*

*

Ads

Jumat, 22 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 161

Pucatlah wajah Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Dia adalah seorang tokoh besar yang tidak mau berlaku curang atau menyalahi peraturan biarpun kedua orang muridnya terancam bahaya maut, namun baginya lebih baik kematian dua muridnya atau biarpun dia sendiri akan mati, dia tidak nanti akan melanggar peraturan yang jujur.

Kwan Cu melihat dua orang pemuda itu menghadapi bahaya maut, otomatis hendak bergerak, akan tetapi dia kalah dulu oleh Liok-te Mo-li, wanita seperti setan yang pernah dijumpainya, yakni ibu dari Kong Hoat, nelayan muda yang “cengeng” itu. Nenek ini melompat dan ginkangnya memang amat hebat sehingga sekali melompat ia telah berada di tengah lapangan.

“Traaang!”

Pedang di tangan Bin Kong Siansu sampai mengeluarkan bunga api ketika terbentur dengan tongkat hitam yang dipegang oleh Liok-te Mo-li ketika nenek ini menangkis tusukan pedang ketua Kim-san-pai yang diarahkan ke tenggorokan Swi Kiat, sedangkan tongkat itu bergerak lagi amat cepatnya menangkis toya kain di tangan Bian Kim Hosiang!

Ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai terkejut sekali. Tenaga nenek ini ternyata bukan main hebatnya dan melihat wajah nenek ini, mereka merasa bulu tengkuk mereka berdiri.

Memang Liok-te Mo-li berwajah menyeramkan, apalagi pada saat itu ia sedang marah, maka wajahnya menjadi lebih hebat lagi. Kedua orang tokoh besar dunia kang-ouw itu terheran-heran karena selamanya mereka belum pernah melihat nenek aneh ini.

“Siapakah kau dan mengapa kau mencampuri urusan pertandingan yang dilakukan dengan jujur?” membentak Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai dengan marah.

Liok-te Mo-li tertawa, suara ketawanya juga amat menyeramkan, karena biarpun perlahan saja namun amat menusuk anak telinga.

“Hi-hi-hi! Aku mendengar bahwa kalian adalah ketua-ketua partai besar Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, mengapa seganas itu hatimu? Aku tidak peduli tentang pertempuran antara kedua fihak dan kedatanganku ini adalah karena undangan dari Kiam Ki Sianjin. Akan tetapi, biarpun di dalam undangan disebutkan akan diadakan musyawarah besar, kenyataannya apa yang kulihat? Pertandingan-pertandingan yang berat sebelah! Tadi kulihat kakek seperti siluman yang kukunya panjang itu menghina seorang nona muda, sekarang kulihat pula dua ekor monyet tua menghina dua orang muda dan hendak membunuhnya! Aku tidak memihak siapa-siapa, akan tetapi melihat orang-orang muda dihina orang-orang tua bangka, aku Liok-te Mo-li tidak nanti tinggal diam saja!”

Terkejutlah dua orang ketua partai ini mendengar nama ini. Nama ini sudah amat terkenal sebagai nama yang amat menakutkan karena sepak terjang Liok-te Mo-li memang aneh dan kadang-kadang mendirikan bulu roma saking hebatnya.

Sebelum mereka sempat membuka mulut, tiba-tiba dari rombongan Kiam Ki Sian-jin melompat dua orang, yakni Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong. Dua kakak beradik seperguruan dari Tibet ini memandang dengan marah. Terdengar suara Kiam Ki Sianjin yang memang menyuruh dua orang kawannya ini maju.

“Ji-wi Bengcu (dua ketua) dari Bu-tong-pai dan Kim-san-pai harap mengundurkan diri dan biarkan Hek-i Hui-mo dan sutenya menghadapi nenek yang usil tangan dan gatal mulut ini!”

