*

*

Ads

Minggu, 17 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 156

Puncak Tai-hang-san merupakan dataran dari batu karang yang luas. Di sana-sini terdapat batu karang pendek dan lebar sehingga merupakan tempat duduk yang amat enak dan baik. Pohon-pohon menghias puncak, akan tetapi di bagian dataran itu, semua pohon telah dirobohkan dan dibuang oleh Kiam Ki Sianjin sehingga dataran itu merupakan tempat luas, yang kiranya cukup untuk menampung ratusan orang yang hendak mengadakan rapat raksasa.

Dari jauh sudah kelihatan bahwa orang-orang yang mendatangi puncak itu terbagi menjadi dua kelompok. Di bagian kiri terdapat kelompok mereka yang membantu kaisar. Di situ sudah berkumpul banyak sekali orang, sedikitnya ada seratus orang. Di antara para pemimpin yang duduk di bagian depan, di atas batu-batu karang, kelihatan Kiam Ki Sianjin, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio dari Tibet, Toat-beng Hui-houw kakek yang berkuku panjang dan berwajah seperti siluman itu. Kelihatan pula Coa-tok Lo-ong sute dari Hek-i Hui-mo, yakni hwesio yang tinggi kurus berjubah hitam, seorang tokoh besar yang tidak kalah lihainya oleh Hek-i Hui-mo, karena hwesio ini adalah ahli racun nomor satu di dunia!

Masih banyak lagi tokoh-tokoh besar, di antaranya Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang yang keduanya lebih terkenal sebagai Bu-eng Siang-hiap, Kam Cun Hong panglima dari Si Su Beng, Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai, Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai. Di samping tokoh-tokoh besar ini, terdapat banyak sekali murid-murid mereka yang bersikap gagah.

Di bagian kanan terdapat sekelompok orang yang jauh lebih kecil jumlahnya apabila dibandingkan dengan kelompok di sebelah kiri. Di bagian kanan inilah kelompok dari mereka yang menentang kaisar atau mereka yang membantu perjuangan rakyat melawan penjajah. Mereka ini hanya terdiri dari sepuluh orang saja!

Kwan Cu memandang penuh perhatian dan dia mengenal semua orang di golongan ini. Tiba-tiba dadanya berdebar dan panas penuh cemburu dan iri hati ketika dia melihat Bun Sui Ceng berdiri di sebelah The Kun Beng di dekat Kiu-bwe Coa-li. Tak jauh dari situ terlihat Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Gouw Swi Kiat. Di sebelah ujung berdiri pula Seng Thian Siansu ketua Kun-lun-pai yang sudah amat tua usianya, disertai empat orang tosu, yakni murid-muridnya atau tokoh-tokoh dari Kun-lun-pai.

Kwan Cu mencari-cari dengan matanya. Ia heran tidak melihat adanya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Dengan sikap tenang pemuda ini mengikuti Yok-ong naik ke puncak dan berdiri di sebelah timur, tidak jauh dari kedua kelompok itu. Yok-ong sengaja tidak mau mendekati sefihak karena dia mempunyai siasat lain.

Semua orang yang melihat naiknya seorang kakek bermuka hitam seperti pantat kuali dan seorang pemuda dengan muka merah tidak karuan seperti udang direbus, menjadi terheran-heran. Tak seorang pun di antara mereka mengenal dua orang ini, bahkan Sui Ceng yang berwatak jenaka itu tersenyum geli melihat dua orang ini. Ia berbisik kepada Kun Beng dan menudingkan telunjuknya ke arah Kwan Cu dan Yok-ong, dan Kwan Cu dengan hati panas melihat Kun Beng tersenyum geli pula.

