*

*

Ads

Senin, 21 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 096

“Nah, inilah yng menggelisahkan hati kami, saudara Kwan Cu.”

Tulis Malita akhirnya setelah menceritakan semua hal yang terjadi di pulau itu dengan tulisan-tulisan yang kecil-kecil.

“Oleh karena itulah kami amat bercuriga dan membenci kaum laki-laki yang ternyata telah memberontak dan berhati palsu. Laki-laki yang kau robohkan tadi adalah seorang diantara para tawanan kami yang mencoba melarikan diri. Kami benar-benar gelisah sekali. Kepandaian Kahano demikian cepatnya maju dan lihai sekali, kalau semua laki-laki yang ikut dengan dia mendapat latihan dan memiliki kepandaian seperti dia, tentu kami akan kalah!”

Kwan Cu tersenyum, lalu dia pun minta kertas dan menuliskan banyak kata-kata di situ.
“Saudara Malita, Malika dan semua wanita yang berada di sini, maafkan kalau aku menyatakan sesuatu yang mungkin akan terasa janggal oleh kalian. Di duniaku, fihak laki-lakilah yang berkuasa dan fihak laki-laki yang mengatur seluruhnya.”

Para wanita ribut-ribut setelah membaca ini dan hampir saja mereka menyerang Kwan Cu kalau saja tidak dicegah oleh Malita.

“Kau laki-laki memang mau menang sendiri saja!” tulis Malita dengan coretan cepat, mengandung kemendongkolan hati. “Mendiang ibuku dulu pernah bercerita bahwa dahulu pernah kaum laki-laki kami memegang kekuasaan dan bagaimana keadaan nasib kami kaum wanita? Kaum lelaki enak-enak saja, kami wanita yang bekerja keras. Bukan itu saja, kami diperlakukan seperti barang permainan, mudah di tukar dan diperjual-belikan. Laki-laki mempunyai isteri berapa saja sesuka hatinya! Bahkan raja di kala itu mempunyai isteri lebih dari tiga puluh orang! Apa begitu pula keadaan di duniamu?”

Diam-diam Kwan Cu harus mengakui bahwa memang di dunianya hampir-hampir begitulah keadaannya. Memang banyak orang-orang lelaki, tidak semua dan ada kecualinya tentu, yang menganggap wanita sebagai barang permainan dan yang memandang rendah sekali kepada kaum wanita.

Bahkan dia pun telah mendengar tentang kaisar dan para pembesar yang mempunyai selir tidak hanya tiga puluh orang wanita, bahkan lebih banyak lagi. Ia harus berlaku cerdik untuk dapat membereskan persoalan pertempuran antara kaum laki-laki dan kaum wanita dari bangsa katai ini.

Kwan Cu menulis lagi.
“Sama sekali tidak begitu. Kaum laki-laki di negaraku selalu memperlakukan baik sekali terhadap wanita. Tak seorangpun laki-laki mau mengganggu wanita, menikah hanya dengan seorang isteri saja, hidup damai dan rukun, bekerja sama demi kebahagiaan suami isteri dan anak-anaknya. Laki-laki bertenaga lebih besar dan karenanya pekerjaan-pekerjaan berat yang memerlukan tenaga harus dilakukan oleh kaum lelaki, sebaliknya pekerjaan halus dan kerajinan tangan dilakukan oleh pihak wanita.”

Mendengar ini, para wanita saling pandang dan di antaranya ada yang mengucurkan air mata saking terharu hatinya.

“Alangkah bahagianya hidup kami kalau keadaan kami bisa seperti yang kau ceritakan itu,” menulis Malita. “Akan tetapi sayang, kaum laki laki bangsa kami lain lagi, dan itulah sebabnya maka dahulu kaum wanitanya memberontak dan mempelajari ilmu kepandaian agar dapat menguasai laki laki sehingga kami dapat mencegah perlakuan sewenang-wenang.”

“Kenapa tidak bisa diatur begitu? Kalian harus berusaha dan aku akan membantu kalian sehingga di pulau ini akan tercapai keadaan makmur dan damai seperti yang kuceritakan tadi.”

Wanita-wanita itu nampak girang dan wajah mereka berseri-seri. Diam-diam Kwan Cu harus akui bahwa wanita-wanita cilik ini rata rata memiliki wajah yang amat cantik menarik, terutama sekali Malita dan Malika, yang kecantikannya tidak kalah oleh wanita wanita di kota raja di negaranya.

“Akan tetapi, biarpun kami amat berterima kasih kepadamu, kami sangsi apakah kita akan dapat mengalahkan Kahano yang sudah tua itu mempunyai niat yang amat buruk. Pertama-tama dia menghendaki agar aku dan adikku Malika menjadi isterinya dan dia mau menjadi raja di sini!” ketika menuliskan hal ini, muka Malita menjadi merah saking marah dan jengahnya. “Dan yang amat mengkhawatirkan, kepandaiannya makin lama makin maju pesat sekali setelah dia berada di pulau kecil itu. Agaknya di pulau pohon putih itu dia mendapatkan seorang guru yang pandai.”

