*

*

Ads

Minggu, 22 April 2012

Ang I Niocu Jilid 035

Adapun Im Giok sendiri, amat suka kepada Pek Hoa Pouwsat. Ia memandang kepada tamu ini dengan matanya yang jeli, dengan berterang ia memuji,

“Ibu, Bibi ini cantik sekali, ya?”

Pek Hoa menangkap dan mengangkatnya di atas pangkuan.
“Anak yang baik, kelak kau lebih cantik daripada aku atau ibumu.”

Katanya sambil mengusap-usap kepala Im Giok dan beberapa kali meraba lengan, pundak, punggung, dan pangkal paha untuk memeriksa apakah bocah ini mempunyai bakat.

Bukan main girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa bocah ini memang bertulang pendekar, yakni memiliki tubuh sehat, tulang-tulang kuat dan perjalanan darahnya baik sekali. Ditambah dengan kecerdikan yang membayang di kedua mata anak ini, dapat diduga bahwa kelak tentu akan menjadi seorang pandai.

Untuk mengetahui isi hati dan pikiran anak itu, Pek Hoa lalu bertanya,
“Im Giok sukakah kau menjadi muridku?”

Bocah itu melirik ke arah ibunya, lalu berkata dengan senyum lucu.
“Belajar membaca dan menulis lagi, Bibi? Ah, ibu sudah mengajarku dan aku adalah orang yang paling malas belajar membaca dan menulis, demikian kata ibu. Bibi tentu akan kecewa mengajarku, karena aku benar-benar malas dan tidak suka. Lebih senang belajar menjahit dan menyulam! Apalagi menggambar atau bernyanyi, lebih senang lagi aku.”

Pek Hoa tertawa.
“Kau suka belajar menari.”

Im Giok melompat turun dari pangkuan Pek Hoa, memandang kepada wajah tamu ini dengan mata berseri.

“Menari seperti anak-anak wayang yang pernah kulihat bermain di kelenteng itu? Wah, aku senang sekali! Aku sudah minta ibu mengajarku, akan tetapi ibu tidak dapat, Bibi, kalau kau mau mengajarku menari, menyanyi, melukis, dan menyulam, aku suka sekali!”

“Apa kelak kau ingin menjadi anak wayang tukang menari?” tanya ibunya, pura-pura tak senang.

“Apa salahnya, ibu? Mereka itu cantik-cantik dan pandai. Buktinya banyak orang gemar menonton dan banyak orang memuji. Kalau tidak pandai masa disukai orang? Aku lebih suka ditonton daripada menonton. Bibi, mau kau mengajarku?”

Dengan sifat manja Im Giok menarik-narik tangan Pek Hoa dan ketiga orang itu tertawa-tawa.

Demikianlah hati Bi Li gembira sekali mendapat teman seperti Pek Hoa ini dan sampai jauh malam mereka bercakap-cakap gembira. Akan tetapi, menjelang fajar, Bi Li terkejut mendengar suara anaknya memanggil. Ia terbangun dan dilihatnya Pek Hoa sudah memondong Im Giok dan tamunya itu sekali bergerak telah “terbang” ke jendela yang sudah terbuka. Bukan main kagetnya Bi Li, apalagi Im Giok berkali-kali memanggil

“Ibu…! Ibu…! Bibi, aku tidak mau pergi kalau ibu tidak ikut!”

“Enci Pek Hoa, kau hendak bawa anakku ke manakah?”

Bi Li mengejar dan bertanya kaget karena ia takut kalau-kalau anaknya dibawa ke kahyangan tempat para bidadari!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh nyaring dan lenyaplah sifat ramah-tamah dari Pek Hoa, terganti sifat mengejek dan tarikan air mukanya mengandung kekejaman luar biasa.

“Ha, ha, ha, Bi Li! Tak usah kau ribut-ribut. Anakmu tak perlu kau pikirkan lagi. Dia sudah menjadi anakku atau muridku dan akan kubawa pergi. Ha, ha, mungkin dahulu kau selalu membanggakan kecantikanmu, ya? Sekarang baru kau tahu bahwa kecantikan tidak membawa bahagia. Bukan aku saja yang mengalami, akan tetapi kau juga… ha, kau juga, Bi Li. Tunggulah saja di rumah mengenang suami dan anak yang hilang!”






Sekali berkelebat tubuh Pek Hoa lenyap bersama Im Giok, hanya gema suara ketawanya masih terdengar dari jauh seperti suara ketawa seorang siluman wanita!

Sejak tadi, Bi Li berdiri terpaku di lantai. Melihat Pek Hoa yang memondong puterinya berdiri di jendela sambil mengeluarkan kata-kata keji dan air mukanya yang menyeringai mengerikan itu, hati Bi Li seakan-akan berhenti berdetik.