Karena kedatangan ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai ke tempat itu memang hanya bertujuan membalaskan sakit hati mereka atas kematian murid mereka dan mereka tidak ingin melibatkan diri dalam permusuhan dengan golongan atau orang-orang lain, keduanya lalu mengangkat pundak dan mengundurkan diri.

Adapun Pak-lo-sian Siangkoan Hai mempergunakan kesempatan itu untuk melompat ke depan dan menyambar tubuh dua orang muridnya yang terluka untuk dirawat.

Hek-i Hui-mo sudah pernah bertemu dengan Liok-te Mo-li, bahkan dulu pernah dia bertempur dengan nenek ini ketika Liok-te Mo-li membasmi gerombolan perampok di daerah Tibet dan karena kepala perampok itu terhitung “anak buah” dari Hek-i Hui-mo maka terjadi bentrok di antara mereka.

Namun pertempuran itu masih belum diketahui mana yang kalah dan mana yang menang karena Liok-te Mo-li keburu melarikan diri setelah melihat fihak Hek-i Hui-mo mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mengeroyoknya.






“Hm, Hek-i Hui-mo, siluman jahat! Dengan adanya kau disini, mudah di ambil kesimpulan fihak mana yang tidak benar! Manusia macam kau tentu selalu membantu yang jahat,” kata Liok-te Mo-li. “Kau hendak mengeroyokku seperti dulu? Kau sekarang sudah mengekor kepada bala tentara kerajaan? Nah, terimalah hadiahku ini!”

Sambil berkata demikian, Liok-te Mo-li yang tiba-tiba naik darahnya melihat Hek-iHui-mo, menggerakkan kedua tangannya sambil mengempit tongkatnya. Sinar lembut melayang dari kedua tangannya, langsung menyerang Hek-i Hui-mo, Coa-tok Lo-ong dan para kawan mereka yang berdiri di rombongan Kiam Ki Sianjin.

Hek-i Hui-mo, Coa-tok Lo-ong, dan tokoh-tokoh besar seperti Kiam Ki Sian-jin dan lain-lain cepat mengebutkan ujung lengan baju dan ada yang mengelak ketika jarum-jarum halus itu menyambar, akan tetapi beberapa orang yang kurang tinggi kepandaiannya tidak sempat lagi menghindarkan diri.

Tiga orang perwira pengikut Kiam Ki Sianjin menjerit dan roboh dengan muka berubah pucat. Nyawa mereka sukar ditolong karena jarum-jarum ini telah memasuki tubuh dan bergerak melalui jalan darah, langsung menyerang urat-urat nadi yang berbahaya!

“Aduh celaka, Liok-te Mo-li tidak dapat menahan nafsu dan membuat gara-gara!” kata Kwa Ok Sin sambil berdiri dan membanting-banting kakinya.

Jeng-kin-jiu juga menggeleng-geleng kepala, akan tetapi tidak bisa berbuat sesuatu karena hal itu sudah terjadi tanpa dapat dicegah lagi.

“Tiga orang itu takkan dapat diselamatkan lagi,” kata Yok-ong perlahan kepada Kwan Cu.

Pemuda ini sudah hendak bangun dan membantu Liok-te Mo-li ketika melihat nenek ini dikeroyok oleh Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong, akan tetapi tiba-tiba pundaknya dipegang oleh Yok-ong yang berbisik,

“Jangan bergerak. Mereka terlalu lihai, aku sendiri pun tidak berani sembarangan bergerak. Liok-te Mo-li mencari penyakit sendiri dan memperbesar permusuhan. Kita lihat saja bagaimana perkembangannya nanti.”

Biarpun Kwan Cu tidak takut sedikitpun juga menghadapi tokoh-tokoh besar di fihak Kiam Ki Sianjin, akan tetapi dia pikir bahwa omongan Yok-ong ini betul juga, maka dia berdiam diri. Betapapun juga, sepak terjang Liok-te Mo-li tidak dia setujui, biarpun nenek ini membela keadilan, akan tetapi dia terlalu ganas sehingga sekali turun tangan ia telah menewaskan tiga orang perwira yang sebetulnya tidak tahu apa-apa.

