihak. Stop semua pertempuran yang tidak ada artinya! Untuk apa mengotorkan tangan, bertempur melawan golongan sendiri hanya karena pengaruh urusan pemerintahan yang kotor. Orang-orang macam kita ini apa perlunya mencampuri urusan kota raja? Lebih baik kembali ke masing-masing gunungnya, bertapa dan memperdalam ilmu. Pinceng sendiri karena terseret oleh pengaruh busuk di kota raja, sampai bentrok dan salah tangan menewaskan seorang bekas sahabat baik. Ahhh kalau diingat-ingat, sampai sekarang pinceng merasa menyesal setengah mati. Apakah Cu-wi hendak mengulangi kejadian seperti itu? Kaisar boleh turun dan naik, kerajaan musnah dan timbul, akan tetapi kesatuan kaum persilatan jangan sekali-kali sampai terseret dan menjadi berantakan dan pecah belah! Nah, pinceng sudah bicara, harap Cu-wi suka memikirkan dengan kepala dingin.”

“Jeng-kin-jiu, omongan busuk apa yang kau keluarkan itu?” tiba-tiba Hek-i Hui-mo melompat maju dan melototkan matanya kepada Jeng-kin-jiu. “Dahulu kita bersama melindungi kaisar, sekarang kau akan menjadi orang yang mengkhianati kawan sendiri? Apakah kau tidak lebih baik membantu kami agar dosamu tidak bertumpuk-tumpuk?”

“Agaknya dia takut melihat Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li!” mengejek Toat-beng Hui-houw sambil tertawa yang terdengar seperti ringkik kuda.

“Jeng-kin-jiu, sia-sia saja kau mencoba menginsyafkan mereka. Lebih baik jangan mencampuri urusan ini!” seru Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sudah naik darah melihat sikap fihak lawan.

Jeng-kin-jiu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya, lalu duduk di atas batu karang, kelihatannya berduka sekali. Kwa Ok Sin lalu berkata dengan keras,

“Kalau kedua fihak menghendaki kekerasan, siauwte sebagai ketua Bun-bu-pai hanya mengharap agar kedua fihak memperhatikan peraturan orang-orang gagah. Adu senjata ini harus dilakukan dengan cara yang adil seperiti dalam pibu.”

“Tentu saja,” kata Kiam Ki Sianjin. “Yang mati tidak boleh dibuat dendam, yang terluka tidak boleh menyalahkan lawan. Fihak yang kalah harus selanjutnya menurut dan taat kepada fihak yang menang!”

“Bagus Kiam Ki Sianjin. Biar ini hari kita mengadu kepandaian sampai seribu jurus!” bentak Kiu-bwe Coa-li sambil melompat maju dan mengayun-ayun cambuknya dengan lagak menantang.

“Nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li. Bukankah tadi diusulkan oleh Kwa-enghiong supaya kita menggunakan peraturan? Nah, aku akan memilih kawan-kawan di fihakku, siapa yang akan maju menghadapi fihakmu.”

Setelah berkata demikian, Kiam Ki Sianjin mempersilakan kawan-kawannya yang hendak turun tangan. Serentak majulah dari fihaknya tokoh-tokoh besar yang berkepandaian tinggi seperti Hek-i Hui-mo, Toat-beng Hui-houw, Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang, Kam Cun Hong, Bian Kim Ho-siang, Bin Kong Siansu, Coa-tok Lo-ong dan masih ada beberapa orang anak murid Bu-tong-pai, Kim-san-pai dan juga murid-murid dari para tokoh itu sendiri.

Adapun fihak Pak-lo-sian tentu saja hanya ada sepuluh orang itu yang kesemuanya siap membela nama baik mereka. Bahkan Sui Ceng lalu berkata kepada gurunya.

“Suthai, biarkan teecu yang maju lebih dulu. Kalau teecu tidak dapat menang, barulah Suthai maju.”

Kiu-bwe Coa-li tersenyum pahit.
“Sui Ceng, tahukah kau bahwa pertandingan kali ini adalah untuk mempertahankan nyawa? Lawan terlalu banyak. Menang lima kali saja belum ada artinya, dan kalau kalah harus menebus dengan nyawa.”

“Teecu tidak takut!” kata Sui Ceng gagah. Kiu-bwe Coa-li melirik ke arah Kun Beng dan pemuda ini pun berkata gagah,

“Teecu juga tidak takut dan akan mendampingi Ceng-moi.”

Mendengar ini, Swi Kiat menjadi merah mukanya, pemuda ini gemas sekali akan tetapi juga berduka mengingat akan adiknya, Kui Lan. Akan tetapi pada saat yang genting seperti itu, dia tidak mau memikirkan tentang urusan pribadi dan dia pun bersiap-sedia untuk menghadapi fihak lawan yang amat banyak jumlahnya itu.

Yok-ong memberi isyarat kepada Kwan Cu, lalu berkata,
“Ah, kalau akan diadakan perang, lebih baik aku pergi. Hayo cucuku, kita pergi dari sini” katanya ketakutan.

Kwan Cu tidak mengerti akan maksud Yok-ong, akan tetapi dia tidak berkata sesuatu dan mengikuti kakek itu turun dari puncak. Orang-orang merasa geli melihat mereka akan tetapi tidak ada yang ambil peduli.

Setelah tiba di belakang batu karang besar, Yok-ong berkata,
“Kwan Cu, mari kita periksa jalan keluar untuk mereka, agar nanti dapat dipergunakan dengan baik.” Raja tabib ini berlari cepat sekali, diikuti oleh Kwan Cu. Setiba mereka di lereng, Yok-ong menunjuk ke bawah, “Kau lihat, serdadu kaisar telah mengurung bukit ini.”






Tidak ada komentar :