*

*

Ads

Minggu, 22 April 2012

Ang I Niocu Jilid 033

Setelah meninggalkan lembah Sungai Yalu Cangpo, Kiang Liat melakukan perjalanan cepat untuk segera sampai kepada isterinya, juga amat rindu kepada Im Giok, puterinya. Tiga bulan ia berpisah dengan mereka!

Kalau ia mengenangkan semua pengalamannya selama tiga bulan ini, diam-diam Kiang Liat bergidik dan merasa beruntung bahwa ia masih selamat dan dapat keluar dari semua ancaman dan bahaya itu dengan tak kurang suatu apa. Juga ia telah mendapat pengalaman pertempuran hebat di mana kedua matanya terbuka bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai.

Kiang Liat ingin membuat girang hati isterinya dan ingin membuat kedatangannya tidak tersangka-sangka. Sambil tersenyum-senyum geli dan gembira mengenangkan betapa isterinya akan terkejut dan girang, ia merencanakan untuk memasuki rumahnya tanpa diketahui oleh siapapun dan tahu-tahu ia akan tidur di atas pembaringan di dalam kamarnya sampai isterinya masuk ke kamar dan mendapatkannya sudah tidur di situ?

Manusia manakah yang tahu akan ketentuan nasibnya? Siapakah yang mengerti akan rahasia besar nasib manusia yang hanya dipegang dan ditentukan oleh Tangan Thian Yang Maha Kuasa sendiri? Bukti kekuasaan Tuhan memang kadang-kadang amat aneh, ganjil, dan sukar dimengerti. Kadang-kadang bahkan nampak tidak adil!

Misalnya, seorang yang berwatak jahat hidup dalam keadaan senang dan makmur, sebaliknya seorang yang berwatak baik hidup sengsara. Ada pula seorang yang hidupnya penuh dosa selalu sehat, sebaliknya orang yang hidup saleh bahkan menderita penyakit berat. Terlontarlah kata-kata “tidak adil” dari mulut mereka yang masih belum kuat iman dan kepercayaannya terhadap Tuhan dan kekuasaannya. Akan tetapi tidak demikian sikap orang budiman, atau seorang yang memang menaruh kepercayaan akan keadilan Tuhan secara mutlak.

Dia ini bahkan akan menerima segala apa yang oleh manusia dianggap “sengsara” atau “menderita” dengan hati tenang dan penuh penyerahan sebulatnya kepada Yang Maha Kuasa, menerima lahir batin dengan penuh kepercayaan dan keyakinan bahwa segala apa yang menimpa dirinya itu adalah kehendak Tuhan yang tak dapat diubah pula oleh siapapun juga, dan bahwa di balik semua hal yang menimpa dirinya itu terdapat sesuatu yang adil dan baik.

Bahagialah orang yang menerima kemalangan sebagai orang menghadapi ujian, tahan uji, kuat dan akhirnya lulus! Kasihan mereka yang lemah hati, yang tidak kuat menghadapi kemalangan, sehingga kepercayaan menjadi luntur, watak yang baik menjadi buruk, dan kemalangan menyeretnya ke dalam penyelewengan yang akan menghancurkan hidupnya sendiri!

Kiang Liat tak menyangka sama kali bahwa ia akan menghadapi hal yang amat berat baginya. Ketika ia tiba di kotanya, siang telah terganti senja dan keadaan di jalan sudah mulai sunyi. Dengan mudah, Kiang Liat dapat mempergunakan kepandaiannya sehingga tak seorang pun melihatnya ketika ia tiba luar tembok belakang rumahnya.

Sekali melompat ia telah berada di dalam kebun belakang rumah, kemudian ia melompat-lompat dan di lain saat telah berada di luar kamarnya, di dekat jendela. Dan pada saat itulah ia mendengar suara orang bercakap-cakap di dalam kamarnya, suara isterinya dan seorang wanita lain, yang kemudian ia kenal sebagai suara Ceng Si, bekas pelayan yang telah dikawinkan dengan Cia Sun sastrawan miskin itu!

