*

*

Ads

Senin, 03 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 006

Ternyata olehnya bahwa yang menyerang penculik itu adalah seorang wanita baju putih yang cantik sekali. Ketika penyerang yang bukan lain adalah Thio Loan Eng ini menemukan jejak penculik yang membawa lari anak kecil, ia lalu menyusul terus sampai ke dalam hutan dan kebetulan sekali ia melihat Tauw-cai-houw hendak memegang seorang anak kecil. Ia terkejut sekali ketika mengenal saikong ini, juga berbareng marah sekali, maka langsung ia lalu menyerangnya dengan tusukan Sin-liong-jut-tong (Naga Sakti Keluar Gua).

Tauw-cai-houw adalah seorang yang tinggi ilmu silatnya, maka biarpun diserang dengan tiba-tiba secara hebat ini, masih dapat dia melepaskan Kwan Cu. Kemudian sekali saja tangannya bergerak, dia telah mencabut sebatang golok yang amat besar dan tajam.

“Bangsat kecil, siapa kau berani sekali menyerangku?” bentak Tauw-cai-houw sambil memalangkan goloknya di depan dada dengan sikap mengancam.

Loan Eng berdiri tegak dengan menudingkan pedangnya kepada Tauw-cai-houw.
“Siluman keji! Sudah lama nonamu mendengar tentang kejahatanmu dan kebetulan sekali kita bertemu di sini. Inilah tandanya bahwa Tauw-cai-houw akan segera tamat riwayatnya. Orang jahat, kau telah kehilangan anakmu sendiri, mengapa kau sekarang berlaku kejam kepada anak-anak orang lain? Apakah kau sudah tidak mempunya perasaan lagi sehingga kau membuat anak-anak menjadi seperti ini?”

Dengan tangan kirinya Loan Eng menunjuk kearah tengkorak-tengkorak yang menggeletak di kanan kiri Kwan Cu.

Semenjak tadi Tauw-cai-houw berdiri bengong dan takjub. Belum pernah dia melihat seorang wanita yang dalam pandangan matanya demikian cantik jelitanya, yang mengingatkan dia kepada istrinya dahulu! Kemudian mendengarkan ucapan Loan Eng dia seperti tersadar dan untuk beberapa lama dia tak dapat berkata-kata!

“Tauw-cai-houw, bersedialah untuk mampus!”

Loan Eng membentak ketika melihat orang itu hanya berdiri memandangnya dengan mata terbelalak kagum. Dengan seruan ini, wanita perkasa itu kembali menyerang dengan pedangnya dan kali ini ia menggerakkan pedangnya secara lihai sekali. Inilah ilmu pedang keturunan dari keluarganya dan biarpun Tauw-cai-houw amat lihai, namun dia segera menjadi repot sekali menghadapi serangan pedang ini.

“Nona, tahan, Nona….. aku tak dapat melawanmu….”

Loan Eng membelalakkan matanya yang bagus. Ia merasa heran sekali mendengar suara lawannya dan ketika ia memandang, ternyata bahwa saikong yang bertubuh besar dan bermuka seperti harimau itu telah menangis tersedu-sedu!

“Nona, jangan serang aku….. kalau kau kehendaki aku akan melepaskan anak ini, aku akan melakukan apa saja yang kau kehendaki, akan tetapi…. jangan kau tinggalkan aku selamanya…..”

Loan Eng sudah mendengar tentang Tauw-cai-houw, dan sudah mendengar pula tentang riwayat orang aneh ini, juga tahu bahwa orang ini otaknya miring. Akan tetapi mendengar kata-kata permintaan itu, mau tidak mau ia merasa jengah dan merahlah mukanya.

“Keparat!” serunya marah dan kembali pedangnya membacok dengan gerak tipu Batu Karang Menimpa Jurang. Bacokan ini hebat sekali dan demikian cepatnya sehingga tak mungkin dielakkan pula. Terpaksa Tauw-cai-houw menangkis dengan goloknya.

“Traaang….!” Bunga-bunga api berpijar dan Loan Eng merasa tangannya tergetar hebat.

“Nona, jangan serang aku…… jangan tinggalkan aku…” berkali-kali Tauw-cai-houw berkata dengan suara penuh permohonan.

Akan tetapi Loan Eng menjadi makin penasaran dan marah. Ia menyerang terus bertubi-tubi dan lawannya hanya menangkis atau mengelak cepat, sama sekali tidak mau membalas, hanya minta-minta dengan suara pilu.

