*

*

Ads

Senin, 07 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 070

Akan tetapi, diam-diam Kun-lun Sam-lojin merasa mendongkol dan marah sekali ketika mendengar laporan dari para anak murid Kun-lun-pai bahwa “tetangga” mereka itu sesungguhnya bukanlah orang baik-baik. Bahkan ada beberapa orang anak murid yang melihat dengan mata sendiri betapa lima orang aneh yang usianya telah tua-tua itu pernah menculik orang-orang muda, laki-laki dan perempuan, ke atas puncak!

Kun-lun Sam-lojin, yakni Seng Te Siansu, Seng Jin Siansu dan Seng Giok Siansu, hampir tak dapat menahan kemarahan hati mereka dan siap untuk menyerbu. Akan tetapi, ketika Seng Thian Siansu mendengar akan maksud tiga orang sutenya ini, dia cepat mencegah mereka. Tiga orang tua dari Kun-lun-san ini memang amat taat kepada Seng Thian Siansu yang bukan saja menjadi suheng mereka, bahkan boleh di bilang menjadi wakil guru mereka, maka mereka menahan sabar dan mencoba untuk melupakan hal Kun-lun Ngo-eng itu.

Akan tetapi, beberapa hari yang lalu terjadi sesuatu yang menggoncangkan Pegunungan Kun-lun-san. Hal ini terjadi setelah Hek-eng Sianjin, orang termuda dari Kun-lun Ngo-eng, menculik seorang gadis dari dusun yang menjadi tempat tinggal suku bangsa Hui, seorang gadis cantik jelita yang menjadi kembang dusun itu, bahkan ia adalah puteri dari kepala suku bangsa itu.

Tentu saja suku bangsa Hui yang jumlahnya lebih tiga puluh keluarga itu menjadi marah sekali. Mereka mengumpulkan orang-orang lelaki dan empat puluh orang lebih laki-laki tua muda membawa senjata menyerbu ke puncak gunung yang ditinggali Kun-lun Ngo-eng.

Akan tetapi, mana bisa mereka menang? Hek-eng Sianjin seorang diri keluar dan begitu pendeta berjubah hitam ini mainkan pedangnya yang lihai, belasan orang roboh dan tewas, sedangkan yang lain-lain lalu melarikan diri.

Tangis riuh-rendah di dalam dusun orang-orang Hui ini menarik perhatian seorang kakek pendek kecil yang kebetulan lewat di dusun itu bersama dua orang anak laki-laki. Kakek ini bukan lain adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai bersama Gouw Swi Kiat dan The Kun Beng murid-muridnya!

“Eh, ada apakah ribut-ribut ini?” tanyanya pada orang Hui itu.

Kepala suku bangsa Hui segera maju dan berlutut kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Ia dapat melihat, bahwa yang datang adalah seorang kakek yang luar biasa dan tentu memiliki kepandaian tinggi.

“Lo-enghiong, kami sekeluarga Hui tertimpa malapetaka hebat……! Anakku perempuan diculik oleh saikong siluman dari puncak Kun-lun-san, dan ketika aku dan saudara-saudaraku menyerbu ke sana untuk menolong, belasan orang saudaraku bahkan tewas oleh saikong siluman……”

Siangkoan Hai mengerutkan keningnya dan memandang tak percaya.
“Aneh, siapa orangnya berani berbuat jahat disini? Bukankah puncak sebelah barat itu pusat dari Kun-lun-pai yang tersohor? Mengapa kau tidak minta tolong kesana?”

“Sudah, Lo-enghiong. Kami sudah menghadap Kun-lun Sam-lojin, akan tetapi mereka tidak mau turun gunung menolong…….”

Siangkoan Hai membelalakkan matanya.
“Aneh, aneh! Mengapa begitu?”

“Suhu, lebih baik kita menolong dulu nona yang diculik itu!” kata The Kun Beng tidak sabar.

“Memang kita harus lekas menolong, hendak kulihat siapakah orangnya yang berani berlaku jahat seperti itu. Baru kemudian aku hendak menegur Kun-lun Sam-lojin mengapa tidak mau menolong mereka ini.” Siangkoan Hai lalu berkata pada orang-orang itu. “Hayo bawa kami ke tempat saikong siluman itu!”

Demikianlah, beramai-ramai orang-orang Hui itu mengantar Siangkoan Hai dan dua orang muridnya menuju ke puncak tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Di atas puncak itu terdapat sebuah bangunan besar yang terkurung pagar tembok.

Orang-orang Hui yang pernah dihajar oleh Hek-eng Sianjin, tidak berani datang dekat dan hanya menanti dari jauh. Mereka melihat betapa kakek yang pendek kecil ini berjalan menuju ke pintu gerbang, diikuti oleh dua orang muridnya yang berjalan dengan gagahnya.

Ketika mereka sudah tiba di dekat pintu, Siangkoan Hai dan dua orang muridnya merasa heran karena ternyata bahwa pintu gerbang itu terjaga oleh tiga orang pemuda dan dua orang gadis yang kesemuanya berwajah elok. Usia mereka antara tujuh belas sampai dua puluh tahun, pakaian mereka mewah sekali.






