*

*

Ads

Senin, 28 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 112

Pada masa itu, dia justeru membutuhkan tenaga golongan-golongan saingannya ini untuk mencapai cita-citanya, yakni pertama-tama menindas pemberontakan rakyat, kedua untuk mencari Lu Pin dan harta pusaka kerajaan. Setelah dua hal ini tercapai dan beres, barulah dia akan mencari jalan untuk menggulingkan kedudukan dua golongan saingannya itu. Dari sini saja dapat dilihat bahwa An Lu Kui benar-benar cerdik sekali. Ia melompat di antara kedua orang itu dan menjura sambil berkata,

“Di waktu rumah tangga aman dan tentram, saudara-saudara saling bercakaran masih tidak mengapa, akan tetapi kalau rumah tangga sedang terancam bahaya kebakaran, semua saudara harus bersatu padu memadamkan api! Demikianlah ujar-ujar kuno yang baik sekali kita ingat selalu. Oleh karena itu, harap Ji-wi sudi bersabar dan mengingat bahwa kedatangan kita berkumpul di sini adalah untuk merundingkan hal-hal yang penting demi keselamatan negara.”

An Lu Kui masih merupakan orang yang berpengaruh karena dia adalah paman dari putera mahkota. Maka Mo Beng Hosiang segera menjura dan berkata kepada Kiam Ki Sianjin.

“Kiam Ki Toyu harap sudi memaafkan pinceng kalau ada kata-kata pinceng yang kurang tepat.”

Kiam Ki Sianjin sambil tertawa.
“Tidak apa, tidak apa! Mo Beng Suhu belum mengenal pinto dengan baik, tentu masih belum percaya.”

Suasana damai dan persahabatan dapat ditimbulkan pula berkat ketangkasan dan kecerdikan An Lu Kui. Semua orang lalu duduk menghadapi meja panjang.

“Silakan Ang-ciankung menguraikan rencananya,” kata Kiam Ki Sianjin yang mempergunakan ujung lengan bajunya yang lebar untuk mengebut mukanya, mengusir hawa panas.

Padahal malam hari itu, udara amat dinginnya. Tosu yang sombong ini masih saja hendak mendemonstrasikan kelihaiannya! Ingin dia menonjolkan diri dan memperlihatkan bahwa dia bukanlah “orang biasa!”

Melihat sikap tosu ini, diam-diam Kwan Cu menjadi geli hatinya. Dianggapnya tosu ini bersikap ketolol-tololan, akan tetapi melihat gerakan tosu tadi, dia dapat menduga bahwa memang tosu ini memiliki kepandaian yang tinggi sekali.

“Menurut hasil penyelidikan para mata-mata kita,” An Lu Kui mulai bicara, “pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para petani makin merajalela. Semua ini adalah karena pimpinan dan dorongan dari orang-orang di dunia kang-ouw yang masih bersetia kepada pemerintah Tang yang sudah kita hancurkan. Akan tetapi, agaknya mereka itu, biarpun mendapat pimpinan orang-orang pandai, takkan banyak berdaya kalau saja tidak ada sumber uang yang membiayai segala keperluan mereka. Mereka terdiri dari petani-petani miskin dan untuk mencukupi keperluan mereka sehari-hari, bukanlah biaya yang ringan. Kemudian mata-mata kita mendapat berita bahwa selain para hartawan yang masih setia kepada Kerajaan Tang menyumbang uang, terutama sekali biaya-biaya itu ditutup oleh sumber uang yang amat besar, yakni bukan lain dari bekas Menteri Lu Pin sendiri!”

“Ah, tentu harta pusaka kerajaan itu yang dipergunakannya!” teriak Kiam Ki Sianjin.

“Memang! Anjing Lu Pin itu menghamburkan harta yang dibawanya lari itu untuk membiayai pemberontakan,” kata An Lu Kui marah.

“Keparat jahanam!” Mo Beng Hosiang ikut memaki. “Kalau begitu berarti bahwa semua pemberontakan rakyat itu adalah atas anjuran Lu Pin yang menjadi biang keladinya.”

An Lu Kui mengangguk-angguk.
“Begitulah kiranya. Memang, semenjak dahulu pun sudah diketahui oleh semua orang bahwa Menteri Lu Pin adalah menteri yang paling setia kepada Kerajaan Tang. Seluruh keluarganya telah binasa dalam membela Kerajaan Tang dan sampai sekarang pun dia masih ingin menegakkan Kerajaan Tang. Oleh karena itu, kurasa untuk memadamkan pemberontakan ini, cara yang terbaik adalah mencari sampai dapat menteri setan itu. Kalau dia sudah dibinasakan, harta pusaka Kerajaan Tang dapat dirampas, kiraku dengan sendirinya tanpa dipukul, para pemberontak itu akan mengundurkan diri.”

“Akan tetapi, di manakah kita bisa mendapatkan anjing she Lu itu?” tanya Mo Keng Hosiang atau Si Ruyung Pemecah Gunung.

