*

*

Ads

Sabtu, 26 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 106

“Suhu, semoga Suhu puas melihat hukuman yang teecu terima dengan segala kerelaan hati. Biarlah Suhu menganggap ini sebagai hukuman teecu yang meninggalkan Suhu sehingga Suhu teraniaya oleh orang-orang jahat…..”

Tak seorangpun di antara para penonton maupun para prajurit An Lu Shan mengerti apa maksud kata-kata itu. Hanya seorang saja yang mengerti, yakni sastrawan tua yang pakaiannya tambal-tambalan itu. Sastrawan ini memandang tajam, kemudian dia menghela napas dan berkata perlahan,

“Dia benar-benar menerima hukuman dengan suka rela. Ah…… orang inilah harapan rakyat…..! Benar-benar dia agaknya yang mewarisi isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”

Memang benar, pemuda yang seperti gila dan bersikap aneh, yang sekarang menerima cambukan dengan mata meram dan tiada sakit sedikit pun keluhan keluar dari bibirnya, bukan lain adalah Lu Kwan Cu!

Siapakah sastrawan berbaju tambal-tambalan itu yang berdiri di antara para penonton dan yang agaknya mengerti akan sikap aneh dari Kwan Cu? Dia ini bukan lain adalah pujangga besar, pecinta rakyat jelata, pujangga yang namanya tetap harum sampai ribuan tahun lamanya, yakni Tu Fu!

Untuk mengetahui bagaimana Kwan Cu bisa dapat berada di tempat itu dan bagaimana pula pujangga Tu Fu dapat menonton pelaksanaan hukuman itu, marilah kita mundur dulu beberapa hari yang lalu.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lu Kwan Cu meninggalkan pulau berpohon putih dan dengan perahu buatannya sendiri, dia menuju ke barat, ke daratan Tiongkok. Ia teringat akan pesan suhunya Ang-bin Sin-kai, bahwa suhunya itu hendak bertapa di pantai Laut Po-hai. Maka dia menujukan perahunya ke pantai ini.

Kesukaran-kesukaran di dalam pelayaran itu dapat di tempuh dengan amat mudah, karena sekarang dia bukanlah Kwan Cu pada empat tahun yang lalu. Kepandaiannya telah meningkat puluhan kali, bahkan ratusan kali tanpa dia sadari dan dia kini benar-benar telah menjadi seorang yang sakti.

Setelah mendarat di pantai Laut Po-hai, dia mencari-cari gurunya, akan tetapi hasilnya nihil. Kemudian dia bertemu dengan para nelayan di dekat pantai, dan dari mereka inilah dia mendengar tentang pemberontakan An Lu Shan dan tentang perubahan hebat yang telah terjadi selama empat tahun itu.

Kwan Cu mendengarkan semua itu tanpa perhatian. Ia tidak tertarik sama sekali tentang semua kejadian itu, karena memang pemuda ini setelah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pandangannya telah luas sekali, tidak sempit dan tidak mudah di kuasai oleh nafsu dan pertimbangan otak sendiri.

Ia telah terbuka mata hatinya tentang kekuasaan Thian, dan dia percaya sepenuhnya bahwa peristiwa di dunia ini, sesungguhnya dilakukan oleh manusia, namun keputusan terakhir di tangan Thian. Oleh karena ini, betapapun janggal terdengarnya oleh orang lain, Kwan Cu percaya pula bahwa berhasilnya pasukan pemberontak An Lu Shan juga merupakan penentuan dari Yang Maha Kuasa!

Hanya satu hal yang terpikir olehnya di saat dia mendengar itu, bahwa suhunya tentu pergi ke kota raja. Suhunya adalah kakak dari Menteri Lu Pin yang menjadi kakek angkatnya pula, pada peristiwa pengoperan kekuasaan itu tentu setidaknya mendatangkan akibat kepada Menteri Lu Pin. Mustahil kalau Ang-bin Sin-kai diam saja dan tidak menengok keadaan kota raja.

“Pasti Suhu berada di kota raja dan tidak aneh kalau aku mendapatkan dia di dapur isatana, siapapun juga kaisarnya yang menempati istana itu,” pikir Kwan Cu dengan geli mengenangkan kesukaan gurunya menyikat habis hidangan kaisar di dalam istana.

Maka berangkatlah Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di dalam perjalanan, dia mendengar pula tentang usaha rakyat menentang pemerintah An Lu Shan dan melihat betapa keadaan memang benar-benar berubah tidak mempengaruhi ketenangan batinnya.

Ia melakukan perjalanan cepat tanpa menarik perhatian orang lain. Bagi orang lain, dia hanya seorang pemuda tampan sederhana yang berpakaian buruk, menggendong sebuah buntalan dan di samping pakaian butut itu, suling pemberian Hang-houw-sian Yok-ong adalah harta satu-satunya.

