*

*

Ads

Rabu, 18 April 2012

Ang I Niocu Jilid 018

Akan tetapi, segera ia menjadi terheran-heran dan kaget. Tak disangkanya bahwa gadis itu ternyata luar biasa dan selain gerakannya cepat sekali, juga ilmu silatnya amat lihai. Baru beberapa gebrakan saja, hampir pedangnya kena dirampas oleh gerakan mencengkeram dari Pek Hoa!

Setelah melihat kelihaian lawannya, Kiang Liat tidak beriaku sungkan-sungkan lagi. Cepat ia menggerakkan pedangnya dan kini ia bersilat dengan ilmu pedang keluarga Kiang yang kini sudah diperkuat dan diperbaiki setelah ia belajar setahun lamanya pada Han Le.

Pek Hoa makin kagum melihat Kian Liat. Tak disangkanya bahwa ilmu silat pemuda ini benar-benar hebat, tidak kalah jauh oleh Han Le. Bahkan kalau dilihat-lihat, ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda ini sama sekali bukan ilmu pedang Han Le, ilmu pedang yang di mainkan Kiang Liat amat indah gerakan-gerakannya.

Tentu saja seorang pemuda yang demikian ganteng dan tampan mainkan ilmu pedang yang indah ini, kelihatan seperti seorang penari ulung tengah menari, amat menarik hati dan indah dilihat. Makin sayanglah Pek Hoa kepada pemuda ini, dan ia tahu bahwa kalau ia menghadapi dengan tangan kosong saja, akan sangat berbahaya baginya.

Timbul kegembiraan hati Pek Hoa untuk menguji terus sampai di mana tingkat kepandaian pemuda ini. Ia mencabut sepasang pedangnya.

“Kau lihai sekali, orang muda. Akan tetapi coba kau tahan siang-kiamku!”

Setelah berkata demikian ia memutar sepasang pedangnya dengan cepat, melakukan serangan balasan yang sesungguhnya bukan serangan benar-benar hanya untuk menguji saja.

Kiang Liat kaget. Ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis itu juga hebat, apalagi lawannya menggunakan sepasang pedang yang tentu saja lebih cepat menyerangnya daripada sebatang pedang.

Pemuda ini diam-diam mengeluh dan merasa malu kepada diri sendiri. Masa ia, yang telah terkenal sebagai Jeng-ciang-sian (Dewa Bertangan Seribu), kemudian sudah mendapat gemblengan selama setahun oleh pengemis sakti Han Le, hanya dalam tenaga lwee-kang, ia tidak kalah, akan tetapi ia kalah jauh dalam kecepatan gerakan, dan dalam hal ilmu silat, agaknya gadis ini mempunyai kepandaian yang luar biasa sekali.

Namun Kiang Liat tidak mau menyerah kalah, biarpun ia seakan-akan dikurung oleh laksaan ujung pedang lawan ia masih mempertahankan diri, memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya seperti dilindungi oleh tembok baja yang kokoh kuat.

Berkali-kali Pek Hoa memuji dan mulutnya mengoceh terus,
“Kau gagah, ilmu pedangmu lihai… kau patut menjad suamiku…”

Kata-kata seperti ini memperbesar api kemarahan Kiang Liat sehingga kini ia bertanding dengan nekat, tak takut mati. Ini membuat Pek Hoa kewalahan. Memang ilmu pedang dari pemuda ini sudah tinggi, sukar baginya untuk merobohkan, apalagi menawan.

Sekarang ditambah oleh kenekatan pemuda itu, maka Pek Hoa lalu mengeluarkan saputangannya yang berwarna merah, mengeluarkan seruan nyaring dan ketika saputangan itu dikebutkan, tiba-tiba Kiang Liat mencium bau harum yang amat keras dan tak lama kemudian ia terhuyung-huyung dan roboh tak sadarkan diri dengan pedang masih di tangannya!

Pek Hoa tertawa girang. Ia membungkuk, merampas pedang, mengelus-elus pipi pemuda itu, tertawa lagi lalu menotok jalan darah di pundak Kiang Liat untuk menjaga kalau pemuda itu siuman kembali.

