*

*

Ads

Senin, 07 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 067

Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu baru saja datang dari perantauannya bersama muridnya, Lu Thong. Ayah Lu Thong, yakni Lu Seng Hok dan isterinya, girang sekali melihat putra mereka kembali dengan selamat.

Sebenarnya, Lu Seng Hok dan isterinya tidak suka melihat putra mereka diajak merantau oleh hwesio itu, karena tentu saja mereka merasa khawatir kalau-kalau putra tunggal mereka itu takkan pulang kembali.

Dengan sikap hormat dan tidak memperlihatkan ketidak senangan hatinya, Lu Seng Hok berkata kepada Jeng-kin-jiu yang tengah makan minum dengan gembira.

“Twa-suhu, kami harap sukalah kiranya Twa-suhu melatih ilmu silat kepada Thong-ji disini saja dan tidak membawanya keluar kota, karena kami selalu merasa gelisah dan khawatir. Segala keperluan untuk latihan itu, Twa-suhu katakan saja dan kami akan sediakan semua.”

Mendengar ini, Kak Thong Taisu tertawa bergelak, lalu minum araknya dari cawan besar sebelum dia menjawab.

“Lu-taijin tidak tahu bahwa ilmu silat baru bisa sempurna kalau latihan-latihan itu disertai pengalaman pertempuran. Apa gunanya memiliki ilmu silat tanpa ada pengalaman-pengalaman pertempuran menghadapi orang-orang pandai? Ilmu silat itu akan mentah, tidak berisi.”

“Betapapun juga, Twa-suhu, kami berdua lebih-lebih ibu anak itu merasa amat gelisah dan rindu kalau terlalu lama Twa-suhu dan Thong-ji tidak pulang.”

Lu Thong yang hadir pula disitu, lalu berdiri dari bangkunya dan mengerutkan kening sambil berkata manja,

“Ayah…. mengapa ayah melarangku pergi dengan Suhu! Kalau Suhu pergi merantau, aku harus ikut serta! Ayah tidak tahu betapa senangnya merantau di luar, di dunia bebas, tidak seperti di sini terkurung dan sempit sekali!”

“Ha-ha-ha!” Jeng-kin-jiu tertawa bergelak, “Memang enak menjadi seperti burung di udara daripada terkurung dalam sangkar emas!”

“Thong-ji!” Lu Seng Hok membentak anaknya. “Apakah kau sudah tak mau menurut omongan ayahmu lagi? Untuk mencapai kedudukan tinggi tidak hanya belajar silat, akan tetapi kau harus belajar ilmu surat dengan baik!”

Dengan uring-uringan ayah ini lalu meninggalkan ruangan itu setelah memberi hormat kepada Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang hanya tertawa saja. Setelah Lu Seng Hok pergi, Jeng-kin-jiu berkata dengan suara bersunguh-sungguh kepada muridnya,

“Lu Thong, ucapan ayahmu tadi ada benarnya. Lihatlah aku ini, selamanya menjadi seorang perantau yang tidak mempunyai rumah tangga yang baik. Bahkan menjadi hwesio pun tidak mempunyai kelenteng untuk tempat tinggal. Kau keturunan orang besar dan kalau kelak tidak menduduki pangkat tinggi, tentu akan mengecewakan hati leluhurmu.”

“Akan tetapi teecu lebih senang belajar ilmu silat daripada ilmu surat, Suhu. Teecu ingin mempunyai kepandaian silat yang paling tinggi!” bantah Lu Thong.

Jeng-kin-jiu tertawa.
“Enak saja kau bicara. Kau kira belajar ilmu silat itu ada batas tingginya sampai mencapai tingkat tertinggi? Tak mungkin. Gunung Thai-san yang begitu tinggi masih ada langit di atasnya, apalagi kepandaian orang. Kecuali kalau kau bisa mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng….”

Lu Thong tertarik sekali, akan tetapi sebelum dia mengajukan pertanyaan, tiba-tiba terdengar bentakan halus,

“Tua bangka gundul, lekas kau serahkan kitab sejarah peninggalan Gui-siucai kepadaku!”

Bentakan ini disusul melayangnya tubuh Kiu-bwe Coa-li bersama Sui Ceng yang memasuki ruangan itu. Sikap Kiu-bwe Coa-li mengancam sekali, di tangannya telah siap cambuknya yang lihai sehingga Jeng-kin-jiu menjadi terkejut dan tidak berani berlaku sembrono. Ia melompat bangun sambil menyambar toyanya yang tadi disandarkan di tembok dekat tempat duduknya.

“Kiu-bwe Coa-li, kau setan betina dari selatan! Kau datang-datang bicara mengacau tidak karuan, apakah aku kelihatan seperti seekor cacing buku maka kau bilang aku menyimpan kitab sejarah? Lebih baik simpan cambukmu yang menjijikkan itu dan mari kita minum arak wangi!”






