*

*

Ads

Senin, 07 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 068

“Jadi Kwan Cu yang bernyanyi tadi?”

Sui Ceng berkata dan wajahnya tiba-tiba berubah girang bukan main. Cepat anak ini melompat keluar dan melayang ke atas genteng untuk melihat.

“Bodoh, mereka telah pergi!” kata Kiu-bwe Coa-li.

Hal ini memang benar, karena ketika Sui Ceng tiba di atas genteng, di atas sunyi tak nampak bayangan seorang manusia pun. Gadis cilik itu turun kembali dan melihat wajahnya nampak girang,

Lu Thong manjadi iri hati dan cemburu. Ia tidak tahu bahwa Sui Ceng merasa girang bukan main mendengar suara Kwan Cu, karena itu hanya berarti bahwa Kwan Cu telah berhasil menyelamatkan diri dari bahaya maut di tangan Toat-beng Hui-houw yang menyeramkan! Lu Thong mengira bahwa Sui Ceng suka kepada Kwan Cu, maka dia berkata,

“Ah, pengemis kecil gundul itukah? Sayang, kalau dia tidak pergi, akan kuberi kesempatan untuk dia menebus kesalahannya dariku dahulu.”

“Sombong! Orang macam kau akan mengalahkan dia?” bentak Sui Ceng, biarpun ia mengerti bahwa Lu Thong memang lebih pandai daripada Kwan Cu, namun ia tidak senang mendengar Kwan Cu dihina.

Adapun Kiu-bwe Coa-li, setelah mendengar nyanyian Kwan Cu tadi, timbul keraguan dalam hatinya. Siapa tahu kalau ia telah ditipu oleh bocah gundul itu dan sengaja di adukan dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu? Maka ia lalu bertanya dengan suara bersungguh-sungguh.

“Jeng-kin-jiu, benar-benarkah pinni telah salah sangka dan telah berlaku sembrono?”

Hwesio itu melebarkan matanya dan tertawa.
“Bukan hanya sembrono, malahan tadi kukira kau telah kemasukan iblis laut selatan! Pinceng bukan kutu buku, mana pinceng menyimpan kitab-kitab? Kalau kitab suci pelajaran Nabi Buddha, tentu saja dan kalau kau masih ingin memperdalam pengetahuanmu dalam pelajaran itu, boleh kau pinjam dari pinceng dengan cuma-cuma tanpa bayar!”

Mendengar ini, Kiu-bwe Coa-li menjadi merah mukanya.
“Kalau begitu, maafkan pinni, Jeng-kin-jiu. Memang benar pinni telah tertipu oleh anak setan itu. Sui Ceng, hayo kita pergi!” kata Kiu-bwe Coa-li kepada muridnya.

Lu Thong buru-buru berkata pada Sui Ceng.
“Nona yang baik, biarpun gurumu minta maaf kepada guruku, namun aku hendak minta maaf kepadamu bahwa tadi aku telah berani bertempur melawanmu, harap kau tidak berkecil hati dan kita dapat menjadi sahabat baik.”

“Cih, tak tahu malu!” jawab Sui Ceng yang segera melompat menyusul gurunya yang sudah pergi lebih dulu.

Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak.
“Lu Thong, kau suka kepada anak itu?” tanyanya.

Tentu saja Lu Thong tidak berani menjawab dan mukanya menjadi merah karena malunya. Sementara itu, ayahnya datang menghampiri mereka dan bertanya dengan muka kurang senang.

“Siapakah mereka tadi dan mengapa kalian bertempur disini?” matanya tajam memandang anaknya seperti hendak menyatakan betapa tidak baiknya hidup sebagai ahli silat yang biasanya hanya bertempur dan membunuh orang.






“Ayah, mereka itu adalah orang-orang gagah. Nenek tadi adalah Kiu-bwe Coa-li yang sudah tersohor sebagai ahli silat selatan yang berilmu tinggi. Kalau bukan Suhu yang menghadapinya, orang lain tentu akan tewas dalam beberapa jurus saja diserang olehnya.”

Lu Thong mengucapkan kata-kata ini dengan muka girang dan penuh kegembiraan, seakan-akan dia tadi bukan berkelahi mati-matian, melainkan menari dalam sebuah pesta dan bertemu dengan seorang anak perempuan yang manis.

Lu Seng Hok ayahnya hanya menggeleng-gelengkan kepala saja dan menarik napas. Akan tetapi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak lalu tubuhnya “menggelundung” ke kamarnya di sebelah belakang, dimana dia terus melempar tubuhnya yang bundar keatas pembaringan dan sebentar saja terdengar dia mendengkur seperti kerbau.

Ketika melihat kesempatan baik ini, Lu Seng Hok dan isterinya membujuk-bujuk kepada Lu thong agar anak ini, biarpun menjadi murid Jeng-kin-jiu dan belajar ilmu silat kepadanya, namun jangan mencampuri urusan pertempuran hwesio gundul itu.

“Akan tetapi, ingatlah. Kau seorang anak dari keluarga berpangkat dan bangsawan, bagaimana kau bercampur gaul dengan segala orang kang-ouw yang kotor dan jahat? Apakah kelak kau akan mencemarkan nama nenek moyangmu?”

“Ayah, bukankah Ang-bin Sin-kai itu juga keluarga kita?”

“Bodoh, kau mau meniru yang buruk? Coba kau lihat, alangkah jauhnya perbedaan antara Ang-bin Sin-kai dan Kong-kongmu Lu Pin!”

“Ang-bin Sin-kai lebih terkenal!” bantah Lu Thong.

“Bukan terkenal kebaikan dan kebesarannya, melainkan tersohor karena jahatnya dan kurang ajarnya. Ah, Lu Thong, jangan kau mengecewakan hati orang tuamu……”

Melihat ayahnya sudah mulai marah dan ibunya meruntuhkan air mata, Lu Thong menutup mulutnya dan menundukkan kepala. Akan tetapi di dalam hati, anak ini mentertawakan orang tuanya. Dan pada malam harinya, ketika Lu Thong telah tidur, tiba-tiba dia merasa tubuhnya di goyangkan orang dan ketika dia membuka matanya, ternyata suhunya telah berdiri di luar jendelanya yang terbuka sambil melambaikan tangan, memberi isyarat kepadanya supaya ikut keluar! Lu Thong tidak sangsi lagi, lalu melompat keluar dari kamarnya.

“Kita pergi sekarang juga!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. “Tak usah membawa bekal atau pakaian.”

Melihat kesungguhan muka gurunya yang biasanya tersenyum-senyum dan lucu, Lu Thong agak tertegun.

“Baiklah, Suhu. Akan tetapi, mengapa berangkat malam-malam? Ada keperluan amat pentingkah?”

“Kiu-bwe Coa-li telah datang dan menyerangku mati-matian, tentu kitab yang dicarinya itu amat penting. Juga Ang-bin Sin-kai berkeliaran, itu berarti di dunia luar ini terjadi sesuatu yang patut diperhatikan. Apakah kau kira aku suka terbenam di dalam gedung ini saja?”

Maka berangkatlah guru dan murid ini malam-malam, meninggalkan gedung keluarga Lu, tanpa memberi tahu atau berpamit kepada Lu seng Hok dan isterinya yang tentu saja menjadi gelisah setengah mati pada keesokan harinya.

**** 068 ****





Tidak ada komentar :