Biarpun siuman kembali, setelah ditotok, Kiang Liat takkan berdaya, tubuhnya sudah lemas dan ia takkan dapat memberontak lagi. Sambil kadang-kadang membelai rambut dan muka pemuda itu, Pek Hoa tertawa-tawa dan memanggul tubuh Kiang Liat dengan mudahnya, lalu berlarilah ia menghilang di dalam gelap malam yang mulai menyelimuti alam.






Akan tetapi, baru saja beberapa li ia lari, setelah ia keluar dari kota Sian-koan dan tiba di tempat sunyi, tiba-tiba Pek Hoa merasa pundaknya yang kanan ditowel orang. Ia memanggul tubuh Kiang Liat di pundak kirinya, maka merasa towelan ini, mula-mula ia tidak bercuriga dan berlari terus.

Sekonyong-konyong, pundaknya ditowel lagi dan terdengar suara perlahan,
“Siluman cabul, kau masih tidak mau melepaskan Kiang Liat?”

Pek Hoa terkejut, melompat ke depan sejauh empat tombak lebih lalu membalikkan tubuhnya. Di bawah sinar bulan purnama, ia melihat seorang laki-laki setengah tua yang pada saat itu ia harapkan berada di neraka. Satu-satunya orang yang tak ingin ia melihatnya pada saat seperti itu, yakni bukan lain adalah Bu Pun Su Si Pendekar Sakti!

Karena tahu menghadapi lawan yang amat berat, yang biarpun dikeroyok dengan kedua sutenya masih saja ia kalah, Pek Hoa tidak mempunyai nafsu untuk melawan Bu Pun Su. Ia melepaskan tubuh Kiang Liat yang dipanggulnya itu ke atas tanah, mencabut pedang Kiang Liat yang dirampasnya.

Niatnya hendak sekali bacok menewaskan pemuda ini, karena kalau ada Bu Pun Su di situ, tak mungkin kehendaknya menjadikan pemuda itu sebagai permainannya. Setelah maksud ini digagalkan oleh Bu Pun Su, tidak ada jalan lain baginya kecuali membunuh Kiang Liat, sehingga dengan demikian, ia dapat melakukan sedikit pembalasan atas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su dan Han Le.

Akan tetapi, baru saja ia mencabut pedang rampasan itu, tiba-tiba pedang itu terlepas dari tangannya yang menjadi kaku. Ia mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa bahwa tidak hanya tangan kanan, bahkan setengah bagian tubuhnya sebelah kanan seperti lumpuh!

Terdengar olehnya suara ketawa yang tenang dari Bu Pun Su. Pek Hoa melompat mundur sambil menjerit. Tahulah ia sekarang. Tadi ia telah kena ditowel dua kali pundak kanannya oleh Bu Pun Su dan ternyata bahwa towelan itu merupakan totokan yang amat lihai, yang baru terasa pengaruhnya setelah ia menggerakkan tangan dan mengerahkan tenaga.

Sambil berdiri, Pek Hoa cepat mengerahkan lwee-kang untuk membebaskan diri dari totokan itu, namun tidak berhasil. Terpaksa gadis ini menekan hawa kemarahan yang naik ke dadanya, lalu bersila di atas tanah.

Selagi ia berusaha membebaskan diri dari pengaruh tiam-hoat yang dilakukan secara lihai oleh Bu Pun Su, pendekar sakti ini menghampiri Kiang Liat. Dua kali tepukan ke pundak dan punggung membuat pemuda itu terbebas, dan Kiang Liat cepat berlutut di hadapan paman gurunya.

“Kiang Liat, aku bangga melihatmu. Kau memang patut menjadi murid Han Le. Sekarang lekas-lekas kau pulang dan langsungkan pernikahanmu. Kelak aku akan datang memberi hadiah dua tiga pukulan kepadamu.”

Kiang Liat girang sekali, setelah menghaturkan terima kasih, ia mengambil pedangnya dan pergi dari situ. Ia tidak mau mempedulikan lagi kepada Pek Hoa, karena sesungguhnya, betapapun marahnya terhadap gadis itu, ia tidak tega melihat kalau-kalau Bu Pun Su akan membunuh Pek Hoa.

