*

*

Ads

Kamis, 24 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 105

Biarpun An Lu Shan telah berhasil merebut kedudukan Kaisar Hian Tiong, namun ternyata bahwa rakyat di mana-mana tidak mau terima begitu saja. Pemberontakan terjadi di mana-mana di kalangan rakyat jelata. Di sana-sini rakyat melakukan perlawanan terhadap barisan An Lu Shan sehingga An Lu Shan boleh di bilang tak dapat tidur nyenyak! Ia sudah melakukan usaha-usaha untuk menumpas perlawanan rakyat ini, akan tetapi bagaimana dia dapat memadamkan gelora dalam hati rakyat yang tidak sudi melihat dia menduduki singgasana kaisar?

Tadinya Jeng-kin-ji, Hek-i Hui-mo dan lain-lain tokoh besar membantu usaha ini menumpas perlawanan rakyat di beberapa tempat. Akan tetapi setelah beberapa tahun perlawanan rakyat bukannya mereda bahkan makin menghebat, diam-diam Jeng-kin-jiu dan yang lain-lain sadar dan terkejut. Barulah mereka tahu bahwa sebenarnya rakyat tidak suka kepada pemberontakan An Lu Shan! Apalagi ketika kaum persilatan juga membantu perlawanan dan perjuangan rakyat ini, diam-diam Jeng-kin-jiu menjadi gentar. Ia lalu berunding dengan Hek-i Hui-mo dan yang lain-lain dan berkata,

“Kalau begini, kita telah menempatkan diri ke dalam kedudukan amat berbahaya. Sebelum menghebat keadaan ini, lebih baik kalau kita mengundurkan diri dan mencuci tangan daripada kekeruhan ini.”

Memang mereka merasa ngeri kalau teringat akan ucapan Ang-bin Sin-kai bahwa kelak mereka akan mati sebagai pengkhianat-pengkhianat bangsa dengan nama busuk ratusan tahun lamanya! Setelah mengadakan permufakatan, mereka lalu menghadap An Lu Shan dan menyatakan bahwa kini setelah kerajaan digulingkan, mereka hendak kembali ke tempat pertapaan masing-masing.

Tentu saja An Lu Shan menjadi amat kecewa, akan tetapi dia pun tidak berani menahan tokoh-tokoh besar ini, bahkan untuk memikat hati mereka, dia lalu memberi bekal berupa harta benda yang amat besar jumlahnya dan dengan demikian dia dapat menarik janji mereka bahwa sewaktu-waktu apabila ada kesulitan menimpa kerajaan, orang-orang pandai ini bersedia untuk membantunya.

Sepeninggal orang-orang sakti ini, An Lu Shan lalu memberi perintah kepada anak buahnya untuk melakukan kekerasan berlipat ganda kepada pemberontak. Mereka yang tertangkap, lalu disiksa di tempat umum agar rakyat dapat melihatnya. Keganasan dan kekejaman terjadi di mana-mana dan biarpun rakyat menjadi takut sekali, namun hal ini menumbuhkan kebencian yang amat mendalam terhadap An Lu Shan.

Pada suatu hari, di kota Thian-cin, pagi-pagi sekali keadaan di tanah lapang telah ramai sekali. Tanah lapang ini menjadi markas pasukan An Lu Shan yang melakukan “operasi” dan berpindah-pindah.

Di kota mana saja mereka tiba, mereka mendirikan tenda dan mulai menangkap-nangkapi orang-orang yang mereka cap sebagai pemberontak untuk menerima hukuman yang mengerikan di tempat terbuka. Dalam hal ini, tentu terjadi hal-hal yang amat kotor, para petugas ini mendatangi orang-orang biasa, mengancam akan menangkapnya sebagai pemberontak.

Apabila yang diancam ini mempunyai harta, tentu dia tidak segan-segan untuk mengeluarkan emas dan perak untuk menyogok agar dirinya selamat. Ada pula yang sengaja menangkap keluarga di mana terdapat gadisnya yang cantik sehingga dengan jalan mengancam, keluarga itu terpaksa menyerahkan gadis itu kepada pembesar setempat supaya keluarga itu bebas daripada siksa dan kebinasaan!

Masih banyak lagi hal-hal kotor terjadi dan dilakukan oleh orang yang bermoral rendah., baik oleh anak buah An Lu Shan maupun oleh pembesar-pembesar setempat yang telah mempunyai hubungan baik dengan kepala-kepala pasukan yang beroperasi itu.

Penduduk Thian-cin dipaksa meninggalkan rumah untuk menonton hukuman yang akan dijalankan di tempat terbuka, di lapangan rumput dekat markas pasukan itu. Hal itu di sebut sebagai hari istimewa karena menurut pengumuman kepala pasukan, yang akan menjalani hukuman adalah pemimpin-pemimpin gerombolan yang tertawan, yang jumlahnya ada sepuluh orang.

