*

*

Ads

Sabtu, 26 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 110

Adapun fihak tentara Kerajaan Tang, masih bersetia dan selalu melakukan perlawanan pembalasan. Ketika bala tentara Tang mengawal kaisar dan isterinya mengungsi, mereka mendesak kepada kaisar untuk merelakan Yang Kui Hui, karena mereka menganggap bahwa permaisuri inilah yang menjadi biang keladi sehingga pemerintah menjadi lemah dan mudah terjatuh ke dalam tangan pemberontak.

Dengan hati sedih kaisar tak dapat menolak desakan ini sehingga akhirnya, di tengah jalan Yang Kui Hui di hukum mati oleh tentara Tang sendiri!

Telah dituturkan di bagian depan betapa Menteri Lu Pin dapat melarikan diri membawa harta benda Kerajaan Tang. Keluarganya, termasuk semua pelayan, telah dihukum mati oleh An Lu Shan, sedangkan Menteri Lu Pin sendiri selalu dikejar-kejar dan dicari-cari oleh karena An Lu Shan maklum bahwa menteri itu membawa lari sejumlah harta negara yang amat besar.

Telah dituturkan pula betapa Menteri Lu Pin ditolong oleh Ang-bin Sin-kai dan dapat bersembunyi di dalam gua yang selanjutnya di sebut Gua Tengkorak, karena bekas menteri ini membuat tengkorak-tengkorak raksasa dari tulang-tulang binatang purbakala yang banyak terdapat di dalam gua itu.

Hanya Lu Thong yang selamat dan terbebas dari hukuman An Lu Shan. Bahkan ketika pemuda ini datang ke kota raja bersama gurunya, yakni Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, An Lu Shan telah memaafkannya dan mengambilnya sebagai anak angkat, diberi gelar pangeran dan diberi kedudukan istimewa.

Semua ini diceritakan oleh Lu Thong dengan jelas sekali, dan sebagai penutup ceritanya, dia berkata,

“Demikianlah, saudara Kwan Cu. Betapapun juga, An Lu Shan telah bersikap baik terhadap aku, dan setelah dia terbunuh oleh puteranya sendiri, di dalam istana terdapat persaingan hebat secara diam-diam. Mereka saling menjaga agar persaingan itu tidak mengacaukan bala tentara. Akan tetapi memang benar-benar terdapat persaingan yang luar biasa hebatnya, yakni antara tiga golongan. Golongan pertama adalah pangeran mahkota yang telah membunuh An Lu Shan beserta pengikutnya, golongan kedua adalah tangan kanan An Lu Shan yang bernama Si Su Beng. Adapun golongan ketiga adalah Pangeran An Lu Kui, adik dari An Lu Shan.”

“Hm, diakah? Aku pernah bertemu dengan panglima kasar itu,” kata Kwan Cu yang teringat akan pengalamannya dahulu ketika dia menghajar An Lu Kui, dalam pondongan Ang-bin Sin-kai.

“Ya, memang dia dan tadi kau telah bertemu dengan puteranya yang bernama An Kong.”

“Pemuda botak hidung belang tadi?” tanya Kwan Cu. “Dan dia itu sutemu?”

Lu Thong menarik napas panjang.
“Suhu selalu tidak bisa melepaskan orang yang memiliki bakat baik. Dia itu sebagai murid ke dua.”

“Lu Thong, sebetulnya semua ceritamu itu tidak menarik hatiku, karena tiada sangkut pautnya dengan aku? Apakah maksudmu membawaku ke sini? Aku datang ke kota raja untuk mencari Jeng-kin-jiu, di manakah gurumu itu?”

“Kwan Cu, benar-benarkah kau hendak membalaskan sakit hati karena suhumu tewas oleh suhuku?” tanya Lu Thong mengerutkan kening.

“Bukan hanya oleh suhumu, melainkan oleh keroyokan tokoh-tokoh besar yang bersikap pengecut.”

“Kwan Cu, kau keliru. Gurumu Ang-bin Sin-kai itu memang salah sekali, hendak membalaskan sakit hati karena kakek Lu Pin dihukum sekeluarganya oleh An Lu Shan. Dia tidak dapat melihat keadaan, sedangkan suhu beserta lain orang telah membantu pemerintah baru, untuk apa membela pemerintah lama yang sudah runtuh?”

Kwan Cu hendak membantah, akan tetapi Lu Thong segera melanjutkan kata-katanya dengan suara membujuk.

