*

*

Ads

Jumat, 22 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 162

“Lebih celaka lagi kalau daun-daun itu disimpan oleh manusia seperti itu.” kata Yok-ong perlahan.

Wajah orang tua ini kelihatan gelisah sekali melihat akibat pertempuran yang demikian mengerikan.

Pak-lo-sian telah menanggalkan baju luarnya. Ia melihat betapa dua orang muridnya telah terluka. Sui Ceng telah terluka pula. Dua orang murid Kun-lun-pai yang masih ada tidak boleh diandalkan, maka dia hendak maju sendiri.

“Nanti dulu, Pak-lo-sian. Ingat bahwa kau adalah wakil kami, maka kau harus maju terakhir. Biarkan pinto maju lebih dulu untuk membalas kematian murid-murid pinto,” kata Seng Thian Siansu.

Pak-lo-sian menggeleng kepalanya.
“Tidak bisa, Siansu. Kau adalah orang tertua maka berilah kesempatan kepadaku yang lebih muda.”

“Omongan apa yang kalian keluarkan ini? Akulah yang akan maju lebih dulu.” kata Kiu-bwe Coa-li.

“Tidak bisa!” bantah Pak-lo-sian.

“Tar! Tar! Tarrr!” Cambuk Kiu-bwe Coa-li berbunyi. “Aku maju lebih dulu dan habis perkara!”

Kata-katanya ini disusul oleh gerakannya yang amat cepat dan tahu-tahu ia telah berada di tengah lapangan.

Melihat majunya Kiu-bwe Coa-li yang dianggap sebagai pembunuh murid mereka. Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu naik darahnya dan serentak mereka maju lagi sebelum didahului oleh orang lain.

Hal ini menggirangkan hati Kiam Ki Sianjin sehingga dia memberi isyarat mencegah Hek-i Hui-mo yang hendak maju. Memang inilah maksud dari Kiam Ki Sianjin, yakni hendak mengadukan mereka. Ia tahu betul akan kelihaian Kiu-bwe Coa-li.

“Bagus, sekarang kami mendapat kesempatan membalas kematian murid-murid kami!” seru Bian Kim Hosiang yang cepat menyerang.

Kini Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai ini tidak lagi mempergunakan toya yang dibuatnya dari kain, melainkan dia menyambar sebuah toya kuningan yang asli, yakni senjatanya yang sejak tadi dibawa-bawa oleh seorang muridnya. Serangan toyanya amat hebat dan sambaran senjatanya ini mendatangkan angin yang berbunyi mengaung.

Namun Kiu-bwe Coa-li tidak menjadi gentar, bahkan sambil mengeluarkan suara ejekan dari hidungnya, dia mengelak dan membalas. Sembilan ekor cambuknya menari-nari di udara, masing-masing mengeluarkan bunyi yang nyaring dan mengurung tubuh ketua Bu-tong-pai itu dari segala jurusan dengan totokan-totokan mautnya!

Sebentar saja kedua orang tokoh besar itu telah saling serang sambil mengerahkan seluruh tenaga dan mempergunakan seluruh kepandaian mereka yang amat tinggi.

Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai juga amat benci kepada Kiu-bwe Coa-li yang dianggap membunuh sutenya secara curang, maka dia pun lalu menggerakkan pedangnya mengeroyok.

Perlu diketahui bahwa dua orang pendeta yang tewas secara aneh, yaitu Bin Hong Siansu adalah sute dari Bin Kong Siansu, sedangkan yang keduanya, yakni Bian Ti Hosiang adalah murid kepala dari Bian Kim Hosiang. Mereka adalah orang-orang penting dari kedua partai persilatan itu, maka kematian mereka mendatangkan kegemparan dan dendam yang hebat.

Sejak tadi, Pak-lo-sian sudah beberapa kali mendengar ucapan kedua orang ketua partai persilatan itu, maka diam-diam dia merasa amat heran dan tidak mengerti mengapa mereka menyebut dia dan Kiu-bwe Coa-li sebagai pernbunuh-pembunuh curang.

Kini melihat Kiu-bwe Coa-li dikeroyok dua orang, dia menjadi penasaran dan cepat dia melompat ke dalam gelanggang pertempuran, mempergunakan kipasnya menangkis pedang di tangan Bin Kong Siansu sambil berseru.

“Bin Kong Siansu, tahan dulu!”






Bin Kong Siansu menjadi makin marah melihat majunya Pak-lo-sian. Memang Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian yang dicarinya maka dia bersama ketua Bu-tong-pai datang di situ.

“Kebetulan sekali, kau harus mampus bersama siluman wanita itu!” bentaknya sambil menyerang.

“Nanti dulu, Siansu. Kau dan Bian Kim Hosiang agaknya amat membenci kami berdua, ada apakah?”

