*

*

Ads

Senin, 21 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 100

Malita menyusut air matanya dan bangkit berdiri sambil tersenyum manis sekali.
“Apakah permintaanmu itu, saudaraku yang baik? Apa saja yang menjadi permintaanmu, pasti akan kami turuti. Kau ingin menjadi pemimpin kami? Kami setuju sepenuhnya! Kau ingin memilih seorang jodoh di antara kami? Kiranya tak seorangpun dara akan menolakmu siapapun dia adanya!” setelah mengucapkan kata-kata ini, sadarlah Malita bahwa ia bicara terlalu banyak, maka merahlah mukanya.

“Jangan main-main, Malita. Aku bukan Kahano! Tiada lain hanya ini. Perbolehkanlah aku tinggal di pulau ini seorang diri, entah berapa tahun sampai aku merasa bosan dan pergi meninggalkan pulau ini. Selama aku berada di sini, harap kalian jangan menggangguku, karena aku bermaksud hendak bersamadhi dan menjauhkan diri dari keramaian dunia di tempat ini. Tempat ini amat menarik hatiku.”

Malita dan kawan-kawannya saling pandang dengan heran.
“Kau memang orang aneh, seorang sakti yang berbudi tinggi. Hal itu bukan merupakan permintaan karena tentu tak seorangpun merasa keberatan kalau kau tinggal di pulau ini.”

“Nah, kalau begitu selamat berpisah. Kalian pulanglah dan aturlah pemerintahanmu sebaik-baiknya dan tinggalkan aku di sini. Jangan ingat lagi kepadaku, karena akupun takkan mengganggu kalian di sana.”

Mendengar keputusan ini, terkejutlah Malita.
“Mengapa begitu keras, saudara Kwan Cu? Setidaknya, perkenankanlah kami kadang-kadang mengunjungimu di sini untuk melihat apakah kau tidak kekurangan sesuatu di sini,” kata Malita.

“Dan sudah tentu kami yang akan menjaga makananmu setiap harinya,” kata Malika.

Akan tetapi Kwan Cu menggeleng kepala dan menggoyang-goyang tangannya.
“Jangan! Kulihat pulau ini mengandung pohon-pohon yang berbuah dan kulihat tadi beberapa ekor binatang hutan yang kiranya akan dapat menjadi bahan makanan bagiku. Aku ingin seorang diri saja di sini, tanpa mendapatkan gangguan dari siapapun juga. Kecuali…..” sambungnya ketika meliha sinar mata pada wajah mereka, “kecuali kalau ada sesuatu yang hebat menimpa kalian, tentu saja aku selalu bersiap sedia untuk menolong kalian. Nah, pergilah, mayat-mayat ini tinggalkan saja, biar aku nanti yang akan menguburnya di tempat ini.”

Terpaksa Malita memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk pergi dari situ dengan wajah kecewa sekali. Akan tetapi, belum lama ia berjalan ia segera membawa kawan-kawannya, datang lagi dan berlutut.

“Ada apa lagi?” tanya Kwan Cu tak senang.

“Saudara Kwan Cu, biarpun kami tak berani melanggar laranganmu dan tidak akan mengganggumu di tempat ini, setidaknya berjanjilah bahwa sewaktu-waktu kau akan datang mengunjungi kami agar kami dapat melihat bahwa kau masih berada di dekat kami.”

Kwan Cu tersenyum. Ia tidak boleh terlalu keras agar mereka ini jangan menduga yang bukan-bukan sehingga akan pecah rahasia sebenarnya dari keinginannya berada seorang diri di tempat itu.

“Baiklah, kelak kalau kau dan adikmu menikah, beritahulah aku dan aku akan datang menyaksikan pernikahan itu!”

Bertitik air mata di pipi Malita, bahkab Malika juga menangis sesenggukan karena terharu. Mereka lalu pergi dari situ, menuju ke perahu-perahu kecil milik Kahano dan kawan-kawannya sambil menoleh beberapa kali ke arah raksasa muda yang masih berdiri bertolak pinggang melihat sampai mereka pergi jauh dan tidak kelihatan lagi.

Setelah menggali lubang dan mengubur jenazah Kahano dan lima orang kawannya, Kwan Cu segera menghampiri gua yang dijadikan tempat bersembunyi para pemberontak tadi.

Ia memeriksa dinding gua dengan sepasang obor yang dibuatnya dari pada rumput kering dan alangkah girangnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa dinding-dinding itu sebagaimana telah diduganya semula, terhias oleh gambar-gambar manusia sedang bersilat! Gambar-gambar ini ukirannya bagus dan jelas sekali sehingga melihat gambar-gambar ini saja orang sudah dapat mempelajari ilmu silat yang terlukis di situ!

“Hm, dari sini kiranya mereka itu mempelajari ilmu silat mereka yang aneh!” pikirnya.