“Benar, di mana kita bisa mencari dia? Sudah bertahun-tahun orang-orang kita mencarinya dengan sia-sia. Agaknya dia telah mampus dan hartanya jatuh ke dalam tangan pemberontak.” Kata Mo Beng Hosiang.






“Tadinya aku pun mengira bahwa anjing she Lu itu sudah mampus,” kata An Lu Kui, “akan tetapi baru-baru ini aku mendapat berita lain yang menyatakan bahwa dia telah bersembunyi ke dalam sebuah goa dan dari situlah dia mengatur dan merencanakan semua pemberontakan para petani.”

Mendengar ini, tidak saja kedua hwesio dan Kiam Ki Sianjin menjadi amat tertarik, bahkan Kwan Cu yang mendengar di luar juga amat tertarik. Hati pemuda ini berdebar-debar dan baru sekaranglah terbuka matanya betapa gagah dan mulia adanya kong-kong angkatnya, Menteri Lu Pin.

Ketika dia mendengar dari sastrawan Tu Fu, dia memang sudah merasa amat bangga akan kong-kong angkatnya itu. Akan tetapi selama ini, pikirannya penuh oleh keadaan suhunya yang meninggal dunia dikeroyok orang, maka hal menteri setia itu hampir tidak dia pikirkan lagi.

Akan tetapi sekarang, mendengar semua penuturan ini, tergerak hatinya dan dia merasa amat kagum terhadap Menteri Lu Pin. Seluruh keluarganya sudah musnah, dia sendiri yang sudah tua sampai terlunta-lunta, dikejar-kejar, namun menteri tua yang amat setia itu masih saja berjuang melawan penjajah!

“Kong-kong benar-benar luar biasa, aku harus dapat mencarinya dan membelanya.”

Kata Kwan Cu di dalam hati dan dia memperhatikan lagi keadaan di dalam, ingin sekali tahu di mana tempat persembunyian kakek angkatnya itu.

“Di goa manakah dia bersembunyi?” terdengar Kiam Ki Sianjin bertanya.

Suaranya tinggi dan mengandung penuh gairah, karena siapakah orangnya di dalam istana itu yang tidak menjadi gairah hatinya mendengar bahwa tempat sembunyi Lu Pin telah diketemukan? Bukan karena mereka terlalu membenci menteri ini, tetapi semata-mata karena menteri itu membawa harta pusaka kerajaan! Inilah yang merupakan daya penarik luar biasa.

Harta yang terdapat di dalam istana itu telah menjadi rebutan dan sebentar saja sudah habis. Kini semua hati dan mata yang selalu membayangkan harta dunia, ditujukan kepada harta pusaka yang dibawa pergi oleh Menteri Lu Pin.

“Inilah yang masih harus diselidiki,” jawab An Lu Kui sambil mengeluarkan segulung kertas. “Menurut penyelidikan, dia bersembunyi di dalam sebuah goa rahasia yang terdapat di Bukit Tengkorang Raksasa. Akan tetapi di dalam peta tidak terdapat bukit yang bernama demikian dan nama ini pun baru saja muncul menjadi sebutan orang. Akan tetapi menurut hasil penyelidikan, bukit ini adanya di antara Pegunungan Tai-hang dan Pegunungan Lu-liang, agaknya tidak jauh dari lembah Sungai Fen-ho yang mengalir di situ.”

An Lu Kui lalu membuka gulungan kertas itu di atas meja dan enam orang itu lalu melihat dengan penuh perhatian.

“Pembantuku ini, Cang-ciangkun, telah memimpin pasukan penyelidik. Cang-ciangkun, coba kau jelaskan lagi bagaimana hasil penyelidikanmu itu,” kata An Lu Kui kepada seorang di antara dua orang panglima yang semenjak tadi tidak ikut bicara.

Panglima perang yang di sebut Cang-ciangkun itu adalah seorang perwira yang bertubuh tinggi besar, berwajah keren dan penuh brewok. Ia menarik bangkunya lebih dekat ke meja, lalu menunjuk ke arah peta itu dengan telunjuknya.

“Pasukan penyelidik yang kupimpin telah sampai di bagian ini. Disepanjang jalan kami mencari keterangan dan dari beberapa orang tua petani kami mendengar bahwa daerah ini dahulu sering didatangi oleh seorang pengemis tua yang aneh.”

“Ang-bin Sin-kai…….” Kata Kiam Ki Sianjin perlahan. An Lu Kui mengangguk membenarkan.

“Kemudian kami tiba di lembah Sungai Fen-ho dan di situlah kami mendengar adanya goa rahasia di Bukit Tengkorak Raksasa dan menurut keterangan beberapa orang petani yang kami paksa, seringkali daerah ini didatangi oleh orang-orang yang kelihatannya gagah dan membawa-bawa pedang dan tombak. Biarpun tak seorang pun yang pernah mendatangi Goa Tengkorak atau Bukit Tengkorak Raksasa, namun agaknya yang suka datang itu adalah para pemimpin pemberontak, karena setelah mereka pergi lagi, menurut petani itu, mereka membawa barang-barang buntalan yang kelihatannya berat.”

Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk,
“Sangat boleh jadi….”

Akan tetapi tiba-tiba dia menahan kata-katanya dan secepat kilat dia melompat ke arah jendela. Memang pada saat itu, Kwan Cu amat memperhatikan dan ingin sekali dia melihat peta di atas meja itu, maka saking tertariknya, dia melakukan gerakan yang menimbulkan suara. Sedikit suara ini ternyata telah dapat ditangkap oleh pendengaran Kiam Ki Sianjin yang amat tajam.

Ketika Kiam Ki Sianjin melompat ke dekat jendela terus keluar dari situ dengan gerakan Monyet Tua Melompati Cabang, lebih dulu Kwan Cu telah melompat pergi dan sebelum Kiam Ki Sianjin masuk kembali, pemuda ini telah mendahului masuk dari pintu depan. Dengan tenang dia berjalan menuju ruangan itu, disambut oleh An Lu Kui dan kawan-kawannya dengan mata terbelalak.

“Siapa……. kau………?”

An Lu Kui bertanya. Maksudnya hendak membentak marah, akan tetapi melihat cara pemuda itu masuk begitu saja tanpa mereka ketahui, membuat dia terheran-heran dan gugup. Apalagi ketika pada saat dia mengajukan pertanyaan itu, tubuh pemuda ini berkelebat ke arah mereka!

An Lu Kui dan kawan-kawannya bersiap menyambut, akan tetapi tiba-tiba tubuh pemuda itu terapung ke atas kepala mereka terus ke atas lalu tiba-tiba sebelum menyentuh langit-langit, tubuh itu berjungkir balik dan kini bagaikan seekor capung beterbangan di dalam kamar, tubuh pemuda itu menukik ke bawah lalu tahu-tahu gulungan peta itu telah dirampasnya!

An Lu Kui hendak menubruk, akan tetapi terlambat karena Kwan Cu sudah melompat pula dari atas meja melalui kepalanya dan kini pemuda itu telah berdiri di tengah ruangan sambil tersenyum-senyum dan peta itu dia masukan ke dalam saku dengan sikap amat tenang!

Untuk sejenak, An Lu Kui dan kawan-kawannya tercengang, karena sesungguhnya gerakan pemuda tadi luar biasa sekali. Tiada ubahnya seekor capung atau burung yang amat ringan dan gesit. Kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri sukarlah untuk mempercayai kejadian itu.

“Siapa kau yang berani mati bermain gila di sini?” kembali An Lu Kui membentak dan kini panglima ini mencabut sepasang tombaknya yang lihai.

Kwan Cu tersenyum dan menjawab,
“An-ciangkun, apakah baik kabarmu? Kau sudah kelihatan tua, akan tetapi tetap saja ganas dan galak!”

Mendengar ini, An Lu kui tercengang dan tidak jadi menyerang, sebaliknya Cang Kwan panglima brewokan itu membentak,

“Bangsat kecil, siapakah kau yang sudah bosan hidup?”

“Bangsat besar, aku bernama Lu Kwan Cu. Kalian tadi membuka mulut besar hendak menangkap kong-kongku Lu Pin? Jangan bermimpi, Kawan!”

“Bohong besar!” seru Liong Tek Kauw panglima kedua pembantu An Lu Kui, “Aku tahu betul keadaan Menteri Lu Pin dan dia tidak mempunyai cucu yang bernama Lu Kwan Cu!”

Kwan Cu tersenyum lagi.
“Tentu kau seorang panglima pengkhianat dan penjilat maka kau tahu baik akan keadaan kong-kongku. Akan tetapi aku tidak peduli akan kata-katamu itu, pengkhianat. Pendeknya jangan kalian bermimpi untuk menangkap Menteri Lu Pin yang setia dan gagah berani, pahlawan bangsa tidak seperti kalian ini, katak-katak busuk yang berbahaya.”

“Tangkap dia!” tiba-tiba An Lu Kui berseru keras. “Dia adalah bocah gundul murid Ang-bin Sin-kai! Aku ingat sekarang, dia memang telah diakui cucu oleh Lu Pin!” Sambil berkata demikian, An Lu Kui lalu menyerang dengan sepasang tombaknya.

Kwan Cu mengelak tangkas sambil menyindir.
“Hm, kau sudah ingat betapa dahulu aku pernah membagi beberapa kali tamparan kepadamu, An-ciangkun?”

“Bangsat, mampuslah kau!” seru An Lu Kui sengit dan tombaknya melakukan gerakan menyilang dari kanan kiri, hendak menggunting leher pemuda itu.

Akan tetapi, hanya dengan merendahkan tubuh sedikit saja, Kwan Cu sudah dapat membebaskan diri dari ancaman dan sepasang tombak itu melayang melalui atas kepalanya.






Tidak ada komentar :