*

*

Ads

Senin, 07 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 069

Ang-bin Sin-kai memang benar-benar merasa sayang kepada Kwan Cu. Hal ini terbukti dari usahanya menyusul Hek-i Hui-mo ke barat, yakni ke Tibet! Baginya sendiri, dia tidak nanti sudi melanggar sumpahnya dan dia tidak mau mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng untuk diri sendiri, melainkan karena dia ingin agar supaya muridnya itu dapat mempelajari ilmu kepandaian dari kitab itu.

Padahal, perjalanan ke Tibet bukanlah semudah orang melihat gambar peta bumi saja! Apalagi pada jaman dahulu, dimana tidak ada jalan sama sekali, jangankan jalan besar dan rata, bahkan jalan atau lorong kecilpun belum ada. Perjalanan ke Tibet adalah perjalanan yang puluhan ribu li jauhnya, melalui gurun, padang pasir bergaram, tanah tandus yang beratus atau beribu li luasnya, melalui gunung-gunung yang luar biasa tingginya, hutan-hutan yang liar dan belum pernah dilalui manusia.

Kalau sedang melalui gurun pasir, panas membakar kulit, akan tetapi sebaliknya kalau melalui puncak bukit yang tinggi, hawa dingin menggerogoti tulang iga! Guru dan murid ini melakukan perjalanan selama berbulan-bulan dan dengan amat sukar dan banyak susah payah, akhirnya mereka tiba di Pegunungan Kun-lun-san.

Memang kalau orang hendak pergi ke Tibet melalui jurusan utara, dia harus melewati Pegunungan Kun-lun-san yang termasuk daerah Tibet Utara. Namun semua kesukaran perjalanan itu sama sekali tidak terasa oleh Kwan Cu. Bahkan anak ini merasa amat gembira.

Perjalanan yang luar biasa jauhnya ini mendatangkan pengalaman-pengalaman baru yang hebat-hebat dan di sepanjang perjalanan Ang-bin Sin-kai tak pernah lalai untuk melatih ilmu silat kepada muridnya.

Kini Kwan Cu telah mulai menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tinggi sehingga kepandaiannya maju dengan pesat sekali. Selain itu, juga Ang-bin Sin-kai mengajak muridnya mampir di tempat tinggal para tokoh besar dunia kang-ouw dan selalu mencari kesempatan untuk memperlebar dan memperluas pengetahuan muridnya itu tentang ilmu silat.

“Lihatlah baik-baik, muridku,” katanya jika dia berhasil minta kepada seorang ahli silat untuk memperlihatkan kepandaiannya. “Betapapun jauh perbedaan gaya dalam permainan silat, namun kesemuanya mendasarkan kekuatan mereka atas kedudukan tubuh dan pemasangan kaki. Memang ini penting sekali, Kwan Cu. Betapapun bagus dan lihai gaya dan gerakannya, tanpa keteguhan dan kedudukan kaki, dia bukanlah seorang ahli silat yang kuat.”

Pegunungan Kun-lun-san penuh dengan puncak-puncak yang tertutup salju dan di mana-mana terdapat sungai-sungai es. Melalui daerah seperti ini, orang harus berlaku hati-hati sekali.

Hampir saja Kwan Cu menemui bencana ketika mereka melewati sebuah sungai es yang lebar. Permukaan es itu nampak mengkilap kebiruan, yaitu bayangan-bayangan langit yang tercermin ke dalam permukaan es. Kwan Cu mula-mula merasa gembira sekali dan berlari-larian di atas es yang licin itu. Ia telah memiliki ginkang tinggi dan juga tubuhnya telah kuat sehingga dia tidak khawatir terpeleset jatuh.

Akan tetapi, sungguh di luar dugaannya bahwa es itu belum lama membeku sehingga masih tipis permukaannya. Ketika dia berlari tiba di bagian yang amat tipis, tiba-tiba pecahlah permukaan kaca es itu dan tubuhnya terjeblos ke bawah.

Air yang luar biasa dinginnya menerima tubuh Kwan Cu dan anak ini seketika menjadi kaku seluruh tubuhnya! Ia cepat menahan napas dan mengerahkan tenaga dan hawa tubuh untuk membuat tubuhnya hangat dan untuk membuat aliran darah di tubuhnya menjadi lebih cepat.