“Gundul busuk! Siapa sudi minum arakmu yang masam? Tak usah berpura-pura suci dan pinni tidak ada banyak waktu untuk mengobrol. Kau telah mencuri kitab sejarah peninggalan Gui Tin di dalam guanya di lereng Liang-san. Sekarang lebih baik lekas kau serahkan kitab itu kepada pinni kalau kau tidak ingin kepalamu yang gundul itu retak-retak oleh cambukku!”

Naik ke ubun-ubun darah Jeng-kin-jiu mendengar ucapan ini saking marahnya. Sepasang matanya yang bundar itu melotot hampir keluar dari ruangnya. Hidung dan bibirnya gerak-gerak seperti bibir kuda mencium asap.

“Kau…… kau….. benar-benar kurang ajar sekali, Kiu-bwe Coa-li! Kau tidak ingat bahwa kita sama-sama dari selatan? Apa kau mau merendahkan jago-jago selatan?”

“Tutup mulutmu dan serahkan kitab itu!” kata Kiu-bwe Coa-li yang memang wataknya keras luar biasa.

“Ayaaa….” Jeng-kin-jiu menggeleng kepalanya yang bundar, “kau benar-benar telah kemasukan iblis-iblis dari laut selatan! Pinceng tidak membawa kitab itu, juga andaikata ada, tak mungkin kuserahkan kepadamu!”

Pada saat itu, Lu Thong yang sejak tadi memandang kepada Kiu-bwe Coa-li dengan mata terbelalak dan perasaan mendongkol berkata,

“Suhu, inikah Kiu-bwe Coa-li yang seringklai Suhu sohorkan? Kalau hanya seperti ini, mengapa banyak tanya-tanya lagi, Suhu? Orang sombong biasanya rendah kepandaiannya!”

Sui Ceng marah sekali dan melompat ke depan Lu Thong lalu menampar pipi Lu thong. Karena pakaian Lu Thong seperti anak bangsawan dan terpelajar, maka Sui Ceng mengira bahwa anak ini tidak pandai ilmu silat, akan tetapi siapa kira bahwa sekali menggerakkan kepalanya saja, Lu Thong telah dapat mengelak dari serangannya!

“Bangsat mewah, kau patut diberi hajaran!”

Setelah berkata demikian, Sui Ceng melompat dan menerjang Lu Thong yang segera menyambutnya gembira. Memang Lu Thong amat suka menghadapi lawan tangguh kini bertempur melawan murid Kiu-bwe Coa-li, sungguh merupakan ujian yang baik sekali baginya.

Jeng-kin-jiu memandang kepada dua orang anak yang sudah bertanding itu lalu tertawa bergelak-gelak.

“Kiu-bwe Coa-li, kau tunggu apa lagi? Lekaslah turun tangan atau lekas minggat saja dari sini!” sambil berkata demikian, toyanya digerakkan dan meja bangku yang membuat ruangan itu menjadi sempit, beterbangan ke kanan kiri.

Baru sambaran angin toyanya saja sudah dapat membuat meja bangku terlempar jauh, dapat diduga betapa besarnya tenaga gwakang hwesio gendut ini.

“Jeng-kin-jiu, mampuslah kau hari ini!”

Kiubwe Coa-li menggerakkan cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu memenuhi ruangan dan menyambar ke arah Jeng-kin-jiu dari segala jurusan! Kakek gundul ini melompat menjauhi lawannya karena dia anggap tidak baik bertempur di dekat tempat dua orang anak itu bertanding.

Maka pertempuran terpecah di dua tempat dan begitu Jeng-kin-jiu memutar toyanya, angin dingin menyambar-nyambar dan selalu dapat menahan datangnya ujung cambuk yang sembilan ekornya itu. Namun sebaliknya, toyanya juga tidak diberi kesempatan menyerang, karena gerakan sembilan ekor cambuk itu benar-benar cepat sekali dan datang secara bertubi-tubi.

Adapun Lu Thong yang bertanding dengan Sui Ceng, merasa kagum sekali. Sui Ceng memang anak yang memiliki kelincahan dan kecepatan gerakan tubuh dari pembawaanya, kemudian dilatih oleh Kiu-bwe Coa-li, maka luar biasa sekali ginkang dari anak perempuan ini. Tubuhnya berkelebatan menyambar-nyambar laksana seekor tawon yang licah sekali.

Namun Lu Thong juga memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Biarpun matanya agak kabur karena kecepatan gerakan Sui Ceng, namun dia selalu dapat mengelak atau menangkis serangan gadis cilik itu.

Tadi ketika melihat Sui Ceng dan mendengar gadis cilik ini bicara, diam-diam Lu Thong merasa kagum dan sayang. Hatinya yang sudah mulai dewasa itu tertarik oleh Sui Ceng bagaikan sebatang jarum tertarik oleh besi sembrani. Ia menganggap Sui Ceng demikian lincah, lucu dan manis, apalagi setelah kini dia menyaksikan kelihaian Sui Ceng, benar-benar Lu Thong suka sekali pada gadis ini. Oleh karena itu, dia tidak mau membalas serangan Sui Ceng dengan hebat dan hanya menangkis dan membalas sekedar untuk menjaga jangan sampai dia terdesak hebat saja.

