*

*

Ads

Jumat, 22 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 163

“Jeng-kin-jiu, kau bukan orang luar lagi sekarang, akan tetapi pembantu pemberontak!” bentak Hek-i Hui-mo yang cepat mengayun tongkat kepala naga menyerang kepala Jeng-kin-jiu.

“Bangsat Hek-i Hui-mo, lupakah kau akan perundingan kita dulu?” seru Jeng-kin-jiu sambil menangkis ayunan tongkat itu dengan toyanya.

Pertemuan tongkat dan toya yang digerakkan dengan tenaga raksasa ini menimbulkan suara keras dan orang-orang yang berada di dekat situ merasai getaran yang hebat.

Sebagaimana diketahui dahulu memang Hek-i Hui-mo dan Jeng-kin-jiu keduanya membantu An Lu Shan, bahkan ketika tokoh-tokoh besar berjiwa patriot seperti Ang-bin Sin-kai, Pak-lo-sian dan yang lain-lain datang menyerbu istana, mereka inilah yang melindungi An Lu Shan dan menyelamatkan nyawa kepala pemberontak itu.

Akan tetapi kemudian, melihat betapa rakyat Han berjuang terus, bahkan dipimpin oleh orang-orang pandai, Jeng-kin-jiu baru terbuka matanya bahwa hal yang dia kerjakan bukanlah main-main belaka. Ia boleh disuruh menghadapi tokoh-tokoh kang-ouw yang bagaimana pandai pun, akan tetapi menghadapi gelombang perjuangan rakyat bangsanya sendiri, dia bergidik dan merasa ngeri.

Oleh karena ini dia lalu mengajak berunding dengan kawan-kawannya, yakni Hek-i Hui-mo, Toat-beng Hui-houw dan yang lain-lain, menyatakan kekhawatirannya karena ternyata bahwa yang mereka lindungi adalah musuh rakyat jelata, bukan musuh Kaisar Tang sebagaimana yang tadinya mereka kira.

Jeng-kin-jiu semenjak itu lalu mengasingkan diri di atas gunung, menyesali perbuatannya yang telah membikin banyak orang gagah gugur termasuk Ang bin Sin-kai. Sebaliknya, Hek-i Hui-mo, Toat-beng Hui-houw dan yang lain-lain kena dibujuk lagi oleh Kiam Ki Sianjin sehingga mereka kini kembali membantu kaisar asing. Hal ini adalah karena Hek-i Hui-mo memang berdarah Tibet maka dia tidak peduli akan perjuangan bangsa Han. Kini dua orang tokoh besar yang sama gemuknya dan sama pula lihainya itu bertanding.

Kalau tadinya Kwan Cu sudah mau melompat maju melihat Coa-tok Lo-ong mempergunakan asap obat bius, kini dia mengurungkan niatnya lagi. Kejadian itu semua terjadi demikian cepat dan kini Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian telah tertotok pundak mereka, menggeletak dalam keadaan masih pingsan.

Melihat betapa fihak Pak-lo-sian kini tinggal Seng Thian Siansu ketua Kun-lun-pai yang amat tua itu, Kwan Cu sudah ingin sekali membantu mereka, akan tetapi kembali niatnya ini terpaksa dia tunda karena kini dia asyik menyaksikan pertarungan antara Jeng-kin-jiu dan Hek-i Hui-mo.

Hatinya berdebar tegang. Kedua orang ini termasuk pengeroyok-pengeroyok dan pembunuh-pembunuh Ang-bin Sin-kai, juga dia masih ingat betul bagaimana ketika dia masih kecil, dua orang tokoh besar ini pun pernah menawan dan ikut menyiksanya untuk memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.

Akan tetapi tiba-tiba semacam perasaan yang aneh terasa olehnya. Biarpun dia akui bahwa dua orang yang bertempur itu adalah musuh-musuh dan pembunuh gurunya, jadi keduanya juga musuh yang harus dia balas, namun melihat mereka berdua saling serang itu hati Kwan Cu condong Kepada Jeng-kin-jiu dan dia mengharapkan kemenangan bagi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!