Beberapa kali dia bertemu dengan rombongan pengusngsi yang menuju ke selatan, menjauhi pasukan-pasukan An Lu Shan yang terkenal buas dan kejam. Terutama sekali mereka yang memiliki anak-anak gadis, banyak yang mengungsi ke selatan, sejauh mungkin.

Ketika dia telah tiba di dekat kota Thian-cin, dia melihat pula serombongan pengungsi terdiri dari para petani yang kehilangan tanah dan kehilangan pekerjaan. Berbondong-bondong mereka berjalan kaki menuju ke selatan, mencari hidup baru. Mereka berjalan dengan kaki lemas karena memang telah melakukan perjalanan jauh, dan wajah mereka semua nampak muram.






Ketika Kwan Cu bertemu dengan rombongan ini, tiba-tiba di antara para pengungsi, terdengar seorang tua bernyanyi dengan suara yang lantang:

“Seekor babi gemuk memimpin negara
mana negara bisa kuat dan rakyat bisa bahagia?
Akan tetapi srigala utara lebih jahat lagi.
Tak saja rakyat diabaikan, bahkan dicekik mati.
Negara kacau, selalu timbul pengkhianatan bangsa.
Penasaran……! Penasaran…….!

Sayang sekali dua saudara Lu menjadi korban.
Menteri setia ditumpas habis sekeluarga,
pendekar gagah korbankan nyawa dengan sia-sia.
Penasaran…..! Penasaran…….!

Berkali-kali orang itu mengucapkan nyanyian ini sampai seorang di antara para pengungsi menegurnya,

“Tu-siucai, harap kau diam jangan bernyanyi seperti itu. Apakah kau ingin kita semua di tangkap dan dihukum mati?”

Mendengar teguran ini, si penyanyi tidak menjawab, hanya berkata seorang diri dengan suara keras,

“Didalam dunia memang banyak orang yang berhati pengecut dan penakut. Bagaimana kehormatan bangsa bisa dapat dipertahankan? Aku pergi mengungsi bukan karena takut kepada pemberontak An, melainkan karena tidak kuat melihat keadaan lebih lama lagi, muak perutku dan ingin muntah saja mulutku.”

Orang yang menegurnya tadi hendak menegur lagi dengan muka merah, akan tetapi tiba-tiba dia berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak lebar. Ternyata bahwa si penyanyi yang ditegurnya tadi, tanpa di lihat bagaimana terjadinya tahu-tahu telah lenyap dari tengah-tengah rombongan itu. Tidak saja si penegur itu yang menjadi kaget, bahkan orang-orang lain juga menjadi bengong seperti melihat setan di tengah hari.

“Dimana dia? Kemana perginya Tu-siucai?” terdengar suara susul menyusul.

“Dia menghilang begitu saja!”

Ramailah rombongan itu akan tetapi karena mereka khawatir akan pengejaran pasukan An Lu Shan, mereka akhirnya melanjutkan perjalanan itu sambil tiada hentinya membicarakan peristiwa yang aneh itu.

Apakah betul penyanyi tadi dapat menghilang? Sebenarnya penyanyi itu adalah pujangga Tu Fu, seorang sastrawan yang berbatin kuat berpikiran tajam dan berbakat luar biasa, namun bertubuh lemah. Mana bisa dia menghilang begitu saja.

Ketika dia bicara dengan penegurnya tadi, tahu-tahu berkelebat bayangan yang hampir tak dapat dilihat oleh pandangan mata dan tahu-tahu Tu Fu merasa tubuhnya dibawa melompat cepat sekali melewati kepala orang-orang dalam rombongan pengungsi itu!

Sastrawan ini terpaksa meramkan mata karena angin meniup keras ke arah mukanya. Ketika dia membuka mata, ternyata dia telah berdiri di dalam hutan, jauh dari rombongan pengungsi yang tidak kelihatan lagi. Di hadapannya berdiri seorang pemuda sederhana yang menjura sambil berkata,

“Siauwte mohon maaf sebanyaknya kepada Tu-siucai yang terhormat karena siauwte telah berani berlaku lancang membawa Siucai kesini.”

Tu Fu biarpun seorang sastrawan namun pengalamannya sudah banyak dan luas sekali, bahkan dia mengenal semua tokoh-tokoh kang-ouw yang paling terkenal. Kini dia menghadapi Kwan Cu dengan senyum di bibir dan matanya memandang kagum.

“Seorang muda yang gagah perkasa dan lihai sekali. Siapakah namamu dan murid siapakah kau?”

“Siauwte seorang tak berarti, Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), dan tidak ada sesuatu yang berharga untuk diceritakan. Akan tetapi, dua saudara Lu yang Siucai nyanyikan tadi, amat menarik hati siauwte. Bolehkah siauwte mengetahui siapakah adanya mereka itu? Apakah mereka itu Lu Sin dan Lu Pin?”