“Ceng Si, kau dan Cia Sun benar-benar keterlaluan. Kurang bagaimanakah aku menolong kalian? Kurang banyakkah uang dan perhiasan yang kuberikan kepada Cia Sun? Mengapa kalian seakan-akan tidak mengenal puas dan hendak menghabiskan kekayaan kami? Ah, kau tahu bahwa suamiku sedang pergi, mengapa kau tidak datang mengawani dan menghibur hatiku yang gelisah memikirkan dia, sebaliknya kau datang untuk mengganggu dan lagi-lagi kau minta uang dalam jumlah yang terlalu besar. Darimana aku bisa mendapatkan uang itu?”

Mendengar kata-kata isterinya ini, Kiang Liat menjadi pucat dan ia menahan napas, mendengarkan percakapan dengan hati tidak enak sekali. Kemudian terdengarlah suara Ceng Si, nadanya mengejek dan menghina benar-benar di luar persangkaan Kiang Liat. Semenjak kapankah pelayan ini begitu berani bicara kasar dan menghina terhadap isterinya?

“Nyonya muda mengapa begitu pelit? Kalau tidak untuk menutupi rahasiamu terhadap suamimu, siapakah sudi menikah dengan siucai miskin itu? Di waktu dahulu, Nyonya yang main-main dan bersurat-suratan, bercinta-cintaan dengan Cia Sun. Setelah Nyonya menikah dan mendapat kedudukan baik, akhirnya akulah yang dijadikan korban untuk melayani siucai bekas kekasih nyonya muda itu.”

Kiang Liat tak sanggup mendengarkan terus. Hampir saja ia menendang jendela untuk mengamuk, akan tetapi baiknya ia dapat menahan gelora hatinya dan sebaliknya ia lalu melompat pergi! Hati dan pikirannya tidak karuan. Ia masih bersangsi apakah benar-benar isterinya dahulu telah melakukan hal yang demikian memalukan? Benarkah isterinya dahulu menjadi kekasih Cia Sun? Tak mungkin! Isterinya begitu mencintanya.






Akan tetapi kalau ia ingat betapa semua perhiasan isterinya tak pernah dipakai, dan kalau ia ingat akan kata-kata isterinya tadi kepada Ceng Si bahwa banyak sudah uang dan perhiasan diberikan oleh isterinya kepada Cia Sun. Ah, apa artinya ini? Dan kata-kata Ceng Si, tadi? Hampir pecah kepala Kiang Liat dan hampir meledak dadanya, membuat ia berjalan di malam buta, tak tentu arah tujuannya, bicara seorang diri, berbantah-bantahan dengan diri sendiri, kadang-kadang tertawa mengejek, kadang-kadang membentak-bentak, dan kadang-kadang ia tertunduk di pinggir jalan menangis tersedu-sedu!

Semalam suntuk Kiang Liat berkeliaran di sekitar kota seperti orang gila, terjadi perang tanding hebat di dalam dada dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi hari kalau orang melihat Kiang Liat, tentu akan pangling. Ia nampak lesu dan kusut, waktu semalam suntuk itu seakan-akan sepuluh tahun sehingga ia nampak sepuluh tahun lebih tua dari kemarin sore!

Tukang kuda di belakang gedungnya kaget setengah mati ketika pagi-pagi sekali ia melihat majikannya menyerbu kandang kuda, tanpa bicara sepatah pun kata lalu mengeluarkan kuda dan membalapkan kuda itu ketuar dari kandang! Tukang kuda itu melongo, menggosok-gosok matanya, kemudian ia berlari-lari ke gedung, minta menghadap nyonya muda!

“Hujin, celaka. Telah terjadi sesuatu yang ganjil dan aneh pada diri Wan-gwe!”

Song Bi Li, isteri Kiang Liat, pucat seketika.
“Eh, pagi-pagi kau mengapa bicara yang bukan-bukan? Majikanmu belum pulang, bagaimana kau bisa bicara seperti itu? Hati-hatilah dengan mulutmu, jangan kau kurang ajar!” kata Bi Li marah.

