*

*

Ads

Senin, 21 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 097

Malita dan Malika mengajak Kwan Cu berunding bagaimana harus mengadakan penyerangan terhadap pemberontak.

“Yang terberat untuk dihadapi hanya enam orang di bawah pimpinan Kahano itu,” kata Malita sambil menjelaskan dengan tulisan bagian kata-kata yang tidak atau belum dimengerti oleh Kwan Cu, “untuk anak buah mereka, serahkan saja kepada kami dan kawan-kawan. Asal kau sudah dapat mengalahkan dan menawan enam orang itu, tentu akan beres. Akan tetapi sukarnya, mereka itu menyembunyikan diri dalam gua-gua yang panjang dan gelap dan pertahanan mereka di situ kuat sekali. Setiap kali kami mau menyerbu masuk, kami dihujani anak panah dan senjata rahasia dari dalam gua.”

“Kita lihat saja dulu, keadaan mereka di sana, baru nanti mencari akal,” kata Kwan Cu sambil makan hidangan yang enak akan tetapi aneh bagi lidahnya.

Ia merasa agak malu-malu ketika melihat betapa semua wanita itu menonton dia makan hidangan yang bagi mereka amat banyak itu. Hm, alangkah gembulku dalam pandangan mereka, pikir Kwan Cu.

Malam hari itu Kwan Cu bermalam di dusun mereka. Karena tidak ada rumah atau kamar yang cukup besar bagi Kwan Cu, terpaksa pemuda ini bermalam di luar rumah-rumah kecil itu, di udara terbuka. Namun dia mendapat hiburan yang luar biasa sekali. Ketika hari mulai gelap dan dia sudah membaringkan tubuhnya di bawah pohon untuk mengaso dan mengenangkan semua pengalamannya yang aneh-aneh itu, tiba-tiba nampak banyak sekali obor menerangi tempat itu.

Berbarengan dengan munculnya obor-obor ini, terdengar suara tetabuhan yang amat merdu namun aneh sekali iramanya. Suara tetabuhan ini lalu disusul oleh nyanyian bersama yang membuat Kwan Cu merasa heran, karena dalam suara nyanyian bersama ini, dia mendengar suara laki-laki yang besar!.

Obor-obor itu makin mendekat dan Kwan Cu melihat sesuatu yang membuat dia terkejut dan juga gembira, karena tak diduga-duganya bahwa para pemegang obor itu adalah wanita-wanita dan juga laki-laki bangsa katai itu.

Mereka nampak begitu rukun dan damai, sedangkan di antara mereka nampak pula banyak anak-anak kecil yang dalam pandangan Kwan Cu luar biasa lucunya, seperti bayi-bayi berjalan!

Malita dan Malika memimpin rombongan ini dan menurut tafsiran Kwan Cu tak kurang dari lima puluh orang wanita-wanita muda dan dua puluh orang laki-laki muda yang datang membawa obor itu. Pakaian mereka seragam, yang wanita merah dan yang laki-laki biru. Agaknya mereka dalam keadaan dan suasana berpesta riang gembira.

Kwan Cu bangun dan duduk bersandarkan pohon. Malita menghampirinya dan bersama Malika, ia menjura tanda menghormat Kwan Cu yang membalasnya dengan anggukan kepala dan senyum ramah.

“Nasihatmu baik sekali, saudara Kwan Cu. Lihat, laki-laki yang tadinya menjadi tawanan kami, sekarang telah kami bebaskan dan setelah kami menjelaskan tentang nasihatmu agar kami hidup rukun dan damai saling mengalah dan saling melindungi, mereka menerima dengan gembira dan menyatakan hendak membantu kami menumpas Kahano dan kawan-kawannya.”

“Bagus sekali! Tidak ada berita lebih menggirangkan daripada ini,” kata Kwan Cu.

Adapun orang-orang lelaki yang berada disitu, lalu bersama maju dan berlutut di depan Kwan Cu dengan mata memandang kagum dan juga agak takut-takut.

Kwan Cu melihat betapa kaum lelaki di situ memang bersemangat kecil dan jelas sekali nampak sifat rendah diri dan kalah pengaruh oleh kaum wanitanya. Namun harus diakui bahwa mereka pun memiliki bentuk yang tampan dan menarik serta potongan tubuh yang bagus. Anak-anak kecil kelihatan lucu sekali ketika mereka memandang kepada “raksasa muda” itu dengan mata terbelalak ketakutan.

“Kami sengaja mengumpulkan orang-orang untuk menghiburmu sebagai penghormatan,” kata Malita, kemudian ia memberikan tanda dengan tangannya.

Tetabuhan dibunyikan makin gencar dan dari rombongan itu keluarlah belasan orang gadis dengan pakaian indah, menari-nari di depan Kwan Cu dengan gerakan lemah gemulai.

