*

*

Ads

Sabtu, 26 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 107

Mendengar ini, kembali Tu Fu mencak-mencak dan membanting-banting kaki.
“Wahai semua mahluk yang kebetulan berada di dekat tempat ini. Dengarlah kalian kata-kata seorang pemuda hijau yang berlagak menjadi ahli filsafat besar! Seorang pemuda masih berbau minyak dan param berani mencela gurunya, Ang-bin Sin-kai yang kuhormati?"

Merah muka Kwan Cu mendengar ini. Ia menjawab perlahan karena entah mengapa, dia merasa segan dan tunduk menghadapi orang tua ini yang mempunyai pengaruh luar biasa.

“Siucai yang baik, siauwte mana berani mencela guru? Siauwte hanya menyatakan dengan sebenarnya bahwa memang kesemuanya adalah kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Apakah daya manusia menghadapi kehendak dan keputusan Thian? Kita hanya bisa menerima, mengapa suhu tidak melihat kenyataan ini?”

Tu Fu makin marah-marah.
“Inilah namanya memanggang daging dengan api bernyala, matang dan gosong luarnya, sedangkan di sebelah dalamnya masih mentah! Demikian pula hasilnya kalau orang memberi pelajaran terlalu dalam kepada seorang pemuda yang masih hijau dan goblok! Akibatnya menjadi seorang pemuda berlagak ahli filsafat padahal masih mentah! Pengetahuan mendalam tanpa pengalaman matang seperti mangkok berkembang tanpa isi. Apa gunanya? Hanya untuk pameran belaka! Bu-pun-su, kau bermimpi dalam sadar. Jalan Tuhan memang luar biasa dan tak dapat di mengerti oleh manusia dan memang sudah menjadi kewajiban manusia untuk menyerahkan seluruh hasil dan keputusan kepada Thian dengan penuh iman dan kepercayaan. Akan tetapi jangan kau lupa bahwa manusia juga berhak untuk berikhtiar, untuk berusaha demi kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Penyerahan secara membuta tanpa disertai ikhtiar, itu bahkan berarti penghinaan namanya! Kau dilahirkan bertanah air, berbangsa, bukankah itu kehendak Thian pula? Kalau kau tidak dapat membela tanah air dan bangsa, membiarkan tanah air dan bangsa dihina dan diinjak-injak oleh kaki orang lain, patutkah kau disebut seorang anak bangsa? Hm, kau memang pantas dicambuk lima puluh kali!” Tu Fu marah-marah dan masih banyak kata-kata pedas dilontarkan kepada pemuda itu.

Kwan Cu tertegun. Semua kata-kata yang dikeluarkan dari mulut sastrawan tua ini merupakan hal baru baginya, menancap di ulu hatinya dan terasa betul-betul olehnya. Ia terlalu diayun oleh lamunan Nabi Lo Cu yang memang sukar ditangkap artinya.

“Siucai yang bijaksana, siapakah sebenarnya kau yang kenal baik kepada suhuku dan yang dapat mengeluarkan buah pemikiran sedemikian baiknya?”

“Bu-pun-su murid murtad, belum pernahkah gurumu menyebut nama Tu Fu si sastrawan miskin?”

Kwan Cu terkejut sekali mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, bukan satu dua kali bahkan telah berkali-kali, karena dahulu, gurunya yang pertama, yakni Gui-siucai, berkali-kali menyebut nama Tu Fu ini dengan penuh kekaguman. Gui Tin menyebut nama Tu Fu sebagai pujangga dan sastrawan yang paling besar di samping sastrawan Li Po, seorang sastrawan patriot yang berjiwa besar. Tidak itu saja, bahkan gurunya, Ang-bin Sin-kai sering menyatakan kekagumannya kepada Tu Fu.

Kini melihat sendiri orangnya dan mendengar ucapannya yang amat berkenan di dalam hatinya, sekaligus tunduklah hati Kwan Cu. Ia merasa berhadapan dengan seorang yang setingkat dengan gurunya bahkan melebihi gurunya dalam hal ilmu filsafat dan kebatinan. Maka serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tu Fu. Dengan amat terharu dia berkata,

“Locianpwe, teecu telah berlaku kurang hormat mohon maaf sebanyaknya. Sekarang teecu melihat betapa besar dosa teecu terhadap suhu Ang-bin Sin-kai, oleh karena itu mohon petunjuk dari Locianpwe bagaimana selanjutnya teecu berlaku, karena sesungguhnya teecu tidak tahu harus berlaku bagaimana.”