“Orang-orang muda, beritahukan kepada Kun-lun Ngo-eng bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai telah datang minta bertemu!” kata kakek tokoh besar utara itu kepada para penjaga remaja tadi. Lima orang muda itu lalu berlari masuk setelah menutup pintu gerbang rapat-rapat!

Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa bergelak.
“Kun-lun Ngo-heng! Apakah pintumu terbuka untuk angin dan setan yang tak nampak, akan tetapi tertutup bagi tamu manusia? Kalau kalian melarang aku masuk, keluarlah menemuiku di luar. Aku Pak-lo-sian Siangkoan Hai perlu sekali bicara dengan kalian!”

Tiba-tiba di atas tembok yang mengurung bangunan itu, tersembullah lima buah bendera yang berwarna putih, kuning, hijau, merah dan hitam! Bendera-bendera ini berkibar tertiup angin gunung, merupakan pemandangan yang indah beraneka warna. Kemudian, terdengar suara dari balik tembok itu.

“Kami tidak kenal Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan tidak mempunyai urusan dengan dia! Orang tua pendek kecil harap jangan mencari penyakit dan lekas pergi dari sini!”

Tiba-tiba lima buah bendera yang berkibar di atas tembok itu, berubah arah kibarnya, yaitu kalau tadi berkibar ke kanan, sekarang berkibar ke kiri, padahal angin masih jelas terasa berkibar ke kanan!

Siangkoan Hai maklum bahwa orang-orang di bawah tembok telah memperlihatkan kepandaiannya. Ia tahu bahwa bendera itu berkibar karena tertiup oleh orang yang memiliki tenaga khikang yang tinggi sekali. Agaknya Kun-lun Ngo-eng hendak menggertaknya dan mendemonstrasikan kepandaian agar dia menjadi ketakutan dan pergi.

Kembali Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa bergelak dan setelah melihat ke kanan kiri, kakek pendek ini lalu menghampiri sebatang pohon yang tinggi dan sekali dia mengerahkan tenaga, pohon itu telah tercabut akarnya dari tanah! Ia lalu menghampiri tembok bangunan itu dan melemparkan pohon tadi ke atas. Pohon itu melayang dan tepat berdiri di atas tembok di dekat bendera-bendera itu dan tentu saja pohon itu jauh lebih tinggi daripada bendera-bendera tadi.

“Ha-ha-ha! Kun-lun Ngo-eng. Jangan dikira bahwa bendera-benderamu itu paling tinggi di dunia ini!”

Perbuatan Siangkoan Hai ini menimbulkan kegemparan di sebelah dalam bangunan, karena terdengar seruan-seruan memuji dengan kagum. Siangkoan Hai dan dua orang muridnya mendengar bahwa yang memuji itu adalah suara-suara banyak orang-orang muda, bahkan ada yang suaranya menyatakan masih suara anak-anak.

Lalu terdengar suara wanita yang merdu dan nyaring.
“Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Tak perlu memamerkan kepandaian seperti anak kecil! Kalau bisa, masuklah saja, tembok kami tidak terlalu tinggi kiranya!” inilah suara Jeng-eng Mo-li, orang ketiga dari Kun-lun Ngo-eng.

Siangkoan Hai tertawa bergelak mendengar ini, kemudian berbisik kepada Kun Beng dan Swi Kiat kedua orang muridnya.

“Kalau sampai murid-murid mereka menyerang, kalian layani mereka akan tetapi jangan sampai membunuh orang.”

Kun Beng dan Swi Kiat mengangguk, mereka mengerti akan kehendak suhunya ini. Kemudian, dua orang anak muda ini lalu ikut suhu mereka melompat ke atas tembok. Dari atas tembok ini mereka memandang ke bawah dan terlihatlah lima orang aneh dan belasan orang anak-anak muda yang elok-elok.

Lima orang ini terdiri dari tiga orang kakek dan dua orang wanita. Usia mereka antara empat puluh sampai lima puluh tahun, akan tetapi mereka masih nampak muda. Apalagi dua orang wanita, biarpun dari muka mereka mudah dilihat bahwa mereka telah setengah tua, namun muka itu masih dibedaki tebal dan di beri pemerah bibir dan pipi.

Pakaian mereka juga aneh sekali, karena seorang berpakaian warna putih, kedua berpakaian kuning, lalu hijau, merah dan hitam! Untuk lebih mengenal mereka, marilah kita memperhatikan seorang demi seorang.

Orang pertama yang berpakaian putih adalah kakek Pek-eng Sianjin atau orang tertua dari Kun-lun Ngo-eng. Pek-eng Sianjin memang usianya paling tua, rambutnya telah bercampur uban, pakaiannya dan juga gelung rambutnya menandakan bahwa dia adalah seorang tosu. Pedangnya menempel di punggung dan tubuhnya yang jangkung kurus membuat dia nampak gesit. Orang tertua inilah yang disebut Pek-eng atau Garuda Putih!

Orang kedua adalah seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Inilah Ui-eng Suthai atau Garuda Kuning, pakaiannya juga berwarna kuning seluruhnya. Akan tetapi bentuk pakaiannya sama dengan Pek-eng Sianjin, yakni potongan pakaian yang biasa di pakai oleh pendeta atau tokouw.

