*

*

Ads

Senin, 21 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 098

Menghadapi amukan raksasa ini, orang-orang katai yang sudah panik itu menjadi makin kacau balau. Apalagi memang kepandaian para wanita itu hebat dan mereka biarpun menerima latihan ilmu silat tinggi yang aneh dari Kahano, namun masih belum dapat mengatasi kepandaian para wanita.

Sebentar saja mereka dikalahkan, terluka dan tertawan. Kwan Cu sengaja mencegah mereka itu melarikan diri, akan tetapi setelah dia menjaga di pantai dan menangkap setiap orang katai yang hendak melarikan diri, dan pertempuran selesai, ternyata bahwa betapapun juga. Kahano dan lima orang kawannya telah melarikan diri dari pulau itu!

Malita dan kawan-kawannya girang sekali melihat betapa semua anak buah Kahano telah dapat tertawan, sungguhpun Malita masih penasaran karena Kahano dan lima orang kawannya yang menjadi biang keladi kekacauan itu dapat melarikan diri.

Pada malam hari itu juga, Malita dan kawan-kawannya lalu memberi nasihat kepada semua tawanan, dibantu oleh orang-orang lelaki yang sudah insyaf dan baik kembali. Para tawanan itu setelah mendapat penerangan bahwa semenjak hari itu tidak akan ada tindas-menindas antara laki-laki dan wanita, bahwa akan diadakan kerja sama yang baik menurut nasihat Kwan Cu raksasa muda itu, menjadi terharu. Mereka tadinya kena hasutan Kahano hanya karena mereka menganggap pihak wanita terlalu menindas dan merendahkan mereka yang bertenaga lebih besar.

“Setiap pelanggaran atau kejahatan, setiap penindasan dan kekejaman, baik dilakukan wanita maupun laki-laki, akan diadili dan yang melakukan dihukum!” demikian Malita menutup penerangannya, sesuai dengan nasihat dan penerangan Kwan Cu yang memasukkan aturan-aturan bangsanya kepada bangsa katai ini.

Dan pada keesokan harinya, diantar oleh Malita, Malika dan sepuluh orang prajurit wanita, Kwan Cu naik perahunya menuju ke pulau yang dijadikan tempat sembunyi Kahano dan lima orang kawannya.

Melihat pulau itu dari perahunya, Kwan Cu berdebar hatinya. Tak salah lagi, inilah pulau yang ditunjuk di dalam buku sejarah Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan. Ia melihat pulau yang kecil dan bundar bentuknya dan dari jauh sudah kelihatan pohon-pohon yang keputih-putihan, batu-batu karang yang menjulang tinggi dan gua-gua di batu karang yang bermulut hitam gelap.

“Itulah Pek-hio-to (pulau daun putih) yang dijadikan tempat sembunyi Kahano dan kawan-kawannya,” kata Malita kepada Kwan Cu.

Kwan Cu di dalam kegembiraan dan ketegangan hatinya tidak menjawab, melainkan mendayung makin cepat lagi ke arah pulau itu sehingga perahunya meluncur cepat sekali dan para wanita itu memandang dengan kagum.

Pulau kecil itu ternyata paling tinggi letaknya di antara semua pulau-pulau kecil yang berada di sekitar daerah itu. Kelihatannya seperti bukit kecil yang berwarna putih.

Setelah Kwan Cu mendaratkan perahunya, dia dan semua wanita katai melompat turun ke pantai. Malita mengeluarkan sehelai saputangan warna putih dari balik bajunya dan memberikan saputangan itu kepada Kwan Cu.

“Seperti sudah kukatakan kemarin, Kahano dan kawan-kawannya menggunakan bisa ular di ujung senjata mereka. Bisa itu amat berbahaya, dan kalau kulit tanganmu sampai terluka, nyawamu akan terancam bahaya. Akan tetapi kalau kau menggosok-gosok kedua tanganmu dengan sapu tangan yang sudah mengandung obat penawar ini, kau tidak usah takut mengahdapi ujung senjata mereka.”

Kwan Cu menerima saputangan itu sambil mengucapkan terima kasihnya lalu dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangan dengan saputangan itu. Aneh sekali, terasa panas dan gatal-gatal tangannya, akan tetapi Malita menyuruh dia menggosok-gosok terus sampai lenyap rasa gatal-gatal itu.

Benar saja, lama-lama lenyap rasa gatalnya, tinggal rasa panas-panas hangat pada telapak tangannya. Ia mengembalikan saputangan putih kepada Malita dan diam-diam dia merasa kagum. Agaknya gadis ini seorang ahli tentang racun dan senjata yang berbahaya sehingga perlu membawa saputangan-saputangan yang aneh dari berbagai warna. Ia masih teringat sapu tangan merah yang dapat membuat dia mabuk dan tertidur.

“Dimana tempat mereka bersembunyi?” tanya Kwan Cu sambil mengajak Malita dan kawan-kawannya naik ke tengah pulau.