“Kwan Cu, sudahlah jangan kita bicarakan tentang urusan orang-orang tua itu. Kita masih muda dan masih banyak harapan untuk maju. Ingatlah bahwa kau adalah keturunan Lu pula, sungguhpun hanya cucu angkat dari kong-kong Lu Pin. Keturunan Lu hanya kau dan aku saja dan kalau saja kau suka membantuku, kita dapat mengangkat nama keluarga kita!”

“Apa maksudmu?”

“Dengar baik-baik, Kwan Cu. Kini golongan-golongan berkuasa sedang bersaing, bermaksud saling menjatuhkan. Kalau saja kita berdua dapat mengatasi mereka dan tahta kerajaan jatuh ke dalam tangan kita, bukankah hal itu baik sekali?”

“Apa?” Kwan Cu membelalakkan matanya. “Kau bercita-cita menjadi kaisar?”






“Apa salahnya? Nenek moyangku adalah orang-orang besar yang sudah banyak sekali jasanya terhadap negara. Sudah sepatutnya kalau turunannya mendapat anugerah besar. Apa sukarnya menjadi raja? Agaknya aku takkan seburuk Kaisar Hian Tiong yang lemah! Aku mendengar dari suhu bahwa kaulah orangnya yang kiranya akan berhasil menemukan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Nah, marilah kita bekerja sama, saudaraku yang baik.”

Berubah muka Kwan Cu ketika Lu Thong menyebut nama kitab itu.
“Tidak, tidak! Aku tidak mau mengotorkan pikiranku dengan segala perkara kerajaan ini. Kau mau menjadi raja, sesukamulah. Aku tidak butuh, yang kubutuhkan hanya pemberitahuan di mana adanya Jeng-kin-jiu agar aku dapat membuat perhitungan dengan dia!”

Mendengar suara Kwan Cu yang tegas ini, berubahlah sikap Lu Thong dan wajahnya yang tadi kelihatan manis budi menjadi keras. Senyumnya masih menghias mukanya yang tampan, akan tetapi kini senyum itu masam dan penuh ejekan.

“Kwan Cu, agaknya benar kata suhu bahwa kau sudah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka kau berani menentang suhu!”

“Tidak, Lu Thong, aku seorang yang tidak ada kepandaian (Ba Pun Su),” jawab Kwan Cu tenang.

Dengan bibir tetap tersenyum mengejek, Lu Thong memberi isyarat kepada para selirnya yang telah datang dengan tindakan kaki menggiurkan dan agaknya mereka hendak menghibur tamu.

Para selir ini dengan heran dan kecewa mengundurkan diri, kemudian ketika Lu Thong bertepuk tangan tiga kali, muncullah tiga orang pengemis tua yang sekarang telah berganti pakaian sebagai panglima-panglima! Agaknya tepukan tangan itu merupakan isyarat, karena tiga orang tua ini begitu datang lalu mengurung Kwan Cu dan ketika tangan bergerak, tangan mereka telah mencabut pedang yang berkilauan!

“Lu Thong, apa kehendakmu?” tanya Kwan Cu dan pandangan matanya mulai keras dan tajam.

“Kehendakku?” jawab Lu thong menyindir. “Sudah kukatakan tadi bahwa aku menghendaki kau membantuku untuk mencapai cita-citaku.”

“Aku tidak sudi!”

“Kau tetap bocah bodoh yang keras kepala seperti dulu! Sebetulnya banyak hal yang kau hutang dariku, Kwan Cu. Pertama-tama, kau menyatakan hendak memusuhi suhuku, ini sudah merupakan dosa-dosa, namun aku masih mengampuni kalau kau bekerja sama. Kedua kalinya, kalau memang telah mendapatkan kitan Im-yang Bu-tek Cin-keng, kau harus menyerahkan kitab itu padaku! Ketiga kalinya, masih ingatkah kau betapa dahulu ketika kita masih sama-sama kecil, kau tidak mampu mengalahkan aku dan suhumu berkata bahwa kelak kita harus mengadu kepandaian lagi? Nah, karena sekarang kau berkeras kepala, perkenalkanlah tiga orang sahabatku ini. Mereka ini adalah Pek-lek-kiam Sam-sin-kai (Tiga Pengemis Sakti Berpedang Kilat)! Mereka adalah orang-orang gagah di dunia kang-ouw namun mereka dapat melihat mulianya cita-citaku sehingga mereka mau membantuku. Masa seorang manusia macam engkau berani menolak ajakanku yang baik?”

Bukan main panasnya hati Kwan Cu mendengar ucapan yang amat menghina dan merendahkannya itu.

