*

*

Ads

Senin, 28 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 111

Pada malam hari itu, sebuah bayangan yang amat gesit melompat-lompat di atas genteng-genteng tebal dari kompleks bangunan istana yang megah. Tak seorang pun manusia menyangka bahwa malam hari itu ada orang yang berloncat-loncatan di atas gentang bangunan itu.

Memang, biarpun penjagaan daerah istana ini amat ketat, namun tidak ada seorang pun kepala jaga menyuruh anak buahnya menjaga di atas genteng. Siapakah orangnya yang dapat menembus penjagaan sehingga dapat berlari-lari di atas genteng? Penjagaan seluruh pintu istana amat kuat dan daerah istana itu sendiri dikelilingi oleh dinding yang tebal dan tinggi sekali, apalagi musuh dijaga oleh penjaga-penjaga yang berdiri di sepanjang tembok! Seekor burung pun takkan dapat lewat tanpa terlihat oleh barisan penjaga.

Namun, bukan iblis atau dewa yang berlompat-lompatan di atas genteng, melainkan seorang manusia biasa. Bukan lain adalah Kwan Cu, pemuda yang telah memiliki ilmu kepandaian luar biasa yang membuatnya menjadi seorang sakti. Tidak sukar baginya untuk melewati penjagaan yang kokoh kuat itu, karena gerakannya memang cepat sekali.

Dari balik sebatang pohon, dia dapat melompat ke atas dinding tembok tanpa terlihat oleh penjaga, karena gerakannya itu luar biasa cepatnya. Mungkin juga ada penjaga yang melihat bayangan berkelebat, akan tetapi tentu dia mengira bahwa itu hanyalah bayangan pohon yang tersinar oleh lampu penerangan di luar tembok.

Kwan Cu sudah melakukan penyelidikan di luar istana dan mendapat keterangan bahwa memang Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan tokoh-tokoh lain yang telah membunuh Ang-bin Sin-kai tidak berada di kota raja.

Akan tetapi dia belum mau meninggalkan kota raja, pertama-tama karena dia hendak menyelidiki di dalam istana dulu. Siapa tahu kalau-kalau di antara musuh-musuh besarnya itu ada yang bersembunyi di dalam istana. Ia ingin menyelidiki dan sekalian ia teringat akan ucapan Pangeran An Kong, putera An Lu Kui. Ia mendengar bahwa pangeran itu hendak melakukan perbuatan jahat terhadap seorang wanita yang disebutnya bunga liar. Tergerak hatinya untuk sekalian menyelidiki keadaan pangeran botak itu dan kalau perlu menolong wanita tadi.

Dia pernah dibawa oleh suhunya ke istana, akan tetapi ketika dia datang dengan suhunya, mereka langsung menuju ke dapur istana dan tidak pernah menyelidiki keadaan istana dari atas genteng. Oleh karena itu, Kwan Cu tidak tahu betul akan letak istana itu. Ia hanya mencari-cari dari atas genteng dan mengintai ke bawah setiap kali dia melihat ada ruangan di bawah genteng.

Di bawah genteng bangunan-bangunan istana yang tinggi itu, terdapat langit-langit yang tebal, maka agak sukarlah baginya untuk memeriksa keadaan di bawah. Apalagi banyak sekali terdapat loteng, karena rumah-rumah di situ sebagian besar bertingkat. Seringkali dia harus mempergunakan kakinya untuk bergantung dengan kepala di bawah dan mengintai dari celah-celah tiang genteng.

Namun, dia hanya mendapatkan orang-orang berpakaian mewah sedang berpesta, dikelilingi oleh wanita-wanita cantik yang bermain tetabuhan, bernyanyi atau menari. Ada pula orang-orang berpakaian perwira sedang melakukan tugas menjaga, agaknya para pengawal istana.

Tiba-tiba dia melihat sebuah bangunan yang berada di ujung timur dan di ruangan besar nampak lampu dinyalakan besar. Beberapa orang laki-laki tengah duduk menghadapi meja panjang, seakan-akan orang sedang mengadakan rapat.

Tertarik hati Kwan Cu dan dia segera menuju ke bangunan itu. Ia selalu berlaku hati-hati sekali maka ketika dia tiba di tempat yang agak gelap, dengan gerakan ringan sekali bagaikan daun kering tertiup angin, pemuda sakti ini, melayang turun, lalu jalan perlahan menuju ke tempat itu.

Dari balik jendela dia mengintai ke dalam. Benar saja, di dalam ruangan yang amat lebar itu dia melihat lima orang laki-laki yang sedang bercakap-cakap dengan perlahan, agaknya membicarakan sesuatu yang amat penting. Tiga orang di antaranya berpakaian seorang panglima tinggi, sedangkan yang dua orang adalah hwesio-hwesio setengah tua yang kelihatannya kuat dan bertubuh tegap.