“Hamba bersumpah tidak berani main-main, Hujin. Benar-benar baru saja hamba melihat Wan-gwe datang ke kandang dan keluar pula menunggang kuda kesayangannya. Dan keadaan Wan-gwe… pakaiannya kusut, mukanya seperti tidak mengenal hamba lagi dan… dan… sinar matanya begitu mengerikan. Hamba takut, Hujin….”

Bi Li mengerutkan keningnya. Tak mungkin suaminya berkelakuan seperti itu, datang lalu pergi lagi sebelum menjumpainya. Apakah yang telah terjadi?

“Kiu Pek-pek, coba kau ajak kawan-kawan untuk menyusul dan menyelidiki keadaan yang aneh ini!” katanya, kemudian Bi Li masuk ke dalam gedung dan sebentar kemudian kegelisahannya berkurang ketika Im Giok bangun dari tidur dan dipangkunya.

Ketika memikirkan keadaan isterinya selama semalam suntuk, Kiang Liat dapat mengambil kesimpulan. Boleh jadi sekali isterinya dahulu berkasih-kasihan dengan Cia Sun, kemudian setelah menjadi isterinya, Bi Li diperas oleh Cia Sun dengan bantuan Ceng Si! Tak bisa salah lagi, tentu demikian duduknya perkara, pikirnya. Oleh karena itu, orang pertama yang menjadi sasaran kemarahannya adalah Cia Sun. Ia mengambil kudanya karena tubuhnya terasa lelah dan lemas sekali, kemudian membalapkan kuda itu menuju ke tempat tinggal Cia Sun.

Memang Cia Sun sekarang sudah makmur keadaannya. Uang dan perhiasan yang diperasnya dari Bi Li bukan sedikit. Ia kini dapat membeli tanah sebagai seorang kaya raya. Setiap pagi ia berjalan-jalan menunggang kuda, memeriksa tanahnya seperti seorang tuan tanah yang hartawan. Akan tetapi karena ia terlalu royal, selalu ia kekurangan uang dan jalan satu-satunya hanyalah memeras Bi Li dengan perantaraan Ceng Si yang sudah menjadi isterinya!

Pada pagi hari itu, tanpa menyangka bahwa hari itu akan merupakan hari sial baginya, Cia Sun menunggang kuda hendak menuju ke sebuah dusun yang berdekatan. Semalam isterinya, Ceng Si, datang membawa perhiasan dan uang dan tentu saja seperti biasanya, begitu mendapat uang, Cia Sun lalu mengambil sedikit untuk berpesta di rumah pelacuran di dusun sebelah barat, atau untuk bermain judi dengan kawan-kawannya!

Akan tetapi baru saja ia hendak meninggalkan jalan simpang di luar dusunnya, tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda dan dari jauh datanglah Kiang Liat yang membalapkan kudanya.

Hati Cia Sun terkejut bukan main. Mengapa Ceng Si malam tadi tidak bilang apa-apa? Mengapa tidak bilang bahwa Kiang Liat sudah pulang? Ataukah… barangkali pagi ini baru pulang? Biarpun hatinya berdebar, Cia Sun menahan kudanya dan bahkan memutar binatang tunggangannya itu untuk menyambut kedatangan Kiang Liat.

Dari jauh ia sudah menjura di atas kudanya dan berkata ramah,
“Selamat pagi, Kiang-wan-gwe. Berkat kebaikan Wan-gwe, sekarang siauwte telah memperoleh banyak kemajuan.”

Kata-kata ini diucapkan untuk mengambil hati Kiang Liat, akan tetapi bagi pendekar ini merupakan sindiran yang membuat hatinya makin terluka dan perih.

“Jahanam keparat!” serunya dan sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah melayang dari atas kudanya, menyambar tubuh Cia Sun yang dibantingnya ke atas tanah.