Penduduk berbondong datang ke tempat itu, bukan karena memang suka melihat orang tersiksa, melainkan dipaksa oleh anggauta-anggauta pasukan supaya datang menonton, dan juga karena ingin tahu siapakah gerangan sepuluh orang yang dianggap sebagai pemimpin-pemimpin pejuang rakyat itu.

Di tengah-tengah lapangan itu, sepuluh orang laki-laki diikat kepada tiang-tiang dan mereka ini benar-benar tidak patut di sebut pemimpin-pemimpin pejuang karena pakaian mereka seperti orang-orang sastrawan, dan mereka kelihatan lemah. Wajah mereka pucat-pucat dan mereka tergantung kepada tiang dengan kepala menunduk.

Di belakang tiang itu, berjajar barisan yang berpakaian seragam bersikap garang, sedangkan para penonton berdiri berjejal di tempat yang agak jauh, menghadapi sepuluh orang itu. Kemudian datanglah sepuluh orang prajurit yang membawa cambuk panjang. Mereka ini rata-rata bertubuh tinggi besar dan nampak kuat sekali. Sambil memutar-mutar cambuk mereka menyeringai dan masing-masing menghampiri korbannya, siap menanti komando dari pemimpin mereka.






Seorang perwira pasukan maju ke depan, menghadapi para penonton dan berkata keras-keras.

“Lihatlah, begini nasib para pengacau! Pukul mereka ini masing-masing lima puluh kali!” teriaknya dan mulailah menghitung, “Satu…..!”

Sepuluh orang algojo itu mengayun cambuk.

“Tar…..!”

Hampir berbareng sepuluh batang cambuk itu jatuh di tubuh sepuluh orang tawanan. Jerit mengerikan terdengar dan baju mereka robek-robek. Darah mengalir dari kulit di mana cambuk itu menyabet.

Wajah para penonton menegang. Mana mungkin sepuluh orang ini disebut pemimpin-pemimpin gerombolan? Mereka begitu lemah. Sebenarnya, mereka ini sastrawan-sastrawan yang memiliki hati anti kepada An Lu Shan. Perasaan mereka itu terdengar oleh mata-mata dan mereka ditangkap. Juga ada sebagian diantara mereka yang tidak punya uang untuk memberi sogokan sehingga mereka menjadi korban fitnah belaka.

“Dua……!” Komandan itu memberi aba-aba.

Akan tetapi sebelum sepuluh orang algojo itu menjatuhkan cambuk untuk kedua kalinya, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali dan berteriaklah sepuluh orang algojo itu dengan terkejut karena tahu-tahu cambuk mereka terlepas dari tangan!

Mereka cepat memandang dan seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana telah berdiri disitu, di kedua tangannya kelihatan sepuluh batang cambuk itu. Wajah pemuda yang tampan sekali ini kelihatan berkerut ketika dia berkata,

“Jangan pukul mereka yang tidak berdosa! Lepaskan mereka ini.”

Sambil berkata demikian, tanpa menanti jawaban, pemuda ini kembali menggerakkan tubuhnya dan dalam sekejap mata saja sepuluh orang tawanan itu telah terlepas dari ikatan tangan mereka!

Semua orang menjadi melongo karena pemuda itu hanya berlari dari tiang ke tiang, tidak kelihatan dia melepaskan tali, akan tetapi ternyata ikatan tangan orang-orang itu telah putus semua!

Para prajurit menjadi gempar. Beberapa orang perwira datang menghampiri pemuda itu dengan golok terhunus.

“Kau siapakah berani mati mengacau disini? Apa kehendakmu?”

Biarpun bersikap galak, namun para perwira ini tidak berani sembarangan turun tangan karena mereka telah menyaksikan sendiri kelihaian pemuda aneh ini.

“Aku datang untuk mewakili orang-orang itu, kasihan mereka yang bertubuh lemah, tentu takkan kuat menerima lima puluh kali cambukan. Kalau memang kalian haus akan hiburan menyiksa orang, biarlah aku yang mewakili hukuman mereka. Ikatlah aku dan cambuklah sesukamu, agar hatimu yang buas akan puas.”

Para perwira itu saling pandang dengan mata terbelalak. Tadinya mereka mengira bahwa pemuda ini tentulah dari barisan rakyat yang memberontak, tidak tahunya pemuda ini adalah seorang yang tidak waras otaknya.

“Kau betul-betul hendak mewakili mereka menerima hukuman cambuk? Mereka ada sepuluh orang, masing-masing menerima lima puluh cambukan, apakah kau bersedia menerima lima ratus kali cambukan?” tanya seorang perwira.

Pemuda itu menoleh ke arah penonton dan pandang matanya bertemu dengan pandangan mata seorang berpakaian sastrawan yang pakaiannya sudah banyak tambalan namun matanya mengandung pengaruh luar biasa sekali. Sastrawan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya kepada pemuda itu dan berubah giranglah wajah pemuda yang tadinya amat keruh dan muram.

“Boleh, boleh, sesukamulah!” katanya kepada para perwira itu dengan wajah berseri, akan tetapi kembali wajahnya muram dan berduka ketika dia menyambung kata-katanya, “Aku memang sudah patut menerima hukuman lima puluh kali cambukan atas dosa-dosaku!”