Mendengar ini, berdebar hati Kwan Cu.
“Pulau pohon putih? Di manakah itu?”

“Itulah pulau yang kini menjadi tempat tinggal mereka. Pulau itu di tumbuhi pohon-pohon putih, dan di situ terdapat banyak sekali gua-gua yang panjang dan aneh. Sebetulnya pulau itu menjadi tempat penguburan raja-raja kami, bahkan nenek sakti yang pernah menurunkan ilmu silat pada kami, juga berasal dari pulau itu dan di kubur di sana pula.”






Kwan Cu menyembunyikan rasa girangnya. Itulah gerangan pulau yang di maksudkan dalam buku sejarah Gui Tin dimana tersimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?

“Mari antarkan aku ke sana, akan kutawan semua laki-laki yang berada di sana. Akan ku tangkap Kahano yang memberontak itu!” katanya gagah sambil berdiri.

Akan tetapi Malita nampak ragu-ragu. Apalagi Malika yang lebih berwatak keras dari pada kakaknya. Gadis ini berdiri dan mencabut pedangnya.

“Raksasa,” tulisnya di tanah menggunakan ujung pedangnya, “kau mudah saja bicara seakan-akan kau benar-benar akan dapat menangkan Kahano dan kawan-kawannya. Sekarang begini saja, aku dan kakakku Malita hendak menguji kepandaianmu. Biarpun kau besar sekali dan tentu tenagamu amat besar, akan tetapi kalau tidak memiliki kepandaian, apa gunanya?”

Malika menegur adiknya dengan kerling mata tajam, kemudian ia menulis.
“Maafkan adikku yang nakal dan kasar, saudara Kwan Cu. Akan tetapi, ada pula benarnya kata-kata itu. Kami tidak mau membiarkan kau yang bermaksud baik itu mengalami kegagalan dan celaka di tangan Kahano yang lihai. Maka, maukah kau kuuji kepandaianmu?”

Kwan Cu mengangguk, dan tanpa banyak cakap, dia bersiap sedia, berdiri menghadapi dua orang gadis itu dengan hati-hati. Ia dapat menduga bahwa kedua orang gadis yang kecil ini memiliki ginkang yang amat tinggi dan karenananya tentu memiliki kepandaian yang tak boleh dipandang ringan.

Malita dan Malika bersiap dengan pedang mereka, kemudian Malika berseru dan menyerbulah kedua orang gadis itu dengan hebatnya. Malita melompat dan tubuhnya melayang tinggi sehingga ia dapat menusukkan pedangnya ke arah dada Kwan Cu, adapun Malika yang cerdik menggunakan pedangnya untuk membabat kedua kaki Kwan Cu yang besar.

Benar saja dugaan Kwan Cu, gerakan dua orang gadis ini cepat sekali dan cara penyerangan mereka menggunakan teori silat yang tinggi. Kwan Cu menggunakan Pai-bun-tui-pek-to untuk menghadapi serangan dua orang gadis kecil ini.

Baiknya pemuda ini telah memiliki pandangan mata yang awas dan karena tubuhnya jauh lebih besar, maka langkahnya pun lebar sekali bagi Malita dan Malika. Sekali saja Kwan Cu melangkah, dia telah menghindarkan diri jauh-jauh dari dua pedang kecil yang menyerangnya. Akan tetapi bagaikan dua ekor nyamuk yang gesit sekali, Malita dan Malika terus mendesak dan mengejarnya dengan pedang mereka.

Kwan Cu memperhatikan gerakan-gerakan mereka dan diam-diam dia terkejut sekali. Ilmu pedang mereka itu benar-benar lihai, dan kalau saja mereka merupakan dua orang gadis dengan tubuh sebesar dia, tentu dia takkan sanggup menghindarkan diri dari serangan mereka itu.

Gerakan pedang mereka selain amat cepat, juga gerakannya mempunyai perubahan yang tak terduga-duga, begitu indah dan juga kuat sekali. Tubuh mereka seakan-akan telah menjadi satu dengan pedang dan bagaikan dua kunang-kunang di waktu malam gelap, dua orang gadis itu menyambar-nyambarnya dari segala jurusan.

Kwan Cu menjadi bingung. Untuk membuktikan bahwa dia dapat membantu mereka ini dan mengalahkan para pemberontak, dia harus dapat menunjukkan kepandaiannya dan dapat mengalahkan Malita dan Malika. Akan tetapi, dengan tangan kosong saja, tak mungkin dia dapat mengalahkan mereka tanpa melukai mereka ini. Ia tentu akan dapat mempergunakan Ilmu silat Sin-ci-tin-san yang lihai, akan tetapi apakah tubuh mereka yang kecil-kecil ini akan dapat menahan hawa pukulan Sin-ci-tin-san?

Makin lama, Malita dan Malika mendesaknya makin hebat sehingga Kwan Cu terpaksa menahan desakan mereka dengan Ilmu Silat Sam-hoan-ciang. Ilmu silat ini biarpun hanya terdiri dari tiga bagian pukulan, namun membuat dia dapat bertahan kuat dan hawa pukulan yang ditimbulkan dari gerakan kedua tangannya merupakan perisai yang menangkis semua serangan lawan.

