“Teecu hanya meniru-niru saja, Locianpwe. Teecu hanya mempergunakan mata dan ingatan.”
“Sampai berapa jurus dia menyerangmu?”
“Sampai seratus jurus, Locianpwe.”
“Dan kau hafal semua?” Yok-ong terbelalak ketika Kwan Cu mengangguk sambil berkata,
“Maaf, Locianpwe. Teecu bukan hafal, hanya meniru-niru dan tentunya tidak karuan gerakan teecu. Tadi teecu berani memperlihatkan karena Locianpwe minta supaya teecu jangan mainkan Hun-khai Kiam-hoat. Apalagi yang harus teecu mainkan? Baiknya teecu teringat akan ilmu silat yang teecu tiru-tiru dari Hok Peng Loheng……… ”
“Cukup kalau tidak melihat sendiri, aku takkan percaya! Kau bertempur, melihat dan hafal! Bukan main. Otakmu bukan otak manusia kiranya. Kau menjalankan tugas yang maha berat, biarpun aku percaya bahwa kau memiliki kecerdikan yang tidak dimiliki manusia biasa namun aku akan berdosa kepada gurumu kalau tidak memberi sedikit petunjuk, sungguhpun mungkin tidak ada artinya bagimu. Nah, kau lihat baik-baik bagaimana aku mainkan sulingku.”
Ia bergerak maju dan di lain detik suling di tangan Kwan Cu sudah dirampasnya. Kalau pemuda ini menghendaki tentu saja dia dapat menggagalkan perampasan suling ini, akan tetapi dia tidak mau menghina kakek ini dan sengaja berlaku lambat sehingga suling yang dipegangnya dapat dirampas.
Yok-ong lalu mainkan ilmu silat yang terdiri dari tiga puluh enam jurus. Ia mainkan itu perlahan sekali, sulingnya hanya diubah-ubah kedudukannya, seperti orang menari, bahkan suling itu setiap jurus dipindahkan dari tangan kanan ke kiri dan sebaliknya.
Akan tetapi, setelah mainkan habis tiga puluh enam jurus, kakek ini melempar suling ke arah Kwan Cu. Pemuda ini menyambuti dan kagetlah dia karena suling itu seakan-akan terisi api bukan main panasnya!
Ia melihat kakek itu berdiri sambil mengatur napasnya, seakan-akan ilmu silat yang dimainkannya tadi amatlah sukar dan menghabiskan tenaganya.
“Itulah ilmu silatku yang selalu kusimpan baik-baik, bahkan Hok Peng sendiri tidak kuat mempelajarinya semua, baru tiga puluh jurus dia pelajari, akan tetapi itu pun takkan dia keluarkan karena aku memesan agar ilmu silat itu jangan sembarangan digunakan. Memang kuciptakan ilmu silat ini bukan untuk bertempur, melainkan untuk berlatih dan untuk landasan menciptakan ilmu-ilmu silat lain kuberi nama Hu-hiat I-kin-keng. Akan tetapi kalau terpaksa, dapat dipergunakan dan aku yakin dengan ilmu silat ini kau akan dapat memecahkan semua ilmu silat dari lawan-lawanmu yang amat tangguh itu. Sudah bisakah kau mainkan tiga puluh enam jurus tadi?”
“Akan teecu coba-coba, mohon Locianpwe memberi petunjuk.”
Kwan Cu sudah mempunyai pengertian yang mendarah daging tentang pokok dasar gerakan ilmu silat. Setiap kali melihat jurus silat dia menangkap inti sarinya, bukan gerakan-gerakan kembangannya, maka tentu saja lebih mudah karena inti sari daripada sejurus gerakan silat hanya sederhana belaka. Yang berbelit belit dan membingungkan orang adalah kembangannya.
Ia mulai bersilat dengan sulingnya dan karena dia memang sudah hafal akan inti sari tiga puluh enam jurus Ilmu Silat Hui-hiat I-kin-keng, dia dapat mainkan itu dengan kaku akan tetapi inti sarinya tepat sekali.
Yok-ong berdiri melongo sehingga mulutnya terbuka untuk beberapa lama. Kedua matanya tak pernah berkedip semenjak Kwan Cu bersilat dari jurus pertama sampai jurus terakhir.
