*

*

Ads

Sabtu, 26 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 109

Kwan Cu terkejut. Terang bahwa si botak ini memamerkan kepandaiannya dan harus dia akui bahwa hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kepandaian serta lweekang yang sudah tinggi tingkatnya. Akan tetapi sebelum si botak turun tangan, orang muda berpakaian mewah yang baru masuk itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata,

“Terlalu banyak orang pandai sekarang sehingga di mana saja melihat orang memamerkan tenaga!”

Sambil berkata demikian, dia melangkah ke arah dinding di mana meja itu menancap empat kakinya. Dengan gerakan perlahan dia memegang meja itu dan sekali renggut ke bawah, meja itu telah terlepas dari dinding.

Ketika Kwan Cu memandang ke arah dinding, dia menjadi makin keheranan dan tertegun karena ternyata bahwa pemuda berpakaian mewah yang datang ini bahkan lebih tinggi kepandaiannya daripada si botak tadi. Dengan sekali gentak saja sudah dapat mematahkan empat kaki meja yang rata dengan dinding sehingga seakan-akan lubang dinding yang ditusuk oleh kaki meja, kini telah disumbat rapat dan rata dengan permukaan dinding.

Pemuda botak ketika memandang kepada orang yang baru datang ini, menjadi berubah air mukanya. Ia menyimpan kembali sepasang senjatanya dan berkata sambil tersenyum pahit.

“Eh, kiranya Suheng tidak menginginkan keributan. Biarlah siauwte meninggalkan pengemis kurang ajar ini kepada Suheng.”

Sehabis berkata demikian, pemuda botak ini sambil tertawa-tawa mengejek, lalu meninggalkan ruangan rumah makan, diikuti oleh kawan-kawannya yang kelihatan takut sekali terhadap pemuda baju mewah yang baru datang.

Kini perhatian Kwan Cu tertuju kepada pemuda pakaian mewah ini. Makin dia pandang, makin dikenalnya muka pemuda ini. Ia merasa yakin bahwa dia pernah bertemu dengan pemuda ini, hanya dia lupa lagi dimana dan bilamana.

Tiga orang pengemis tadi kini berdiri di luar pintu dan jelas sekali bahwa di antara tiga orang pengemis itu dan pemuda ini pasti ada hubungan dan dapat diduga pula bahwa kedatangan pemuda ini pun atas pemberitahuan tiga orang pengemis itu.

Makin heranlah hati Kwan Cu. Agaknya keadaan di kota raja ini penuh dengan rahasia. Siapa tahu kalau-kalau tiga orang pengemis itu memang mata-mata yang menyamar dan bekerja untuk kepentingan pemuda mewah ini. Tentu pemuda ini pun tinggi pangkatnya, kalau tidak demikian, tidak nanti pemuda botak yang disebut pangeran muda itu menyebutnya suheng (kakak seperguruan) dan sikapnya begitu mengalah.

Sementara itu, pemuda berpakaian mewah ini juga memandang kepada Kwan Cu dengan penuh perhatian. Sepasang matanya memandang dan mulutnya tersenyum setengah mengejek.

Melihat sinar mata dan senyum itu, timbul rasa tidak suka di hati Kwan Cu. Pemuda yang bersikap halus namun mempunyai watak dasar yang sombong sekali, jauh lebih sombong dari pemuda botak tadi, pikirnya. Hanya kesombongannya tersembunyi di balik kehalusan yang disengaja dan kelicinan yang luar biasa. Terhadap orang seperti ini aku harus berlaku hati-hati sekali, pikir Kwan Cu.

“Kiranya benar sekali laporan Sam-lokai (Tiga Pengemis Tua) bahwa kota raja kedatangan seorang pemuda luar biasa, seorang tamu agung yang menyembunyikan keadaan sebenarnya. Ah, Kwan Cu, sudah lupakah kau kepadaku?” kata pemuda itu sambil tersenyum dan menghampiri Kwan Cu.

Kwan Cu hampir melompat dari bangkunya. Baru sekarang dia teringat siapa adanya orang ini.

“Lu Thong……!” serunya.

Lu Thong memperlebar senyumnya, lalu memberi tanda agar supaya Kwan Cu jangan banyak bicara di tempat terbuka itu.

“Kita masih bersaudara, bukan? Nah, marilah kau ikut dengan aku ke rumahku, disana kita dapat bicara dengan enak dan leluasa.”

Akan tetapi, melihat senyum pemuda yang dulu amat sombong dan jahat itu, Kwan Cu menjadi makin curiga dan benci.

“Aku tidak mau pergi bersama murid orang yang telah menewaskan guruku secara keji,” jawabnya.