Mata pemuda ini memandang ke sekeliling dan dia melihat bahwa pulau itu memang aneh sekali dan menyeramkan keadaannya. Pohon-pohon yang tumbuh di situ tidak banyak akan tetapi daun-daunnya berwarna putih belaka, juga rumput-rumput banyak yang berwarna putih. Pulau ini mengingatkan dia akan daerah utara kalau sedang dilanda musim salju. Gua-gua yang banyak terdapat di bukit karang itu nampak menghitam, amat jelas di antara daun-daun yang putih itu.






“Sukar untuk mengatakan di mana mereka bersembunyi. Gua-gua di sini banyak sekali dan di antaranya terdapat lima buah gua yang merupakan terowongan bersambung satu kepada yang lain,” Jawab Malita sambil memimpin rombongan itu kepada sebuah gua yang gelap. “Nah, gua ini yang terbesar, akan tetapi dari gua ini orang dapat mencapai gua-gua di lain bagian.”

Kwan Cu melihat bekas tapak-tapak kaki kecil di sekitar mulut gua dan tahu bahwa memang orang-orang katai itu menyembunyikan diri di dalam gua. Akan tetapi agaknya sia-sia kalau hendak mengejar, karena orang-orang itu dari dalam gua yang gelap tentu akan melihat kedatangannya dan mereka dapat melarikan diri melalui mulut gua yang lain.

Selain itu, gua itu memang cukup besar bagi orang-orang katai, namun bagi dia agaknya dia hanya dapat masuk dengan jalan merangkak! Ini berbahaya sekali! Akhirnya dia mendapat akal.

“Kumpulkan kayu-kayu bakar dan daun-daun kering di mulut gua yang berhubungan satu dengan yang lain itu, tutup empat mulut gua dengan kayu bakar dan daun kering, biarkan yang satu ini saja terbuka. Setelah penuh dengan kayu bakar , bakar semua tumpukan itu agar asapnya memenuhi gua dan terowongan. Asap itulah yang akan memaksa mereka keluar dari gua melalui mulut gua ini dan aku akan menjaga di sini.”

Mendengar siasat ini, Malita mengangguk-angguk dengan kagum. Ia lalu mengatur, memecah kawan-kawan menjadi empat bagian untuk melakukan tugas menutup dan membakar mulut gua. Adapun Kwan Cu lalu bersembunyi di belakang batu karang, menjaga kalau-kalau para pemberontak itu muncul dari gua besar itu.

Tempat sembunyi Kwan Cu adalah di balik pohon yang berada di dekat gua dan pemuda ini bersandar pada batu karang itu. Tiba-tiba tangannya menyentuh batu karang yang hitam itu dan mendapatkan bagian-bagian yang halus teraba oleh tangannya. Ia memandang dan melihat ukiran-ukiran seperti huruf di dinding batu karang di luar gua.

Akan tetapi coretan atau ukiran itu tak dapat dibaca karena telah tertutup oleh tanah yang mengeras, merupakan kulit dari batu karang itu. Kwan Cu mengerahkan tenaga dan mempergunakan tangan untuk menarik keluar kulit batu karang itu. Sebagian dari pada kulit yang terjadi dari tanah mengeras itu terlepas dan ternyata bahwa huruf itu adalah huruf LIU.

Berdebar hati Kwan Cu karena huruf ini mengingatkan dia akan bunyi kitab sejarah yang dia dapatkan di dalam sumur di Kun-lun-san, yakni kitab sejarah peninggalan Gui-siucai yang menyatakan bahwa kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan di sebuah pulau kosong oleh LIU PANG yang akhirnya menjadi raja. Ia segera mengerjakan kedua tangannya untuk melepaskan kulit batu karang yang menutup huruf-huruf selanjutnya.

Sementara itu, Malita, Malika dan kawan-kawan mereka sudah mulai bekerja, menutupi empat mulut gua yang lain dengan kayu-kayu dan daun-daun kering, lalu membakar semua itu. Asap yang tebal bergumpal-gumpal memasuki gua dan terus memasuki terowongan itu!

Karena amat tertarik oleh ukiran huruf di dinding sebelah luar gua, Kwan Cu lupa bahwa dia sedang bertugas menanti munculnya Kahano dan kawan-kawannya, dan dia tidak ingat lagi bahwa sudah beberapa lama dia bekerja mencoba untuk melepaskan kulit batu karang yang sudah amat keras dan menjadi satu dengan batunya.

Setelah dengan susah payah bekerja sehingga kuku-kuku jari tangannya sampai pecah-pecah, akhirnya Kwan Cu dapat membaca empat huruf yang berbunyi LIU SIN TONG TANG (Guna Anak Ajaib Liu).

Hampir saja Kwan Cu berjingkrak saking girangnya. Tak salah lagi, yang dimaksudkan dengan anak ajaib she Liu itu tentu bukan lain adalah Liu Pang, karena anak yang kelak menjadi kaisar patut disebut atau menyebut diri sendiri anak ajaib. Ia makin dekat dengan rahasia kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang sudah lama dicari-carinya.