Dua ekor kuda itu ketakutan dan menjauhkan diri, kemudian melihat mereka tidak diganggu, dua ekor kuda itu makan rumput di bawah pohon, tenang-tenang saja, tidak menghiraukan lagi dua orang yang kini berhadapan dalam keadaan tegang itu.

“Ampun Wan-gwe. Apa dosaku maka Wan-gwe datang-datang marah kepada siauwte?” Cia Sun berlutut sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk minta ampun.

Kalau menuruti hawa nafsu di dalam dadanya, ingin sekali Kiang Liat membunuh siucai ini tanpa bertanya-tanya lagi. Akan tetapi ia hendak mendengar pengakuan Cia Sun, karenanya ia menahan-nahan kemarahan hatinya dan membentak,

“Bajingan besar, lekas kau mengaku. Kau ada hubungan apakah dahulu dengan Song Bi Li?”

Kalau ia mendengar kilat menyambar di tengah hari, belum tentu Cia Sun akan sekaget ketika ia mendengar pertanyaan ini.

“Apa…! Hamba… hamba tidak… tidak ada hubungan dengan Hujin…”

Sebuah tendangan membuat tubuh Cia Sun terjengkang dan terguling beberapa kali. Ia cepat berlutut dan mulai menangis, memohon ampun.

“Hayo mengaku terus terang!” Kiang Liat membentak lagi. “Aku menyebut nama Song Bi Li dan kau tahu bahwa dia isteriku, apakah kau hendak bilang tidak ada perhubungan apa-apa? Hayo lekas bilang sebelum aku hilang sabar dan menghancurkan kepalamu!”

Cia Sun benar-benar bingung. Saking bingungnya, siucai yang bersifat pengecut ini dalam usahanya membersihkan dan menolong diri, bahkan melontarkan fitnah kepada Bi Li.

“Ampun, Kiang-wan-gwe, sesungguhnya siauwte… siauwte tidak bersalah, tidak berdosa apa-apa. Dahulu itu… yaa… sesungguhnya adalah Song-siocia yang mendesak siauwte, yang menyatakan cinta, memberi surat dan lain-lain. Siauwte sendiri mana berani? Siauwte… siauw …”

Kata-kata ini terputus dan disusul jeritnya karena Kiang Liat telah mengayun tangan. Tubuh Cia Sun terguling dan hanya jerit itulah yang dapat ia keluarkan sebelum napasnya terputus oleh pukulan yang mengenai jalan darah kematiannya.

Pada waktu itu, beberapa orang dusun tiba di tempat itu dan melihat Kiang Liat yang banyak dikenal itu membunuh Cia Sun, mereka menjadi ketakutan dan melarikan diri. Sebentar saja, semua orang tahu akan pembunuhan ini, akan tetapi siapakah yang berani mengganggu Kiang Liat? Pendekar ini menunggang kudanya dan kembali ke kota, langsung menuju ke gedungnya.

Song Bi Li yang semenjak pagi tadi gelisah dan cemas, mendengar suara derap kaki kuda di luar, segera memburu keluar sambil menggendong Im Giok. Alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa yang datang benar-benar adalah suaminya yang dinanti-nanti.

Akan tetapi, ia pun kaget bukan main melihat wajah suaminya yang muram dan kelihatan tua. Lebih-lebih terkejutnya ketika ia melihat sikap suaminya yang sama sekali tidak mau menengok ke arahnya, bahkan dengan langkah lebar terus masuk ke dalam gedung dan menuju ke kamar.

Dengan muka pucat, hati berdebar dan kedua kaki gemetar, Bi Li mengikuti suaminya setelah memberikan Im Giok kepada inang pengasuh. Ia melihat suaminya duduk di atas bangku di dalam kamar, tak bergerak bagaikan patung batu, nampaknya berduka sekali. Bi Li menekan perasaannya, memperlihatkan wajah ramah dan manis, lalu maju dan berlutut di dekat kaki suaminya, meraba sepatunya,

“Suamiku, kau baru datang? Tentu kau lelah sekali.”

Suaranya halus dan manis sedangkan kedua tangannya mulai membuka sepatu suaminya.






Tidak ada komentar :