Hal ini sebetulnya tidak mengherankan bagi kita, karena memang anak ini ketika pertama kali muncul di dunia ramai, ditemukan oleh Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai sebagai orang satu-satunya yang selamat dari kapal yang tenggelam oleh badai dan ombak.

Kemudian, bahkan Jeng-kin-jiu yang memberi nama Kwan Cu kepadanya sedangkan Ang-bin Sin-kai yang memberi nama keturunan Lu. Biarpun tokoh-tokoh aneh itu tidak menyatakan, akan tetapi setidaknya Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai adalah seperti “ayah-ayah angkat” bagi Kwan Cu. Tentu saja dia lebih sayang kepada Ang-bin Sin-kai karena pengemis sakti ini selain menjadi gurunya, juga sikapnya lebih baik terhadapnya.

Ketika Kwan Cu memperhatikan jalannya pertempuran, ternyata bahwa betapapun lihainya Jeng-kin-jiu dengan toyanya, namun tongkat dan tasbih Hek-i Hui-mo masih lebih lihai lagi. Memang, dahulu ketika mereka masih memperebutkan Kwan Cu dan rahasia kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tingkat atau ketangguhan ilmu silat mereka seimbang.

Akan tetapi, semenjak dia mendengar isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng salinan yang dibaca oleh pujangga Tu Fu, dia lalu mendapat kemajuan yang hebat dan juga aneh, seperti halnya Kiu-bwe Coa-li yang juga ikut mendengarkan. Tadi ketika dikeroyok kalau saja tidak keburu Coa-tok Lo-ong melepaskan asap berbisa yang amat ampuh, agaknya takkan ada yang sanggup mengalahkan atau merobohkan Kiu-bwe Coa-li.

Kwan Cu melihat betapa Jeng-kin-jiu ternyata masih kalah setingkat, menjadi ikut penasaran. Dalam hal tenaga, agaknya Jeng-kin-jiu tidak kalah, akan tetapi ilmu tongkat dari Hek-i Hui-mo benar-benar aneh dan ditambah pula dengan tasbihnya yang merupakan tangan maut menyambar-nyambar, keadaan Jeng-kin-jiu amat terdesak.






Tiba-tiba Kwan Cu mengeluarkan seruan tertahan, seruan yang mengandung kemarahan besar, akan tetapi dia tidak berbuat sesuatu, karena kesadarannya mengingatkan bahwa yang bertempur adalah musuh-musuh besar gurunya. Ia mengeluarkan seruan ketika melihat kecurangan yang terjadi dalam pertempuran itu. Tanpa disangka-sangka, Coa-tok Lo-ong menyerang Jeng-kin-jiu dengan senjata rahasia yang amat halus dan tidak dapat dilihat oleh mata.

“Itu jarum-jarum Coa-tok-ciam…….. ” Yok-ong juga berseru perlahan.

Jeng-kin-jiu bukanlah seorang yang disebut tokoh nomor satu di selatan kalau dia tidak tahu akan serangan gelap ini. Biarpun jarum-jarum itu amat halus dan tidak kelihatan oleh mata, namun dia masih dapat mendengar suara angin senjata rahasia ini dan cepat-cepat dia mengebutkan tangan baju sebelah kiri.

Ia tidak dapat berbuat lain karena pada saat itu, Hek-i Hui-mo sedang melakukan serangan yang hebat dan mendesaknya, tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyingkirkan diri. Oleh karena ini, biarpun dia dapat mempergunakan ujung lengan baju menyampok jatuh banyak jarum-jarum Coa-tok-ciam (Jarum Racun Ular) namun dia tidak dapat sama sekali membebaskan diri dari ancaman jarum-jarum yang dilontarkan dalam gelombang ke dua.

Tiga batang jarum hitam yang amat halus telah mengenai tubuhnya, sebatang di paha, sebatang di pundak dan sebatang lagi merasuki punggungnya. Kalau orang lain yang terkena jarum-jarum ini, tentu akan roboh pada saat itu juga.