“Apakah aku mengimpi?” Akhirnya dia menarik napas, melangkah maju dan memeluk Kwan Cu, “Anak baik, kau bukan manusia kaulah dewa kalau memang di dunia ini ada dewa! Orang biasa saja kiranya akan menghabiskan waktu sedikitnya lima tahun untuk dapat menguasai inti dari Hui-hiat I-kin-keng akan tetapi kau sekali melihat saja sudah mememilikinya! Hebat, hebat……!”
Kwan Cu merasa dadanya sesak dan panas juga suling yang dipakai bermain tadi amat panas, berkat daya dari Hun-hiat I-kin-keng. Karena di dalam tubuhnya telah mengalir hawa sinkang yang luar biasa dari latihannya menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebetulnya permainan silat yang membuat darahnya panas tadi dapat dia padamkan dengan hawa sinkang dalam tubuhnya. Akan tetapi oleh karena dia tidak mau berpamer di depan Yok-ong, dia pun lalu meramkan mata dan mengatur napas. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan Yok-ong.
“Terima kasih banyak atas petunjuk dari Locianpwe yang budiman.”
“Kau pakailah ini pada mukamu, Kwan Cu. Kita menghadapi urusan besar sekali dan bukan hal yang dibuat main-main. Kau ulas mukamu agar berubah warnanya.”
Kwan Cu menerima bungkusan yang ketika dibuka berisi pupur warna merah. Yok-ong mengeluarkan guci arak dan mencampur bubukan itu dengan arak, kemudian dia membantu Kwan Cu memupuri muka pemuda itu dengan “bedak” istimewa ini, Kwan Cu merasa mukanya kaku sekali, akan tetapi sebentar saja pupur itu menjadi kering dan ketika Kwan Cu meraba-raba mukanya, muka itu sudah menjadi kaku dan tebal kulitnya, akan tetapi dia tidak merasa apa-apa yang tidak enak. Kalau saja dia dapat melihat mukanya sendiri, tentu dia akan melonjak saking kagetnya karena mukanya sekarang telah menjadi lain sekali.
Di sekitar mata dan bibir membengkak dan kulit mukanya berubah merah sekali seperti udang direbus!
“Kelak kalau urusan sudah beres, dengan pekciu (arak putih) dan madu, digosok-gosokkan pada mukamu kedok itu akan lenyap mencair ,” kata Yok-ong.
“Locianpwe, mengapakah kita harus menyamar? Apakah keadaannya benar-benar amat berbahaya?”
“Kau tidak tahu, Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin sengaja mengumpulkan tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw untuk mengadakan musyawarah tentang perselisihan faham antara tokoh-tokoh kang-ouw. Sebagian besar dapat dia beli dan bujuk sehingga membantu fihaknya karena kena dia tipu. Akan tetapi ada sebagian yang tetap anti penjajah dan membantu perjuangan rakyat. Pada lahirnya saja Kiam Ki Sianjin mengajak bermusyawarah, akan tetapi pada hakekatnya dia mengandung maksud buruk dan keji sekali. Ia hendak menumpas semua tokoh yang membantu perjuangan rakyat, dan dengan diam-diam dia telah mengurung gunung ini kalau semua tokoh sudah berkumpul di puncak. Sedikitnya sepuluh laksa tentara akan mengurung bukit ini dan menumpas semua orang yang tjdak mau tunduk.”
“Keparat curang!” kata Kwan Cu marah.
“Akan tetapi, baiknya aku telah mengetahui akan hal ini dan aku sudah mencari jalan keluar yang amat baik seandainya Kiam Ki Sianjin benar-benar melaksanakan kehendaknya yang keji. Mari kita naik ke puncak!”
Maka berangkatlah dua orang ini kepuncak. Di tengah jalan Yok-ong berkata,
“Aku sengaja melarang Hok Peng ikut, karena tiada gunanya kalau dia mencampuri urusan besar ini. Andaikata aku gagal dan gugur, masih ada dia yang akan melanjutkan usahaku. Kalau dia ikut dan kami berdua tewas, bukankah akan sia-sia usahaku mengajarnya selama ini? Kwan Cu, kalau ada orang menanyakan namamu, pakailah nama Siauw Bu Beng (Si Kecil Tanpa Nama) dan aku bernama Lo Bu Beng (Si Tua Tanpa Nama).”
Kwan Cu mengangguk dan diam-diam merasa besar hati mendapat kawan seperti kakek sakti ini, sungguhpun untuk maju seorang diri pun dia tidak merasa gentar. Hanya dengan adanya kakek ini, dia mempunyai kawan yang jauh lebih luas pengalamannya dan lebih matang pertimbangannya.