“Banyak anjing-anjing penjilat yang akan melonjorkan kaki depan melihat orang melemparkan tulang kepadanya, akan tetapi aku tidak termasuk golongan ini, Lu Thong. Sudahlah, aku tidak ada waktu banyak untuk melayani obrolanmu.”

Setelah berkata demikian Kwan Cu hendak pergi meninggalkan taman bunga itu, akan tetapi tiba-tiba tiga orang pengemis sakti itu menghadang dengan pedang di tangan.

“Kalian mau apa?” bentak Kwan Cu.

Lu Thong memberi isyarat dengan tangan dan seorang di antara tiga pengemis tua itu menjawab,

“Hendak mencoba kepandaian seorang manusia sombong seperti engkau!”

Ucapan ini di tutup oleh berkelebatnya tiga batang pedang yang menyambar laksana kilat. tidak percuma mereka mendapat julukan Pedang Kilat, karena gerakan pedang mereka benar-benar amat cepat sehingga pedang itu lenyap tidak kelihatan dan nampak hanya sinarnya saja yang berkilauan seperti kilat menyambar.

Ini kalau dilihat oleh mata orang lain, namun bagi mata Kwan Cu gerakkan itu tidak seberapa hebat. Bahkan dengan kepandaiannya yang luar biasa, yakni penglihatan dan pengertian tentang pokok dasar segala pergerakan orang dalam bersilat, dia telah lebih dulu dapat menduga kemana tiga batang pedang itu hendak menyerangnya!

Oleh karena itu, dia melakukan gerakan cepat sekali dan mendahului mereka. Ia maklum bahwa serangan mereka itu akan disusul oleh gerakan lain. Hal ini dapat dia lihat dari pergerakan pundak dan pandangan mata mereka, maka sebelum tiga orang itu sempat melanjutkan serangannya setelah Kwan Cu mengelak cepat, pemuda ini sudah dapat mendahului mereka dengan ketokan-ketokan telapak tangan yang dimiringkan ke arah pangkal lengan.

“Plak! Plak! Plak!” tiga kali jari-jari tangannya yang dibuka itu menyentuh pangkal lengan kanan lawan dan terdengarlah jeritan susul-menyusul, kemudian tiga batang pedang terlempar ke atas, ketiga orang Pengemis Sakti Berpedang Kilat itu mengaduh-aduh sambil memegangi pangkal lengan kanan dengan tangan kirinya.

Adapun pedang yang tadi mereka pegang, tentu saja terpental jauh karena tangan mereka tiba-tiba menjadi kaku dengan jari-jari terbuka, seakan-akan terkena aliran listrik yang maha kuat!

Untuk sesaat Lu Thong tertegun melihat hal yang tak diduga-duganya ini, akan tetapi di lain saat dia telah melompat dengan senjatanya di tangan. Seperti main sulap saja melihat dia tiba-tiba memegang sebatang toya yang panjangnya ada lima kaki dan kedua ujung toya itu berkilauan karena memang ujungnya terbuat daripada emas.

Bagaimana tiba-tiba saja pemuda ini bisa memegang sebatang toya panjang yang tadinya tidak kelihatan dia bawa? Ternyata bahwa toya itu dibuat istimewa, bersambung-sambung dan dapat di tekuk-tekuk sehingga dapat di gulungkan di pinggang, tertutup oleh baju luar.

“Kwan Cu, ternyata selama kau tidak muncul, kau telah memiliki kepandaian yang lumayan. Hendak kulihat apakah kau cukup kuat menahan seranganku!!” bentak Lu Thong sambil mengayun toyanya.

Kwan Cu dapat merasai angin sambaran toya ini dan teringatlah dia akan Jeng-kin-jiu, tokoh besar selatan yang terkenal sebagai ahli gwakang dan memiliki tenaga seperti gajah. Menurut penuturan Ang-bin sin-kai, untuk masa itu, tingkat kepandaian Jeng-kin-jiu sudah tinggi sekali dan dialah satu-satunya ahli gwakang yang dapat mengatur tenaga sehingga dapat menggunakan tenaga sampai seribu kati kuatnya!

Kwan Cu maklum bahwa Lu Thong tentu telah mewarisi tenaga dan kepandaian suhunya, maka dia berlaku amat hati-hati. Karena kepandaian yang dia dapatkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, serta pelajaran ilmu-ilmu silat yang banyak macamnya yang dia pelajari dari lukisan-lukisan di dinding goa-goa pulau pohon berdaun putih, dia tahu cara bagaimana harus menghadapi serangan toya yang bertenaga besar ini. Dengan lincahnya dia mengelak ke sana ke mari menghindarkan diri dari sambaran toya yang datang bertubi-tubi.

