*

*

Ads

Jumat, 22 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 165

Semua orang, baik dari fihak Kiam Ki Sianjin maupun di fihak Pak-lo-sian Siang-koan Hai, tak seorang pun yang pernah mendengar nama julukan Ang-bin Siauw-bu-beng, maka mereka memandang heran. Apalagi ketika Kwan Cu menyatakan bahwa kedatangannya untuk mendongeng!

Sui Ceng hampir tak dapat menahan ketawanya karena ia merasa amat lucu. Bagaimana di tengah-tengah medan pertandingan mati-matian yang telah mengorbankan begitu banyak nyawa orang, pemuda muka merah yang buruk rupa ini datang hendak mendongeng? Sungguh menggelikan.

Akan tetapi Kiam Ki Sianjin marah bukan main. Ia adalah seorang ahli silat kelas satu, masa sekarang dia boleh dipermainkan begitu saja oleh seorang badut muda ?

“Jangan kau main-main, lekas pergi kalau kau tidak ingin remuk tulang-tulangmu. Siapa sudi mendengar ocehan dan dongenganmu?”

Sambil berkata demikian, dia mendorong dengan kedua tangannya dengan sikap seperti orang mau mengusir. Akan tetapi sebenarnya dalam dorongannya ini, dia mengerahkan tenaga Jian-mo-kang yang luar biasa dahsyatnya.

Kwan Cu hanya merendahkan sedikit tubuhnya dan dari bawah kedua tangannya diangkat seperti orang yang mencegah orang yang hendak memukulnya. Kiam Ki Sianjin terkejut bukan main. Tadi dia mengerahkan tenaga Jian-mo-kang dan dia tahu bahwa jangankan pemuda aneh ini, biarpun batu yang beratnya beribu kati akan terguling terkena dorongannya ini. Baru angin dorongannya saja sudah bertenaga sedikitnya tiga ratus kati.

Akan tetapi, pemuda itu dengan merendahkan tubuh dan mengangkat kedua tangan, ternyata dari angkatan tangan ini keluar sebuah tenaga tersembunyi yang dari bawah mendorong tangan Kiam Ki Sianjin ke atas sehingga dorongan tenaga Jian-mo-kang lewat di atas kepala Kwan Cu mengenai angin kosong! Daun-daun pohon yang berada di sebelah belakang Kwan Cu, seperti tertiup angin ketika terkena sambaran tenaga Jian-mo-kang yang menyeleweng ke atas ini dan rontoklah banyak daun pohon itu!

“Locianpwe, ampunkan selembar nyawaku dan jangan bunuh aku dulu sebelum boanpwe (aku yang rendah) mendongeng,”. kata Kwan Cu sambil tersenyum. “Tadi sudah kuceritakan dongeng tentang Toat-beng Hui-houw sehingga kita semua kini tahu akan macam orang itu dan kiranya sudah sepatutnya kalau nona yang lihai itu membunuhnya. Sebelum mendongeng tentang para locianpwe yang masih hidup, aku akan mulai dengan yang sudah tewas, yakni Jeng-kin-jiu Locianpwe. Dia itu memang sekarang tewas sebagai seorang gagah, akan tetapi harus disayangkan bahwa kematiannya itu merupakan penebusan dosa dari penyelewengan hidupnya. Benar-benar sayang. Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu adalah seorang tokoh besar dari selatan yang biarpun amat aneh namun belum pernah berlaku curang dan jahat. Akan tetapi, seperti yang dikatakan oleh guru besar Khong Cu, musuh manusia yang paling berbahaya adalah dirinya sendiri! Melihat kehidupan mulia dan enak, Jeng-kin-jiu telah kena dibujuk dan menjadi kaki tangan An Lu Shan, bahkan mengajar para pangeran, sama sekali tidak peduli bahwa majikannya itu adalah penindas bangsanya. Kemudian, lebih celaka lagi, dengan kawan-kawannya yang sama-sama menyeleweng batinnya, dia melakukan pengeroyokan dan membunuh seorang pendekar besar yang namanya akan tetap wangi selama dunia berkembang, yaitu Ang-bin Sin-kai Lu Sin! Adapun Liok-te Mo-li nenek yang aneh itu, memang ia gagah perkasa dan lihai sekali, juga selalu di waktu dahulu ia membasmi orang-orang jahat. Sayang dia terlalu ganas dan kejam, menyebar maut seenaknya saja maka akhirnya ia pun tewas karena curangnya orang-orang jahat pula!”

Mendengar ucapan-ucapan Kwan Cu makin mengacau, apalagi melihat betapa musuh-musuh besarnya, yakni Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian telah tertolong dan telah diobati oleh seorang kakek muka hitam yang aneh, Bian Kim Ho siang dan Bin Kong Siansu menjadi marah dan keduanya melompat maju.

“Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, dua manusia durhaka! Jangan kalian bersembunyi dibalik kegilaan badut kecil ini. Kalian sudah sembuh? Hayo kita bertanding lagi sampai salah seorang diantara kita mampus!” bentak Bian Kim Hosiang.