“Sampai berapa jurus dia menyerangmu?”
“Sampai seratus jurus, Locianpwe.”
“Dan kau hafal semua?” Yok-ong terbelalak ketika Kwan Cu mengangguk sambil berkata,
“Maaf, Locianpwe. Teecu bukan hafal, hanya meniru-niru dan tentunya tidak karuan gerakan teecu. Tadi teecu berani memperlihatkan karena Locianpwe minta supaya teecu jangan mainkan Hun-khai Kiam-hoat. Apalagi yang harus teecu mainkan? Baiknya teecu teringat akan ilmu silat yang teecu tiru-tiru dari Hok Peng Loheng……… ”
“Cukup kalau tidak melihat sendiri, aku takkan percaya! Kau bertempur, melihat dan hafal! Bukan main. Otakmu bukan otak manusia kiranya. Kau menjalankan tugas yang maha berat, biarpun aku percaya bahwa kau memiliki kecerdikan yang tidak dimiliki manusia biasa namun aku akan berdosa kepada gurumu kalau tidak memberi sedikit petunjuk, sungguhpun mungkin tidak ada artinya bagimu. Nah, kau lihat baik-baik bagaimana aku mainkan sulingku.”
Ia bergerak maju dan di lain detik suling di tangan Kwan Cu sudah dirampasnya. Kalau pemuda ini menghendaki tentu saja dia dapat menggagalkan perampasan suling ini, akan tetapi dia tidak mau menghina kakek ini dan sengaja berlaku lambat sehingga suling yang dipegangnya dapat dirampas.
Yok-ong lalu mainkan ilmu silat yang terdiri dari tiga puluh enam jurus. Ia mainkan itu perlahan sekali, sulingnya hanya diubah-ubah kedudukannya, seperti orang menari, bahkan suling itu setiap jurus dipindahkan dari tangan kanan ke kiri dan sebaliknya.
Akan tetapi, setelah mainkan habis tiga puluh enam jurus, kakek ini melempar suling ke arah Kwan Cu. Pemuda ini menyambuti dan kagetlah dia karena suling itu seakan-akan terisi api bukan main panasnya!
Ia melihat kakek itu berdiri sambil mengatur napasnya, seakan-akan ilmu silat yang dimainkannya tadi amatlah sukar dan menghabiskan tenaganya.
“Itulah ilmu silatku yang selalu kusimpan baik-baik, bahkan Hok Peng sendiri tidak kuat mempelajarinya semua, baru tiga puluh jurus dia pelajari, akan tetapi itu pun takkan dia keluarkan karena aku memesan agar ilmu silat itu jangan sembarangan digunakan. Memang kuciptakan ilmu silat ini bukan untuk bertempur, melainkan untuk berlatih dan untuk landasan menciptakan ilmu-ilmu silat lain kuberi nama Hu-hiat I-kin-keng. Akan tetapi kalau terpaksa, dapat dipergunakan dan aku yakin dengan ilmu silat ini kau akan dapat memecahkan semua ilmu silat dari lawan-lawanmu yang amat tangguh itu. Sudah bisakah kau mainkan tiga puluh enam jurus tadi?”
“Akan teecu coba-coba, mohon Locianpwe memberi petunjuk.”
Kwan Cu sudah mempunyai pengertian yang mendarah daging tentang pokok dasar gerakan ilmu silat. Setiap kali melihat jurus silat dia menangkap inti sarinya, bukan gerakan-gerakan kembangannya, maka tentu saja lebih mudah karena inti sari daripada sejurus gerakan silat hanya sederhana belaka. Yang berbelit belit dan membingungkan orang adalah kembangannya.
Ia mulai bersilat dengan sulingnya dan karena dia memang sudah hafal akan inti sari tiga puluh enam jurus Ilmu Silat Hui-hiat I-kin-keng, dia dapat mainkan itu dengan kaku akan tetapi inti sarinya tepat sekali.
Yok-ong berdiri melongo sehingga mulutnya terbuka untuk beberapa lama. Kedua matanya tak pernah berkedip semenjak Kwan Cu bersilat dari jurus pertama sampai jurus terakhir.
“Apakah aku mengimpi?” Akhirnya dia menarik napas, melangkah maju dan memeluk Kwan Cu, “Anak baik, kau bukan manusia kaulah dewa kalau memang di dunia ini ada dewa! Orang biasa saja kiranya akan menghabiskan waktu sedikitnya lima tahun untuk dapat menguasai inti dari Hui-hiat I-kin-keng akan tetapi kau sekali melihat saja sudah mememilikinya! Hebat, hebat……!”