Kwan Cu terpesona. Belum pernah dia menyaksikan tari-tarian yang demikian indahnya, ditarikan oleh gadis-gadis yang biarpun bentuk tubuhnya sudah menunjukkan kepenuhan dan kedewasaan, namun tingginya hanya sampai di pahanya saja! Seakan-akan dia melihat boneka-boneka hidup menari dengan indahnya.






Ini semua menggirangkan hati Kwan Cu, tetapi yang paling menggembirakan adalah sikap laki-laki dan wanita yang berada di situ, saling pandang antara suami isteri, penuh cinta kasih dan pengertian, tertawa-tawa dan tiada ubahnya dengan pasangan-pasangan di dusun-dusun di negaranya, dimana hidup petani-petani yang sederhana akan tetapi selalu hidup rukun dengan keluarganya.

“Pesta seperti biasanya kami lakukan setahun sekali,” kata Malita kepada Kwan Cu tanpa mempergunakan tulisan karena Kwan Cu yang berotak cerdik luar biasa itu sebentar saja sudah menguasai bahasa percakapan yang mudah-mudah.

“Untuk merayakan apakah?” tanya Kwan Cu sambil menikmati gerak tarian para gadis cantik yang berputar-putar di hadapannya menurutkan irama lagu.

“Untuk merayakan dewi bulan dan dalam kesempatan itu, memberikan kesempatan kepada para calon dara untuk memilih calon jodohnya.”

Kwan Cu tertegun. Sampai lama dia tidak dapat berkata-kata. Hm, benar-benar dunia nyata di pulau ini. Bahkan dalam hal memilih jodoh, wanitalah yang berhak memilih!

“Jadi laki-laki tak berhak memilih jodohnya?” tanyanya.

Sepasang mata Malita memancarkan sinar penasaran.
“Laki-laki memilih? Hm, akan rusaklah semua kalau laki-laki yang diberi kekuasaan memilih jodohnya. Laki-laki selalu memilih jodohnya berdasarkan kecantikan wanita dan keindahan bentuk tubuh! Laki-laki seakan-akan buta dalam hal memilih jodoh. Kalau mereka memilih, tentu takkan dapat terbentuk rumah tangga bahagia. Mereka memilih yang cantik-cantik untuk akhirnya bercekcok di kemudian hari karena ternyata pilihannya tidak mencocoki wataknya sendiri. Kemudian bagaimana? Mereka itu, laki-laki buta itu, akan mencari-cari wanita lain!”

Kwan Cu tersenyum.
“Malita, agaknya kau masih belum dapat melenyapkan kebencianmu terhadap laki-laki.”

Malita tersenyum juga menjadi sabar kembali.
“Bukan semata-mata terdorong kebencian, melainkan berdasarkan kenyataan. Sifat buruk laki-lakilah yang memancing kebencian di dalam hati wanita.”

“Kurasa tidak akan terjadi seperti penuturanmu itu apabila pemilihan laki-laki berdasarkan cinta kasih.” Kata Kwan Cu.

Tiba-tiba gadis bertahi lalat di pipinya itu tertawa berkikikan sambil menutupi mulutnya, seakan-akan mendengar sesuatu yang amat menggelikan hatinya. Tentu saja Kwan Cu menjadi melongo karena dia tidak mengerti apa gerangan yang ditertawakan oleh Malita.

“Eh, kau tertawa begitu geli ada apakah?” tanyanya tak senang karena berada di tengah-tengah orang-orang katai ini, kembali datang perasaan tidak sedap dalam hati Kwan Cu merasa bahwa dia akan kembali jadi buah tertawaan.

“Apakah di antara bangsa raksasa terdapat juga perasaan cinta kasih yang membikin gila orang?” tanya Malita.

“Tentu saja ada. Apa kau kira kami bangsa yang kau sebut raksasa bukan manusia yang mempunyai perasaan dan hati?”

“Bukan demikian maksudku, saudara Kwan Cu yang baik. Melihat kau dan kepandaianmu tadinya kukira bahwa bangsamu adalah manusia yang sudah pandai dan tidak bodoh serta lemah sehingga mudah pula dikuasai oleh perasaan palsu yang disebut cinta kasih. Akan tetapi ternyata sama saja dengan kami, masih dapat dipengaruhi oleh perasaan palsu itu.”

“Bagaimana kau berani menyatakan bahwa cinta kasih itu adalah sesuatu perasaan yang palsu?” tanya Kwan Cu penasaran.

“Cinta kasih yang timbul dalam hati wanita memang murni dan suci, akan tetapi cinta kasih dalam dada seorang laki-laki hanya palsu belaka! Cinta kasih seorang laki-laki hanya berdasarkan nafsu, berdasarkan rasa tertarik dan suka kepada wajah yang indah, bentuk tubuh yang menggairahkan! Sebaliknya, cinta kasih yang timbul dalam hati wanita berdasarkan watak yang baik dan budi bahasa yang halus, bukan semata-mata karena wajah yang tampan dan gagah!”