Ketika Kwan Cu melayangkan pandangan matanya, dia mengenal seorang di antara tiga panglima itu. Orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari An Lu Shan. Geli dirinya memikirkan betapa dahulu dia pernah mempermainkan panglima ini, atau lebih tepat gurunya yang mempermainkannya, karena dia memukul panglima ini dalam pondongan Ang-bin Sin-kai.

Panglima itu masih nampak tegap dan gagah, biarpun sudah kelihatan agak tua. Air mukanya menunjukkan seorang yang penuh cita-cita dan teringatlah penuturan Lu Thong bahwa An Lu Kui termasuk seorang di antara tiga golongan yang ingin memperebutkan kedudukan raja di tempat itu!

Dua orang panglima yang lainnya itu dia tidak kenal, akan tetapi dia dapat menduga bahwa nereka pun memiliki kepandaian silat inggi. Juga dua orang hwesio setengah tua itu dia tidak kenal. Kalau saja dia tidak melihat An Lu Kui di situ, tentu Kwan Cu sudah pergi lagi. Akan tetapi kehadiran An Lu Kui menarik perhatiannya untuk mendengar percakapan mereka.






“Apakah Ji-wi Suhu (bapak pendeta berdua) telah menyampaikan pesanku kepada putera mahkota?” terdengar An Lu Kui bertanya kepada dua orang hwesio itu.

Kwan Cu maklum bahwa yang disebut putera mahkota tentulah putera dari An Lu Shan yang telah membunuh ayahnya sendiri itu. Maka dia mendengarkan dengan penuh perhatian.

Seorang di antara dua hwesio itu menganguk-angguk,
“Sudah, Ong-ya,”

Kwan Cu merasa geli mendengar sebutan ini. Sebutan itu biasanya ditujukan kepada seorang pangeran muda.

“Apa pendapat beliau?” tanya An Lu Kui.

“Beliau merasa bahwa memang perlu diadakan perundingan ini, karena harta yang dibawa oleh Menteri Lu Pin itu memang amat banyak dan berguna sekali untuk kerajaan.”

Mendengar jawaban hwesio itu, berdebar hati Kwan Cu. Mereka membicarakan tentang kong-kongnya, Lu Pin, untung tadi dia mendengarkan ucapan ini.

“Dan beliau memberi kekuasaan penuh kepada Ji-wi untuk membicarakan hal itu dengan kami?” tanya An Lu Kui.

Hwesio itu mengangguk.
“Itulah sebabnya maka beliau mengutus pinceng (saya) berdua sengaja untuk merundingkan soal ini dengan Ong-ya dan dengan Si-ciangkun (Panglima Si).”

“Bagus,” kata An Lu Kui. “Memang dalam menghadapi para pemberontak yang makin kuat dan dalam mengatur rencana mencari Lu Pin, kita harus bersatu padu dan mengerahkan seluruh tenaga. Herannya mengapa sampai sekarang Panglima Si Su Beng tidak datang.”

“Pinto (aku, sebutan pendeta To) datang!” tiba-tiba terdengar suara dari jauh dan diam-diam Kwan Cu terkejut.

Orang yang dapat mendengar percakapan ini dari jauh dan sekaligus mengirim jawaban, adalah seorang berkepandaian tinggi yang mahir menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh). Maka cepat pemuda ini menyelinap dan bersembunyi di tempat yang gelap.

Tak lama kemudian, menyambar angin dan tiba-tiba seorang tosu (Pendeta Agama To) setengah tua yang berjenggot panjang telah berada di ruang itu. Mata tosu ini tajam dan memandang di sekelilingnya, kemudian dia berkata kepada semua yang berada di dalam ruangan.

“Kalian amat sembrono, membicarakan urusan penting harus berhati-hati dan menyelidiki lebih dulu kalau-kalau ada orang lain ikut mendengar!”

Setelah berkata demikian, tubuh tosu ini berkelebat ke atas genteng agaknya untuk menyelidiki apakah betul-betul tidak ada orang lain yang bersembunyi. Kwan Cu makin terkejut dan cepat dia menyelinap ke belakang bangunan, berlindung di dalam gelap. Ia mendengar suara An Lu Kui perlahan kepada hwesio itu.

“Dia itulah orang baru dari Si Su Beng yang bernama Kiam Ki Sianjin, benar-benar lihai sekali!”

Tak lama kemudian, kembali bayangan tosu itu melayang turun dan berkata,
“Keadaan aman tidak seekor burung pun pinto lihat di atas genteng!”