Biarpun pakaiannya seperti pertapa wanita, namun bedak dan pemerah pipi dan bibirnya menonjolkan sifat-sifat aslinya. Tak dapat disangkal bahwa sewaktu mudanya, Ui-eng Suthai ini tentulah seorang wanita yang amat cantik. Mudah dilihat dari bentuk mata, hidung dan mulutnya.

Biarpun sekarang telah ada gurat-gurat usia tua pada pinggir mata dan mulut, namun dia masih tetap mempunyai penarik sebagai seorang wanita. Juga seperti suhengnya, dia memakai pedang di punggung, hanya bedanya, gagang pedangnya memakai ronce-ronce benang emas warna kuning, sedangkan gagang pedang Pek-eng Sianjin memakai ronce-ronce benang sutera putih.

Orang ke tiga juga seorang wanita, berpakaian hijau seluruhnya. Usianya lebih muda beberapa tahun dari Ui-eng Suthai, akan tetapi orang ketiga ini nampak jauh lebih muda. Namanya Jeng-eng Mo-li (Iblis Wanita Garuda Hijau) dan melihat potongan tubuhnya yang langsing, air mukanya yang ramah berseri, mulutnya yang selalu tersenyum, mudah diduga bahwa dia adalah seorang perempuan yang berwatak gembira.

Akan tetapi, kalau orang melihat sepasang matanya yang liar mengerling penuh nafsu, akan dapatlah dilihat iblis yang tersembunyi di dalam tubuh lincah ini. Dandanannya jauh lebih “aksi” daripada sucinya yang karena potongan pakaiannya bukan potongan pakaian pendeta wanita, maka kelihatan lebih menarik dan ketat mencetak tubuhnya yang memang baik bentuknya.

Rambutnya disanggul seperti dara-dara muda dan pedangnya yang beronce hijau tergantung di pinggang kirinya. Biarpun bentuk air muka Jeng-eng Mo-li tidak sebaik muka Ui-eng Suthai, namun karena Jeng-eng Mo-li lincah, genit dan gembira, maka boleh dibilang dia lebih menarik daripada sucinya. Iblis Wanita Garuda Hijau inilah yang tadi mengeluarkan suaranya menantang Pak-lo-sian Siangkoan Hai memasuki tempat tinggal mereka.

Orang keempat bernama Ang-eng Sianjin yang berpakaian pendeta tosu, berwarna merah seluruhnya, usianya sebaya dengan Jeng-eng Mo-li. Demikian pun orang ke lima yang bernama Hek-eng Sianjin bertubuh gemuk dengan perut besar seperti perut arca penjaga dapur, adalah Hek-eng Sianjin bertubuh tinggi besar, tubuh seorang gagah yang bertenaga kuat.

Keduanya juga memakai pedang pada punggungnya. Maka ketahuanlah sekarang bahwa Kun-lun Ngo-eng terdiri dari tiga orang tosu, seorang tokouw dan seorang perempuan genit. Mereka ini kelima-limanya adalah ahli-ahli ilmu pedang dari satu cabang perguruan dan kelimanya adalah ahli Ilmu Pedang Sin-eng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Sakti).

“He, he, he seperti anak wayang saja!” seru Pak-lo-sian Siangkoan Hai melihat lima orang yang pakaiannya aneh itu. “Apakah kalian hendak main sandiwara Ngo-koai-jio-kaw-kut (Lima Setan memperebutkan Tulang Anjing)??”

Sudah tentu saja tidak ada cerita yang berjudul seperti itu dan ucapan ini dikeluarkan oleh Singkoan Hai hanya untuk mengejek mereka saja, sebagai pembalasan atas sikap mereka yang sombong. Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkenal seorang kakek gagah yang berwatak sombong dan tidak mau kalah, maka ketika dia melihat sikap mereka ini, semenjak tadi darahnya telah naik ke kepalanya!

Adapun orang yang paling galak di antara Kun-lun Ngo-eng, adalah Ui-eng Suthai, pertapa wanita berpakaian kuning itu. Mendengar ejekan Pak-lo-sian Siangkoan Hai, mukanya menjadi merah dan sekali tangan kirinya bergerak, tersebarlah jarum-jarum rahasia tujuh belas batang banyaknya, menyambar ke arah Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya!

Jarum rahasia yang dilepas oleh Ui-eng Suthai bukanlah senjata rahasia biasa saja. Jarum-jarum ini disebut Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa) dan amat halus dan kecilnya sehingga apabila jarum-jarum ini mengenai sasaran, dapat menyusup ke dalam kulit daging dan kemudian masuk ke dalam jalan darah dan terbawa oleh darah!

Dalam hal penggunaan jarum-jarum ini, tenaga lweekang yang tinggi harus dimiliki oleh orang yang melontarkannya dan melihat betapa sekali lempar dapat menyerang lawan dengan tujuh belas batang jarum, dapat dinilai betapa hebatnya tenaga lweekang dari Ui-eng Suthai!






Tidak ada komentar :