Setelah menghadapi toya Lu Thong beberapa belas jurus saja, bukan main gembiranya hati Kwan Cu karena dia telah dapat mengerti akan pokok dasar gerakan permainan toya itu. Ia diam-diam merasa kagum, heran dan juga berterima kasih sekali akan pelajaran-pelajaran dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, oleh karena ilmu toya dari Jeng-kin-jiu yang demikian hebatnya, baru belasan jurus saja sudah dapat dia tangkap inti sarinya!

Kalau dia mau, dia akan dapat meniru setiap gerakan dan serangan Lu Thong! Namun, dia tahu pula bahwa dalam hal tenaga gwakang, dia tidak dapat mengimbangi tenaga Lu Thong, sedangkan ilmu toya itu harus dilakukan dengan tenaga gwakang, baru sempurna jalannya.

Maka Kwan Cu segera mencabut sulingnya dan mulailah dia melakukan serangan balasan. Ia dapat menghadapi Lu Thong dengan enak saja karena sekarang dia dapat melihat jelas cara lawan bergerak, bahkan dia telah tahu kemana toya akan menyambar hanya dengan memperhatikan gerak pundak dan paha lawan saja!

Sebaliknya Lu Thong menjadi heran bukan main. Pukulannya selalu mengenai tempat kosong. Kalau Kwan Cu menggunakan ginkang untuk mengelak dari pukulannya, hal ini takkan mengherankan. Yang membuat dia tiada habis heran adalah cara Kwan Cu mengelak. Sebelum toyanya bergerak menyambar, lawannya itu sudah melangkah ke arah yang berlawanan dengan maksud pukulan toyanya, seakan-akan Kwan Cu sudah tahu lebih dulu bagian mana yang hendak diserang.

Kemudian Kwan Cu mainkan sulingnya dan terkejutlah Lu Thong. Serangan suling Kwan Cu sama benar gerakannya dengan serangan toyanya, hanya bedanya kalau dia menyerang dengan gwakang untuk menghancukan kepala atau mematahakan tulang, adalah Kwan Cu mempergunakan sulingnya untuk menotok jalan darah yang berbahaya.

Pertempuran ini benar-benar berat sebelah. Lu Thong terdesak hebat dan tidak kuat menghadapi lawannya lebih lama lagi. Setiap serangannya dapat dielakkan lebih dulu oleh lawannya yang berbalik menyerangnya, kadang-kadang dengan ilmu silatnya, akan tetapi tiba-tiba diubah lagi dengan ilmu silat lain yang sama sekali tak dikenalnya! Akhirnya, setelah kepalanya pening dan tenaganya mulai berkurang, sebuah totokan dari Kwan Cu tepat mengenai iganya.

Lu Thong merasa seluruh tubuhnya lemas, kedua tangannya menggigil dan terlepaslah toya dari pegangan. Kwan Cu menyusul dengan sebuah totokan pula ke arah pundak, kini untuk membebaskan totokan pertama tadi lalu melompat ke belakang, berdiri tegak dan berkata,

“Lu Thong, melihat muka Kong-kong Lu Pin, aku masih mengampuni nyawamu. Harap kau insyaf dan berubah menjadi manusia baik-baik sesuai dengan darah keluargamu. Selamat tinggal!” Sebelum Lu Thong dapat menjawab, sekali berkelebat Kwan Cu telah lenyap dari situ.

Lu Thong menarik napas panjang dan membanting di atas bangku. Ia tidak mempedulikan tiga orang pembantunya yang berdiri dengan muka kesakitan di situ, bahkan lalu memberi isyarat dengan tangannya agar tiga orang itu meninggalkannya seorang diri.

“Dia benar-benar hebat. Tentu Im-yang Bu-tek Cin-keng telah berada di tangannya,” pikir Lu Thong penasaran.

Ia tidak menyusahkan keadaan dengan suhunya yang terancam oleh Kwan Cu, juga tidak memikirkan kata-kata Kwan Cu tadi. Yang dipikirkan hanya cita-citanya saja. Sayang Kwan Cu yang sakti tidak mau membantunya, pikirnya. Bagaimana, seorang pemuda yang sudah lemah imannya ini dapat mendengarkan nasihat Kwan Cu?

Sampai berhari-hari Lu Thong bermurung saja. Hiburan kelima orang selirnya yang cantik-cantik tidak mengubah kekesalan hatinya. Setiap hari dia memutar otak, mencari jalan baik.

**** 110 ****





Tidak ada komentar :