Akan tetapi, hawa dingin dari air yang setengah membeku itu luar biasa sekali dan kalau gurunya tidak cepat turun tangan, pasti anak ini takkan tertolong lagi nyawanya. Ang-bin Sin-kai yang sudah banyak pengalamannya tidak mau mengejar ke tempat itu karena kalau dia sendiri sampai terjeblos, biarpun kepandaiannya tinggi, namun belum tentu dia akan dapat melawan serangan hawa dingin yang luar biasa itu.

Ia lalu cepat menggunakan lweekangnya untuk mencabut sebatang akar yang amat panjang dari pohon besar yang sudah habis daunnya dimakan salju dan dengan akar ini dia lalu menolong Kwan Cu.

Anak gundul ini biarpun tubuhnya sudah hampir beku, namun pikirannya masih sadar. Begitu melihat akar, dia cepat menangkapnya dan memegangnya erat-erat, sungguhpun jari-jari tangannya sudah kaku dan sukar digerakkan lagi dan perasaan kulit tangannya sudah mati!

Ang-bin Sin-kai menarik akar itu dan ketika tubuh Kwan Cu sudah keluar dari sungai es, air yang tadinya membasahi seluruh tubuhnya tiba-tiba menjadi beku dan berobah seperti es sehingga tubuh anak gundul ini terbungkus es tipis !

Ang-bin Sin-kai maklum akan bahaya hal ini, maka cepat ia lalu menggosok-gosokkan kedua tangannya pada gelas es yang menyelimuti tubuh Kwan Cu. Gosokannya yang cepat dan bertenaga menimbulkan hawa panas sehingga es tipis itu menjadi cair dan ketika beberapa lama Ang-bin Sin-kai menggosok-gosokkan seluruh tubuh Kwan Cu maka darah di dalam tubuh anak itu mengalir biasa kembali.






Bocah gundul ini meleletkan lidah saking ngeri. Tak pernah disangkanya bahwa sungai es yang nampak indah itu ternyata barbahaya sekali dan jauh lebih lihay dari pada seorang lawan yang bagaimana tangguh pun.

Akan tetapi, ada pula sungai-sungai yang mengalirkan airnya yang amat bening. Sungai-sungai ini sebagian besar mengalirkan airnya kedalam telaga yang banyak terdapat di tanah datar, dikaki gunung-gunung itu. Sering kali Ang-bin Sin-kai dan muridnya berhenti untuk menikmati pemandangan alam yang benar-benar indah mengagumkan.

Mereka jarang sekali bertemu dengan orang, hanya jauh dibawah, di kaki pegunungan sebelah utara, mereka bertemu dengan penduduk pribumi yang hidupnya sebagai kelompok yang berpindah-pindah. Banyak sekali suku-suku bangsa yang menuntut penghidupan berpindah-pindah seperti itu, terutama yang datang dari daerah Sin-kiang, seperti suku-suku bangsa Tajik, Tartar, Kazak, Hui, Khalkas, Daur, Sibo, Uzbek dan masih banyak lagi suku-suku bangsa dari daerah barat tanah Tiongkok.

Ketika mereka tiba di puncak yang tinggi dari Pengunungan Kun-lun-san, dari jauh mereka melihat seorang berpakaian putih tengah berjalan perlahan-lahan, dibantu oleh tongkatnya yang panjang.

“Eh, eh, kalau tidak salah lihat, dia adalah Seng Thian Siansu !” kata Ang-bin Sin-kai yang mempercepat larinya menyusul orang berpakaian putih itu.

Kwan Cu juga mempercepat larinya agar jangan tertinggal terlalu jauh oleh gurunya. Setelah mereka berada di dekat kakek itu, Kwan Cu melihat seorang kakek yang sudah tua sekali. Rambutnya telah putih, tipis dan jarang, tertutup oleh kain pembungkus rambut yang dibungkuskan pada kepala menutupi kedua telinga untuk mencegah serangan angin dan hawa dingin.

