*

*

Ads

Sabtu, 26 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 108

Karena melakukan perjalanan cepat biarpun banyak gangguan di jalan untuk menolong rakyat dari gangguan pasukan-pasukan An Lu Shan, beberapa pekan kemudian sampailah Kwan Cu di kota raja.

Ia teringat ketika bersama gurunya datang di kota raja dan keadaan sekarang kelihatannya tiada perubahan sama sekali. Ia menuju ke jalan di mana dahulu berdiri rumah gedung dari Menteri Lu Pin. Ternyata bahwa rumah itu kini telah berubah bentuk, bahkan rumah ini agaknya masih baru. Tidak ada tanda-tanda atau bekas dari rumah yang lama.

Kwan Cu berjalan terus lalu memasuki rumah makan yang besar, agaknya rumah makan ini pun baru karena seingatnya dahulu tidak ada rumah makan ini di jalan besar itu. Ia disambut oleh seorang pelayan yang memandangnya dengan mata curiga, maklumlah, pakaian Kwan Cu yang amat bersahaja itu tentu saja menimbulkan kecurigaan karena rumah makan yang besar ini biasanya hanya dimasuki oleh hartawan-hartawan dan para bangsawan belaka.

Kwan Cu tidak mempedulikan sikap pelayan ini. Di dalam perjalanannya, dia mendapat kenyataan bahwa dia memang perlu sekali membawa bekal uang untuk makan dan biaya-biaya lainnya, maka dia telah mengambil cukup banyak emas dari kamar harta seorang pembesar kaya raya ketika dia memberi ancaman kepada pembesar yang terkenal sebagai penindas kaum tani itu.

Rumah makan itu banyak tamunya dan sebagian besar adalah orang-orang muda dengan pakaian mewah. Mereka bercakap-cakap sambil makan dan suara ketawa mereka memecah di ruang makan itu. Orang-orang ini tidak menarik perhatian Kwan Cu, hanya seorang laki-laki berkepala botak yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun cukup menarik, laki-laki ini sedang bicara dengan suara yang dalam, lantang dan bertenaga, sedangkan banyak pemuda berpakaian mewah mendengarkan ceritanya sambil tertawa-tawa.

Diam-diam Kwan Cu merasa geli karena dia tahu bahwa laki-laki botak itu di waktu bicara mengerahkan tenaga khikangnya yang lumayan juga sehingga suaranya terdengar nyaring sekali.

Pelayan rumah makan mempersilakan Kwan Cu duduk di depan meja yang terletak di pojok, agak jauh dari tamu-tamu lain. Padahal di dekat tamu-tamu itu masih ada beberapa tempat yang kosong. Namun Kwan Cu tidak ambil peduli dan segera dia memesan beberapa makanan.

Sambil menanti makan, Kwan Cu duduk melamun sambil memandang keluar jendela rumah makan. Dilihatnya seorang pelayan mengusir pergi tiga orang pengemis. Seekor anjing kurus makan tulang yang hitam. Pengemis-pengemis itu berjalan dengan kaki lemas, seorang di antaranya terpincang-pincang.

Melihat ini, diam-diam Kwan Cu menghela napas panjang. Bukan saja para pengemis itu mengingatkan dia akan gurunya, Ang-bin Sin-kai, juga pemandangan itu membuat dia melihat perbedaan yang amat menyolok antara kehidupan tiga orang manusia dan manusia-manusia lain yang tengah makan sambil berkelakar itu.

Pengemis-pengemis itu tiada ubahnya seperti anjing kurus itu, bahkan mungkin lebih kelaparan lagi. Dia lalu melambaikan tangan kepada pelayan yang tadi menyambutnya. Pelayan itu datang dengan muka angkuh.

“Tolong bikin tiga mangkok masak bihun lagi dan berikan kepada tiga orang pengemis itu. Aku yang akan bayar.”

Pelayan itu mengerutkan keningnya, akan tetapi dia tentu saja tidak dapat membantah kehendak seorang tamu. Ia mengangguk-angguk, kemudian membuka mulut.

“Pesanan Tuan akan kami layani, akan tetapi untuk memberikan kepada para jembel itu, harap Tuan berikan sendiri.”

“Mengapa begitu?” tanya Kwan Cu dengan suara sabar.

“Oleh karena kalau kami yang memberikan, mereka akan menjadi keenakan dan biasa, dan setiap hari tentu akan datang ke sini mengharapkan pemberian seperti itu!”

Kwan Cu menahan sabar dan menekan kegemasan dalam hatinya.
“Baiklah, biar aku yang memberikan sendiri.”

“Hei, A-kiu……!” tiba-tiba laki-laki botak itu memanggil pelayan yang sedang bicara dengan Kwan Cu.






