*

*

Ads

Jumat, 15 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 154

“Bodoh benar, mengapa aku begini pelupa?” pikirnya dan serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang masih duduk bersandar pada batang pohon itu sambil berkata dengan girang,

“Locianpwe, mohon ampun sebesarnya atas kekurangajaran teecu yang semenjak tadi tidak mengenal Yok-ong Locianpwe. Bukan sekali-kali mendiang suhu Ang-bin Sin-kai yang salah, melainkan teecu sendiri yang kurang ajar dan bodoh.”

Tiba-tiba tubuh orang itu melompat tinggi melampaui atas kepala Kwan Cu. Pemuda ini merasa sambaran angin ke arah lehernya, akan tetapi dia diam saja karena dia percaya penuh bahwa kakek raja tabib ini adalah seorang locianpwe yang berbudi mulia, tak mungkin mau mencelakakan dirinya.

Bahkan dia sama sekali tidak mengerahkan lweekang untuk menjaga diri, karena takut kalau-kalau perbuatan ini akan dianggap sebagai pameran. Kwan Cu merasa leher bajunya disambar orang dan di lain saat tubuhnya sudah ditarik dan dibawa pergi cepat sekali.

Ternyata bahwa kakek ini membawanya bersembunyi di balik semak-semak belukar, mendekam disitu tanpa mengeluarkan kata-kata. Sebelum Kwan Cu sempat bertanya, dia mendengar tindakan kaki orang dari jauh. Tindakan kaki ini berat sekali sehingga pohon-pohon serasa tergetar.

Dengan telinganya yang tajam dia dapat mengetahui bahwa yang datang adalah empat orang, agaknya sengaja menjatuhkan kaki dengan pengerahan tenaga luar biasa, sedangkan yang tiga lagi sukar untuk ditangkap suara derap kakinya, demikian ringan tubuh mereka melayang di atas tanah.

Sebentar saja, meluncurlah empat orang di jalan itu. Tiba-tiba tubuh Kwan Cu menggigil dan seluruh tubuhnya terasa panas ketika dia melihat siapa adanya mereka ini. Orang pertama yang sengaja menjatuhkan kaki dengan kerasnya bukan lain adalah Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, musuh besar yang telah mengeroyok dan membunuh suhunya! Inilah yang membikin Kwan Cu naik darahnya dan membikin tubuhnya menjadi panas sekali.

Orang ke dua adalah seorang kakek tua yang juga berjubah hitam seluruhnya seperti Hek-i Hui-mo, juga kepalanya gundul dan tubuhnya tinggi kecil. Kembali dada Kwan Cu tergetar karena dia mengenal hwesio yang dijumpainya pada malam hari di dekat kelenteng di mana Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu terbunuh.

Tak terasa lagi Kwan Cu meraba sakunya dan ingat bahwa dia masih menyimpan sepotong robekan kain dari jubah hitam hwesio ini. Adapun orang ke tiga dan ke empat adalah seorang tosu yang sudah amat tua, akan tetapi Kwan Cu tidak mengenal mereka.

Hanya sekejap saja dia dapat melihat mereka karena bagaikan bayang-bayang yang cepat gerakannya mereka telah lenyap lagi, naik ke atas gunung. Kakek bermuka hitam itu berdiri dan menghela napas panjang.

“Heran sekali, Bian Kim Hosiang dari Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai juga datang, akan tetapi bersama-sama dengan Hek-i Hui-mo! Benar-benar lihai setan berbaju hitam itu, bisa menarik hati dua orang ketua partai ini. Hmmm, bahkan Coa-tok Lo-ong juga datang, bakal ramai sekali ini…..”

Kakek ini berjalan perlahan keluar dari tempat persembunyian tanpa mempedulikan Kwan Cu.

Pemuda ini lalu bangkit berdiri dan mengikutinya. Tiba-tiba kakek itu berpaling padanya dan berkata,

“Kwan Cu, bagaimana kau bisa mengenalku?”

“Sesungguhnya teecu takkan mungkin dapat mengenal Locianpwe kalau saja Locianpwe tidak menolong teecu dengan suara asli itu.”

Kwan Cu mengaku terus terang. Hang-hauw-siauw Yok-ong tertawa dan memandang ke atas.

“Memang itulah baiknya orang menyamar. Kita bisa mengenal orang lain tanpa dikenal. Bukankah itu menyenangkan sekali ? Eh, Kwan Cu, bagaimana dengan kepandaianmu?”

“Teecu hanya bisa mainkan satu dua jurus pukulan, tiada harganya untuk diketahui oleh Locianpwe. Teecu hanya mohon petunjuk dan pimpinan.”






“Ha, ha, ha, kau sejak dulu memang pandai merendah. Sikap yang amat baik sekali, anakku. Kau tadi menjadi panas melihat mereka lewat, ada apakah? Apa maksudmu berkeliaran di tempat ini?”

“Locianpwe, terus terang saja teecu hendak ke Tai-hang-san untuk menuntut balas atas kematian suhu. Teecu hendak membalas dendam kepada mereka yang mengeroyok suhu secara pengecut, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan Toat-beng Hui-houw!”

Yok-ong tersenyum lebar, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Memang itu sudah menjadi hakmu dan kewajibanmu. Akan tetapi, apakah kepandaianmu sudah begitu tinggi sehingga kau seorang diri berani menghadapi mereka bertiga?”

“Teecu datang bukan bermodalkan kepandaian, akan tetapi bermodal semangat, kebenaran dan kebaktian terhadap suhu.”

