*

*

Ads

Jumat, 15 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 153

Pada waktu yang bersamaan, banyak orang lain juga mendaki Bukit Tai-hang-san dari jurusan-jurusan yang berlawanan atau berlainan. Orang-orang tua yang kelihatannya aneh, orang-orang muda yang bertubuh tegap dan kekar, nenek-nenek yang aneh dan gagah, semua pergi mendaki Bukit Tai-hang-san dan kesemua orang ini berjalan dengan gerakan cepat seperti terbang.

Di antara sekian banyaknya orang-orang gagah yang naik ke Tai-hang-san, terdapat pula Kiu-bwe Coa-li, nenek yang menjadi tokoh besar dunia persilatan, yang namanya lebih ditakuti daripada nama raja iblis oleh orang-orang dari jalan hitam (penjahat), karena Kiu-bwe Coa-li terkenal bertangan baja dan berjari maut.

Tokoh selatan ini biarpun sekarang sudah kelihatan amat tua, namun wajahnya masih saja kelihatan keras dan sepasang matanya benar-benar amat berpengaruh dan jarang ada orang berani menentang pandang matanya yang bagaikan pedang pusaka tajamnya. Nenek sakti ini naik Pegunungan Tai-hang-san dengan perlahan saja, namun dua orang muda yang berjalan di kanan kirinya harus mengerahkan ginkang agar jangan sampai tertinggal oleh Kiu-bwe Coa-li!

Dua orang muda itu adalah Bun Sui Ceng dan The Kun Beng. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Sui Ceng dan Kun Beng melakukan perjalanan bersama menuju ke tempat tinggal Kiu-bwe Coa-li yang pada saat itu sudah mengundurkan diri dari dunia ramai dan ingin melanjutkan pelajarannya bertapa.

Akan tetapi, ketika Sui Ceng dan Kun Beng datang dan berlutut di depan wanita sakti ini, Kiu-bwe Coa-li kelihatan sedang marah-marah. Hal ini dapat diketahui oleh Sui Ceng karena gadis ini yang semenjak kecil ikut gurunya tentu saja sudah kenal baik akan watak gurunya yang aneh.

“Kau datang padaku ada apakah, Sui Ceng?” tanya Kiu-bwe Coa-li tanpa mempedulikan Kun Beng yang juga berlutut di depannya.

“Teecu…….. teecu sudah kangen kepadamu, Suthai dan…….. dan teecu sudah…………. sudah bertemu dengan dia ini.”

Kiu-bwe Coa-li memandang ke arah Kun Beng melalui ujung hidungnya, hanya sedetik saja sinar matanya yang tajam itu menyapu wajah dan tubuh Kun Beng.

“Siapa dia?” tanyanya, suaranya membuat Kun Beng merasa dingin tengkuknya.

Nenek sakti ini benar-benar hebat sekali, hebat dan menakutkan, pikirnya, lebih aneh daripada suhunya sendiri, Pak- lo-sian Siangkoan Hai yang sudah amat aneh.

“Maafkan teecu yang berani lancang menghadap tanpa diperintah,” kata Kun Beng tanpa berani mengangkat mukanya, “teecu adalah The Kun Beng.”

“Ah, jadi kau murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai si tua bangka? Coba kau angkat mukamu!”

Kun Beng terpaksa mengangkat mukanya memandang dan dia terkejut sekali melihat sinar mata nenek itu penuh selidik memandang mukanya. la tidak tahan menatap sinar mata itu lebih lama lagi dan kembali dia menunduk.

“Apa maksudmu datang bersama Sui Ceng kesini?” tanya Kiu-bwe Coa-li tegas.

“Teecu…. teecu bersama Ceng-moi hendak….. hendak mohon keputusan tentang……. tentang perjodohan………”

Setelah mengucapkan kata-kata ini, Kun Beng menjadi merah mukanya, demikianpun Sui Ceng menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

Tiba-tiba tangan Kiu-bwe Coa-li bergerak dan entah kapan mengambilnya, tahu-tahu cambuknya yang berekor sembilan itu telah bergerak di tangannya dan meluncur cepat ke arah tubuh Kun Beng.