Lu Thong mainkan alisnya.
“Aha, kau sudah mendengar tentang hal yang mentertawakan itu? Kwan Cu, kita kesampingkan dulu urusan orang-orang tua itu. Kau mau mendengar keterangan yang sejelasnya tentang semua keadaan selama kau menyembunyikan diri sampai bertahun-tahun? Nah, keterangan itu hanya bisa kau dapatkan dari aku. Marilah kau mampir ke rumahku, ataukah kau takut?”






Keangkuhan hati Kwan Cu tersentuh dengan tantangan ini, maka dengan gagah dia menjawab,

“Siapa takut? Kau mau bisa berbuat apakah terhadap aku? Baik, aku ikut denganmu, hendak kulihat apa yang hendak kau lakukan.”

Lu Thong tertawa girang dan memberi tanda kepada tiga orang pengemis tua yang masih berdiri di luar pintu. Tiga orang pengemis itu lalu berlari pergi dengan cepat sekali dan kembali Kwan Cu tertegun. Kiranya para pengemis yang tadi menimbulkan belas kasihannya, bukanlah pengemis sembarangan!

Lu Thong membawa Kwan Cu pergi ke sebuah gedung yang mentereng di bagian barat kota. Tadi ketika pemuda mewah ini bercakap-cakap dengan Kwan Cu di dalam rumah makan, para pelayan tidak ada yang berani mendekat.

Di sepanjang jalan pun, semua orang yang bertemu dengan Lu thong, memberi hormat dengan sopan sekali, bahkan serombongan tentara yang kebetulan lewat, cepat bersikap tegak dan memberi hormat pula.

Diam-diam Kwan Cu memuji bahwa pemuda ini telah dapat mengangkat diri dalam kedudukan yang tinggi. Ia merasa heran sekali mengapa kakek angkatnya, Menteri Lu Pin yang terbinasa sekeluarga, keadaanya jauh berbeda dengan cucunya ini. Akan tetapi dia tidak banyak bertanya, hanya mengikuti Lu Thong dengan diam-diam.

Ketika memasuki rumah gedung itu, banyak pelayan menyambut kedatangan Lu Thong dan Kwan Cu dengan penuh penghormatan. Di antara para penyambut, terdapat lima orang wanita muda yang cantik jelita dan dengan sikap biasa seakan-akan hal itu tidak ada keanehannya, Lu Thong memperkenalkan lima orang itu sebagai selir-selirnya!

“Aku belum menikah dan masih menanti datangnya jodoh yang cocok,” katanya tertawa, “karena itu, mereka inilah yang menghiburku dan mengusir kesepian dari anak malang yang hidup sebatang kara ini.”

Kwan Cu hanya mengerutkan keningnya, akan tetapi tidak berkata sesuatu, juga tidak mempedulikan sinar mata para wanita muda yang ditujukan kepadanya dengan sikap genit. Juga dia melihat tiga orang pengemis tadi kini telah ikut menyambut dengan pakaian bagus dan sikap hormat sambil tertawa-tawa.

“Mari kita bicara di dalam taman bunga, saudara Kwan Cu. Di sana hawanya lebih enak dan leluasa.”

Kwan Cu harus mengakui, bahwa taman bunga ini indah sekali. Tidak saja di situ penuh dengan tanaman bunga beraneka warna dan dihias pula dengan sebuah kolam ikan yang penuh ikan emas dan bunga teratai, juga di tengah-tengah taman bunga itu dibuat tanah lapang yang amat bersih dan lega, agaknya tempat berlatih ilmu silat.

“Kau hidup mewah dan senang sekali, Lu Thong,” kata Kwan Cu sambil memandang ke sekeliling tempat itu.

Ia mendapat kenyataan bahwa baik rumah gedung itu maupun taman bunganya, dikelilingi oleh tembok yang tinggi sekali dan di atas tembok dipasangi kawat berduri.

“Akan tetapi kau juga menjaga tempatmu ini dengan amat kuat seperti takut akan kedatangan musuh.”

Lu Thong tertawa dan mengajak Kwan Cu duduk menghadapi meja yang telah penuh dengan hidangan-hidangan mewah dan guci arak berukir yang penuh dengan arak wangi.

“Duduklah, saudaraku. Matamu benar-benar awas dan kau dapat menduga tepat. Memang di kota raja sekarang tidak aman, kekacauan hebat timbul, tidak saja untuk para pembesar dan penduduk, bahwa di dalam istana sendiri terjadi kekacauan dan persaingan hebat.”

“Seperti halnya suhumu Jeng-kin-jiu yang mengeroyok dan menewaskan suhuku,” kata Kwan Cu dengan pandang mata tajam.