Muka kakek ini sudah penuh keriput, berkulit putih dan hanya sepasang matanya saja yang memperlihatkan kehidupan, karena masih amat tajam dan berpengaruh. Jenggot dan kumisnya tergantung ke bawah, seakan-akan tidak bertenaga lagi, seperti juga tubuhnya yang kurus dan lemah. Benar-benar seorang yang sudah lanjut usianya dan jalanpun sudah sukar kalau tidak dibantu oleh tongkatnya yang panjang.

Dengan gerakan yang amat tenang, kakek ini menoleh lalu menatap wajah Ang-bin Sin-kai untuk beberapa lama, tidak segera menegur karena ia amat teliti dan tidak mau sembarangan membuka suara sebelum mengenal dan yakin betul siapa adanya orang yang dihadapinya.

“Eh, kiranya Ang-bin Sin-kai yang menyusul pinto,” terdengar kakek itu berkata dan suaranya pun tenang dan perlahan sesuai dengan keadaan jasmaninya. “Bagaimana kau yang berasal jauh dari timur bisa sampai di ujung barat ?”

Ang-bin Sin-kai maju dan memberi hormat dengan sikap sopan sekali. Kwan Cu merasa heran melihat sikap gurunya ini. Biasanya Ang-bin Sin-kai adalah orang yang sama sekali tidak mau memperdulikan tentang sikap dan sopan santun. Akan tetapi terhadap kakek yang nampaknya lemah sekali ini, gurunya bersikap amat sopan. Ia tidak tahu bahwa sebenarnya Ang-bin Sin-kai menganggap kakek ini sebagai orang yang lebih tinggi tingkatnya dari dirinya sendiri, maka ia memberi hormat dengan sikap sopan.

Memang, sesungguhnya kakek ini sudah amat tua dan pada waktu Ang-bin Sin-kai anak-anak, kakek ini telah menjadi seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Tidak saja ilmu silatnya yang tinggi, juga dia terkenal sebagai seorang pendeta yang berpribudi tinggi sehingga namanya terkenal di seluruh dunia.

Sudah menjadi lajim di jaman itu, ahli-ahli silat datang dari atas gunung atau tempat-tempat sunyi, atau lebih tepat lagi, di puncak-puncak gunung yang sunyi paling di suka oleh ahli-ahli silat dimana mereka tinggal. Hal ini sudah sewajarnya, karena pada masa itu, ilmu-ilmu silat yang tinggi dimiliki oleh ahli tapa dan pendeta suci.

Ilmu silat yang tinggi memang tidak boleh dipisahkan dengan ilmu batin, maka tentu saja para pendeta yang mempelajari ilmu batin dan memiliki tenaga batin yang kuat dan suci dapat menciptakan ilmu silat yang tinggi. Dan para pendeta ini memang paling suka bertempat tinggal di puncak gunung-gunung yang sunyi untuk bertapa. Di samping ini, mereka tidak mempunyai pekerjaan sehingga dalam mempelajari ilmu silat, mereka amat tekun dan rajin sehingga memperoleh kemajuan luar biasa.

Seperti juga gunung-gunung besar lainnya, pegunungan Kun-lun-san menjadi perhatian para pertapa dan banyak sekali di puncak-puncak yang tinggi itu bersembunyi orang-orang yang memiliki kepandaian lihai. Di antaranya, puncak yang tertinggi dijadikan tempat tinggal oleh Seng Thian Siansu.

Beberapa tahun kemudian, menyusul tiga orang saudara seperguruannya, yakni Seng Te Siansu, Seng Jin Siansu dan Seng Giok Siansu atau yang disebut Kun-lun Sam-lojin (Tiga Kakek dari Kun-lun-san).

Seng Thian Siansu telah amat tua dan memang kalau di bandingkan, usianya berbeda jauh sekali dengan sute-sutenya, ada lima puluh tahun selisihnya! Bersama sute-sutenya, Seng Thian Siansu lalu membentuk partai yang disebut Kun-lun-pai dan mereka telah banyak menerima murid-murid yang berbakat baik sehingga beberapa belas tahun kemudian, nama Kun-lun-pai meningkat dan mengharum oleh perbuatan-perbuatan murid-murid mereka yang gagah perkasa dan budiman.