“Pertama-tama kau harus di hukum lima puluh kali cambukan,” kata Tu Fu dengan wajah sungguh-sungguh. “Orang muda seperti engkau ini mudah terharu, mudah berduka dan mudah gembira. Siapa bisa percaya bahwa kau benar-benar sadar bahwa tindakan suhumu itu baik dan sempurna? Di kota ini Thian-cin, tak jauh dari sini, orang-orang baik-baik dan tidak berdosa sedang ditangkapi dan dihukum cambuk. Kalau kau bisa mencegah perlakuan sewenang-wenang itu dan mewakili mereka kau akan dapat melanjutkan usaha suhumu membasmi pengkhianat-pengkhianat bangsa yang amat berbahaya bagi keselamatan negara dan bangsa.”

Mendengar ini, bangkit semangat Kwan Cu.
“Mari, Locianpwe, akan teecu perlihatkan bahwa kepercayaan Locianpwe terhadap murid Ang-bin Sin-kai takkan sia-sia belaka.”






Tanpa menanti jawaban Kwan Cu menyambar tubuh sastrawan itu dan dibawanya lari cepat sekali ke kota Thian-cin di mana sedang berlangsung penghukuman cambuk atas diri sepuluh orang sastrawan yang didakwa menjadi pemimpin para gerombolan pengacau yang sesungguhnya adalah pejuang-pejuang rakyat.

Kwan Cu menurunkan tu Fu diantara para penonton sedangkan dia sendiri sebagaimana telah dituturkan di bagian depan turun tangan merampas cambuk, mencegah di lanjutkannya hukuman itu dan dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan sebagai hukuman kepada dirinya yang membiarkan gurunya tewas di tangan orang-orang jahat.

Demikianlah sebabnya mengapa Kwan Cu dapat datang di Thian-cin bersama sastrawan Tu Fu dalam saat yang amat tepat sehingga dia dapat menolong sepuluh orang hukuman itu dan sebaliknya dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan dari algojo yang tidak mengenal kasihan.

Biarpun para penonton merasa amat ngeri menyaksikan pemuda yang dianggapnya setengah gila dicambuki, namun diam-diam mereka merasa heran sekali, mengapa pemuda ini meramkan mata dan sama sekali tidak pernah mengaduh, biarpun pakaiannya robek-robek dan tubuhnya serta mukanya penuh dengan gurat-gurat merah bekas cambuk.

Suara cambuk mereka memecah di udara lalu disusul menjepretnya ujung cambuk memecah pakaian Kwan Cu dan menimpa kulit dadanya, susul-menyusul sampai puluhan kali. Tiba-tiba di antara para penonton terdengar suara,

“Cukup, Bu-pun-su sudah lima puluh kali kau menerima hukuman!”

Inilah suara dari sastrawan besar Tu Fu yang menghitung jumlah cambukan itu sampai lima puluh kali. Pujangga ini benar-benar merasa kagum terhadap Kwan Cu yang demikian jujur dan setia kepada sumpahnya. Juga dia merasa kagum akan kesadaran pemuda itu yang merasa berdosa terhadap Ang-bin Sin-kai dan untuk kedosaannya menebus dengan lima puluh kali cambukan, padahal kalau dipikir benar-benar, pemuda itu tidak berdosa apa-apa, karena ketika gurunya ditewaskan orang, dia benar-benar tidak tahu.

Baru saja ucapan ini dikeluarkan oleh Tu Fu, tiba-tiba algojo yang mencambuk tubuh Kwan Cu itu menjerit keras dan cambuknya terlepas dari pegangan karena telapak tangannya berdarah!

Ternyata bahwa ketika cambukan yang ke lima puluh satunya tiba, Kwan Cu mengerahkan tenaga sedemikian rupa sehingga tenaga cambukan itu membalik dan melukai telapak tangan si pemegang cambuk sendiri. Demikianlah lihainya Kwan Cu yang sudah dapat menyalurkan tenaga itu sehingga membalik melukai pecut. Getaran tenaga yang membalik itu membuat telapak tangan algojo terobek kulitnya sehingga dia melepaskan cambuk, mengaduh-aduh sambil memegangi tangan kanannya yang berdarah!

Komandan pasukan mengira bahwa algojo itu saking lelahnya merasa sakit tangannya. Ia sudah amat mendongkol melihat pemuda itu dicambuk lima puluh kali masih belum apa-apa, maka segera dia memberi aba-aba kepada sembilan orang algojo yang lain untuk turun tangan.

Sembilan batang cambuk berputar di atas kepala dan jatuh bertubi-tubi ke tubuh Kwan Cu. Akan tetapi, kembali terdengar jerit kesakitan susul menyusul, sembilan batang cambuk itu terlempar dan sembilan orang algojo memegang tangan kanan yang berdarah pula!

Geger keadaan di situ. Para anggauta pasukan mencabut senjata, para penonton kagum dan juga ketakutan. Apalagi ketika Kwan Cu dengan sekali renggut saja mematahkan ikatan tangannya, keadaan menjadi makin kacau. Para perwira bala tentara An Lu Shan segera memberi aba-aba dan membawa anak buahnya maju mengepung. Ratusan orang mengepung seorang saja, dapat dibayangkan betapa hiruk-pikuk dan kacau balaunya.