Sesungguhnya, Loan Eng sendiri merasa bahwa kepandaian saikong ini masih lebih lihai dari padanya. Kalau Tauw-cai-houw membalas, tentu akan terdesak wanita perkasa ini. Akan tetapi, saikong itu tidak mau membalas sedikitpun juga dan betapapun lihainya, ilmu pedang yang dimainkan oleh Loan Eng adalah ilmu pedang yang baik sekali dan juga kepandaian Loan Eng sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi. Maka bagaimana dia dapat mempertahankan diri terus tanpa membalas?

Setelah melakukan perlawanan selama lima puluh jurus lebih, akhirnya sebuah bacokan pedang Loan Eng menyerempet lengan kanannya sehingga segumpal daging dekat sikunya terbabat pedang dan goloknya lepas dari pegangan.

“Aduh, nona…. jangan lukai aku….” Saikong itu berseru akan tetapi Loan Eng mendesak terus.






“Cep! Cep!” dua kali ujung pedangnya berhasil menusuk pundak dan paha lawannya.

Tauw-cai-houw mengaduh-aduh dan terhuyung-huyung mundur.
“Nona….. Nona… jangan lukai aku….”

Ia masih berseru dan mengangkat kedua tangannya ke atas sambil memandang kepada Loan Eng dengan sinar mata mengasih. Loan Eng diam-diam merasa kasihan juga kepada orang ini, akan tetapi mengingat kejahatan-kejahatannya yang sudah melampaui batas prikemanusiaan, Loan Eng menggigit bibirnya yang merah lalu melompat maju dengan sebuah tusukan hebat sekali.

“Aduh, istriku….. mengapa kau berhati sekejam itu?”

Tauw-cai-houw menjerit dan setelah memanggil-manggil istrinya, tubuhnya berkelojotan dan tak lama kemudian dia menghembuskan nafas terakhir. Dadanya telah tertembus oleh pedang Loan Eng yang cepat membersihkan pedangnya dan sekali tebas saja ia telah memutuskan tali yang mengikat kedua tangan Kwan Cu.

Loan Eng mengira bahwa anak ini akan berlutut menghaturkan terima kasih kepadanya, akan tetapi dia kecelik besar. Kwan Cu bahkan berdiri tegak didepannya dengan sinar mata bernyala-nyala dia mencela,

“Kau kejam sekali!”

Loan Eng benar-benar tertegun .
“Apa? Aku kejam? Kalau aku kejam, habis bagaimana kau menganggap dia itu?” Dengan pedangnya ia menunjuk kearah mayat Tauw-cai-houw.

“Dia? Dia jahat .” Jawab Kwan Cu tanpa ragu-ragu lagi.

“Hem, anak bodoh. Kalau aku tidak berlaku seperti yang kau sebut kejam tadi, apa kau kira sekarang kau masih dapat bernafas lagi? Mungkin kau sudah masuk kedalam perutnya yang gendut itu.”

“Akan tetapi tidak perlu dibunuh.”

Bantah Kwan Cu dan mendengar kata-kata ini, diam-diam Loan Eng terheran. Ia tadi sudah merasa heran mengapa anak ini tidak merasa mengeluh atau menangis, tadinya ia mengira bahwa anak ini tentu ditotok jalan darah bagian Ahhiat sehingga membuatnya menjadi gagu, akan tetapi ternyata anak ini tidak apa-apa. Mengapa ada anak demikian bandel dan kuat? Jidat anak itu masih berdarah bekas terbentur ketika jatuh tadi, akan tetapi sedikitpun tidak pernah mengeluh. Dan sekarang, kata-kata itu lagi. Sungguh-sungguh tak pantas keluar dari mulut seorang anak kecil!

Ia merasa tidak seharusnya berbantah dengan seorang anak berusia lima tahun, akan tetapi anak ini lain lagi. Kata-katanya membuatnya merasa penasaran. Ia telah menolong nyawa anak ini dan apa balasannya? Celaan! Sungguh membuat penasaran dan gemas.

“Bocah ingusan! Kau tahu apa? Kau lihat rangka-rangka itu? Kalau si jahat itu tidak kubunuh, kau pun akan menjadi rangka, dan bukan kau saja, masih banyak anak-anak kecil akan ditangkapnya, dibunuhnya secara keji. Aku telah membunuh seorang jahat dan melenyapkan bencana demi keselamatan banyak orang anak-anak seperti engkau. Dan engkau menganggap aku kejam?”

