*

*

Ads

Senin, 21 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 099

Ketika Kwan Cu mendengar Kahano dari daratan Tiongkok, dia lalu menjadi marah.
“Kahano, kalau kau bukan penduduk asli, maka dosamu lebih besar lagi. Kau telah menghasut orang-orang untuk memberontak dan maksudmu menjadi raja dan mengambil puteri-puteri itu sebagai isteri, telah menunjukkan betapa rendah martabatmu. Lebih baik kau dan pengikut-pengikutmu ini menyerah saja. Aku yang akan menanggung bahwa kalian tak akan dihukum asal saja kalian suka berjanji untuk selanjutnya tidak akan melakukan kekacauan lagi. Ketahuilah bahwa sekarang kaum perempuan bangsa katai ini telah insyaf, bahwa cara satu-satunya unruk mencapai perdamaian antara kaum laki-laki dan wanita, adalah dengan kerja sama dan persamaan hak, seperti yang terjadi di negara kita.”

Kahano tertawa bergelak. Biarpun orangnya kecil, ternyata suara ketawanya besar.
“Ha, ha, ha, orang muda sombong. Kau dapat membodohi mereka ini, akan tetapi apa kau kira aku tidak tahu bagaimana perangai kaum laki-laki di daratan Tiongkok? Apa kau kira aku tidak tahu betapa ayah bunda yang kelaparan menjual anak-anak gadisnya kepada orang-orang kaya, tuan-tuan tanah tua, hanya untuk ditukar dengan makanan? Memang sudah semestinya begitu. Orang perempuan memang dilahirkan cantik dan di takdirkan untuk menjadi alat penghibur laki-laki. Mereka mahluk lemah yang harus menurut dan taat kepada laki-laki, akan tetapi di pulau ini terjadi sebaliknya. Aku hendak mengubah aturanmu itu, sesuai dengan aturan bangsamu, apakah kau masih berani mati untuk merintangi kehendakku? Siapakah kau ini berani mati mencampuri urusan orang lain?”

“Aku bernama Lu Kwan Cu dan aku sekali-kali bukan bermaksud mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi sudah menjadi tugasku untuk membela orang-orang tertindas dan melenyapkan pengacau-pengacau keamanan seperti engkau ini!”

Kahano mengutuk dan memberi aba-aba kepada lima orang pembantunya. Enam orang katai itu lalu bergerak dengan teratur sekali, mengurung Kwan Cu dari enam jurusan.

Melihat gerak kaki mereka, diam-diam Kwan Cu memuji. Mereka ini memiliki gerakan kaki yang amat teratur dan gesit sekali, dan sikap mereka menyatakan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat tinggi.

Setelah Kahano berseru keras, enam orang itu mulai menyerang. Pedang pendek mereka bergerak dengan cepat dan serangan mereka tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan secara teratur sekali, susul-menyusul seakan-akan memang keenam orang itu sudah berlatih lebih dulu untuk maju berenam dengan ilmu silat tertentu yang harus di lakukan oleh enam orang!

Kwan Cu terkejut dan cepat mengelak. Akan tetapi, biarpun dia dapat mengelak dari serangan pertama tahu-tahu orang kedua sudah menyusul serangan dari belakang, dan ketika dia membalikkan tubuh sambil mengelak ke kiri, orang di sebelah kanan telah menyusul serangan ke tiga. Dengan begitu, setiap serangan selalu datang dari arah belakangnya dan setiap serangan merupakan serangan yang amat berbahaya.

“Lihai sekali!” serunya tanpa terasa lagi.

Ia merasa gentar untuk menghadapi mereka dengan tangan kosong, maka cepat dia mencabut sulingnya, senjata satu-satunya yang selalu berada di tubuhnya. Dengan suling ini, dia lalu mainkan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat. Ia menangkis dengan keras dan membalas serangan enam orang pengeroyoknya.

Akan tetapi, segera terjadi hal yang amat mengherankan, juga mengecilkan hati Kwan Cu. Tiba-tiba Kahano berseru dan kini enam orang itu kesemuanya membalasnya dengan serangan yang mirip dengan ilmu pedangnya pula! Bahkan lebih hebat lagi, agaknya enam orang itu setengah dapat menduga ke mana pedangnya akan bergerak selanjutnya, seakan-akan keenam orang itu pernah mempelajari Hun-kai Kiam-hoat, sungguhpun belum mahir betul.

Menghadapi keroyokan yang dilakukan dengan ilmu silat yang sama dengan ilmu pedangnya, Kwan Cu menjadi bingung sekali. Apalagi senjatanya hanya sebatang suling yang kosong dan tidak dapat dia gerakkan dengan tenaga besar, maka biarpun dia dapat menangkis setiap serangan lawan, namun dia tidak kuasa membuat lawannya itu melepaskan pedangnya.

Kwan Cu terkurung makin hebat dan pada saat-saat tertentu dengan aba-aba yang di keluarkan oleh Kahano, enam orang itu mengubah gerakan mereka dan tiba-tiba saja maju menubruk berbareng dengan dahsyat sekali!