Setelah Pek Hoa lenyap bersama Im Giok, barulah Bi Li sadar. Ia menjerit dan memburu ke jendela, akan tetapi mana bisa ia mendapatkan Pek Hoa yang sudah melompat ke atas genteng dan berlari cepat sekali?

“Im Giok… anakku… Im Giok… kembalikanlah anakku… Im Giok…!”

Setelah memanggil-manggil sampai suaranya hampir habis, akhirnya Bi Li menjadi lemas. Dipaksanya berlari ke luar dan mengejar ke sana ke mari, terhuyung-huyung dan akhirnya ia roboh pingsan di luar rumah, dekat jalan, di atas tanah yang basah.

Setelah matahari naik tinggi, baru ada para tetangga yang melihat keadaan Bi Li dan ramai-ramai mereka menolong nyonya muda yang bernasib malang ini. Akan tetapi, tubuh nyonya muda yang selama ini memang lemah dan sering sakit, tidak dapat menahan serangan batin yang hebat ini. Bi Li jatuh sakit berat. Karena tetangga yang mau menolong dan merawatnya juga amat miskin, terpaksa seluruh isi rumah dari Bi Li dijual untuk membeli obat dan keperluan lain.

Keadaan Bi Li amat payah. Siapa yang dapat menolongnya? Kakeknya sendiri, Song Lo-kai telah meninggal dunia tak lama setelah Kiang Liat pergi. Nyonya muda yang hidup sebatang kara ini terserang sakit panas dan batuk-batuk, setiap saat ia hanya memanggil dan menyebut-nyebut nama suaminya dan anaknya.

Sebulan kemudian, Bi Li menghembuskan nafas terakhir. Tak seorang pun menangisi kematiannya, para tetangga yang cukup baik hati menjaganya, hanya menarik napas panjang dan merasa kasihan.

Kegotong-royongan para tetangga yang miskin pulalah yang mencegah jenazah nyonya muda ini terlantar. Mereka bekerja sama dan dengan amat sederhana dan bersahaja, jenazah Bi Li dimasukkan dalam peti mati tipis dan disembahyangi sekedarnya.

Baru saja peti itu hendak diangkat orang untuk dibawa ke kuburan, tiba-tiba seorang wanita jembel datang berlari-lari dan menjatuhkan diri berlutut di depan peti sambil menangis terlolong-lolong. Pakaiannya kotor tambal-tambalan, rambutnya awut-awutan mukanya penuh debu dan lumpur sehingga ia menjijikkan sekali. Tak seorang pun di antara para tetangga itu mengenalnya.

“Hujin… mengapa kau tega meninggalkan hamba…? Siapa yang akan merawat dan melayanimu Hujin? Bawalah hamba serta… Hujin, hamba… hamba mohon ampun atas segala dosa…” Wanita ini menangis sedih sekali, tiba-tiba ia berhenti menangis dan… tertawa bergelak! “Ha, ha, ha, Kiang Liat! Kau kehilangan anak dan isteri, bagus! Cia Sun, kau mampus dengan mata mendelik, salahmu sendiri. Ha, ha, ha!”

Sekarang baru para tetangga itu mengenalnya. Perempuan jembel yang otaknya sudah tak beres ini bukan lain adalah Ceng Si. Memang semenjak suaminya, Cia Sun, tewas oleh Kiang Liat, Ceng Si menjadi ketakutan selalu, takut kalau-kalau Kiang Liat juga akan mencari dan membunuhnya. Ia insyaf bahwa ia pun berdosa dalam urusan pemerasan terhadap Bi Li. Di samping rasa takut terhadap Kiang Liat, ia pun benci kepadanya. Ketika mendengar bahwa suaminya dibunuh oleh Kiang Liat Ceng Si melarikan diri ke luar kota.

Ia terjatuh ke tangan orang jahat. Karena Ceng Si memang masih muda dan mempunyai wajah cantik dan tubuh menarik, ia menjadi permainan orang-orang jahat. Selama tiga tahun lebih ia terjatuh dari satu ke lain tangan dan terperosok makin dalam ke jurang kehinaan.

Akhirnya, Ceng Si mulai berubah pikirannya. Bajingan-bajingan yang mempermainkannya, melihat otaknya sudah miring, tentu saja lalu menendangnya dan demikianlah, Ceng Si hidup berkeliaran sebagai seorang wanita jembel yang gila!

Kebetulan sekali saat Bi Li menghembuskan napas terakhir, Ceng Si telah tiba di kota itu kembali dan wanita setengah gila ini mendengar tentang berita kematian Bi Li lalu berlari-lari mendatangi rumah bekas majikannya.

**** 035 ****





Tidak ada komentar :