“Suthai !”

Sui Ceng menjerit karena murid ini sudah mengenal betul sifat cambuk ini, yakni sekali digerakkan tentu mengambil sedikitnya satu nyawa orang!

Sembilan ekor cambuk itu melayang-layang di atas tubuh Kun Beng dan secepat kilat menyambar, sebuah ekor cambuk menotok jalan darah di pundak pemuda itu tanpa dapat dielakkan lagi!






Kun Beng merasa sambaran angin yang luar biasa keras dan cepatnya. la tidak dapat mengelak atau menangkis lagi, maka cepat-cepat dia mengerahkan tenaga lweekangnya dikumpulkan ke arah pundak menahan napas untuk menerima datangnya totokan ini.

Kekhawatiran Sui Ceng, sebetulnya tidak ada artinya. Dalam serangan ini Kiu-bwe Coa-li hanya mempergunakan sebagian tenaganya dan dia sudah tahu bahwa dengan tenaga sebesar itu, muridnya sendiri akan dapat menerima totokan tanpa menghadapi bahaya. Oleh karena itu, kalau pemuda ini sanggup menerimanya, barulah dia memiliki kepandaian yang seimbang dengan muridnya dan patut menjadi suami muridnya. Pendeknya, serangan ini merupakan ujian atau percobaan terhadap Kun Beng!

Ketika jalan darah di pundaknya terkena totokan ujung cambuk itu, Kun Beng merasa seluruh tubuhnya tergetar, akan tetapi dia merasa lega karena ternyata dengan tenaga lweekangnya dia dapat menahan totokan itu dan tidak sampai terluka.

Kiu-bwe Coa-li menarik kembali cambuknya dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kau cukup berharga menjadi suami Sui Ceng. Akan tetapi pada saat seperti ini jangan bicarakan tentang perjodohan!”

Sui Ceng mengangkat mukanya memandang kepada gurunya dengan penasaran. Gadis ini biarpun amat sayang dan taat kepada gurunya, akan tetapi kadang-kadang ia berani membantah.

Memang di dunia ini orang satu-satunya yang berani menentang Kiu-bwe Coa-li, kiranya hanyalah Sui Ceng seorang. Sui Ceng sebelum menghadap gurunya, telah melakukan perjalanan bersama Kun Beng dan selama ini hubungan mereka makin rapat.

Sui Ceng tidak melihat sesuatu yang mengecewakan dalam diri tunangannya. Kun Beng seorang pemuda tampan dan gagah berani, pula sopan santun. Timbullah rasa cinta dalam hati Sui Ceng terhadap tunangannya ini sebagai jodohnya. Mendapatkan Kun Beng sebagai suami kiranya tidak mengecewakan, karena jarang ada pemuda seperti Kun Beng.

Oleh karena hatinya sudah bulat-bulat menyetujui perjodohan ini, tentu saja ia menjadi kaget mendengar omongan gurunya yang seakan-akan tidak menyetujui. Ia mengangkat muka dan memandang muka Kiu-bwe Coa-li. Biarpun bibirnya tidak mengeluarkan sepatah pun kata, nenek tua itu sudah tahu akan isi hati muridnya, maka sambil tersenyum mengejek ia berkata,

“Sui Ceng, tentang perjodohan boleh diundurkan dulu. Kini pinni (aku) menghadapi urusan yang lebih besar. Si bedebah Kiam Ki Sianjin agaknya memandang rendah kepadaku sehingga dia mengirim undangan untuk mengadakan pertemuan di puncak Tai-hang-san. Dalam suratnya dia menyatakan bahwa dia mengundangku karena mengingat bahwa aku pernah menyerang istana, hal ini berarti bahwa aku mencampuri urusan kerajaan. Ia hendak mengadakan pertemuan dengan orang-orang yang anti dan pro kaisar. Padahal dengan membongkar-bongkar urusan lama, dia akan memperingatkan aku bahwa aku pernah kalah ketika menyerbu ke istana! Bangsat tua tidak tahu malu, aku memang kalah pada waktu itu, akan tetapi aku kalah karena dikeroyok oleh banyak orang.”