Akan tetapi diam-diam dia merasa kagum juga melihat fihak yang anti penjajahan ini, karena sesungguhnya fihak mereka hanya ada sepuluh orang sedangkan fihak lawan ada seratus orang, kesemuanya kelihatan tenang-tenang dan gembira saja, sedikit pun tidak kelihatan gentar. Yang lucu sekali adalah Siangkoan Hai karena kakek ini mengeluarkan kotak berisi biji catur, lalu menggurat-gurat tanah dan mengajak Seng Thian Siansu bermain catur!

Seng Thian Siansu sebagai ketua Kun-lun-pai, sudah kenal baik dengan Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai, maka dia mengangguk ke arah dua orang tua itu dan berkata dengan suara nyaring.

“Bian Kim dan Bin Kong Ji-wi Beng-cu, sambil menanti upacara dibuka marilah temani pinto main catur dengan Pak-lo-sian. Bukankah lebih menggembirakan daripada menunggu-nunggu?”

Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu buru-buru membalas penghormatan itu dengan menjura kepada ketua Kun-lun-pai yang sudah lebih tua daripada mereka dan yang biasa mereka hormati itu.

“Seng Thian Lo-siansu, pinceng menghaturkan terima kasih atas ajakan Siansu. Akan tetapi pinceng takut berdekatan dengan pembunuh-pembunuh keji yang tidak tahu aturan, yang hanya memiliki nama besar sebagai tokoh utara, akan tetapi ternyata seorang yang biadab dan curang!”

Makian ini terang-terangan ditujukan kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai, karena tokoh besar utara adalah Pak-lo-sian. Akan tetapi yang dimaki hanya tertawa bergelak dan berkata kepada Seng Thian Siansu,

“Siansu, mengapa mengajak fihak yang terang-terangan menjadi penjilat kaisar? Sudahlah, mari kita bermain catur, jangan memancing datang anjing kelaparan sehingga kegembiraan kita akan lenyap.”






Keadaan menjadi tegang, akan tetapi kedua fihak tidak melanjutkan saling maki ini karena pada saat itu, dari bawah gunung melayang bayangan orang-orang yang gerakannya cepat sekali.

Mereka ini ternyata adalah Kwa Ok Sin, ketua Bun-bu-pai dan orang ke dua adalah nenek yang aneh dan menyeramkan, yakni Liok-te Mo-li, ibu dari Kong Hoat yang pernah bertemu dengan Kwan Cu.

“Ha, saudara Kwa yang baik, marilah kita bermain catur!” kata Pak-lo-sian girang melihat ketua Bun-bu-pai ini, seorang yang biarpun kepandaiannya tidak berapa tinggi, akan tetapi disegani oleh semua orang kang-ouw karena dia menjadi ketua dari perserikatan orang-orang gagah dan sastrawan, yang terkenal adil dan bijaksana.

“Kwa-enghiong, terima kasih bahwa kau sudi memenuhi undanganku,” kata Kiam Ki Sianjin sebelum Kwa Ok Sin menjawab ajakan Pak-lo-sian. “Silakan duduk di sini.”

Kwan Ok Sin bingung. la lalu menggeleng-geleng kepala dan berkata,
“Tak kusangka bahwa Cu-wi sekalian telah membentuk dua kelompok sehingga membuat siauwte menjadi serba salah. Biarlah siauwte berdiri di tempat yang tidak berfihak.”

Tiba-tiba dia melihat kakek muka hitam dan pemuda muka merah yang duduk nongkrong di atas batu, di tengah-tengah antara dua kelompok itu, agaknya seperti orang-orang dusun yang aneh sekali dan yang sikapnya seperti penonton.

“Ji-wi siapakah dan mengapa di sini?” tanya Kwa Ok Sin dengan heran.

Di antara seluruh tokoh kang-ouw, agaknya Kwa Ok Sin boleh dibilang orang yang paling dikenal dan mengenal orang. Hampir seluruh tokoh kang-ouw sudah dikenal oleh Kwa Ok Sin, baik tokoh persilatan maupun tokoh kesusastraan, maka melihat kakek muka hitam dan pemuda muka merah itu, heranlah hati Kwa Ok Sin. Selamanya belum pernah dia bertemu muka dengan dua orang ini, jangankan bertemu muka, mendengar pun belum pernah adanya orang-orang yang begini aneh mukanya.