Kwan Cu kembali tertegun. Baru kali ini dia mendengar filsafat seperti ini sungguhpun dia memang jarang sekali mendengar atau tak pernah membaca tentang filsafat cinta kasih. Namun dia penasaran sekali karena sebagai seorang laki-laki dia merasa direndahkan oleh ucapan itu.

“Tak mungkin!” bantahnya. “Tidak semua laki-laki hanya mendasarkan cintanya pada nafsu dan keindahan. Ada pula laki-laki yang berpribudi dan bijaksana.”

“Seribu satu saudara Kwan Cu. Seribu orang hanya ada satu! Aku berani bertaruh bahwa seorang laki laki takkan suka mencinta seorang wanita yang buruk rupa atau cacad tubuhnya. Eh, apakah kau sendiri sudah mempunyai seorang wanita yang kau kasihi?”

Kwan Cu tak dapat menjawab, wajahnya memerah. Ia teringat akan sumpahnya di depan gadis raksasa Liyani bahwa dia mencinta Bun Sui Ceng! Akan tetapi di depan Malita dia tidak menyatakan sesuatu.

“Saudara Kwan Cu, andaikata kau sudah mempunyai seorang gadis yang kau cinta, aku berani memastikan bahwa gadis itu tentulah seorang yang cantik manis, bukan seorang gadis yang tidak ada hidungnya! Aku tidak percaya akan ada seorang laki laki yang mencinta seorang gadis yang hidungnya lenyap atau rusak.” setelah berkata demikian, Malita tertawa mengejek.

“Kau mau menang sendiri saja,” Kwan Cu merasa perutnya panas, “aku juga merasa yakin bahwa tidak ada seorang gadis yang menjadi seorang laki laki yang hidungnya rusak seperti yang kau katakan tadi.”

“Siapa bilang tidak mungkin? Banyak wanita yang mencinta sepenuh hati suaminya yang buruk rupa, yang bopeng, yang pincang dan sebagainya. Cintanya suci murni, karena seperti kukatakan tadi, cinta kasih seorang wanita berdasarkan kesetiaan, berdasarkan watak baik dan kecocokan hati dan pikiran, bukan seperti laki laki yang buta cinta, hanya suka kepada apa yang baik menarik, akan tetapi mudah pula bosan setelah melihat wanita lain yang lebih menarik!”

Kwan Cu menjadi panas, akan tetapi dia sempat menahan gelora hatinya dan hampir saja dia tertawa. Untuk apakah berdebat urusan cinta dengan gadis ini?

“Sesukamulah, Malita. Hanya kalau kau dan kawan kawanmu mau menuruti nasehatku, dalam menetapkan perjodohan, harus ada persetujuan kedua fihak, baik dari si wanita maupun dari si lelaki, baik dari fihak wanita maupun dari fihak laki-laki jangan sekali kali ada paksaan. Dengan demikian, kiranya baru akan dapat dibentuk rumah tangga yang damai.”

Pesta penghormatan itu berjalan sampai menjelang tengah malam. Tiba-tiba banyak sekali obor padam dan terdengar pekik di sana-sini. Kwan Cu terkejut sekali melihat beberapa orang laki-laki yang tadi memegang obor, terjungkal roboh dan keadaan menjadi panik. Di bawah penerangan bulan, kelihatan bayangan yang gesit di sana-sini dan anak panah-anak panah yang kecil menyambar-nyambar.

Kwan Cu dan Malita melompat bangun.
“Mereka datang menyerbu!” seru Malita marah sambil mencabut pedangnya.

“Biar aku menghadapi mereka!”

Kwan Cu berseru dan pemuda ini berlari cepat dengan lompatan-lompatan jauh menuju ke arah para penyerbu. Memang benar dugaan Malita, banyak sekali orang katai datang dari arah pantai sambil menghujankan anak panah kepada orang-orang yang sedang berpesta.

Kahano yang mendengar bahwa pulau itu kedatangan raksasa dan bahwa para wanita tengah mengadakan pesta di malam itu, dan terutama sekali mendengar betapa para laki-laki yang tertawan kini telah berbaik dengan para wanita, menjadi marah dan memimpin semua orang menyerbu.

Kwan Cu yang berlari mendatangi, tiba-tiba disambut oleh puluhan batang anak panah yang kecil-kecil namun cukup berbahaya datangnya. Pemuda ini cepat mencabut sulingnya dan memutarnya seperti pedang sehingga semua anak panah yang kecil-kecil itu tersampok runtuh. Ia maju terus dan para pemberontak itu ketika menyaksikan betapa raksasa ini amat tangguh, menjadi ketakutan dan berlari cerai-berai!

Akan tetapi, pada saat itu, Malita dan Malika dan kawan-kawannya telah datang menyerbu dan pertempuran yang hebat terjadilah. Kwan Cu menyerang ke sana ke mari dengan sulingnya. Ia tidak mau membunuh, hanya menggunakan tenaganya untuk membuat senjata-senjata lawan terlempar sambil berseru berkali-kali,

“Malita, jangan bunuh mereka, tawan saja!”






Tidak ada komentar :