“Masih berpura-pura? Benar-benar tua bangka jahanam tak tahu malu. Kau dan Kiu-bwe Coa-li secara curang dan tak bermalu telah membunuh suteku dan murid kepala dari Bu-tong-pai, sekarang masih berpura-pura tanya lagi?” jawab ketua Kim-san-pai sambil menyerang terus.

“Eh, eh, eh, omongan kosong apa yang kau keluarkan ini?” tanya Pak-lo-sian dan lagi-lagi dia menangkis.

“Kami ada bukti dan saksi, tak perlu banyak mulut lagi. Kalau kau berani, terimalah ini!”

Bin Kong Siansu menyerang untuk ketiga kalinya dan kali ini serangannya amat hebat sehingga terpaksa Pak-lo-sian melayaninya.

“Kalau kau menyerangku sebagai seorang yang berfihak kepada penjilat kaisar, aku akan mengadu nyawa denganmu. Akan tetapi kau menyerangku karena salah sangka, aku tidak mau melayanimu.” Sambil berkata demikian, Pak-lo-sian hendak meninggalkan lawannya.

“Pengecut tua bangka, kau hendak mempermainkan orang dengan siasatmu! Bin Kong Siansu, jangan percaya mulut tua bangka yang memang ahli siasat dan akal bulus ini!” tiba-tiba terdengar suara yang amat tinggi dan tahu-tahu seekor ular melayang dan menyerang ke arah kepala Pak-lo-sian.

Tokoh utara ini cepat mengebut dengan kipasnya sehingga kepala ular itu terdorong angin kipas dan dia melanjutkan dengan menotokkan ujung gagang kipas ke arah penyerangnya. Coa-tok Lo-ong, penyerang itu, cepat mengelak karena dia maklum akan kelihaian lawannya.

Bin Kong Siansu tadinya juga merasa heran melihat penyangkalan Pak-lo-sian, akan tetapi ucapan dari Coa-tok Lo-ong ini membuat dia tidak ragu-ragu lagi dan cepat dia membantu Coa-tok Lo-ong, memutar pedang dan menyerang Pak-lo-sian.

Dengan demikian, Siangkoan Hai dikeroyok dua! Bagaimana Bin Kong Siansu bisa ragu-ragu lagi? Surat peninggalan yang ditandatangani oleh sutenya dan murid kepala Bu-tong-pai sudah menjadi bukti yang nyata, apalagi masih ada saksi hidup yang kini pun berada dan hadir di tempat itu, yakni Siok Tek To-jin. Maka dia percaya penuh akan kata-kata Coa-tok Lo-ong dan menganggap bahwa seorang yang begitu curang membunuh sutenya, tentu takkan segan-segan untuk mempergunakan siasat untuk mencoba menyangkal perbuatannya itu.

Melihat Pak-lo-sian sudah dikeroyok dua oleh Bin Kong Siansu dan Coa-tok Lo-ong, Hek-i Hui-mo lalu melompat pula dan membantu Bian Kim Hosiang mengeroyok Kiu-bwe Coa-li. Pertempuran menjadi makin ramai dan hebat dengan masuknya Hek-i Hui-mo ini.

“Tidak adil….! Sungguh tidak adil……..!” bentak Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang “menggelundung” naik dan menyerbu di tempat pertempuran. “Adu kepandaian macam apa ini? Sungguh tak tahu malu, kiranya hanya main keroyokan saja.”

“Eh, Jeng-kin-jiu, kau mau apakah?” tiba-tiba berkelebat bayangan dan di depannya sudah menghadang Kiam Ki Sianjin dan Toat-beng Hui-houw. “Apakah kau mau membantu fihak pemberontak yang mengacaukan negara?”

“Aku tidak membantu mana-mana! Aku hanya menghendaki agar pertempuran-pertempuran yang berat sebelah ini dihentikan! Aku sudah menyesal sekali dahulu dapat diperkuda oleh An Lu Shan sehingga aku kesalahan tangan membunuh Ang-bin Sin-kai sahabat baikku. Sekarang ini, kalian tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, yang mewakili semua orang gagah di dunia, yang katanya memiliki kedudukan batin lebih tinggi daripada orang biasa, apakah hanya untuk seorang raja saja kalian sampai mengadu nyawa mati-matian?”

“Habis apa kehendakmu?” tanya Kiam Ki Sianjin sambil tersenyum mengejek.

“Kiam Ki Sianjin, ketika kau masih mengeram di dalam goa di gunungmu, aku sudah berada di istana, akan tetapi kau sekarang bersikap seakan-akan kau sudah menjadi seorang jenderal! Alangkah sombongmu. Dengarlah baik-baik kalau memang kau seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Kalau pibu (adu kepandaian) ini memang akan diteruskan, berlakulah jujur dan tidak secara pengecut. Biarkan seorang melawan seorang, jangan main keroyokan. Aku sudah ribuan kali bertempur dan ratusan kali menghadapi pibu, akan tetapi selama hidupku baru kali ini menyaksikan pibu yang demikian tidak tahu malu!”