Yok-ong tersenyum dan menjawab dengan suara kaku sekali, suara kasar dari orang dusun yang bodoh.

“Aku dan cucuku ini she Koai (Aneh), petani-petani di Gunung Tai-hang-san ini. Sekarang di atas gunung orang mengadakan keramaian, tentu saja kami datang untuk menonton.” Setelah berkata demikian Yok-ong tertawa ha-ha-he-he-he dengan lagak amat lucu.

Kwa Ok Sin adalah seorang yang berpemandangan luas dan bermata tajam. Ia dapat menduga bahwa si muka hitam ini tentulah seorang kakek yang luar biasa, maka dia tidak berani berlaku lancang, lalu menoleh kepada Kwan Cu. Akan tetapi pemuda ini sudah siap sedia, begitu orang menoleh kepadanya, dia lalu meringis dan menyeringai lalu tertawa pula ha-ha-he-he-he seperti sikap Yok-ong.

“Cu-wi sekalian!” kata Kwa Ok Sin kepada orang-orang kedua fihak. “Kebetulan sekali di sini terdapat tempat untuk penonton, maka ijinkan siauwte, berdiam di sini saja sebagai penonton.”

Ia lalu duduk di atas batu hitam, dan mengajak Liok-te Mo-li duduk pula. Nenek ini melirik ke arah Yok-ong dan Kwan Cu, akan tetapi tidak berkata sesuatu, hanya menghampiri sebuah batu besar yang berada di ujung lapangan, agak jauh dari tempat itu. Dengan tumit kakinya, ia mencongkel batu itu yang tiba-tiba saja melayang ke atas dan cepat nenek ini mengulur tangannya, menepuk batu itu sehingga mencelat keatas lagi, demikian sambil berjalan kembali. Liok-te Mo-li mempermainkan batu besar itu sampai ia tiba di dekat Kwa Ok Sin lalu menurunkan batu itu untuk dipakai tempat duduk.

Semua orang, baik di fihak Kiam Ki sianjin maupun di fihak Pak-Jo-sian si-angkoan Hai, melihat betapa nenek buruk rupa ini mempermainkan batu besar yang beratnya sedikitnya ada tiga ratus kati itu dengan demikian mudahnya, diam-diam memuji.

Nenek ini selamanya menyembunyikan diri sehingga jarang ada yang mengenalnya, kecuali beberapa orang tokoh besar yang berada di situ. Karenanya semua orang menduga-duga siapakah gerangan nenek yang datang bersama ketua Bun-bu-pai itu.

Kiam Ki sianjin setelah melihat bahwa para undangan telah mulai berkumpul dan terutama sekali orang-orang terpenting sudah hadir, segera berdiri dan mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada seluruh yang hadir.

“Cu-wi sekalian, selamat datang di puncak dan banyak terima kasih atas perhatian Cu-wi sekalian yang sudi memenuhi undangan pinto.”

Orang-orang yang berada di situ segera mencurahkan perhatiannya kepada Kiam Ki Sianjin, kecuali Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Seng Thian Siansu yang masih asyik bermain catur.

Kiam Ki Sianjin lalu melanjutkan kata-katanya,
“Tanpa diatur terlebih dahulu, Cu-wi sekalian yang datang di sini ternyata telah memilih fihak masing-masing, dan sudah tentu saja yang berada di fihak kami adalah mereka yang membenci perang dan yang menghendaki keamanan dan perdamaian. Oleh karena itu, hendaknya fihak pembantu pemberontak yang pada saat ini menjadi tamu, suka mengajukan seorang ketua agar dapat berunding dengan kami.”