“Lima ratus kali, bukan lima puluh kali!” bentak komandan itu.

“Sesukamulah, mau lima ratus atau seribu kali. Akan tetapi yang patut kuterima sebagai hukumanku adalah lima puluh kali!” jawab pemuda itu yang menghampiri sebuah di antara tiang-tiang dan memeluk tiang di belakang tubuhnya.

Komandan itu menjadi cemas dan geli. Tak perlu bersitegang dengan seorang gila pikirnya. Lebih baik dia memperlihatkan kepada rakyat yang menonton bahwa dia adalah seorang yang “bijaksana” dan yang berlaku adil.

“Rakyat semua!” serunya memandang kepada penonton. “Orang muda ini dengan sesuka sendiri mewakili hukuman yang hendak dijatuhkan kepada sepuluh orang ini. Kami berlaku adil dan menerima permintaannya. Hai, kalian sepuluh orang yang bernasib baik, kalian kami bebaskan, akan tetapi sebagai gantinya, kalian harus membayar denda setiap orang lima puluh tail perak. Kami beri waktu tiga hari lamanya!”

Sepuluh orang itu saling pandang seperti tidak percaya akan pendengaran sendiri. Tadinya mereka sudah mengira bahwa mereka pasti akan mati di tiang siksaan itu. Dengan mata penuh terima kasih akan tetapi juga belas kasihan karena mengira pemuda ini berotak miring, mereka memandang kepada pemuda ini.

“Saudara yang baik, sudah yakinkah kau akan menolong kami sepuluh orang? Cambukan lima ratus kali akan merenggut nyawamu.” Kata seorang di antara bekas tawanan itu.

Namun pemuda ini menggerakkan tangan menyuruh mereka pergi sambil berkata,
“Pergilah, pergilah! Untuk apa mengganggu aku yang mau menjalani hukumanku?”

Sepuluh orang itu lalu minggir dan berdiri di antara para penonton akan tetapi tentu saja mereka tidak mau pergi sebelum menonton apa yang akan terjadi atas diri pemuda yang aneh itu.

“Hayo, pukul aku!” teriak pemuda ini.

Komandan menunjuk seorang algojo yang paling kuat tubuhnya dan memberi tanda supaya menjalankan hukuman cambuk itu. Algojo ini segera menghampiri pemuda yang amat aneh itu dan wajahnya menyeringai gembira. Sekali ini dia menghadapi pengalaman yang aneh. Ia sudah merasa bosan menyiksa orang-orang yang lemah dan yang jatuh pingsan dengan tiga kali cambukan saja.

Akan tetapi, pemuda ini, yang berotak miring dan yang dengan secara aneh sekali dapat merampas cambuknya tadi, benar-benar merupakan seorang hukuman yang luar biasa. Pemuda ini dengan gerakan yang tidak dapat dilihat, telah dapat merampas cambuk sepuluh orang algojo dan cambuk-cambuk itu lalu dilemparkan ke tanah dengan sikap acuh tak acuh.

Ketika para algojo mengambil cambuk masing-masing dari tanah, ternyata bahwa gagang cambuk yang terbuat daripada kayu telah hancur sama sekali, tinggal cambuknya saja!

Tentu saja hal itu membuat semua orang merasa khawatir dan gentar, akan tetapi setelah sekarang pemuda itu dengan suka rela mau menerima hukuman, benar-benar merupakan hal yang amat luar biasa dan menggembirakan.

Dengan lagak gagah algojo yang terpilih untuk menjalankan hukuman itu mengangkat cambuk tak bergagang itu tinggi-tinggi di atas kepala, mengayun-ayunkannya beberapa kali kemudian dengan sekuat tenaga dia menimpakan ujung cambuk ke arah dada pemuda yang kini kedua tangannya telah diikatkan pada tiang oleh seorang algojo lain.

“Tar…..!”

Semua penonton menahan napas, mengharapkan sesuatu yang aneh. Mereka itu semua mengharapkan cambuk itu akan putus atau setidak-tidaknya, cambukan itu takkan terasa oleh pemuda aneh yang seperti gila lakunya ini.

Akan tetapi, semua orang menahan napas dan merasa amat kecewa. Baju pemuda itu robek dan cambuk itu meninggalkan tanda merah pada kulitnya. Pemuda itu mengrutkan kening dan nampaknya berduka sekali, akan tetapi harus diakui bahwa dia agaknya sama sekali tidak merasakan perihnya bekas cambuk.

Bahkan dia meramkan kedua matanya, menahan jatuhnya air mata dan bibirnya bergerak-gerak seperti berdoa. Cambuk itu menari-nari di atas tubuhnya, mengenai mukanya yang tampan, pakaiannya mulai robek di sana-sini. Di antara hujan cambukan, terdengar pemuda itu berkata perlahan sambil, meramkan kedua matanya.






Tidak ada komentar :