Akan tetapi, barisan belakang terpaksa mundur kembali ketika mereka tiba-tiba tertimpa kawan-kawan sendiri yang dilempar-lemparkan dari depan bagaikan daun-daun kering tertiup angin.

Terdengar pekik kesakitan di sana-sini dan tak lama kemudian, anggauta-anggauta pasukan menjadi bingung sekali karena pemuda aneh itu tidak kelihatan lagi, dan demikian pula para perwira mereka tidak terdengar lagi komadonya. Ketika mereka memandang, alangkah terkejutnya mereka sepuluh orang perwira telah terikat erat-erat di sepuluh buah tiang yang tadinya disediakan untuk menyiksa para tawanan! Adapun pemuda luar biasa itu, entah pergi kemana karena tidak kelihatan bayangannya lagi.

Semenjak peristiwa itu, nama Bu-pun-su terkenal di kalangan pasukan-pasukan An Lu Shan. Nama ini mendatangkan rasa gentar dalam hati mereka, karena selama menghadapi para pejuang rakyat, belum pernah ada yang selihai pemuda aneh itu.

Setelah memperlihatkan kepandaiannya ketika dikepung oleh barisan itu dan berhasil membebaskan diri dari kepungan tanpa terlihat oleh siapapun juga, Kwan Cu membawa sastrawan Tu Fu keluar dari Thian-cin dan dia menghaturkan terima kasih atas segala petunjuk pujangga itu.

Ia benar-benar tunduk kepada sastrawan ini, hanya ada sedikit perbedaan perasaan antara dia dan Tu Fu. Kalau pujangga itu lahir batin membenci semua pasukan An Lu Shan yang telah menggulingkan kerajaan dan seperti juga lain-lain pejuang ingin sekali membasmi habis An Lu Shan dan seluruh pengikutnya, adalah Kwan Cu tidak dapat menaruh rasa benci kepada para anggauta pasukan. Oleh karena ini ketika dia dikepung dia tidak menewaskan lawan, hanya memberi hajaran dan melempar-lemparkan mereka saja!

Setelah Kwan Cu mendengar dari Tu Fu bahwa pada saat akan tewas, Ang-bin Sin-kai menyebut-nyebut namanya, dia menjadi amat terharu dan timbullah kebenciannya kepada mereka yang telah membunuh gurunya. Ia mendengar dari Tu Fu yang agaknya mengerti akan segala peristiwa itu bahwa tokoh-tokoh besar yang mengeroyok Ang-bin Sin-kai sehingga tewas adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Toat-beng Hui-houw, dan Pek-eng Sianjin. Nama-nama ini dicatat oleh Kwan Cu di dalam hatinya dan dia mengambil keputusan untuk mencari mereka seorang demi seorang.

Yang membuat dia merasa amat heran dan juga mendongkol adalah ketika dia mendengar bahwa Jeng-kin-jiu juga ikut mengeroyok suhunya. Ia tahu bahwa antara suhunya dan Jeng-kin-jiu, terdapat hubungan yang amat erat, bagaimana kedua orang tokoh ini sampai saling bermusuhan? Dia sendiri masih mempunyai hubungan amat erat dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena namanya pun adalah pemberian dari hwesio gendut itu. Oleh karena ini maka orang pertama yang hendak dicarinya adalah Jeng-kin-jiu.

Ia berpisah dari Tu Fu yang seperti biasa hendak merantau. Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di sepanjang perjalanan, setiap kali bertemu dengan pasukan-pasukan An Lu Shan yang menindas rakyat, pemuda ini pasti menolongnya, memberi hajaran kepada pasukan itu, mengancam perwiranya. Semua ini dia lakukan tanpa memperlihatkan diri, hanya menuliskan ancaman di dalam kamar markas pasukan dengan cara mengukir dinding batu dengan telunjuknya yang berbunyi singkat:

KALAU MASIH BERANI MENINDAS RAKYAT, AKU AKAN DATANG MENGAMBIL NYAWA!
BU PUN SU

Banyaknya kejadian yang amat tidak adil dan kekejaman-kekejaman dari fihak pasukan terhadap rakyat, membuat hati Kwan Cu makin lama makin panas terbakar. Tadinya dia mengira bahwa anggauta-anggauta pasukan itu hanya memenuhi perintah saja dan segala dosa dia timpakan kepada para pemimpin kaki tangan An Lu Shan.

Akan tetapi, makin lama menjadi kenyataan baginya bahwa rata-rata anggauta pasukan pemberontak An Lu Shan memang kasar dan kejam, ganas dan menindas rakyat jelata. Namun seberapa bisa, Kwan Cu masih berusaha menghindarkan diri agar jangan sampai membunuh orang, dengan memberi ancaman seperti yang dia ukirkan pada dinding-dinding markas pasukan pemberontak.

**** 107 ****





Tidak ada komentar :