Tu Fu tertawa.
“Orang muda yang aneh, kau lebih aneh daripada Ang-bin Sin-kai Lu Sin! Baiklah, Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), aku akan menyebutmu Bu-pun-su saja, sebutan yang merupakan pujian tertinggi sungguh pun aku masih belum tahu apakah kau patut mendapat sebutan itu. Memang benar, yang kunyanyikan tadi adalah menteri setia Lu Pin dan pendekar perkasa Ang-bin Sin-kai Lu Sin.”

“Apakah yang terjadi dengan mereka?”
.
Kwan Cu bertanya dan biarpun dia telah menekan goncangan hatinya, namun dia tetap saja berdebar-debar. Di dalam dunia ini, manusia yang dipandang dan yang selalu dikenangnya hanya Ang-bin Sin-kai seorang, maka sesuatu yang terjadi kepada kakek sakti ini tentu saja menggerakkan hatinya.

Orang-orang yang memiliki kepandaian istimewa, hampir selalu mempunyai tabiat aneh. Demikian pula sastrawan Tu Fu. Biarpun dia tidak mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi, namun ketabahan hati dan keangkuhannya tidak kalah oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang manapun juga. Kekerasan hati dan keteguhan semangatnya laksana baja yang tak dapat dibengkokkan. Ketika dia mendengar pertanyaan Kwan Cu yang terdengar seperti tuntutan, dia mengedikkan kepalanya dan memandang tajam sambil berkata,

“Orang muda, ada hubungan apa antara kau dan Ang-bin Sin-kai? Ada hubungan apa pula antara kau dengan keluaraga Lu?”

“Sudah siauwte katakan bahwa siauwte seorang tidak berharga, tak perlu dibicarakan tentang diri siauwte.”

“Hm, anak sombong. Jangan coba merendahkan diri di depan air! Kau ceritakan apa hubunganmu dengan Ang-bin Sin-kai, kalau tidak jangan harap mendengar sesuatu tentang dia dari mulutku!”

Kwan Cu menghela napas kewalahan. Ia maklun bahwa dia menghadapi seorang yang berwatak keras dan bersemangat baja, maka dia mengalah dan berkata,

“Ang-bin Sin-kai adalah guruku.”

Mendengar ini sastrawan Tu Fu mencak-mencak, membanting-banting kaki dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan CU,

“Bu-pun-su, murid macam apa engkau ini? Sudah bertahun-tahun Ang-bin Sin-kai tewas dalam penasaran dan sekarang tiba-tiba kau muncul menanyakan apa yang terjadi dengan dia? Apa gunanya air bagi tetumbuhan yang mati mengering dan apa gunanya obat bagi si sakit yang sudah tak bernapas lagi? Guru dalam bahaya dan berjuang mati-matian mempertahankan nama baik negara dan bangsa kau bersembunyi tidak memperlihatkan diri. Sekarang guru sudah tewas di tangan orang jahat, kau pura-pura muncul dan tanya-tanya apa yang telah terjadi dengan gurumu? Kau sudah sepantasnya mendapat hukuman! Kalau aku menjadi gurumu, kau kuhukum lima puluh kali cambukan pada tubuhmu!”

Kwan Cu menjura lagi.
“Siucai yang terhormat, sudilah kiranya menceritakan apa sebenarnya yang telah terjadi dengan guruku Ang-bin Sin-kai yang tercinta.”

“Ang-bin Sin-kai adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan berjiwa besar, tidak seperti engkau yang katanya menjadi muridnya. Melihat tokoh-tokoh kang-ouw membela pemberontak An Lu Shan, dia menjadi penasaran dan menyerbu kota raja. Akan tetapi dia tidak kuat menghadapi tokoh-tokoh besar seperti Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan lain-lain karena dikeroyok. Suhumu benar-benar seorang patriot sejati, seorang pahlawan gagah perkasa.”

Bukan main sedihnya hati Kwan Cu mendengar akan nasib suhunya itu. Tak terasa pula dua titik air mata meloncat keluar dari sepasang matanya. Ia terharu sekali akan nasib gurunya yang amat dia cinta, setua itu masih terlibat urusan dunia dan terpaksa mengorbankan nyawa untuk nama dan kehormatan negara.

Hatinya mulai diliputi rasa sakit dan dendam terhadap para pembunuh suhunya, akan tetapi kesadarannya timbul ketika dia teringat bahwa kesemuanya itu adalah kehendak Thian yang tak dapat di cegah lagi. Hatinya menjadi dingin lagi dan dia berkata perlahan,

“Mengapa Suhu begitu lemah menurutkan nafsu hati? Apakah Suhu tidak tahu bahwa semua itu sudah menjadi kehendak alam yang berkuasa?”






Tidak ada komentar :