Kiam Ki Sianjin menujukan kata-katanya ini kepada fihak Kiu-bwe Coa-li dan kawan-kawannya.

Kiu-bwe Coa-li hanya mengangkat cambuknya dan menggerakkannya di atas kepala.
“Tar!! Tar!! Tar!!!” Sebagai imbalan dari kata-kata yang dikeluarkan oleh Kiam Ki Sianjin. Akan tetapi dia tidak menjawab sesuatu, bahkan membuang muka tidak mau memandang kepada Kiam Ki Sianjin.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Seng Thian Siansu tertawa-tawa lalu berdiri.
“Pak-lo-sian, kau yang menang, lakukanlah tugasmu sebaiknya,” kata Seng Thian Siansu yang sudah amat tua itu sambil tersenyum.

Pak-lo-sian menghadapi Kiam Ki Sianjin. Jarak antara mereka jauh, ada dua puluh tombak. Sambil tertawa Pak-lo-sian berkata,

“Kiam Ki Sianjin, fihak kami tidak pandai bicara seperti kau! Kiu-bwe Coa-li hanya bicara melalui cambuknya, dan terpaksa aku dan Seng Thian Siansu tadi bertanding catur untuk menentukan siapa yang harus mewakili fihak kami. Memang benar kami membantu perjuangan rakyat dan bangsa kami, sekarang kami sudah datang di sini, ada omongan apa lekas keluarkan, kami mendengar!”

Setelah berbicara demikian, Pak-lo-sian tertawa-tawa dan duduk lagi, sikapnya seperti seorang anak kecil yang lucu.

“Tidak setuju!” tiba-tiba Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai berteriak. “Pinto tidak setuju kalau Pak-lo-sian atau Kiu-bwe Coa-li menjadi wakil fihak pembantu pejuang. Dua orang itu adalah manusia-manusia curang dan pengecut, tidak pantas menjadi wakil, tidak boleh dipercaya omongannya!”

“Betul, aku pun sependapat dengan Bin Kong Toheng!” kata Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai.

Merah wajah Kiu-bwe Coa-li, matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api.
“Kalau monyet-monyet tua dari Bu-tong-pai, datang-datang mengeluarkan hawa busuk dari mulut. Majulah kalau kalian berani!” bentak nenek ini dengan marah sekali.

“Siapa takut padamu, siluman wanita yang keji?” teriak Bin Kong Siansu, akan tetapi Kiam Ki Sianjin cepat memegang lengannya dan berkata,

“Harap saja Siansu tidak merusak suasana dan dapat menyabarkan hati. Urusan pribadi dapat diurus kemudian, sekarang urusan negara yang harus di dahulukan.”

Di lain fihak, Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga menyabarkan hati Kiu-bwe Coa-li dengan kata-kata,

“Setan perempuan, apa sih sukarnya menghancurkan kepala dua orang kura-kura tua itu nanti kalau urusan besar ini sudah beres? Sabarlah, nanti kita bagi seorang satu!”

Suasana yang sudah menegang menjadi tenang kembali. Kiam Ki Sianjin lalu berkata kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai,

“Pak-lo-sian, bagus kalau kau menjadi wakil fihakmu. Nah, dengarlah baik-baik. Fihak kami tidak menghendaki pertempuran yang terus-menerus antara kita sendiri. Kaisar yang bijaksana sudah memberi kekuasaan kepadaku untuk memaafkan mereka yang pernah memberontak, asal saja mulai sekarang pemberontakan itu dihentikan. Bagi kami yang menyadari keadaan dan yang mentaati kehendak Thian, amat tidak enak kalau harus membunuhi bangsa sendiri, biarpun mereka itu pemberontak-pemberontak keji. Oleh karena itu, sengaja kami mengundang kalian datang untuk berdamai dan menghabisi pemberontakan-pemberontakan yang hanya melemahkan keadaan negara dan bangsa saja.”






Tidak ada komentar :