Akan tetapi, Bu Pun Su bukanlah seorang yang mudah saja membunuh orang. Ia melangkah maju, tersenyum melihat gadis itu masih berjuang untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan.

“Pek Hoa, totokan itu takkan dapat dibebaskan kalau tidak dengan suling ini,” katanya sambil mencabut keluar sebatang suling bambu yang sudah tua.

Tadi ia memang menotok pundak gadis itu dengan sulingnya, karena Bu Pun Su merasa segan untuk melakukan hal ini dengan tangannya. Ketika ujung sulingnya menyentuh jalan darah di pundak Pek Hoa seketika gadis ini pulih kembali keadaannya. Dengan berang ia melompat berdiri memandang kepada Bu Pun Su seperti seekor harimau betina hendak menubruk mangsanya, lalu berkata,

“Bu Pun Su, aku benci sekali kepadamu!”

“Bagus!” kata Bu Pun Su tersenyum “Seribu kali lebih aman kau benci daripada kau cinta. Kecantikan dan kasih sayangmu jauh lebih berbahaya dari watak buruk dan kebencianmu, Pek Hoa.”

Setelah berkata dernikian, Bu Pun Su termenung, teringat ia akan semua pengalamannya di waktu muda, betapa dia menjadi korban dari kecantikan dan kasih sayang palsu dari seorang wanita yang cantik dan jahat seperti Pek Hoa ini.

Pek Hoa membanting-banting kakinya saking gemas.
“Jadi selama ini kau selalu mengintaiku? Sungguh tak tahu malu! Kalau memang kau gagah berani, mengapa tidak melawan guru-guruku? Mengapa kau menghina seorang perempuan?”

Pek Hoa hampir menangis. Ingin ia mencabut siang-kiamnya atau mempergunakan senjata rahasia atau senjata berbisa, namun ia cukup maklum bahwa semua ini takkan ada gunanya terhadap Bu Pun Su.

“Memang aku hendak mencari guru-gurumu itu Thian-te Sam-kauwcu yang ternama,” jawab lagi pendekar sakti itu.

“Jadi kau mengikuti aku untuk mengetahui di mana adanya guru-guruku?”

“Bukan hanya demikian, akan tetapi yang penting untuk melihat tingkah-lakumu, untuk menjaga agar kau jangan sampai mengganggu orang-orang seperti yang tadi kau lakukan. Tentang guru-gurumu, agaknya mereka itu takut kepadaku maka tidak berani muncul.”

Kata-kata ini sengaja diucapkan oleh Bu Pun Su untuk membakar hati gadis itu. Maksudnya berhasil karena Pek Hoa memandangnya dengan marah.

“Bu Pu Sun, kau sombong! Kau menggunakan kepandaian untuk menghinaku, seorang perempuan lemah! Awas kau, akan datang saatnya aku membalas semua ini, membalas kepadamu dan kepada Han Le! Akan tiba saatnya aku menghancurkan kau dan semua orang yang ada hubungannya denganmu! Kalau kau memang berani, datanglah di lembah Sungai Yalu-cangpo, tepat di mana sungai suci itu berbalik ke barat. Disanalah kau akan kami tunggu dan kalau kau tidak berani datang, ternyata Bu Pun Su hanya seorang pengecut besar yang berani dan berlagak di tempat dan kandang sendiri saja!”

Sehabis mengeluarkan kata-kata ini, Pek Hoa lalu melompat dan menghilang di dalam gelap.

Bu Pun Su tidak mengejar. Ia percaya bahwa keterangan itu tidak bohong. Memang ia pernah mendengar bahwa tempat tinggal tiga orang aneh dari barat itu adalah di sekitar barat Gunung Heng-tuan-san dan sebagai seorang perantau besar ia pernah mengunjungi daerah ini. Ia tahu bahwa daerah ini dekat sekali dengan daerah-daerah asing seperti Nepal, Bhutan dan India, maka sudah sepatutnya kalau tiga orang itu mendirikan tempat pusat di sana.

**** 018 ****





Tidak ada komentar :