Akan tetapi Jeng-kin-jiu adalah seorang yang tubuhnya sudah penuh oleh hawa murni dan tenaga lweekangnya sudah dapat dia salurkan sampai ke ujung-ujung kuku. Maka begitu merasa tiga bagian tubuhnya itu gatal-gatal dan sakit, dia cepat mempergunakan Ilmu Pi-khi-koan-hiat (Menutup Hawa Menghentikan Jalan Darah) sehingga racun dari Coa-tok-ciam yang memasuki tubuhnya tidak dapat menjalar dan hanya mengeram di sekitar jarum itu saja.

Sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa terkurung, Jeng-kin-jiu lalu memutar toyanya dengan tenaga raksasa, dia maju dan menyerang membabi-buta. Terutama sekali dia mengejar Coa-tok Lo-ong yang sudah melukainya dengan cara amat curang itu.

Coa-tok Lo-ong terkejut sekali karena tahu-tahu hwesio gemuk bundar itu sudah tiba di depannya dan memukul dengan kerasnya. Ia mengelak dan berbareng dari samping menyabetkan ularnya ke arah dada Jeng-kin-jiu.

Akan tetapi, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mengulur tangan kiri, menangkap kepala ular itu dan sekali remas saja, hancurlah kepala ular itu! Berbareng dengan itu, kembali dia mengirim serangan dengan toyanya. Coa-tok Lo-ong cepat menyingkir dan sebentar saja Jeng-kin-jiu yang mengamuk seperti singa gila itu telah dikurung oleh Hek-i Hui-mo dan lain-lain.

Bahkan kini para perwira juga ikut mengepungnya. Akan tetapi mereka ini hanya mengantar nyawa dengan sia-sia saja karena sebentar saja di tangan Jeng-kin-jiu telah menghancurkan kepala beberapa orang pengeroyok.

“Mundur semua……!” seru Kiam Ki Sianjin yang kini ikut mengepung pula. “Biarkan para cianpwe yang membunuh anjing gila ini!”

Akan tetapi keributan semua ini sebetulnya tidak ada gunanya. Pada saat dia mengamuk, terpaksa untuk menyalurkan tenaga lweekang pada gerakan-gerakannya, kadang-kadang Jeng-kin-jiu harus melepaskan Ilmu Pi-khi-koan-hiat sehingga racun-racun itu mulai menjalar di tubuhnya.

Maka tiba-tiba dia merasa kedua matanya gelap. Sambil meramkan mata, hwesio yang kosen ini masih saja mengamuk terus, dan dia hanya melindungi tubuh dan melakukan serangan semata-mata menurutkan pendengaran telinganya saja.

Namun hal ini tidak berlangsung lama. Racun telah sampai di jantungnya dan tanpa mengeluarkan keluhan sedikit pun, Jeng-kin-jiu roboh dan tewas dengan toya masih berada dalam genggaman tangannya! Melihat hal ini, semua orang tertegun dan untuk beberapa lama keadaan menjadi sunyi.

“Inilah seorang yang gagah perkasa benar-benar, patut ditiru oleh kita semua. Demikianlah hendaknya sikap seorang gagah dan namanya takkan terlupa oleh keturunan kita!” kata Kwa Ok Sin sambil menarik napas panjang berulang-ulang.

Pada saat pertempuran terjadi, Sui Ceng telah menghampiri gurunya dan berlutut di depan tubuh gurunya dengan muka sedih. Demikian pula Kun Beng dan Swi Kiat telah berlutut di depan Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Dua tokoh besar ini telah siuman dari pingsannya dan kini mereka hanya memandang murid-murid mereka dengan senyum tawar. Mereka tak berdaya, dan biarpun mereka dengan bantuan murid-murid mereka dapat duduk, namun kedua pundak mereka tak dapat digerakkan lagi sehingga tak mungkin mereka menghadapi lawan dalam pertempuran.

“Sekarang boleh dilakukan hukuman terhadap Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian yang membunuh murid-murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai!” kata Coa-tok Lo-ong tanpa mengenal malu sambil memandang kepada dua orang ketua partai Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.