Setelah Seng Thian Siansu merasa dirinya terlalu tua, sudah seratus dua puluh tahun usianya, dia mencuci tangan dan Kun-lun-pai lalu dipegang oleh tiga orang sutenya yang terkenal kemudian dengan sebutan Kun-lun Sam-lojin itu. Semenjak itu, Seng Thian Siansu hanya bertapa saja di dalam gua, sama sekali tidak mau mencampuri urusan dunia lagi.

Mengapa kini kakek yang sudah tua dan lemah sekali ini memaksa diri keluar dari gua dan bertemu dengan Ang-bin Sin-kai? Marilah kita dengarkan percakapannya dengan Ang-bin Sin-kai.

“Benar ucapanmu, Locianpwe. Teecu adalah Lu Sin dan sesungguhnya teecu lewat di Kun-lun-san karena hendak menuju ke Tibet. Akan tetapi, sungguh teecu merasa heran sekali melihat Locianpwe berada di sini dalam keadaan hawa sedingin ini. Hendak kemanakah Locianpwe, kalau kiranya teecu boleh bertanya?”

Seng Thian Siansu tersenyum dan kembali Kwan Cu terheran. Bukan hanya matanya yang masih nampak “muda,” bahkan gigi kakek ini masih lengkap dan putih rapi!

“Ang-bin Sin-kai, kau ternyata masih belum melupakan sifat-sifatmu yang baik! Memang sudah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa agaknya, maka hari ini pinto terpaksa meninggalkan tempat pertapaan dan nasibkulah yang buruk, tua-tua terpaksa membereskan urusan penasaran.”

“Ah, Locianpwe, urusan apakah gerangan yang memaksa Locianpwe harus turun tangan sendiri? Kalau sekiranya teecu boleh membatu, harap Locianpwe beritahukan kepada teecu, tentu teecu bersedia membantu sekuat tenaga.”

Kembali kakek itu tersenyum .
“Kau masih tetap gagah! Terima kasih, Ang-bin Sin-kai. Mari kita duduk di sana nanti kuceritakan apa yang telah mengeruhkan suasana Kun-lun-san yang sunyi bersih ini.”

Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu mengikuti kakek itu yang duduk di atas batu hitam yang bertumpuk di sebelah kiri lereng itu. Setelah duduk dan menaruh tongkatnya di sebelahnya, mulailah Seng Thian Siansu bercerita.

Kurang lebih setahun yang lalu, di Pegunungan Kun-lun-san datanglah lima orang aneh yang berkepandaian tinggi. Mereka menyebut diri sebagai Ngo-eng Kiam-hiap (Pendekar-pendekar Pedang Lima Garuda) dan setelah memilih puncak yang berada di sebelah kanan puncak dimana Seng Thian Siansu mendirikan Kun-lun-pai, mereka lalu menambah sebutan menjadi Kun-lun Ngo-eng (Lima Garuda dari Kun-lun-san)!

Hal ini tidak dapat menggoncangkan hati dan pikiran Kun-lun-pai yang selalu mengutamakan kebenaran dan perdamaian. Akan tetapi, pihak Kun-lun Ngo-eng ternyata bukanlah orang-orang yang suka hidup tenteram dan mereka ini tidak puas bahwa di situ ada puncak yang menjadi pusat dari partai Kun-lun-pai yang terkenal.

Beberapa kali mereka sengaja melanggar wilayah atau daerah puncak Kun-lun-san yang didiami oleh Kun-lun-pai, bahkan pernah ada seorang anak murid Kun-lun-pai yang sedang turun gunung, mereka hina dan pukul. Akan tetapi, tetap saja Kun-lun Sam-lojin berlaku sabar dan menekan marah, karena mereka tidak mau cekcok dengan “tetangga”! Agaknya dari fihak Kun-lun Ngo-eng juga tidak berani gegabah terhadap Kun-lun-pai, maka setelah didiamkan saja, akhirnya mereka juga tinggal diam, tidak melanjutkan kekurangajaran mereka terhadap Kun-lun-pai.






Tidak ada komentar :