*

*

Ads

Jumat, 22 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 164

“Nanti dulu, Kiam Ki Sianjin. Biarpun kawan-kawanku telah kalah oleh akal busuk, akan tetapi di fihakku masih ada aku orang tua. Kalau aku sudah kalah, boleh kalian berbuat sesuka hatimu terhadap kami. Hayo, majulah, aku menyediakan selembar nyawaku yang tidak berharga!”

Biarpun sudah amat tua dan lemah, ketua Kun-lun-pai ini berdiri dengan gagahnya, pedangnya siap di tangan melakukan gerak Sian-jin-tit-louw (Dewa Menunjuk Jalan), membuka kuda-kudanya dengan tenang sekali.

Seng Thian Siansu adalah ketua Kun-lun-pai, seorang tua yang banyak dikenal dan disegani orang. Sebagai seorang ciangbunjin dari partai yang amat besar, dia dihormati sekali dan karenanya kali ini setelah dia yang maju, dari fihak Kiam Ki Sianjin tidak ada yang berani mengeroyok.

Akan tetapi mereka ini tidak menjadi gentar, karena para tokoh ini maklum bahwa Seng Thian Siansu sekarang berbeda dengan Seng Thian Siansu sepuluh dua puluh tahun yang lalu. Kakek ini sudah terlalu tua dan kabarnya sudah beberapa kali menderita sakit tua sehingga amat lemah dan tidak memiliki lagi tenaga besar .

Toat-beng Hui-houw hendak mencari jasa, maka sambil tertawa-tawa dia melompat maju menghadapi Seng Thian Siansu.

“Aku mohon pengajaran dari Siansu yang namanya tersohor di kolong langit,” katanya sambil menyeringai dan menggerakkan kedua tangan sehingga sepuluh kukunya terulur panjang.

Kemudian dengan gerakan cepat sekali dia maju menyerang dengan sepasang tangannya yang digerakkan seperti seekor harimau mencakar. Tidak ketinggalan kedua kakinya mengirim tendangan bertubi-tubi sehingga dia benar-benar kelihatan seperti seekor harimau menyerang.

Seng Thian Siansu adalah seorang ketua dari partai besar, tentu saja ilmu kepandaiannya amat tinggi. Ia adalah ahli waris dari ilmu silat Kun-lun-pai dan tentang kepandaian, dia jauh lebih menang daripada Toat-beng Hui-houw. Akan tetapi sayang sekali, sudah ada belasan tahun dia termakan oleh usia tua sehingga tenaganya sebagian lenyap dan juga kegesitannya berkurang banyak. Bagaikan sebatang pedang pusaka yang ampuh, apa dayanya kalau sudah dimakan karat?

Maka begitu pedangnya yang menangkis serangan Toat-beng Hui-houw terbentur oleh kuku tangan kakek seperti siluman ini, dia merasa telapak tangannya tergetar dan pedangnya terpental. Dengan cepat Seng Thian Siansu terkurung dan terdesak hebat oleh Toat-beng Hui-houw yang menyerang sambil tertawa-tawa mengejek.

Akan tetapi dia salah kira kalau dapat dengan mudah mengalahkan kakek yang usianya sudah tinggi sekali itu. Ilmu pedang dari Seng Thian Siansu sudah mencapai tingkat mendekati kesempurnaan, maka daya tahannya juga amat luar biasa. Sayang sekali, seperti sudah dituturkan di atas, tenaga kakek ini sudah amat terbatas, demikian pula kecepatannya. Ia sudah mulai terengah-engah, akan tetapi dengan semangat penuh dia masih terus mempertahankan diri.

Kwan Cu sudah bergerak hendak melompat, akan tetapi kembali Yok-ong mencegahnya.

“Bagaimana kita bisa membantu kalau mereka bertempur satu lawan satu?” katanya.

Kwan Cu menjadi bingung. Sejak tadi dia hendak membantu fihak Pak-lo-sian, akan tetapi kesempatan baik belum ada. Tentu saja dia pun harus tunduk pada Yok-ong yang mengemukakan alasan-alasan kuat. Sebagai orang gagah dia harus bisa memegang aturan.

Seng Thian Siansu kini benar-benar terdesak hebat. Pada suatu saat, Toat-beng Hui-houw yang merasa penasaran sekali mengapa sebegitu lama belum juga dia bisa mengalahkan kakek tua renta itu, membentak keras dan kedua tangannya dapat menangkap tangan ketua Kun-lun-pai itu yang memegang pedang.

Seng Thian Siansu merasa tangan kanannya sakit sekali bagaikan terjepit oleh jepitan baja. Kuku-kuku kedua tangan Toat-beng Hui-houw amblas ke dalam tangannya dan menghancurkan tangan itu. Akan tetapi, sambil menahan sakit, ketua Kun-lun-pai ini menggunakan tangan kirinya untuk memukul sambil mengerahkan seluruh tenaga terakhir ke arah dada Toat-beng Hui-houw.