“Asal mereka sudah mengaku dan memberi tahu mengapa mereka melakukan pembunuhan secara curang terhadap muridku, pinto sudah puas dan bersedia memaafkan mereka,” kata Bin Kong Sian-su ketua Kim-san-pai. Mendengar ini, Bian Kim Hosiang juga mengangguk-anggukkan kepalanya.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai mendengar omongan itu lalu tertawa bergelak. Biarpun kedua pundak dan lengannya tidak dapat digerakkan lagi, namun tubuhnya masih kuat dan sekali menggerakkan kaki, dia telah melompat berdiri, kedua muridnya berdiri di kanan-kirihya. Sikapnya masih gagah, hanya kedua lengannya saja yang tergantung tak berdaya.

“Dua orang Ciangbunjin dari Bu-tong dan Kim-san agaknya sudah gila, buta atau memang sudah kembali menjadi anak-anak kecil. Aku Siangkoan Hai, selama hidup tidak pernah berbuat curang, sungguhpun sudah berkali-kali dicurangi orang seperti yang baru saja kualami ini. Maka dua orang Ciangbunjin harap membuka mata lebar-lebar dan mempergunakan pula otaknya!”

“Benar, kalian ditipu oleh jahanam-jahanam tak tahu malu seperti Coa-tok Lo-ong, masih keenakan saja, mana orang-orang macam kalian ini pantas menjadi ketua dari partai-partai besar?” kata Kiu-bwe Coa-li yang juga sudah berdiri, Sui Ceng berdiri di sebelahnya dan kini cambuk berekor sembilan itu dipegang oleh Sui Ceng.

Biarpun gadis ini masih agak lemah dan pundaknya masih terasa sakit, ia dengan gagah berdiri di samping gurunya, siap membelanya mati-matian.

Mendengar kata-kata Kiu-bwe Coa-li yang tidak disengaja mendakwa kepada Coa-tok Lo-tong, sute dari Hek-i Hui-mo ini berubah mukanya. Akan tetapi Kiam Ki sianjin yang mendalangi semua itu, menjadi khawatir sekali. Tokoh-tokoh besar yang pro rakyat kini sudah tak berdaya, tidak membasmi mereka sekarang mau tunggu kapan lagi? Kalau mereka ini sudah tewas, berapa besar kekuatan pemberontak?

“Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li, biarpun kalian sekarang sudah dikalahkan, aku masih membuka kesempatan bagimu. Kalau kalian suka tunduk dan berjanji akan membantu kami atau akan membujuk agar supaya para pemimpin pemberontak mengundurkan diri, kami akan memberi ampun kepada kalian dan murid-murid serta kawan-kawanmu.”

“Bangsat tua, siapa sudi mendengar omongan-omonganmu? Mau bunuh lekas bunuh, habis perkara!” kata Kiu-bwe Coa-li dan biarpun kedua lengannya sudah lumpuh tak dapat digerakkan lagi, namun sepasang matanya mengeluarkan cahaya berkilat dan sepasang kakinya siap untuk mengirim tendangan maut.

“Kiam Ki Sianjin, anjing penjilat belang! Apa sih sayangnya kalau tulang-tulangku yang keropos ini dihancurkan? Aku akan mati sebagai seorang gagah, bukan seperti kau yang kelak mampus seperti anjing penjilat kelaparan yang tidak dipakai lagi oleh majikanmu, penjajah asing!” Pak-lo-sian Siangkoan Hai mencaci.

Naik darah Kiam Ki Sianjin mendengar ini dan dia lalu mencabut pedangnya. Ia adalah seorang tokoh besar yang dijuluki Pak-kek-sian-ong, bagaimana dia bisa menelan mentah-mentah hinaan ini?

“Kalau begitu mampuslah kalian!” bentaknya.

Akan tetapi tiba-tiba Seng Thian Siansu melompat dan pedangnya menangkis pedang di tangan Kiam Ki Sianjin.






Tidak ada komentar :