Kiu-bwe Coa-li menghentikan kata-katanya, dan mukanya menunjukkan bahwa dia marah sekali.

“Kalau begitu, apakah kehendak Suthai selanjutnya?” tanya Sui Ceng.

“Aku tidak sudi mencampuri urusan kerajaan. Akan tetapi aku tetap seorang Han dan kalau disuruh memilih antara Kaisar Han dan kaisar asing, tentu saja aku memilih kaisar bangsa sendiri, betapapun jahat dan lalimnya dia! Kiam Ki Sianjin memandang rendah kepadaku dan aku harus membasmi orang-orang itu yang menjadi penjilat kaisar asing dan mengkhianati bangsa sendiri. Sui Ceng, kau dan aku harus berangkat ke Tai-hang-san. Kun Beng ini boleh ikut juga. Dalam pertemuan besar ini, tua bangka Pak-lo-sian pasti akan hadir juga sehingga sekalian kita bicarakan urusan perjodohan kalian dengan tua bangka itu.”

Ucapan Kiu-bwe Coa-li ini merupakan perintah dan tak boleh dibantah lagi. Sui Ceng menjadi girang sekali, akan tetapi Kun Beng menjadi gelisah. Celaka, pikirnya. Kalau betul suhunya pergi ke Tai-hang-san, tentu suhengnya Gouw Swi Kiat akan berada disana pula. Bagaimana kalau suhengnya itu menceritakan semua peristiwa yang terjadi antara dia dan Kui Lan? Tentu suhunya akan marah besar dan akan celakalah dia. Tidak saja dimusuhi oleh suhengnya, bahkan kalau Sui Ceng mengetahui akan hal itu, tentu tunangannya akan berubah benci kepadanya.

Akan tetapi Kun Beng memang cerdik dan dapat memandang jauh. Ia sudah kenal betul akan watak Swi Kiat yang keras dan angkuh. Tak mungkin sekali suhengnya itu mau membuka rahasia adik sendiri kepada orang lain biarpun kepada suhu sendiri tentu tidak.

Urusan ini biarpun menjelekkan nama Kun Beng namun yang akan lebih rusak nama dan kehormatan keluarganya adalah Gouw Kui Lan, karena sebagai seorang wanita dialah yang akan mengalami keburukan nama lebih hebat daripada seorang pria. Dan Swi Kiat pasti tahu akan hal ini dan takkan membuka mulut. Siapa lagi kalau bukan Swi Kiat yang tahu akan urusan itu? Kun Beng merasa lega hatinya.

Ia tidak takut kalau hanya Swi Kiat yang memusuhinya, karena selain dia memiliki kepandaian yang tidak kalah oleh Swi Kiat, juga dengan adanya Sui Ceng di sampingnya, Swi Kiat akan bisa berbuat apakah? Setelah berpikir demikian, hatinya lega dan dia ikut dengan Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng ke Tai-hang-san.

Setelah mulai menanjak ke pegunungan, rombongan Kiu-bwe Coa-li bertemu dengan tokoh-tokoh besar yang juga hendak mendaki pegunungan itu, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li sudah memesan kepada Kun Beng dan Sui Ceng agar supaya menutup mulut dan tidak menegur siapa pun juga, biarpun ada yang sudah mereka kenal.

“Menghadapi urusan besar ini, kalian harus membuka mata membuka telinga akan tetapi menutup mulut rapat-rapat!”