Pelayan itu cepat meninggalkan Kwan Cu tanpa pamit, setengah berlari, menghampiri meja si botak.

“Ada apakah memanggil hamba, An-siauw-ongya (Pangeran Muda she An)?” katanya membungkuk-bungkuk.

“Bagaimana sih kerjaanmu? Banyak lalat busuk tidak kau usir dari sini?” Sambil berkata demikian, si botak melirik ke arah Kwan Cu. “Membikin bau saja!”

Pelayan itu mengerti akan sindiran ini dan dia tersenyum-senyum, lalu mendekati meja mereka dan bicara bisik-bisik, menceritakan bahwa pemuda asing itu memesan masakan untuk tiga orang pengemis. Terdengar suara ketawa meledak.

Kwan Cu melirik dan melihat mereka semua memandang ke arahnya sambil bisik-bisik. Pendengaran Kwan Cu amat tajam dan dari mejanya dia dapat mendengar semua percakapan mereka yang membicarakan dia. Bahkan dia mengerti pula bahwa yang dimaksudkan dengan lalat busuk adalah dia sendiri!

Akan tetapi kesabaran Kwan Cu memang luar biasa sekali. Sedikit pun dia tidak merasa mendongkol atau marah, bahkan merasa kasihan melihat betapa pemuda-pemuda itu menyia-nyiakan waktu muda begitu saja.

“Hm, agaknya dia orang jauh yang memiliki uang juga tidak apa kalau begitu. Asal saja bukan bangsa jembel yang pura-pura memesan masakan kemudian tidak dibayarnya,” kata si botak agak keras, dan sikapnya terang sekali menghina dan tidak memandang mata kepada orang lain.

Kemudian mereka melanjutkan percakapan mereka tadi. Tadinya Kwan Cu tidak sudi mendengarkan kelakar mereka, akan tetapi karena tadi ia telah terlanjur memasang telinga mendengarkan percakapan mereka ketika mereka bicara tentang dia, sekarang perhatiannya masih ke situ dan tanpa disengaja dia mendengarkan kata-kata si botak yang diucapkan dengan suara perlahan.

“Bunga liar cantik dan harum selalu banyak durinya. Makin sukar di petik makin menarik,” kata si botak tertawa-tawa.

“Siauw-ongya mengapa bingung-bingung? Bunga sudah berada di tempat bunga dalam rumah sendiri. Apa sukarnya?” kata seorang pemuda dengan sikap menjilat.

Si botak tertawa bergelak, lalu mengangkat cawan araknya.
“Hayo minum arak untuk merayakan malam gemilang hari ini. Malam terang bulan dan dia pasti akan menurut. Ha, ha, ha!”

Semua orang di meja itu minum arak dengan bunyi bibir dikecap-kecapkan keras. Kwan Cu mendongkol sekali karena dia dapat menduga bahwa pemuda-pemuda itu tentulah kaum berandalan yang suka menggoda wanita baik-baik, sekelompok pemuda pemogoran yang tak kenal malu.

Akan tetapi diam-diam dia menjadi benci kepada si botak dan berpikir siapa gerangan bunga liar yang hendak diganggu itu. Aku harus menolongnya, pikir Kwan Cu.

Pada saat itu, tiga mangkok bihun untuk para pengemis telah dikeluarkan. Kwan Cu merasa heran sekali mengapa pesanannya yang terdahulu belum dikeluarkan, akan tetapi pesanan untuk para pengemis ini demikian cepat matangnya.

Ketika ia melihat, dia menjadi gemas sekali karena masakan bihun ini tidak karuan macamnya. Sayur-sayurnya terang bukan sayur segar, agaknya sayur yang seharusnya dibuang. Juga kuahnya kehitam-hitaman. Akan tetapi dia masih sabar dan segera membawa tiga mangkok itu keluar, ke arah para pengemis yang masih duduk jauh dari rumah makan itu.

Para pengemis itu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat seorang pemuda memberi mangkok terisi bihun kepada mereka. Segera mereka menerima dan makan bihun itu, lupa untuk menghaturkan terima kasih saking lahapnya. Kwan Cu memandang dengan terharu sekali. Ia mengeluarkan tiga potong uang emas dan memberikan uang itu kepada mereka.

“Bawalah mangkok-mangkok itu, akan kubayar,” katanya.

Melihat pemberian-pemberian ini, tiga orang pengemis yang sudah menghabiskan makanan, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Cu, akan tetapi tanpa mempedulikan mereka Kwan Cu berjalan kembali ke dalam rumah makan.