Sementara itu, Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong telah maju dan mengeroyok Liok-te Mo-li. Tentu saja nenek ini menjadi sibuk sekali. Memang kepandaiannya sudah tinggi, namun kepandaian Hek-i Hui-mo juga tidak boleh dibuat main-main. Apalagi selama beberapa tahun ini kepandaian Hek-i Hui-mo meningkat tinggi sekali, setelah dia mempelajari ilmu silat aneh dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu seperti yang dia dengar dibacakan oleh pujangga Tu Fu.

Selain itu, dia dibantu oleh Coa-tok Lo-ong yang tingkat kepandaiannya juga tidak lebih rendah daripada suhengnya dan Liok-te Mo-li. Kalau hanya menghadapi seorang di antara dua tokoh Tibet ini, agaknya pertandingan akan berjalan lebih ramai dan seimbang, akan tetapi dikeroyok dua seperti itu, Liok-te Mo-li benar-benar amat terjepit dan terdesak.

Sepasang senjata Hek-i Hui-mo amat berbahaya, yakni seuntai tasbih di tangan kiri dan sebatang Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) di tangan kanan. Ia melakukan serangan bertubi-tubi dengan kedua senjatanya, setiap serangan cukup keras untuk menghancurkan batu karang.

Adapun Coa-tok Lo-ong mainkan senjatanya yang mengerikan, yakni sebatang tongkat yang sebetulnya adalah seekor ular berbisa yang masih hidup! Ular hidup ini tadinya dia simpan di dalam saku bajunya yang lebar dan ular itu tidak dapat bergerak karena memang sudah ditekan pusat tulang belakangnya sebelum digulung dan dikantongi.

Sekarang dia buka totokan pada tubuh ular itu dan dengan memegangi ekornya dia mainkan ular itu dengan hebatnya! Dapat dibayangkan sendiri betapa berbahayanya senjata seperti ini karena selain dikerahkan dengan penyaluran tenaga lweekang sehingga dapat dipakai memukul dan menotok, juga ular itu sendiri bergerak-gerak sambil mengeluarkan semburan bisa sehingga sukar sekali dihadapi.

Baiknya Liok-te Mo-li amat besar tenaganya sehingga ketika dia memutar tongkatnya, angin menderu dan debu beterbangan, tubuhnya terbungkus oleh sinar tongkat dan debu.

Namun dia sudah tua, keuletan tenaganya terbatas dan sebentar saja setelah dapat mempertahankan selama delapan puluh jurus, ia mulai terengah-engah. Liok-te Mo-li terkejut menghadapi kenyataan betapa majunya kepandaian Hek-i Hui-mo dan bahwa sute dari pendeta Tibet ini pun lihai sekali. Ia maklum bahwa akhirnya ia akan kalah dan roboh juga, maka diam-diam ia mengeluarkan sesuatu dari saku jubahnya.

Tak terasa lagi Kwan Cu memegangi tangan Yok-ong yang dekat dengan lengannya. Kwan Cu memandang ke arah Liok-te Mo-li dengan wajah ngeri, sebaliknya Yok-ong terkejut bukan kepalang ketika merasa betapa tangannya diremas oleh tangan Kwan Cu. Ia merasa betapa tulang-tulang tangannya seperti akan remuk.

Dari tangan pemuda itu keluar hawa yang luar biasa sekali sehingga raja tabib ini merasa seluruh lengannya lumpuh, sebentar panas sekali dan sebentar pula dingin bukan main. Ia melongo dan memandang kepada Kwan Cu, lalu dia mencoba mengerahkan seluruh hawa murni dan tenaga lweekang dari tubuhnya untuk melawan tenaga yang keluar dari tangan Kwan Cu. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika lweekangnya tidak kuat menghadapi tekanan itu!