“Fihak Pak-lo-sian sudah kalah semua, disana tidak ada jagonya lagi. Menurut perjanjian mereka harus mengaku kalah dan mentaati perintah kehendak kami!”

Kiam Ki Sianjin berkata keras, tanpa mempedulikan lagi kepada pemuda muka merah itu.

Pak-lo-sian dan Seng Thian Siansu saling pandang, lalu tersenyum pahit.
“Kiam Ki Sianjin, kami adalah orang-orang gagah yang sekali mengeluarkan ludah takkan dijilat lagi!”

Seng Thian Siansu mengangguk-anggukkan kepalanya yang rambutnya sudah putih semua. Mereka memang sudah tidak berdaya. Kiu-bwe Coa-li sudah tak dapat menggerakkan kedua lengannya, demikian pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Seng Thian Siansu sendiri tangannya sudah remuk, tak mungkin berkelahi lagi. Murid-murid Pak-lo-sian juga terluka, demikian pula Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li. Adapun dua orang murid Kun-lun-pai kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat lawan. Mereka terpaksa harus mengaku kalah.






“Jadi kau sudah mengaku bahwa fihakmu kalah, Pak-lo-sian?” tanya Kiam Ki Sianjin dengan muka kegirangan.

“Memang….. kami……”

Tiba-tiba Kwan Cu melanjutkan kata-kata Pak-lo-sian ini dengan cepat.

“Kami belum kalah! Aku Ang-bin Siauw-bu-beng mewakili fihak Pak-lo-sian Cianpwe menjadi jagonya!”

Tiba-tiba Yok-ong melompat di dekat Kwan Cu. Semua orang lagi-lagi tertegun karena gerakan kakek muka hitam itu demikian cepatnya sehingga sekali lihat saja tahulah semua orang bahwa kakek ini memiliki kepandaian yang amat tinggi.

“Siauw-bu-beng, tak boleh kau meninggalkan Lohu! Kalau kau yang muda berani maju, mengapa aku tidak?”

Yok-ong adalah seorang ahli silat yang kepandaiannya sudah hampir sempurna, maka tentu saja dia pun dihinggapi penyakit “gatal tangan” seperti ahli-ahli silat lain apabila melihat adu kepandaian, apalagi menghadapi begitu banyak jago-jago silat. Maka dia tidak dapat menahan hatinya untuk “main-main” sebentar, dan di samping ini dia juga merasa khawatir melihat Kwan Cu menghadapi para tokoh besar itu. Ia tahu bahwa Kwan Cu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi berapa tinggikah kepandaian seorang bocah yang masih belum matang?

Yok-ong lalu menjura kepada Kiam Ki Sianjin setelah mengejapkan mata kepada Kwan Cu.

“Kiam Ki Sianjin, sudah lama sekali aku mendengar namamu yang menjulang setinggi awan. Sekarang, bertemu dengan kau sebagai kaki tangan kaisar, sungguh menyenangkan sekali. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktu dan kesempatan ini, dan mohon petunjukmu dalam ilmu pukulan.”

Kwan Cu maklum akan “penyakit” ahli silat yang menghinggapi Yok-ong, maka sambil memainkan mata kepada dua orang ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, dia berkata,

“Ji-wi Locianpwe harap mundur dulu, nanti saja kalau tiba giliran kita, Ji-wi maju lagi!”

Kata-kata ini memanaskan perut Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai, dan kalau saja yang mengeluarkan kata-kata main-main ini bukan seorang bocah, tentu dia sudah mengirim serangan.

Akan tetapi Bin Kong Siansu sudah menarik tangannya diajak mundur. Kwan Cu juga mundur, akan tetapi dia berdiri tidak jauh di belakang Yok-ong, karena dia merasa curiga dan khawatir kalau-kalau Yok-ong akan dicurangi pula.

Biarpun Kiam Ki Sianjin dapat menduga bahwa kakek muka hitam ini lihai, namun sebagai seorang tokoh besar dia tidak sudi bertanding melawan orang yang tidak terkenal, maka dia lalu menjura dan berkata,

“Sahabat telah mengetahui namaku yang rendah, sebaliknya aku belum tahu dengan siapa aku berhadapan. Ini tidak adil sekali.”

Yok-ong tertawa, suara ketawanya halus dan merdu seperti ketawa seorang yang amat sopan.

“Kiam Ki Sianjin, yang akan bergerak adalah tangan kaki kita, perlu apa memperkenalkan nama? Akan tetapi karena kau mendesak, baiklah. Namaku adalah Hek-bin Lo-bu-beng (Si Tua Tak Bernama Yang Bermuka Hitam)!”

Kwan Cu tertawa geli. Kiranya kakek Raja Tabib ini meniru dia, menambah kata-kata Muka Hitam di depan nama julukan baru, yakni Lo-bu-beng.