Setelah mendengar pembelaan ini, baru agaknya Kwan Cu mau mengerti, dia mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan berkata,

“Toanio, kau benar aku yang salah. Terima kasih banyak atas pertolonganmu tadi.”

Loan Eng mau tidak mau harus tersenyum biarpun hatinya mendongkol sekali. Alangkah mahalnya ucapan “terima kasih” dari anak jembel ini. Akan tetapi diam-diam ia tertarik. Anak ini bukan anak biasa, dan cara anak ini mengaku kesalahan sendiri, benar-benar mengherankan dan mengagumkan hatinya.

“Anak, siapakah namamu?”

“Namaku Lu Kwan Cu.”

“Sebatangkara?” Kwan Cu menganguk sunyi.

“Tidak ada tempat tinggal?” Kwan Cu menggeleng, juga tanpa berkata sesuatu.

Loan Eng menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Alangkah banyaknya anak-anak terlantar seperti Kwan Cu ini. Banyak sudah ia bertemu dengan anak-anak seperti ini, sebatang kara, berkeliaran menjadi pengemis, tidak jarang mati kelaparan. Akan tetapi, belum pernah ia bertemu dengan jembel kecil seperti Kwan Cu ini. Juga wajah anak ini berbeda sekali dengan lain-lain jembel.

“Kwan Cu, maukah kau ikut dengan aku?”

“Ke mana?”

“Kemana saja aku membawamu pergi.”

“Mengapa? Untuk apa?”

“Anak bodoh, apa kau lebih suka berkeliaran seorang diri di dunia yang penuh kejahatan ini? Baru saja kau mengalami peristiwa yang mengancam nyawamu, apakah kau tidak ingin ikut dengan aku, menjadi muridku?”

“Menjadi muridmu, Toanio? Belajar apa?”

“Benar-benar pepat pikiranmu. Tentu saja belajar ilmu silat!”

“Untuk apa belajar silat?”

“Bodoh! Kalau kau memiliki kepandaian silat, apakah segala macam orang jahat seperti Tauw-cai-houw itu dapat mengganggumu?”

“Tidak, Toanio,” Anak itu menggeleng kepalanya yang gundul. “Aku tidak suka belajar silat.”

“He? Kenapa?” Wanita cantik itu bertanya heran.

“Aku tidak mau belajar menjadi orang kejam.” Kwan Cu teringat akan dua orang aneh di pantai laut. “Ilmu silat hanya dapat dipergunakan untuk memukul orang, bahkan untuk membunuh orang. Aku tidak suka pukul orang, juga tidak suka bunuh orang!”

Mendengar filsafat kanak-kanak ini, hati nyonya itu tertegun. Benar-benar anak ini luar biasa sekali, Loan Eng bermata tajam dan sebagai seorang ahli silat tinggi, ia dapat pula melihat bahwa anak ini bertulang baik sekali untuk belajar silat.

“Kalau aku mendapat kesempatan belajar, aku ingin belajar, membaca dan menulis, bukan belajar menggerakkan senjata tajam yang mengerikan,” jawab Kwan Cu dengan suara tetap.

“Hm, kaukira aku hanya dapat menggerakkan pedang saja? Akupun pernah mempelajari ilmu surat.”

Kwan Cu sangat girang sekali.
“Kalau begitu aku mau menjadi muridmu, Toanio!”

Setelah berkata demikian, serta merta anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Loan Eng yang kembali melengak, kemudian ia tertawa. Ketika Kwan Cu memandang, anak ini heran juga. Setelah tertawa nyonya ini tampak cantik sekali bagaikan matahari yang bersinar terang, sedangkan tadinya ada bayangan kemuraman pada wajah manis itu, seakan-akan matahari yang tertutup mendung.

“Toanio, bolehkah teecu (murid) mengetahui namamu yang mulia?”

“Aku disebut orang Pek-cilan, namaku Thio Loan Eng.”

Kwan Cu mencatat nama ini di dalam otaknya, kemudian setelah Loan Eng mengajaknya pergi, dia mengikuti wanita perkasa ini tanpa banyak cakap lagi. Loan Eng merasa kasihan pada Kwan Cu, maka ia ingin menolong anak ini.

“Kau ikut aku ke rumahku didusun Tun-hang, di sana kau boleh belajar membaca dan menulis, akan tetapi kau harus membantu pekerjaan di rumah,” katanya.

Kwan Cu mengangguk-angguk.
“Tentu saja, Toanio. Aku pun tidak suka menganggur saja.”






Tidak ada komentar :