Akan tetapi perlawanannya menginsyafkan Kwan Cu bahwa tanpa disengaja dia telah memijit tangan Yok-ong dengan pengerahan tenaga sakti Im-yang Bu-tek Sin-kang yang dia pelajari dari kitab rahasia itu, maka cepat-cepat dia melepaskan pegangannya. Untuk mengalihkan perhatian Yok-ong, dia segera berbisik,

“Locianpwe, apakah yang dikeluarkan oleh Liok-te Mo-li itu?”

Sebenarnya dia sudah melihat nyata bahwa nenek itu mengeluarkan daun Liong-cu-hio, daun aneh yang amat mengerikan itu, daun yang mengandung bisa luar biasa sekali dan boleh disebut raja dari sekalian bisa!

Benar saja, perhatian Yok-ong tertuju kepada nenek itu dan sekali pandang saja muka Yok-ong menjadi pucat.

“Ahhh, mungkinkah ia memegang Liong-cu-hio? Celaka sekali……. !”

Ia hendak melompat dan mencegah nenek itu mempergunakan daun itu, namun terlambat. Sambil tertawa-tawa aneh Liok-te Mo-li tiba-tiba melontarkan belasan helai daun itu kearah lawannya dan orang-orang yang berdiri di rombongan Kiam Ki Sianjin!

Coa-tok Lo-ong dan Hek-i Hui-mo adalah tokoh-tokoh kenamaan yang sudah tidak asing lagi dengan segala macam bisa, maka mencium bau aneh dari daun-daun itu, mereka cepat melompat tinggi untuk menghindarkan diri. Kemudian, dengan tongkatnya, Hek-i Hui-mo mengemplang dari atas, tepat mengenai pergelangan tangan kiri nenek itu.

“Krak!” remuklah pergelangan lengan itu sedangkan ular di tangan Coa-tok Lo-ong juga berhasil memagut leher nenek itu.

Liok-te Mo-li menjerit dan terhuyung mundur, akan tetapi jeritnya disusul oleh suara ketawanya yang mendirikan bulu roma dan tiba-tiba tangan kanannya menyebarkan beberapa helai daun lagi sambil menggigit tongkatnya! Kemudian, secepat kilat, dibarengi suara ketawanya yang menyayat hati, sebelum dua orang lawannya sempat menyerang, ia mengemplang kepalanya sendiri dengan tongkat yang dipegangnya. Ia roboh dengan kepala pecah dan tidak bernyawa lagi.

Akan tetapi, akibat dari penyebaran daun-daun itu hebat bukan main. Teriakan-teriakan ngeri terdengar ramai sekali di rombongan Kiam Ki Sianjin dan belasan orang perwira dan anak murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai roboh dengan tubuh hangus!

Sekali saja terkena sambitan daun itu, hanguslah bagian tubuh yang terkena dan sebentar lagi seluruh tubuh menjadi hangus seperti terbakar! Yang hebat lagi, orang lain yang hendak menolong, baru saja menjamah tubuh kawan yang hangus itu, menjerit dan tangannya menjadi hangus pula!

Tentu saja para tokoh yang berkepandaian tinggi, dapat menyelamatkan diri dan dapat mengelak dari sambaran daun-daun itu, akan tetapi kali ini kerugian mereka benar-benar hebat sekali sehingga di fihak Kiam Ki Sianjin menjadi gempar. Kiam Ki Sianjin sendiri marah bukan main. Ia menantang pihak Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

“Pak-lo-sian jangan enak-enakan mengandalkan campur tangan dari luar! Hayo keluarkan lagi jago-jagomu!”

Coa-tok Lo-ong lalu mempergunakan sebatang pisau kecil untuk menusuk-nusuk daun-daun Liong-cu-hio itu, lalu dibungkuslah daun-daun itu dengan hati-hati dan disimpannya di saku baju. Ia kelihatan girang sekali mendapatkan daun-daun yang berbahaya ini.






Tidak ada komentar :