“Jangan kau persalahkan aku dalam urusan itu. Suhu juga merasa amat menyesal dan sekarang suhu tidak mau lagi menginjak kota raja karena merasa menyesal telah ikut terseret dalam permusuhan.”

“akan tetapi muridnya bahkan hidup mewah di sini, sungguhpun seluruh keluarganya telah musnah……..” Kwan Cu menyindir.

“Kau tidak tahu, Kwan Cu. Kong-kong (kakek) Lu Pin sebenarnya masih hidup.”

Berubah wajah Kwan Cu.
“Benarkah? Di mana beliau?”

“Itulah soalnya, Kwan Cu. Kong-kong telah dapat melarikan diri membawa harta benda istana yang besar sekali harganya, dan sampai sekarang tak seorang pun mengetahui dimana adanya kong-kong Lu Pin. Oleh karena itulah, biarpun semua keluarga terbinasa, aku terpaksa harus mencari kedudukan setelah ditolong oleh suhu dan diberi ampun oleh mendiang Panglima An Lu Shan.”

Kembali Kwan Cu tertegun.
“Apa? Pemberontak itu sudah meninggal dunia?”

“Huuusss, jangan keras-keras kau bicara, Kwan Cu. Panglima An Lu Shan adalah seorang panglima gagah perkasa dan bahkan telah menjadi kaisar yang bijaksana. Kalau tidak demikian, tidak nanti aku diangkat menjadi pangeran dan dianggap sebagai putera angkatnya sendiri.”

“Hemmm, begitukah…..?” kata Kwan Cu sambil merapatkan bibirnya.

Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa muak sekali terhadap pemuda ini. Seluruh keluarganya, termasuk ayah bundanya, dan semua orang, telah dibinasakan oleh An Lu Shan dan dia sendiri mau diangkat menjadi puteranya! Alangkah rendahnya watak pemuda ini.

“Kau agaknya tidak tahu sama sekali tentang keadaan di sini, Kwan Cu.”

“Memang aku tidak tahu, bukankah kau mengajak aku kesini untuk menceritakan semua itu?” Kwan Cu bertanya.

Lu Thong kembali tersenyum, senyum yang mengandung ejekan dan rahasia, senyum yang membayangkan kecerdikannya dan yang membuat Kwan Cu bersikap waspada.

“Baiklah, kuceritakan semuanya dengan jelas keadaan di kota raja.”

Maka berceritalah Lu Tong. Sebagaimana diketahui, Kaisan Hian Tiong yang lalim itu dengan cara amat sembrono telah mengangkat An Lu Shan, seorang Panglima Tartar menjadi panglima di tiga kota timur laut dan berkedudukan di Ho-pei. Hal ini sudah dibantah oleh banyak menteri, terutama sekali ditentang oleh Menteri Lu Pin.

Akan tetapi kaisar tidak mempedulikan semua teguran itu yang diajukan dengan alasan bahwa amat berbahaya mengangkat panglima asing dengan kekuasaan besar. Akhirnya, benar saja An Lu Shan memberontak dengan sejumlah tentara tidak kurang dari lima belas laksa orang yang telah dilatih sempurna sekali dalam hal ilmu pedang, lalu pemberontak ini memukul ke selatan!

Kaisar yang tidak becus mengurus pemerintahan ini tidak berdaya sama sekali. Para pejabat dan panglimanya hanya mengutamakan kesenangan dan pelesiran saja seperti kaisarnya. Memang, keadaan Kaisar Hian Tiong amat lemah. Kaisar ini sendiri seakan-akan menjadi boneka saja yang selalu menuruti kehendak seorang isterinya yang amat cantik, yakni Yang Kui Hui yang tersohor cantik jelita dan genit.

Oleh karena pertahanan amat lemah dan bala tentara An Lu Shan memang istimewa, lagipula dibantu oleh orang-orang pandai, kerajaan dapat dirampas oleh An Lu Shan dan kaisar sendiri lalu melarikan diri mengungsi ke Se-cuan.

An Lu Shan dan kaki tangan, keluarga serta pembantu-pembantunya terdiri dari orang-orang kasar. Sekali mendapatkan tahta kerajaan, laksana orang-orang kelaparan menghadapi hidangan-hidangan lezat. Mereka menjadi mata gelap dan terjadilah perebutan kekuasaan.

Dalam keributan ini, An Lu Shan telah dibunuh oleh puteranya sendiri. Keributan merajalela, tidak saja di dalam istana terjadi perebutan kekuasaan, bahkan hal itu menjalar sampai di luar istana. Banyak sekali orang-orang berkuasa saling memperngaruhi dan menanam bibit permusuhan dan persaingan yang dalam sekali dengan diam-diam.






Tidak ada komentar :