Tanpa mempedulikan pandang mata orang muda botak dan kawan-kawannya yang amat memperhatikannya, Kwan Cu duduk kembali ke depan mejanya yang tadi. Ternyata bahwa masakan pesanannya sudah tersedia di atas meja, masih mengebul hangat.

Akan tetapi, ketika Kwan Cu mengangkat mangkok dan mengerjakan sumpitnya, dia mencium bau tidak enak dari mangkok itu. Ia meletakkan kembali mangkok dan sumpitnya di atas meja, mukanya menjadi merah dan segera dia menengok ke belakang. Pelayan yang tadi melayaninya memandangnya dan cepat-cepat membuang muka ketika melihat dia menengok, Kwan Cu memanggilnya.

“Sahabat pelayan harap datang ke sini sebentar.”

Pelayan itu menengok dan menghampirinya.
“Ada apakah?” tanyanya singkat dan kurang hormat.

Kwan Cu menuding ke arah mangkok-mangkok masakan itu. Suaranya masih tetap sabar ketika dia bertanya.

“Masakan ini sudah masam dan bau, harap kau ganti dengan yang masih segar. Apakah restoran ini hanya menjual barang-barang busuk belaka?”

Merah wajah pelayan itu. Memang, melihat keadaan Kwan Cu yang pakaiannya tidak sesuai dengan tamu-tamu lain yang biasa mengunjungi restoran ini, para pelayan berlaku curang dan memberi hidangan-hidangan sisa yang seharusnya sudah dibuang!

“Kau sombong amat!” teriak pelayan itu marah. “Agaknya kau tidak pernah makan masakan mahal maka kini mengira masakan ini busuk.”

Kesabaran Kwan Cu ada batasnya. Kalau orang sengaja berlaku keterlaluan, sudah sepatutnya orang itu diberi hajaran agar lain kali tidak berani menghina orang.

“Begitukah anggapanmu, Sahabat? Bagus, kalau begitu kau makanlah sendiri masakan ini, biar aku yang membayarnya!”

Sebelum pelayan itu sempat menjawab, tangan Kwan Cu bergerak ke depan, menotok pelayan itu sehingga tubuhnya menjadi kaku dan mulutnya terbuka lebar-lebar tanpa dapat ditutupkan kembali.

Dengan tenang Kwan Cu lalu mengangkat mangkok dan menggunakan sumpit untuk menjejalkan masakan itu ke dalam mulut si pelayan, terus di dorong dengan sumpit memasukkan masakan ke dalam kerongkongan! Pelayan yang tak berdaya itu mau tidak mau menelan semua masakan yang di jejalkan dengan paksa melalui kerongkongannya!

Orang muda botak yang disebut An-siauw-ongya itu bangkit berdiri dari bangkunya, diikuti oleh kawan-kawannya. Akan tetapi Kwan Cu seperti tidak melihatnya, meletakkan mangkok yang sudah kosong ke atas meja dan menepuk pundak pelayan itu sehingga pulih kembali keadaan tubuh pelayan ini yang menjadi amat pucat dan ketakutan.

“Nah, aku terima kalah,” kata Kwan Cu. “Ternyata kau memang sudah biasa makan masakan busuk dan rumah makan ini memang hanya menjual masakan yang sudah bau. Terimalah pembayaran ini.” Ia melemparkan beberapa potong uang perak ke atas meja.

“Pengemis liar dari mana berani main gila dan mengacau di kota raja?”

Pangeran Muda An yang botak itu membentak dan mencabut keluar sepasang senjatanya yang aneh. Melihat senjata itu, diam-diam Kwan Cu merasa heran karena hanya orang berilmu silat tinggi saja yang bersenjata seperti itu. Tangan kanan pangeran botak itu memegang sebuah joan-pian (ruyung lemas) yang terbuat daripada logam hitam diuntai, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah hudtim (pengebut yang biasa digunakan oleh pendeta).

Kwan Cu sudah bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, kalau-kalau orang botak itu dan kawan-kawannya hendak menyerangnya. Akan tetapi pada saat itu, terlihat tiga orang pengemis yang tadi dia beri makanan, datang bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian mewah sekali. Melihat pakaiannya, terang bahwa orang muda ini seorang berpangkat pula.

Pangeran An yang botak itu tadinya tidak melihat kedatangannya tamu baru ini dan kemarahannya membuat mukanya menjadi merah sekali. Dengan gerakan istimewa, kebutan di tangan kirinya menyambar ke arah meja yang menghalang di depannya.

Ujung kebutan itu melilit kaki meja dan sekali dia menggerakkan tangan, meja kosong itu terbang ke kiri dan empat buah kakinya menancap pada dinding dan menempel di situ. Amat aneh dan lucu meja itu kini menempel miring dengan empat kaki pada dinding!






Tidak ada komentar :