An Lu Kui tertawa bergelak.
“Kiam Ki Totiang terlalu curiga! Di tempat ini, siapakah yang berani mati melakukan pengintaian? Mari, Totiang silakan duduk. Karena Totiang belum lama datang, agaknya belum kenal dengan dua orang sahabat ini. Mereka ini adalah Mo Beng Hosiang yang berjuluk San-tian-jiu (Si Tangan Kilat) dan Mo Keng Hosiang yang berjuluk Hun-san-pian (Ruyung Pemecah Gunung). Ji-wi Suhu, inilah pembantu dan penasihat, juga guru dari Panglima Si Su Beng, yang bernama Kiam Ki Sianjin yang berjuluk Pak-kek Sian-ong (Dewa Kutub Utara).”

Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk dan membalas penghormatan dua orang hwesio itu.

“Hm, hm, hm, apakah bukan Bu-eng Siang-hiap (Sepasang Pendekar Tanpa Bayangan) yang tersohor? Bagus, bagus, dalam kerajaan ada sepasang naga yang menjaga, takut apalagi?”

Pujian ini sekaligus merupakan ejekan dan sikap memandang rendah. Hal ini terasa oleh Mo Beng Hosiang yang berwatak keras, maka biarpun dia sudah mendengar nama besar Kiam Ki Sianjin, dia pura-pura bertanya,

“Pinceng (saya) sudah mendengar nama Pak-lo-sian (Dewa Kutub Utara) Siangkoan Hai yang namanya menggegerkan dunia, tidak tahu dengan Toyu (Sahabat) masih ada hubungan apakah?”

Wajah Kiam Ki Sianjin merengut, akan tetapi tiba-tiba dia tertawa untuk menyembunyikan ketidak senangannya mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Kiam Ki Sianjin ini adatnya memang sombong, dia pernah mencari Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang dianggap mengembari namanya.

Mereka berdua, kedua tokoh yang memakai julukan Dewa Utara ini, bertempur hebat. Setelah hampir satu hari mereka bertempur, akhirnya Kiam Ki Sianjin terpaksa meninggalkan lawannya yang ternyata amat lihai dan yang tidak mampu dirobohkan itu. Semenjak itu dia merasa benci sekali kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Maka kini mendengar ucapan Mo Beng Hosiang, dia merasa tersindir. Siapa tahu kalau hwesio gundul ini sudah mendengar akan pertempuran itu.

Suara ketawa dari Kiam Ki Sianjin amat aneh, meninggi merendah seperti suara kuda liar meringkik. Namun tenaga khikangyang terkandung dalam suara itu seakan-akan menggetarkan tiang-tiang ruangan itu.

“Gunung dan bukit biarpun sama-sama menonjol tidak dapat dikatakan sama. Naga dan ular biarpun berbentuk serupa tetap ada perbedaan. Mana Pak-lo-sian bisa dipersamakan dengan pinto?”

Jawabnya ini sudah menyatakan betapa sombongnya tosu ini yang menganggap diri sendiri gunung dan Pak-lo-sian hanya bukit, atau yang mengumpamakan diri sendiri naga dan Pak-lo-sian hanya ular biasa!

Di antara mereka ini, sebagaimana telah dituturkan oleh Lu Thong kepada Kwan Cu, memang terdapat persaingan. Bu-eng Siang-hiap dan dua orang hwesio gundul itu, adalah pengikut setia dari pangeran mahkota yang pada waktu itu boleh dibilang paling berkuasa, sedangkan Kiam Ki Sianjin adalah guru dari pemberontak Si Su Beng yang sudah lama mengilar dan ingin sekali merampas kedudukan.

Tentu saja sudah ada perasaan dendam dan bermusuhan di dalam hati mereka satu terhadap yang lain. Kini hanya atas usul An Lu Kui yang juga mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar, mereka mau datang berkumpul untuk merundingkan cara menghancurkan rakyat yang memberontak di sana-sini dan untuk mencari Menteri Lu Pin bersama harta benda yang dibawa pergi oleh bekas menteri itu.

Tak mengherankan apabila di dalam percakapan mereka, terdengar ucapan-ucapan yang menyindir dan saling memandang rendah.

Mo Beng Hosiang yang berwatak keras, mendengar ucapan Kiam Ki Sianjin yang menyombongkan diri, menjadi tak senang.

“Memang nama besar Pak-lo-sian menjulang tinggi seperti gunung dan dahsyat seperti naga!” katanya sambil memandang kepada Kiam Ki Sianjin dengan mata menantang.

Sudah terang sekali bahwa ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk menekan kesombongan Kiam Ki Sianjin karena kedudukan tosu itu menjadi terbalik, bukan seperti gunung dan naga melainkan seperti bukit dan ular!

Melihat suasana sudah mulai panas antara dua orang kepercayaan dari dua golongan itu, diam-diam An Lu Kui menjadi girang. Sebagai golongan ke tiga tentu saja dia suka melihat perpecahan antara dua wakil golongan saingannya itu. Akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau dua orang itu akan bertempur.






Tidak ada komentar :