“Blek!”

Toat-beng Hui-houw mengeluarkan gerengan seperti seekor macan terpukul. Tubuhnya terhuyung dan dia muntahkan darah segar. Biarpun tenaga kakek Kun-lun-pai itu tidak begitu besar, akan tetapi karena rasa sakit pada tangan kanannya, tenaganya bertambah dan pukulan itu hebat sekali.






Akan tetapi, dia sendiri terpaksa harus melepaskan pedangnya dan tangan kanannya sudah bukan berupa tangan lagi. Jari-jarinya putus dan tangan itu hancur! Seng Thian Siansu maklum bahwa selain tangan kanannya hancur juga darahnya telah kemasukan racun yang keluar dari kuku-kuku tangan Toat-beng Hui-houw, maka dia lalu duduk bersila meramkan mata, menanti datangnya maut dengan tenang.

Sebaliknya, Toat-beng Hui-houw akhirnya roboh pingsan. Pada saat semua orang masih bengong melihat pertempuran yang berakibat hebat itu, tiba-tiba Sui Ceng melompat, menyambar pedang Seng Thian Siansu yang jatuh di atas tanah dan sebelum ada orang yang dapat mencegahnya, gadis ini mengayun pedang dan putuslah leher Toat-beng Hui-houw!

Sesaat semua orang terkesima, akan tetapi segera gegerlah orang-orang yang berada di fihak Kiam Ki Sianjin. Beberapa orang melompat maju dan Kiam Ki Sianjin sendiri berseru,

“Curang sekali……!”

Bun Sui Ceng setelah memenggal kepala Toat-beng Hui-houw, lalu tertawa nyaring dan berkata,

“Ibu, terbalaslah sudah dendam hatimu terhadap siluman ini!”

Kemudian dengan air mata mengucur gadis ini berdiri dengan gagahnya menghadapi Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya.

“Bukan Seng Thian Siansu yang curang, akan tetapi aku sendiri Bun Sui Ceng yang sengaja memenggal kepala siluman ini, untuk membalas sakit hati ibuku yang tewas di tangannya. Siapa tidak terima? Boleh maju! Untuk perbuatanku tadi, aku sanggup menghadapi segala akibatnya!”

“Tangkap dia!”

“Bunuh dia!”

“Basmi semua pemberontak!”

Teriakan-teriakan ini terdengar saling susul dan semua orang yang berada di fihak Kiam Ki Sianjin, kecuali orang-orang Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, serentak maju hendak menggempur Sui Ceng dan yang lain-lain.

“Tahan dulu…….!!”

Tiba-tiba bayangan yang amat cepatnya melayang dan menyambar-nyambar, diikuti bayangan lain yang juga amat gesitnya. Bayangan pertama adalah Kwan Cu yang tak dapat menahan hatinya lagi, apalagi ketika melihat betapa Sui Ceng berada dalam bahaya hendak dikeroyok.

Begitu tiba ditempat itu, Kwan Cu menggerakkan kedua tangannya ke arah para pengeroyok. Dengan amat cepat, tanpa dapat terlihat oleh lain orang, dia telah memukul mundur semua orang dengan pukulan-pukulan Pek-in-hoat-sut.

Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya hanya merasa adanya angin yang kuat sekali mendorong mereka mundur beberapa tindak dan ternyata tahu-tahu pemuda dusun yang tadi dianggap tolol telah berdiri menghadapi mereka sambil bertolak pinggang.

Adapun bayangan ke dua adalah Hang-houw-siauw Yok-ong. Berbeda dengan Kwan Cu raja tabib ini dengan cepat sekali seperti burung menyambar-nyambar, telah dapat menyambar tubuh Thian Seng Siansu, kemudian berturut-turut dia menyambar tubuh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Kiu-bwe Coa-li, dibawa ke belakang, kemudian tanpa mempedulikan Sesuatu dia mengobati tokoh-tokoh yang terluka ini.

Pertama-tama dia mempergunakan obat untuk mengobati luka di tangan Seng Thian Siansu karena keadaan kakek ini yang paling hebat. Setelah menotok beberapa jalan darah, Yok-ong lalu memberi obat pada tangan yang rusak dan memberi pil ke dalam mulut kakek ini yang memandangnya dengan penuh keheranan dan kekaguman.

Setelah itu, barulah Yok-ong memeriksa di pundak Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li. Karena dia amat lihai dalam ilmu mengobatan, tulang pundak yang sudah terlepas dan kalau menurut ahli pengobatan lainnya baru akan sembuh sedikitnya dua pekan, sebentar saja Yok- ong sudah dapat menyambungnya dengan baik!