Biarpun Kwan Cu sudah berusaha mengelak sambil memutar sulingnya, namun bajunya terobek oleh tiga ujung pedang kecil.

Pemuda ini berubah air mukanya. Ia maklum bahwa ujung pedang mereka itu mengandung racun yang berbahaya dan sekali kulit tubuhnya tergurat ujung pedang, banyak kemungkinan nyawanya akan melayang!






Lebih hebat lagi, selagi pemuda ini kebingungan, tiba-tiba Kahano melompat ke atas dan sebuah tendangan yang cepat sekali mengenai pergelangan tangan Kwan Cu yang memegang suling. Pemuda ini merasa pergelangan tangannya kaku. Memang Kahano dahulu adalah pemain akrobat, loncatannya tinggi dan tendangannya tepat mengenai urat besar sehingga Kwan Cu tidak kuasa memegang sulingnya lagi yang terlempar jauh.

“Ha, ha, ha! Lu Kwan Cu bocah sombong. Baru sekarang kau mengenal kelihaian Kahano!”

Si katai berjenggot ini tertawa bergelak saking girangnya. Lima orang kawannya mendesak makin hebat, mendapat tambahan semangat melihat hasil tendangan pemimpin mereka yang lihai.

Kwan Cu segera dapat menenteramkan hatinya. Ia teringat bahwa di antara anggauta tubuhnya, yang berani menghadapi ujung pedang enam orang lawannya hanya kedua tangannya yang sudah diberi obat oleh Malita. Ia teringat pula betapa tenaga keenam orang ini kecil saja, terbukti pula dari tendangan tadi.

Tendangan Kahano itu tidak mengandung tenaga besar, dan hasil yang baik itu hanya karena tepatnya tendangan itu mengenai urat besar di pergelangan tangannya. Teringat akan hal ini, Kwan Cu berseri wajahnya dan dia tersenyum.

“Kahano, kaulah yang sombong. Sekarang akan kau rasai kelihaian Lu Kwan Cu!” sambil berkata demikian, Kwan Cu menggerakkan tangannya dengan jari-jari terpentang.

Ia bersilat dengan ilmu silat Sin-ci-tin-san yang mengandung tenaga lweekang dan gwakang amat besar sehingga baru saja sambaran hawa pukulannya saja sudah dapat merobohkan lawan. Di samping itu, dia pun menggerakkan kedua kakinya menurutkan gerakan ilmu silat Sam-hoan-ciang sehingga dia seakan-akan mempunyai muka tiga dan gerakan-gerakan kakinya selalu membentuk segitiga dan tidak dapat di serang dari belakang oleh lawan-lawannya.

Tepat betul gerakan Kwan Cu ini. Begitu dia mainkan ilmu silat Sin-ci-tin-san, enam orang pengeroyoknya menjadi bingung sekali. Mereka agaknya dapat pula menduga gerakan-gerakan selanjutnya dari Sin-ci-tin-san, akan tetapi oleh karena ilmu silat ini di lakukan mengandalkan lweekang yang tinggi dan tenaga yang besar, tentu saja mereka tidak dapat menirunya!

Hal ini merupakan keuntungan bagi Kwan Cu yang mendesak terus selagi enam orang itu kebingungan, tidak tahu harus berbuat bagaimana menghadapi pukulan-pukulan sepuluh jari tangan Kwan Cu yang baru hawa pukulannya saja sudah membuat tubuh mereka tergetar!

Melihat hasil serangannya, Kwan Cu mengamuk makin hebat. Ia dengan heran sekali melihat betapa enam orang ini pun seakan-akan mengenal ilmu silat Sin-ci-tin-san, karena mereka dapat menduga gerakan-gerakan selanjutnya dari ilmu silat ini, bahkan mereka mencoba untuk menyerangnya dengan meniru gerakan itu.

Ilmu silat apakah yang mereka miliki ini sehingga semua ilmu silatnya dapat dikembari oleh mereka? Kalau dia berlaku lambat, tentu mereka akan dapat menguasai diri dan kalau sekali ini dia tidak mampu mengalahkan mereka, agaknya itu akan menjadi tanda bahwa dialah sebaliknya yang akan kalah dan mendapatkan bencana besar!

“Robohlah kalian!”

Kwan Cu berseru untuk memperkuat pengaruh dan lweekangnya, dan kedua tangannya bergerak cepat sambil mengerahkan tenaga sekuatnya. Yang paling dia desak adalah Kahano, maka ketika kedua tangannya bergerak, terdengar Kahano menjerit, disusul oleh dua orang kawannya.

Ternyata bahwa pukulan Kwan Cu tadi hanya setengah dapat dielakkan mereka, akan tetapi hawa pukulannya masih menghantam Kahano dan dua orang kawannya, yakni seorang yang berada di belakangnya dan seorang pula yang berada di kanannya.