Kiam Ki Sianjin menjadi merah mukanya.
“Hm, kau dan bocah itu sengaja tidak mau memperkenalkan nama. Akan tetapi tidak apalah. Apakah kau maju sebagai jago dari fihak pemberontak?”

“Sesukamu, boleh saja kau menganggap begitu. Akan tetapi sebetulnya lebih tepat kalau dikatakan bahwa aku maju sebagai wakil dari mereka yang tertindas. Kiam Ki Sianjin, keluarkanlah pedangmu, aku sudah lama mendengar bahwa kau adalah seorang ahli pedang yang jempolan!”

Kiam Ki Sianjin diam-diam berpikir dan mencari akal. Kalau orang ini sudah tahu bahwa dia pandai main pedang, tentulah orang ini sudah bersedia lebih dulu menghadapi pedangnya, dan boleh dipastikan bahwa kakek muka hitam ini tentulah seorang ahli dalam penggunaan senjata pula.

“Tak perlu menggunakan senjata,” katanya, “mari kita mengadu tenaga lweekang saja. Apakah kau berani menerima?”

Kiam Ki Sianjin adalah seorang yang semenjak muda meyakinkan ilmu lweekang sampai tingkat tinggi dan dalam hal kepandaian ini, kiranya dia tidak usah kalah oleh lima tokoh besar, yakni Pak-lo-sian, Jeng-kin-jiu, Ang-bin Sin-kai, Hek-i Hui-mo, dan Kiu-bwe Coa-li. Maka, mengira bahwa Si muka hitam ini ahli senjata, dia lalu memilih adu tenaga lweekang supaya mendapat kemenangan dengan mudah.

Yok-ong pura-pura terkejut dan menggeleng-geleng kepalanya.
“Ayaaa… mengapa kau mengajak yang aneh-aneh?”

“Berani tidak?” tanya Kiam Ki Sianjin mendesak, girang karena melihat si muka hitam kelihatannya ragu-ragu dan terkejut.

Kalau si muka hitam menolak, berarti orang itu mengaku kalah dan boleh dihukum menurut sesuka hati yang menang.

“Apa boleh buat, kau tuan rumah dan aku tamu yang harus menghormati kehendak tuan rumah. Dengan cara bagaimana kau hendak mengajakku mengadu kekuatan itu?” tanya Yok-ong.

“Tidak berbahaya, sama sekali tidak berbahaya! Kita mengadu telapak tangan dan mendorong, siapa yang jatuh di atas tanah dia yang kalah!” kata Kiam Ki Sianjin sambil tertawa-tawa.

Semua orang terkejut. Memang ada banyak cara mengadu lweekang, akan tetapi yang paling berbahaya adalah adu lweekang dengan menempelkan telapak tangan dan saling mendorong. Dalam adu lweekang macam ini, sembilan bagian orang yang kalah akan tewas atau setidaknya menderita luka dalam yang hebat sekali.

Akan tetapi anehnya, si muka hitam agaknya tidak mengerti akan bahaya itu dan dengan tertawa-tawa dia berkata,

“Aha, tidak tahunya kau akan mengajak aku main-main seperti anak kecil saja. Baiklah, memang aku pun tidak mempunyai niat buruk di dalam hatiku. Kalau menang baik, kalau kalah paling-paling hanya terdorong jatuh, apa susahnya?”

“Sahabat Lo-bu-beng, hati-hatilah! Dia punya tenaga Jian-mo-kang!” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang juga merasa khawatir kalau-kalau si muka hitam yang pandai mengobati itu akan binasa di bawah tangan Kiam Ki Sianjin yang lihai.

Yok-ong menoleh dan tersenyum kepada jago tua dari utara itu.
“Biarlah, kami hanya main-main dan saling dorong, bukan saling pukul. Apa sih bahayanya?”

Akan tetapi pada saat dia menoleh, Kiam Ki Sianjin sudah mengerahkan tenaga dan meluruskan kedua lengan ke depan, lalu membentak,

“Lo-bu-beng, bersiaplah!”

Yok-ong memutar tubuhnya dan bukan saja dia, juga tokoh-tokoh lain yang hadir di situ maklum bahwa kembali Kiam Ki Sianjin mempergunakan kesempatan untuk mencari kedudukan yang lebih menguntungkan.

Dalam adu tenaga seperti ini, siapa yang mengerahkan tenaga dan meluruskan lengan lebih dulu, dia berada dalam kedudukan menyerang, sedangkan yang menempelkan tangan dan meluruskan lengan terakhir berada dalam kedudukan menahan.

Akan tetapi agaknya si muka hitam ini tidak tahu akan hal ini bahkan tanpa menarik napas panjang seperti orang yang hendak mengumpulkan tenaga lweekang, akan tetapi dengan tertawa-tawa dia lalu memasang kuda-kuda dengan tumit diangkat, lalu meluruskan tangan menempelkan telapak tangan ke telapak tangan Kiam Ki Sianjin.






Tidak ada komentar :