Karena sesungguhnya, biarpun kepandaian mereka seimbang atau bahkan boleh dibilang Sui Ceng menang cepat, namun tenaga Lu Thong besar dan kini pemuda cilik ini telah pandai sekali mainkan Ilmu Silat Kong-jiu-toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa), ilmu silat yang diwarisi dari Ang-bin Sin-kai melalui gurunya sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini.

Oleh karena itu, pertempuran antara Sui Ceng dan Lu Thong juga ramai sekali dan seimbang. Seperti juga pertempuran antara Kiu-bwe Coa-li dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sukar dikatakan siapa yang akan menang dua orang murid ini.

Orang-orang gedung mulai geger setelah mereka mengetahui bahwa di ruangan itu terjadi pertempuran hebat sekali. Para penjaga datang, akan tetapi Lu Thong membentak mereka supaya jangan ikut campur. Pula, bagaimana para penjaga itu berani campur tangan kalau gerakan toya dan cambuk itu anginnya saja cukup kuat untuk membuat mereka terdorong mundur? Juga Lu Seng Hok berdiri menonton dengan hati gelisah.

Sambil menggerakkan toyanya yang hebat, Kak Thong Taisu berkali-kali memaki dan mentertawakan Kiu-bwe Coa-li yang di anggapnya sebagai seorang kemasukkan iblis, yang menuduh orang sesuka hatinya dan lain-lain.

Kalau semua orang yang menyaksikan pertempuran ini merasa gelisah, ada dua orang lain yang berada di atas genteng dan menyaksikan pertempuran itu dengan hati geli. Mereka ini adalah Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu!

“Tua bangka-tua bangka di bawah itu sudah gila semua. Ha, ha, ha, mereka memperebutkan sumur tak berair! Tak salah dugaanku, tentu yang mencuri kitab sejarah itu adalah Hek-i Hui-mo. Pantas saja larinya dahulu itu cepat bukan main,” kata Ang-bin Sin-kai.

“Akan tetapi, Suhu. Bukankah Hek-i Hui-mo tidak pernah membawa-bawa muridnya dan sepanjang pengetahuan kita, dia tidak mempunyai murid?”

“Siapa tahu. Aku pun tadinya tak pernah berpikir punya murid sebelum bertemu dengan kau. Sudahlah, hayo kita pergi menyusul Hek-i Hui-mo!”

Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat pergi dari situ, diikuti oleh Kwan Cu. Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang anak yang memiliki pribudi tinggi. Melihat betapa Kiu-bwe Coa-li bertempur mati-matian melawan Jeng-kin-jiu untuk memperebutkan sesuatu yang kosong, dia merasa tidak tega. Terutama sekali terhadap Jeng-kin-jiu, hwesio gendut yang telah memberi nama kepadanya itu. Lebih-lebih lagi karena dia pun melihat betapa Sui Ceng ikut bertempur hebat melawan Lu Thong. Maka sebelum dia melompat untuk menyusul suhunya dia berani bernyanyi dengan suara keras karena dia mengerahkan khikangnya:

“Anjing-anjing bodoh berebut tulang
tanpa ingat bahaya kehilangan nyawa.
Tak tahunya srigala belang
membawa lari tulang sambil tertawa”

Tadi ketika Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu berada di atas genteng, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Kiu-bwe Coa-li tentu saja dapat mendengar, terutama sekali suara tindakan kaki Kwan Cu yang belum begitu tinggi ginkangnya seperti Ang-bin Sin-kai.

Akan tetapi oleh karena kedua orang yang bertempur ini menghadapi lawan yang amat berat, mereka tak dapat dan tidak berani memecah perhatian yang berarti memperlemah pertahanan sendiri.

Mereka hanya tahu bahwa di atas genteng terdapat orang-orang pandai yang mengintai dan menonton pertempuran mereka. Akan tetap ketika mendengar suara nyanyian Kwan Cu yang keras itu, mereka menjadi terkejut dan otomatis mereka menarik senjata masing-masing.

“Sui Ceng, berhenti!” seru Kiu-bwe Coa-li kepada muridnya.

Adapun Jeng-kin-jiu yang juga mendengar nyanyian itu, tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha! Si gundul Kwan Cu benar-benar tepat sekali memaki kita! Memang kita anjing-anjing bodoh berebut tulang. Eh, Kiu-bwe Coa-li, apakah kau masih belum insyaf bahwa kau telah memperebutkan sesuatu yang kosong dan yang telah dibawa lari oleh srigala belang seperti dinyanyikan Kwan Cu tadi?”






Tidak ada komentar :