Akan tetapi pada saat itu asap telah memasuki terowongan dan bahkan sudah ada asap yang keluar dari mulut gua yang dijaga oleh Kwan Cu. Tak lama kemudian terdengarlah batuk-batuk dan berlari-lari keluarlah enam orang katai dari dalam gua itu.

Gerakan mereka gesit sekali dan keenam-enamnya memegang sebatang pedang kecil yang nampaknya tidak berbahaya, akan tetapi yang sesungguhnya mengandung bisa putih yang amat berbahaya pada ujungnya. Enam orang itu bukan lain adalah Kahano beserta lima orang kawannya.

Kwan Cu yang mendengar suara mereka, lalu memandang. Ia melihat seorang katai yang usianya sudah agak tua, dengan kumis dan jenggot putih tebal menutupi mulutnya. Lima orang yang lain berkepala gundul dan biarpun mereka masih muda-muda, namun wajah mereka buruk rupa dan nampak kejam-kejam.

Kwan Cu teringat akan penuturan Malita bahwa lima orang yang menjadi murid Kahano adalah pemuda-pemuda jahat yang di benci oleh para gadis karena sikap mereka yang kurang ajar. Yang menarik perhatian adalah saputangan yang mengikat kepala mereka. Saputangan itu berwarna kuning dan bentuknya sama, seakan-akan menjadi tanda pengenal bagi golongan mereka.

“Tak salah lagi, dialah Kahano dan kawan-kawannya,” pikir Kwan Cu.

Hati pemuda ini sedang gembira sekali berhubung ditemukannya huruf-huruf yang menyatakan bahwa dia benar-benar berada di pulau yang di cari-carinya. Ia melompat keluar dan dengan dua kali lompatan saja dia sudah tiba di depan enam orang yang sedang mengatur napas untuk menghilangkan pengaruh asap yang menyerangnya di dalam terowongan dan gua. Cara mereka mengatur napas membuat Kwan Cu terkejut, karena itulah peraturan dari ilmu lweekang yang sangat tinggi.

Adapun Kahano dan kawan-kawannya ketika melihat kedatangan Kwan Cu menjadi marah sekali.

“Hm, jadi kaukah yang memimpin mereka dan melakukan akal ini?” tanya Kahano dan Kwan Cu kembali tertegun karena kini Kahano mempergunakan bahasa yang biasa di pergunakan oleh penduduk Tiongkok di bagian utara!

“Kau bisa bahasa daratan Tiongkok?” tanya Kwan Cu terheran-heran.

“Tentu saja bisa, karena kau pun seorang yang berasal dari sana,” jawab Kahano. “Oleh karena itu, mengingat hubungan antara orang kang-ouw, kuharap kau tidak mencampuri urusan kami dan jangan kau mengganggu kami.”

Memang benar bahwa sebetulnya Kahano adalah seorang keturunan Jepang-Tiongkok yang sudah lama merantau di daratan Tiongkok daerah utara, di perbatasan Mongol. Ketika merantau di sana, dia telah mempelajari ilmu silat dan di dunia kang-ouw terkenal sebagai orang yang kurang baik.

Kadang-kadang dia ikut dengan serombongan pemain akrobat dan bermain sebagai seorang pelawak yang cocok sekali dengan keadaannya yang pendek kecil itu. Setelah dia merasa bosan di daratan tiongkok, dia mengambil keputusan untuk kembali ke Jepang dengan naik perahu.

Akan tetapi perahunya terserang oleh taufan hebat dan akhirnya dia terdampar dalam keadaan pingsan di atas pulau bangsa katai itu. Ia dianggap sebagai bangsa sendiri oleh mereka dan Kahano yang cerdik itu pura-pura bisu, sehingga dia tidak dicurigai.

Setelah dia dapat mempelajari bahasa orang-orang katai itu, barulah dia bicara dan mendongeng bahwa dia adalah seorang yang terpilih oleh dewata sebagai calon pemimpin mereka, akan tetapi dengan syarat menjadi bisu untuk beberapa tahun!

Dongengnya ini dipercaya oleh sebagian orang lelaki, akan tetapi tidak dipercaya oleh kaum wanitanya sehingga di antara mereka timbul pertentangan semenjak Kahano berada di situ. Akan tetapi, ternyatalah oleh mereka bahwa Kahano pandai sekali ilmu silat dan bukan merupakan laki-laki yang lemah.

Melihat kecantikan Malita dan Malika, Kahano yang sudah agak tua itu tergila-gila dan timbullah satu kehendak rendah. Ia ingin menjadi raja dari bangsa itu dan mengambil Malita dan Malika sebagai isteri-isterinya!

Mula-mula kehendak atau cita-cita ini dipendamnya saja karena kedudukan ayah kedua gadis ini kuat sekali sebagai raja yang terkasih dan bijaksana. Akan tetapi sedikit demi sedikit dia menanam rasa penasaran dan memberontak dalam hati kaum laki-laki sehingga dia berhasil mempunyai pengikut yang banyak juga.

Kemudian meninggallah raja, ayah dari kedua orang dara jelita itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kahano untuk memberontak.






Tidak ada komentar :