Gambar-gambar itu benar-benar hebat sekali karena amat banyak dan mengandung gerakan dari hampir semua ilmu silat yang pernah dia pelajari dan yang pernah dia dengar dari suhunya, Ang-bin Sin-kai. Manusia gaib siapakah yang dapat membuat lukisan-lukisan pelajaran ilmu silat seperti ini?






Sampai sehari penuh Kwan Cu memeriksa gambar-gambar itu dan masih juga belum habis. Ternyata bahwa seluruh terowongan yang menembus kegua-gua lain juga terhias gambar-gambar seperti itu, namun anehnya, semua lukisan itu menggambarkan orang bersilat tangan kosong! Tidak ada sebuah pun gambar orang bersilat dengan senjata di tangan.

Ada yang bersilat seorang diri, ada yang bertempur, ada pula yang di keroyok dua, tiga, sampai dikeroyok puluhan orang! Agaknya lukisan dititik beratkan kepada tokoh yang dikeroyok, karena kedudukan tokoh ini jelas sekali, teratur baik setiap gerak kaki atau tangan.

Menghadapi sebaris lukisan yang menggambarkan cara bagaimana seorang laki-laki dikeroyok oleh puluhan orang, Kwan Cu terkejut. Bukan main hebatnya kedudukan orang yang dikeroyok itu, jauh lebih kuat dari pada ilmu silat Pai-bun-tui-pek-to yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai.

Saking girangnya, Kwan Cu sampai lupa makan lupa tidur, setiap hari dia melihat dan mempelajari gambar-gambar yang terlukis di dinding gua dan terowongan itu. Kemudian teringatlah dia akan maksud dan kedatangannya di pulau ini sesungguhnya, yakni mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.

Hatinya berdebar keras. Betapapun jelas adanya ukiran-ukiran ini yang dengan sendirinya telah merupakan pelajaran yang hebat sekali, namun tanpa buku petunjuk atau guru yang membimbing, ilmu-ilmu silat tinggi itu bisa dipelajari dengan cara yang keliru!

“Bukan tak mungkin bahwa Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah kitab yang merupakan kouw-koat (teori ilmu silat) dari semua lukisan ini.” pikirnya.

Setelah berpikir demikian, Kwan Cu merangkak keluar dari gua kecil itu dan baru dia merasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua karena dia mempelajari dan melihat semua lukisan di dinding itu sambil merangkak!

Ternyata bahwa sudah dua hari dua malam dia berada di gua itu tanpa berhenti untuk makan atau tidur. Kini dia merasa perutnya lapar sekali. Maka pergilah dia ke dalam hutan yang penuh dengan pohon-pohon itu. Keadaan di situ memang aneh. Semua pohon mempunyai daun yang keputih-putihan, sungguhpun daun-daun itu berbeda corak dan ukurannya. Dan diantara pohon-pohon itu, ada pula yang mengandung buah-buahan yang biarpun ada yang berwarna merah, namun merahnya juga pucat seperti dikapur.

Kwan Cu berlaku hati-hati sekali. Niarpun perutnya amat lapar dan mulutnya amat haus, namun dia tidak berlaku sembrono. Buah-buahan itu asing baginya dan siapa tahu kalau-kalau di tempat aneh ini terdapat buah-buah yang mengandung bisa.

Sebelum makan buah itu, dia menciumnya lebih dulu dan menancapkan suling pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong ke dalam buah itu. Gurunya pernah memberi tahu bahwa suling itu selain dapat dipergunakan sebagai senjata, juga dapat di pergunakan untuk menguji apakah dalam sesuatu benda terdapat bisa yang berbahaya. Kalau suling yang kehijauan itu berubah hitam seperti hangus, itulah tanda bahwa buah itu mengandung racun.

Setelah dilihatnya bahwa suling itu tidak hangus, barulah dia berani mencoba makan. Ternyata buah itu wangi dan manis, sehingga hatinya girang sekali. Juga di situ terdapat banyak binatang hutan yang rupanya seperti kijang, maka dia tidak khawatir lagi akan makanan untuk perutnya.

Betapapun tertarik hatinya untuk mempelajari semua lukisan orang bersilat di dalam gua yang kecil gelap itu, namun Kwan Cu tidak mau melihatnya lagi. Hatinya tetap bahwa dia harus lebih dulu mencari kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng, karena itulah tujuan utamanya datang mencari pulau ini.

Berhari-hari dia mencari. Semua gua, dari yang besar sampai yang paling kecil dia masuki, namun dia tidak mendapatkan tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Bahkan sebulan telah berlalu dia belum juga bisa menemukan kitab itu.

Namun Kwan Cu adalah seorang pemuda yang keras hati dan tak mudah patah semangat. Ia yakin bahwa kitab itu tentu belum ditemukan oleh Kahano, karena kalau Kahano telah mempelajari ilmu silat dari kitab itu, tak mungkin dia akan dapat mengalahkannya.

Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Kiu-bwe Coa-li dan masih banyak tokoh-tokoh sakti dari dunia kang-ouw, semua ingin memiliki kitab itu. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kitab itu tentulah mengandung pelajaran ilmu yang bukan main tingginya. Kemajuan ilmu silat Kahano dan kawan-kawannya yang diherankan oleh Malita, tentulah karena Kahano dan kawan-kawannya mempelajari sebagian daripada gambar-gambar lukisan dinding itu.

Beberapa pekan telah lewat pula dan tahu-tahu sudah tiga bulan Kwan Cu tinggal di pulau kosong itu. Dan belum juga dia menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang dicari-carinya, biarpun sudah beberapa kali dia memasuki gua-gua yang banyak itu dan memeriksa di balik batu-batu karang yang besar.

Selama seratus hari ini, Kwan Cu belum lagi mempelajari ilmu silat yang di lukis di dinding, karena kemauannya amat keras hendak menemukan kitab rahasia itu lebih dulu. Ia percaya penuh akan kebenaran kitab sejarah peninggalan Gui Tin dan biarpun sudah seratus hari mencari dengan sia-sia kepercayaannya ini tidak berkurang, bahkan dia menjadi makin penasaran dan memaki-maki diri sendiri sebagai seorang yang bodoh dan sial.

Pada suatu hari, ketika dia mencari seekor kijang untuk dipanggang dagingnya, tiba-tiba dia melihat bayangan putih berkelebat cepat di atas tanah. Hampir saja dia tidak dapat melihat apakah yang berkelebat itu, karena gerakan bayangan ini cepat luar biasa.

Akan tetapi, ketika dia mengejar ke arah itu, dia melihat seekor binatang yang rupanya seperti kelinci berbulu putih, berlari cepat sekali. Ia menjadi tertarik. Belum pernah dia melihat binatang seindah itu bulunya. Putih bersih seperti kapas dan keempat kakinya yang pendek-pendek itu amat cepat larinya.

Ia mengejar sambil mengerahkan ginkangnya, dan biarpun dia tidak atau belum dapat menangkap binatang putih itu namun binatang itu pun tidak dapat memperbesar jaraknya. Binatang itu nampak kebingungan sekali dan segera berlari ke arah bukit batu karang yang di tumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih yang tidak berbuah. Kwan Cu mengejar terus. Ketika binatang itu tiba di bawah sebatang pohon di puncak bukit, pohon yang terbesar, tiba-tiba saja binatang itu lenyap!

“Eh, ibliskah dia? Bagaimana bisa menghilang begitu saja sedangkan di sini, kecuali pohon-pohon besar ini, tidak ada tetumbuhan lainnya?” pikir Kwan Cu penasaran.

Pemuda ini mencari-cari dengan pandangan matanya, dan akhirnya dia melihat sebuah lubang di dekat pohon itu, lubang yang berada di tengah antara dua batang akar yang menonjol keluar dari permukaan tanah.

“Hm, jadi dia bersembunyi di sini,” pikir Kwan Cu sambil tersenyum gembira.

Ia mempergunakan pedang kecil yang dahulu menjadi senjata Kahano dan disimpannya karena dia memang membutuhkan senjata untuk menolong sesuatu yang diperlukan.

Dengan pedang yang kecil seperti pisau ini, dia menggali lubang itu dan merenggut putus dua akar yang menjepit lubang. Makin dalam dia menggali lubang itu makin besar.

Kegembiraan Kwan Cu membesar pula. Ini merupakan pengalaman baru baginya. Bagaimana seekor binatang yang begitu kecil bisa membuat sarang begini besar?

Kurang lebih tiga kaki dalamnya dia menggali dan tiba-tiba, ketika dia mengayun pedang itu ditancapkan pada tanah untuk memperdalam galian, terdengar suara keras dan pedang itu patah! Kwan Cu terkejut dan heran sekali. Dengan jari-jari tangannya dia menggali tanah dan ternyata bahwa pedangnya tadi telah memukul dinding besi yang mengeluarkan cahaya kehitaman dan kelihatannya kuat sekali!

“Apakah ini…..?” katanya makin heran.

Ia lalu makin bersemangat, mempergunakan patahan pedang untuk menggali tanah di sekitar pedang besi itu dan ternyata bahwa dinding ini merupakan sebuah peti besi segi empat yang lebarnya ada satu kaki lebih. Di samping peti besi ini terdapat lubang lain yang kecil, agaknya binatang itu mempergunakan peti besi yang kuat ini untuk perisai dan tentu dia bersembunyi di dalam sebuah lubang yang digalinya tepat di bawah peti itu.

Namun Kwan Cu tidak ingat lagi akan kelinci atau binatang berbulu putih yang tadi dikejar-kejarnya. Seluruh perhatiannya kini tercurah kepada peti besi ini. Hatinya berdebar-debar dan diam-diam dia berdoa kepada Thian semoga peti inilah yang akan memberi jalan kepadanya mendapatkan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng!






Tidak ada komentar :