Kwan Cu merasa dadanya sesak dan panas juga suling yang dipakai bermain tadi amat panas, berkat daya dari Hun-hiat I-kin-keng. Karena di dalam tubuhnya telah mengalir hawa sinkang yang luar biasa dari latihannya menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebetulnya permainan silat yang membuat darahnya panas tadi dapat dia padamkan dengan hawa sinkang dalam tubuhnya. Akan tetapi oleh karena dia tidak mau berpamer di depan Yok-ong, dia pun lalu meramkan mata dan mengatur napas. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan Yok-ong.
“Terima kasih banyak atas petunjuk dari Locianpwe yang budiman.”
“Kau pakailah ini pada mukamu, Kwan Cu. Kita menghadapi urusan besar sekali dan bukan hal yang dibuat main-main. Kau ulas mukamu agar berubah warnanya.”
Kwan Cu menerima bungkusan yang ketika dibuka berisi pupur warna merah. Yok-ong mengeluarkan guci arak dan mencampur bubukan itu dengan arak, kemudian dia membantu Kwan Cu memupuri muka pemuda itu dengan “bedak” istimewa ini, Kwan Cu merasa mukanya kaku sekali, akan tetapi sebentar saja pupur itu menjadi kering dan ketika Kwan Cu meraba-raba mukanya, muka itu sudah menjadi kaku dan tebal kulitnya, akan tetapi dia tidak merasa apa-apa yang tidak enak. Kalau saja dia dapat melihat mukanya sendiri, tentu dia akan melonjak saking kagetnya karena mukanya sekarang telah menjadi lain sekali.
Di sekitar mata dan bibir membengkak dan kulit mukanya berubah merah sekali seperti udang direbus!
“Kelak kalau urusan sudah beres, dengan pekciu (arak putih) dan madu, digosok-gosokkan pada mukamu kedok itu akan lenyap mencair ,” kata Yok-ong.
“Locianpwe, mengapakah kita harus menyamar? Apakah keadaannya benar-benar amat berbahaya?”
“Kau tidak tahu, Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin sengaja mengumpulkan tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw untuk mengadakan musyawarah tentang perselisihan faham antara tokoh-tokoh kang-ouw. Sebagian besar dapat dia beli dan bujuk sehingga membantu fihaknya karena kena dia tipu. Akan tetapi ada sebagian yang tetap anti penjajah dan membantu perjuangan rakyat. Pada lahirnya saja Kiam Ki Sianjin mengajak bermusyawarah, akan tetapi pada hakekatnya dia mengandung maksud buruk dan keji sekali. Ia hendak menumpas semua tokoh yang membantu perjuangan rakyat, dan dengan diam-diam dia telah mengurung gunung ini kalau semua tokoh sudah berkumpul di puncak. Sedikitnya sepuluh laksa tentara akan mengurung bukit ini dan menumpas semua orang yang tjdak mau tunduk.”
“Keparat curang!” kata Kwan Cu marah.
“Akan tetapi, baiknya aku telah mengetahui akan hal ini dan aku sudah mencari jalan keluar yang amat baik seandainya Kiam Ki Sianjin benar-benar melaksanakan kehendaknya yang keji. Mari kita naik ke puncak!”
Maka berangkatlah dua orang ini kepuncak. Di tengah jalan Yok-ong berkata,
“Aku sengaja melarang Hok Peng ikut, karena tiada gunanya kalau dia mencampuri urusan besar ini. Andaikata aku gagal dan gugur, masih ada dia yang akan melanjutkan usahaku. Kalau dia ikut dan kami berdua tewas, bukankah akan sia-sia usahaku mengajarnya selama ini? Kwan Cu, kalau ada orang menanyakan namamu, pakailah nama Siauw Bu Beng (Si Kecil Tanpa Nama) dan aku bernama Lo Bu Beng (Si Tua Tanpa Nama).”
Kwan Cu mengangguk dan diam-diam merasa besar hati mendapat kawan seperti kakek sakti ini, sungguhpun untuk maju seorang diri pun dia tidak merasa gentar. Hanya dengan adanya kakek ini, dia mempunyai kawan yang jauh lebih luas pengalamannya dan lebih matang pertimbangannya.
**** 155 ****
Tidak ada komentar :
Posting Komentar