Pedang pendek Kahano terlepas dari pegangan dan si katai brewok ini terpukul dadanya sehingga dia terlempar ke belakang dengan dada menderita luka dalam. Orang yang berada di belakang Kwan Cu lebih hebat lagi. Tangan kanan Kwan Cu, atau lebih tepat jari-jari tangan kanannya, telah dapat menampar kepala orang itu sehingga si katai gundul ini terlempar bagaikan seekor anjing dilemparkan dan dia roboh tak dapat bangun kembali.

Orang yang berada di kanannya, hanya terkena langgar telunjuk Kwan Cu, namun karena tepat mengenai tangannya yang memegang pedang, pedang itu pun terlepas dari pegangan dan dia menjerit-jerit kesakitan sambil mundur dan memegangi tangan kanan dan tangan kirinya. Ternyata bahwa tulang-tulang tangan kanannya itu telah patah-patah.

Tiga orang lain yang berada di depan Kwan Cu, ketika melihat ini, terbang semangat mereka dan timbul watak pengecut. Mereka melempar pedang dan berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala yang gundul itu, minta ampun! Memang, sudah terlalu lama kaum laki-laki di pulau katai itu diperlakukan seperti wanita sehingga rata-rata memiliki watak penakut dan berhati kecil.

Kwan Cu tertawa bergelak dengan puas dan mengambil sulingnya. Berhasillah tugasnya mengamankan pulau itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia melihat bayangan beberapa orang berkelebat dekatnya dan lenyaplah suara ketawanya ketika dia melihat apa yang telah terjadi pada saat dia tertawa tadi.

Ketika dia memandang, enam orang laki-laki katai itu telah kehilangan kepala mereka dan kini tubuh mereka tergeletak dengan leher terputus dan darah mengalir deras dari leher-leher yang tak berkepala lagi itu.

Dengan kening berkerut Kwan Cu memandang tajam kepada Malita, Malika dan beberapa orang wanita lain yang sudah berdiri di situ dengan pedang di tangan. Malita dan Malika menyusut darah yang menempel di pedang mereka, menggunakan pakaian yang menempel pada mayat-mayat itu.

“Mengapa kalian lakukan ini? Alangkah kejamnya!” seru Kwan Cu tak senang.

Malika menghadapinya dengan sikap menantang. Gadis ini memang berwatak keras dan pemberani. Ia menentang pandang mata Kwan Cu tanpa takut sedikitpun juga, lalu berkata,

“Kau bilang kami kejam? Kalau mengingat betapa enam orang iblis ini hendak membuat kami kaum perempuan menjadi barang permainan yang hina-dina, hukuman penggal kepala masih terlampau murah untuk mereka!”

Kwan Cu menghela napas, lalu berkata,
“Sudahlah, Malika, dan kau juga Malita. Yang sudah lalu biarlah lenyap. Memang mereka ini jahat sekali dan patut dihukum mati, akan tetapi apakah perbuatan ini merupakan tanda bahwa kalian kaum wanita kini hendak berkuasa lagi dan melupakan kerja sama yang baik?”

“Tidak, sama sekali kami tidak akan mengulangi kesalahan besar yang dilakukan oleh nenek moyang kami. Kami sudah berjanji kepadamu dan janji kami selalu kami pegang teguh. Kami akan melakukan pemilihan raja baru dengan adil, kaum laki-laki pun berhak memilih. Dan kami tak kan memandang-mandang lagi apakah ia laki-laki atau wanita, akan tetapi siapa saja yang bersalah akan dihukum dan yang tertindas akan dibela, baik ia laki-laki maupun wanita! Dan semua ini, kebahagiaan yang akan kami hadapi ini, semua berkat pertolonganmu yang amat berharga, saudara Kwan Cu yang budiman!”

“Semua berkat pertolonganmu,” semua wanita berkata pula dan tiba-tiba, dipimpin oleh Malita dan Malika, semua orang wanita yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Cu sambil menangis riuh-rendah!

Kwan Cu tertegun, kebingungan, kemudian dia menghela napas dan berkata dalam hatinya,

“Perempuan, perempuan…. perempuan namamu dan di manapun sama saja, paling mudah menangis!” berpikir sampai disini, timbul pikiran lain yang membantahnya.

“Ah, Kong Hoat putera Liok-te Mo-li itu terang seorang laki-laki, akan tetapi dia pun suka menangis.”

Pikiran kedua mengejek,
“Ah, Kong Hoat memang dasar cengeng!”

Demikianlah, menghadapi tangis karena berterima kasih dan gembira dari banyak wanita kecil-kecil ini, Kwan Cu malahan melamun, teringat yang bukan-bukan. Akan tetapi, dia sadar kembali dan berkata.

“Sudahlah, untuk apa menangis? Kalian membikin aku merasa sedih dan jangan-jangan aku akan ikut menangis pula. Malita dan Malika, kalian pada saat ini boleh dibilang menjadi pemimpin bangsamu, jangan melakukan upacara yang berlebih-lebihan ini. Aku bertindak sebagai seorang manusia yang harus menolong manusia lain sedapat mungkin. Aku hanya ada satu permintaan, yakni kalau sekiranya kalian tidak keberatan.”






Tidak ada komentar :