“Jeng-kin-jiu, kau adalah orang luar. Biarpun aku sudah memanggilmu ke sini, akan tetapi ternyata kau menarik diri sendiri dan menjadi penonton dan orang luar. Kau peduli apa? Kau lihat sendiri, mereka bertempur atas kehendak mereka, tidak ada yang memaksa. Kalau mereka memang suka berdamai, mengapa mereka memaksa hendak mengadakan adu kepandaian? Sudahlah, kami tak hendak menyeret kau dalam pertandingan ini, lebih baik kau keluar dan turun dari gunung ini.”

“Tak mungkin! Aku bisa membiarkan kalian bertanding kalau memang adil, akan tetapi aku paling benci kecurangan dan ketidak adilan. Tak boleh aku berpeluk tangan saja melihat hal ini terjadi di depan mataku!”

Sambil berkata demikian, Jeng-kin-jiu siap untuk menyerang dan membantu Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian yang dikeroyok dan didesak hebat oleh para pengeroyoknya.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar ledakan dua kali dan asap tebal sekali berwarna hitam campur putih, memenuhi tempat itu. Jeng-kin-jiu yang berada agak jauh dari ledakan ini, kaget dan cepat melompat mundur ke dekat Kwa Ok Sin kembali karena mencium bau yang amat keras.

Akan tetapi semua orang yang berada di gelanggang pertempuran, kecuali Coa-tok Lo-ong dan Hek-i Hui-mo, menjadi terhuyung-huyung dan bernapas terengah-engah lalu roboh terguling! Mereka yang roboh ini adalah Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Kiam Ki Sianjin, Toat-beng Hui-houw, Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu!

Apakah yang terjadi? Tak seorang pun mengetahuinya bahkan Yok-ong hanya berseru perlahan kepada Kwan Cu

“Itulah asap berbisa obat pembius yang sering dipergunakan oleh penjahat dari See-than (negeri barat)! Heran dari mana datangnya asap itu?”

Akan tetapi biarpun Kwan Cu juga tidak melihat siapa yang mempergunakannya dia telah tahu dengan baik bahwa yang mengeluarkan obat bius itu tentulah Coa-tok Lo-ong sute dari Hek-i Hui-mo karena dahulu di kuil tempat tinggal Siok Tek Tojin, dia pernah mencium bau asap itu.

Hek-i Hui-mo tertawa bergelak sedangkan Coa-tok Lo-ong cepat menciumkan obat penawar di depan hidung Kiam Ki Sianjin, Toat-beng Hui-houw, Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu. Dalam beberapa detik saja mereka ini telah siuman kembali dan menjadi terheran-heran.

Akan tetapi, Hek-i Hui-mo cepat menghampiri tubuh Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li, lalu menotok mereka sehingga sebelum orang lain dapat mencegahnya, kedua tulang pundak Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li telah terlepas sambungannya! Mereka untuk beberapa lama takkan dapat bersilat sebelum tulang itu disambung kembali!

“Ji-wi Pai-cu dari Bu-tong dan Kim-san, sekarang musuh-musuh besar Ji-wi sudah roboh. Tidak membalas dendam sekarang, mau tunggu kapan lagi?” kata Kiam Ki Sianjin kepada ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.

Akan tetapi kedua orang ini yang mempunyai kedudukan tinggi dalam partai mereka, tentu saja merasa malu untuk membinasakan lawan yang roboh karena pengaruh obat bius. Melakukan hal itu dianggap amat rendah. Akan tetapi kalau tidak membunuh mereka sekarang, bukanlah hal yang mudah untuk merobohkan kedua orang tokoh besar itu selagi mereka sadar. Karenanya, dua orang ketua partai ini menjadi ragu-ragu dan bersangsi.

“Kalau Ji-wi tidak tega, biarlah aku yang membunuh mereka!” kata Coa-tok Lo-tong sambil melompat maju ke arah Kiu-bwe Coa-li dan serentak dia menggerakkan ularnya ke arah tenggorokan Kiu-bwe Coa-li!

“Bangsat rendah, pergilah kau!” tiba-tiba dari samping, Coa-tok Lo-ong merasa ada sambaran angin yang dahsyat sekali, karena dia tidak dapat mengelak lagi, dia membatalkan serangannya terhadap Kiu-bwe Coa-li dan mempergunakan tangan kirinya untuk menangkis.

“Duk!” dua tangan beradu dan Coa-tok Lo-ong terlempar sampai dua tombak lebih, akan tetapi Jeng-kin-jiu yang menyerangnya juga terpental ke belakang sampai empat kaki!

Ternyata bahwa dua orang tokoh ini hampir sama kehebatan tenaga mereka, akan tetapi ternyata bahwa tenaga raksasa dari Jeng-kin-jiu masih unggul. Berkat tingginya lweekang mereka, adu tenaga tadi tidak mendatangkan luka di dalam tubuh.






Tidak ada komentar :