Kiu-bwe Coa-li dan dua orang muda itu mendaki bukit dari selatan maka mereka tidak bertemu dengan Kwan Cu yang naik dari jurusan timur. Pemuda ini berjalan seorang diri dengan cepatnya. Puncak Gunung Tai-hang-san menjulang tinggi, bermain dengan mega-mega putih dan memang kelihatannya berada di sebelah utara.

Akan tetapi perjalanannya dari timur benar seperti yang dikatakan oleh Hok Peng, amat mudah dan selalu puncak itu kelihatan, tidak tertutup oleh hutan-hutan yang terlalu lebat sehingga dalam perjalanan ini Kwan Cu tak pernah takut kalau-kalau tersasar jalannya.

Ketika dia tiba di lereng Bukit Tai-hang-san dan sedang berjalan dengan cepat, tiba-tiba dia melompat dan hampir saja dia menubruk seorang tua yang duduk di bawah pohon, menyandarkan tubuh pada batang pohon itu dengan kedua kakinya yang panjang dilonjorkan menghalang jalan.

Kwan Cu benar-benar merasa terkejut dan dia menggosok-gosok kedua matanya. Tadi dari jauh dia tidak melihat ada orang duduk disitu, bagaimana tiba-tiba saja ada kakek yang duduk dengan kedua kaki menghalang jalan? Hampir saja dia menginjak kaki itu kalau dia tidak cepat-cepat melompat.

“Bocah-bocah sekarang amat kurang ajar!” Kakek itu berkata menggerutu sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Ada orang tua duduk sengaja dilompati saja tanpa permisi. Benar-benar tidak sopan!”

Kwan Cu yang sudah berhasil menghindarkan diri sehingga tidak menginjak kaki orang cepat membalikkan tubuh memandang. la hendak menegur orang ini yang tentu sengaja hendak mempermainkannya karena dia sudah tahu bahwa orang itu sengaja memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa, tahu-tahu duduk di situ sehingga dia tidak tahu bila kakek itu datang. Akan tetapi sekarang kakek itu malah menegurnya!

Ketika dia melihat muka orang yang menegurnya, Kwan Cu kaget dan heran. Yang duduk itu adalah seorang kakek yang mukanya hitam seperti pantat kuali, hitam sekali seperti malam gelap. Belum pernah selama hidupnya dia melihat muka sehitam ini. Bangsa apakah dia? Kalau dilihat dari potongan mukanya, terang bahwa dia seorang bangsa Han biasa saja yang bertubuh jangkung kurus, akan tetapi mengapa kulit mukanya begitu hitam?

Kulit tubuh bagian lain biasa saja, putih dan halus, hanya di bagian muka yang amat hitam sehingga sukarlah untuk mengenat muka ini, kecuali sepasang matanya yang mencorong dan berpengaruh. Kwan Cu merasa seperti pernah melihat mata seperti ini, akan tetapi oleh karena muka yang luar biasa warnanya itu, dia tidak dapat mengenal lagi.

“Ang-bin Sin-kai meninggalkan warisan ilmu silat akan tetapi tidak meninggalkan warisan budi pekerti sehingga muridnya menjadi seorang kasar, tidak dapat menghormat orang yang lebih tua,” Kakek itu bicara lagi, menggerendeng seorang diri.

Kembali Kwan Cu tertegun. Suara ini berbeda sekali dengan tadi, kalau suara tadi parau dan kasar sekarang berubah menjadi halus dan tenang, suara yang sudah pernah didengarnya. Agaknya orang ini sengaja mengeluarkan suara seperti itu agar dia mengenalnya, akan tetapi betapapun dia memeras otak, tetap saja dia tidak dapat ingat lagi siapa adanya orang tua ini.

“Hari ini menerima hadiah, besok sudah lupa lagi akan pemberiannya, demikianlah watak manusia,” lagi-lagi kakek itu berkata dan kali ini Kwan Cu hampir saja menempiling kepalanya sendiri,






Tidak ada komentar :