Malita dan Malika tak dapat mendekatinya lagi karena di sekitar tubuh pemuda itu bertiup angin pukulan yang membuat tubuh mereka terpental mundur kembali setiap kali mereka hendak menyerang.

Kwan Cu masih tidak puas dan sambil tersenyum dia lalu mengeluarkan sulingnya yang tadi dia ambil dari buntalan pakaian dan dia selipkan di ikat pinggangnya.

Malita memandang heran. Apakah pemuda raksasa yang aneh dan lihai ini hendak menyuling sambil bertempur? Akan tetapi, keheranannya bertambah ketika Kwan Cu bukannya menggunakan benda itu untuk menyuling melainkan mempergunakannya untuk bertempur!

Dengan sulingnya ini, Kwan Cu mulai memainkan gerakan-gerakan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai. Ia bermaksud mengalahkan dua orang gadis cilik ini dengan merampas pedang mereka.

Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dua orang gadis itu agaknya tidak gentar menghadapi sulingnya dan agaknya sudah dapat menduga lebih dulu kemana sulingnya akan bergerak sehingga mereka dapat mempertahankan diri dengan baik.

Melihat gerakan mereka, Kwan Cu merasa yakin bahwa mereka telah mengenal ilmu pedangnya, karena ke manapun juga dia hendak menggerakkan suling, keduanya sudah bersiap sedia dan setiap elakan demikian tepatnya.

Untung bagi Kwan Cu bahwa dua orang lawannya yang kecil itu tenaganya kecil pula sehingga baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk menangkis serangan-serangan mereka.

Namun diam-diam pemuda ini merasa kagum dan girang. Ilmu pedang yang di perlihatkan oleh Malita dan Malika benar-benar hebat dan agaknya memang di tempat ini menjadi sumber ilmu-ilmu silat tinggi. Tak salah lagi, tentu kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng berada di pulau yang di jadikan tempat sembunyi kaum pemberontak itu. Ia menjadi girang dan penuh harapan.

Memang tujuan dari pada perantauannya ke tempat-tempat aneh ini adalah untuk mendapatkan ilmu silat tinggi dan sekarang dia telah menyaksikan orang-orang kecil yang memiliki ilmu silat mengherankan. Bagaimanakah dua orang gadis ini seakan-akan mengenal ilmu pedangnya yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai? Ia harus menyelidiki semua ini.

Setelah mengambil keputusan untuk mengalahkan dua orang gadis ini karena dia telah puas menyaksikan ilmu pedang mereka, tiba-tiba Kwan Cu berseru keras sambil meyembunyikan sulingnya di balik lengan baju, kini dia bersilat ilmu silat Sin-ci-tin-san, akan tetapi bukan mempergunakan tangan, melainkan mempergunakan ujung lengan bajunya!

Serangan yang amat dahsyat ini benar-benar membuat Malita dan Malika kewalahan sekali. Seharusnya, ilmu silat ini di mainkan dengan jari tangan yang melakukan serangan menotok, akan tetapi oleh karena Kwan Cu tak ingin mencelakai dua orang gadis ini, dia mempergunakan ujung lengan baju sebagai gantinya. Ia telah memperhitungkan dengan tepat dan mendapat akal bagaimana harus mengalahkan lawan-lawannya.

Sambaran pukulan yang dilakukan oleh ujung lengan bajunya mengandung tenaga lweekang yang berat, maka benar sebagaimana perhitungannya, ketika ujung pedang kedua orang gadis ini beradu dengan ujung lengan baju, mereka berteriak kesakitan karena telapak tangan mereka menjadi panas.

Kwan Cu mempergunakan lweekangnya untuk mengubah ujung lengan baju yang tadinya keras kaku menjadi lembek. Sekejap mata saja dua pedang itu telah terlibat ujung lengan baju dan sekali dia menggerakkan kedua tangannya, pedang-pedang itu terampas olehnya.

Malita dan Malika menghentikan gerakan mereka dan dengan menjura Malita menulis di atas dengan ujung sepatunya.

“Kami menyerah kalah dan percaya penuh akan kelihaianmu.”

“Kalian memiliki ilmu pedang yang hebat sekali,” jawab Kwan Cu sambil mengembalikan dua batang pedang kecil itu.

“Akan tetapi, Kahano dan kawan-kawannya lebih berbahaya lagi. Kalau menghadapi mereka, kau harus mempergunakan kedua tanganmu, dan untuk menjaga agar jangan kau terluka oleh senjata mereka yang mengandung racun berbahaya, kedua tanganmu harus digosok lebih dulu dengan obat kami,” kata Malita.

Setelah mendapat kenyataan bahwa pemuda raksasa itu benar-benar lihai, Malita dan kawan-kawannya menjadi amat gembira dan penuh harapan. Malita lalu mengadakan pesta perjamuan untuk menghormati raksasa muda yang akan menolong mereka itu. Dalam kesempatan ini, Kwan Cu mempelajari bahasa mereka yang bagi telinganya terdengar amat kaku.






Tidak ada komentar :