“Sayang tak boleh mengerahkan tenaga lweekang di kedua lengan pada hari ini, harus menanti sampai dua hari.” kata Yok-ong kepada dua orang tokoh itu.

“Eh, muka hitam! siapakah kau yang sudah berpura-pura dungu dan bodoh, menyamar sebagai petani ini?” tanya Kiu-bwe Coa-li dengan heran sekali.

Pak-lo-sian tertawa.
“Ha-ha-ha, didunia ini yang dapat mengobati orang seperti ini hanyalah Hang-houw-siauw Yok-ong. Bukankah kau Yok-ong?”

Akan tetapi Yok-ong tidak menjawab, hanya menudingkan telunjuk ke depan dan mukanya berubah terheran-heran Sehingga dia menjadi bengong. Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li juga memandang ke depan. Mereka melihat betapa Sui Ceng sudah mundur, juga kini Sui Ceng, Kun Beng, swi Kiat dan dua orang anak murid Kun-lun-pai, memandang dengan bengong ke tengah lapangan adu silat tadi. Memang apa yang mereka lihat amat mengherankan hati mereka.

Kwan Cu dengan tangan bertolak pinggang menghadapi Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya. Pemuda ini kelihatan marah sekali, akan tetapi mukanya kelihatan amat lucu karena muka yang berwarna merah seperti udang direbus itu tidak dapat digerakkan sehingga seperti topeng saja.

“Kalian ini pengkhianat-pengkhianat bangsa dan anjing-anjing penjilat selalu memutar balikkan duduknya perkara. Diri sendiri pengecut dan curang mengatakan orang lain curang. Sungguh tak tahu malu!”

Karena Kwan Cu sengaja mengubah suaranya, Kiam Ki Sianjin tidak mengenalnya. Akan tetapi karena melihat betapa pukulan anak muda ini benar-benar lihai, dia berlaku hati-hati dan menjawab,

“Bocah dusun! Bagaimana kau bisa bilang begitu? Memang fihak Pak-lo-sian amat curang, kalau tidak curang, mengapa gadis itu membunuh Toat-beng Hui-houw yang sedang tak berdaya?”

“Nona itu membunuh siluman Toat-beng Hui-houw bukan untuk mengeroyok dan bukan untuk berlaku curang. Kalian sudah mendengar sendiri bahwa ibunya terbunuh oleh Toat-beng Hui-houw! Pembalasan dendam tidak boleh dicampur-adukkan dengan perbuatan curang. Andaikata kalian menganggapnya mengeroyok, biarlah itu dianggap pula sebagai pembalasan karena bukankah kalian tadi juga mengeroyok ketika kedua locianpwe Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian maju?”

“Setan kecil! Kalau kau memang murid seorang pandai dan mengaku sebagai orang gagah atau pendamai, ternyata kau berat sebelah! Mungkin sekali Toat-beng Hui-houw membunuh ibu gadis itu, akan tetapi siapa tahu kalau memang ibu gadis itu penjahat besar?”

Kwan Cu tertawa dan dia menjura kepada Kiam Ki Sianjin dengan penghormatan yang sifatnya mengejek.

“Harap Locianpwe suka mendengarkan dongenganku sebentar. Toat-beng Hui-houw, adalah suheng dari Tauw-cai-houw, saikong yang berwatak keji dan suka makan daging anak-anak kecil. Pada suatu hari pendekar wanita Pek-cilan Thio Loan Eng yang namanya sudah tersohor di seluruh penjuru dunia, menewaskan bangsat keji itu dengan pedangnya. Bukankah itu sudah adil? Lalu siluman tua ini, Toat-beng Hui-houw, melakukan pembalasan terhadap Pek-cilan Lihiap. Inipun boleh-boleh saja karena memang dia suheng dari Tauw-cai-houw. Akan tetapi tahukah Locianpwe bagaimana cara Toat-beng Hui-houw membalas dendam? la menawan Pek-cilan Lihiap, kemudian selagi pendekar wanita itu masih hidup, dia menggigit lehernya dan mengisap darahnya sampai habis!”

Terdengar seruan-seruan kaget, dua orang ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai beserta anak murid mereka bergidik mendengar perbuatan yang amat keji dan di luar perikemanusiaan ini! Bun Sui Ceng menjadi pucat dan ia mengeluarkan pertanyaan tanpa disadarinya.

“Siapa dia yang mengerti semua peristiwa itu?”

Pertanyaan ini terdengar pula oleh Kiam Ki Sianjin yang juga menjadi penasaran, maka tanyanya.

“Orang muda, siapakah namamu dan apa kehendakmu sekarang?”

“Namaku? Aku adalah Ang-bin Siauw-bu-beng (Si Kecil Tak Bernama Yang Bermuka Merah). Dan kehendakku? Tak lain kedatanganku ini untuk mendongeng!”






Tidak ada komentar :