“Agaknya kau sudah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, bukan? Kulihat sinkang (tenaga sakti) dalam tubuhmu sudah tinggi sehingga dalam sekejap kau tadi dapat menindas hawa kemarahanmu ketika kau melihat Hek-i Hui-mo. Bagus, memang kau patut menerima ilmu yang tinggi, bakatmu besar sekali. Akan tetapi harus kau ketahui bahwa tiga orang yang kau sebutkan tadi bukanlah lawan yang boleh dibuat main-main.”

“Teecu mengerti, Locianpwe, akan tetapi dalam memenuhi tugas ini, teecu menyediakan selembar nyawa untuk taruhan. Tak lain mohon petunjuk dari Locianpwe, mengingat akan baiknya hubungan antara Locianpwe dengan mendiang suhu.”

Hang-houw-siauw Yok-ong tertawa bergelak.
“Kau memang cerdik dan pandai membawa diri. Sudah kuketahui hal ini sejak kau masih kecil. Coba keluarkan sulingmu!”

Kwan Cu kagum. Kakek ini tanpa melihat sudah tahu bahwa suling pemberiannya dulu masih dia bawa. Dengan cepat dia mencabut keluar suling hijau itu. Mata Yok-ong bersinar girang.

“Coba kau serang aku sampai sepuluh jurus. Hendak kulihat apakah kau takkan membuang nyawa sia-sia dengan niatmu membalas dendam ini.”

Kwan Cu tak berani membantah, akan tetapi dia ragu-ragu. Ilmu silat apakah yang harus dia keluarkan untuk menyerang Yok-ong? Untuk mengeluarkan ilmu silat ciptaannya sendiri, dia tidak berani karena hal ini akan menimbulkan sangkaan bahwa dia menyombongkan diri dan memamerkan ilmu ciptaannya.

Kwan Cu maklum sedalam-dalamnya akan isi dari pada diri kepandaiannya. Ia lihai bukan karena memiliki ilmu-ilmu silat yang tinggi-tinggi, melainkan lihai karena dia telah menghirup pengertian tentang pokok dasar segala gerakan silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sehingga menghadapi musuh dengan ilmu silat betapapun tingginya pun dia takkan merasa kaget dan dapat mengenal ilmu silat itu sampai ke dasarnya, bahkan melihat sekali dia dapat meniru segala macam ilmu silat itu. Kalau dia disuruh menyerang, sesungguhnya ilmu silatnya tidak aneh, lebih-lebih lagi seorang ahli silat kelas tinggi seperti Hang-houw-siauw Yok-ong.

“Harap maafkan teecu kalau berlaku kurang ajar!” katanya dan dia lalu menyerang dengan sulingnya, mainkan jurus-jurus pilihan dari Hun-khai Kiam-hoat.

Dengan kebutan lengan bajunya, Yok-ong menangkis sampai tiga jurus, lalu berkata,
“Jangan pergunakan Hun-khai Kiam-hoat, kau takkan menang menghadapi mereka. Pergunakan ilmu silat lain yang sudah kau pelajari!” celanya.

Kwan Cu mendongkol juga. Ilmu silat tinggalan Ang-bin Sin-kai dicela orang, ini menyakitkan hatinya. Akan tetapi dia tidak berani menyerang seorang locian-pwe yang dia hormati dan sayang, maka dia lalu berkata,

“Teecu baru-baru ini mempelajari ilmu silat ini, harap Locianpwe tidak mencelanya!”

Tiba-tiba sulingnya diubah gerakannya dan kini dia mainkan jurus-jurus dari Ilmu Silat Ombak dan Badai yang pernah dilihatnya ketika dia melawan Hok Peng.

“Ayaaa……!”

Yok-ong terkejut bukan main dan untuk beberapa lama dia hanya mengelak saja, membiarkan Kwan Cu mainkan terus ilmu silat yang sesungguhnya adalah ilmu silat ciptaannya sendiri itu!

Kwan Cu diam-diam menjadi geli hatinya dan dia mengerahkan ingatannya untuk mainkan terus ilmu silat itu sampai tiga puluh jurus! Tiap jurus dia mainkan sebaik-baiknya seperti seorang murid baru yang memperlihatkan latihan-latihannya kepada gurunya.

“Tahan……!” teriak Yok-ong sambil berdiri dengan muka berkerut dan mata terbelalak. “Kwan Cu, bocah nakal. Jangan kau mempermainkan aku. Hayo katakan, dari mana kau bisa mainkan ilmu silat ini?”

Kwan Cu menjura.
“Maafkan teecu, Locianpwe. Sesungguhnya beberapa hari yang lalu teecu kebetulan bertemu dengan Hok Peng Loheng dan mendapatkan ilmu silat ini dari dia.”

“Bagaimana ? Aku masih belum mengerti. Apakah Hok Peng mengajarkan ilmu silat ini padamu?”

“Tidak sama sekali, Locianpwe. Hok-loheng memaksa teecu untuk main-main dan dia mempergunakan ilmu silat ini mendesak teecu sehingga saking tertarik, teecu diam-diam mempelajari segala macam ilmu silat yang dia keluarkan.”

“Hm, kau tentu sudah mengalahkan nya.”

“Sesungguhnya di antara teecu dan dia tidak ada yang kalah atau menang, hanya kemenangan teecu adalah pelajaran ilmu silatnya itu Locianpwe.” .

Yok-ong menggeleng-geleng kepala seperti orang tidak percaya.
“Kau bertempur dengan dia, diserang dengan ilmu silat ini dan kau dalam pertempuran itu telah dapat mempelajari ilmu silatnya?”






Tidak ada komentar :