*

*

Ads

Selasa, 18 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 035

Sekarang baik kita mengikuti pengalaman dan perjalanan Lu Kwan Cu lebih lanjut. Sambil melakukan perjalanan menuju ke Gunung Liang-san untuk mencari peninggalan buku-buku dari Gui Tin, Lu Kwan Cu mulai menerima pelajaran ilmu silat dari gurunya, yakni Ang-bin Sin-kai Lu Sin.

Ang-bin Sin-kai melihat bakat yang amat baik dalam diri muridnya, maka dia tidak berlaku kepalang tanggung dalam melatih ilmu silat. Ia melatih bhesi dan gerakan kaki dengan amat cermat, sehingga dalam beberapa bulan, dia masih belum memberi pelajaran ilmu pukulan, melainkan ilmu pelajaran pasang kuda-kuda kaki dan mengatur tenaga dalam kedudukan badan.

Selain itu, dia memberi pelajaran cara bersiulian dan mengatur napas. Biarpun pelajaran ini menjemukan dan tidak menarik hati, namun Kwan Cu mempelajari dan melatih diri dengan amat tekun.

Tubuhnya telah kehilangan tenaga lweekang yang dilatihnya menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu, maka boleh dibilang dia mulai melatih diri dari tingkat bawah lagi. Akan tetapi, dalam hal latihan ginkang dan ilmu lari cepat, Kwan Cu benar-benar mendapat kemajuan pesat sekali. Hal ini adalah karena perjalanan itu sendiri merupakan latihan yang terus menerus baginya.

Tanpa memberitahukan muridnya, makin lama Ang-bin Sin-kai makin cepat menggerakkan kedua kakinya sehingga secara otomatis, ilmu lari cepat Kwan Cu maju pesat sekali. Kadang-kadang, di waktu melompati jurang-jurang kecil, kakek ini tidak membantu Kwan Cu dalam melopati jurang-jurang makin hebat dan makin lebarlah jurang yang dapat dilompatinya.

Pada suatu hari, mereka mengaso di dalam sebuah hutan. Ang-bin Sin-kai tidur mendengkur sambil bersandar pada sebatang pohon besar. Kwan Cu berjalan di dalam hutan mencari bahan makan siang. Ia tahu bahwa suhunya doyan sekali makan daging kelinci panggang, maka dia mencari-cari binatang itu untuk ditangkapnya. Setelah mencari beberapa lama, akhirnya dia melihat seekor kelinci gemuk yang menggerak-gerakkan kedua telinganya dengan lucu sekali.

Kelinci itu pun mendengar kedatangannya, dan cepat sekali binatang ini melompat ke dalam semak-semak. Kwan Cu mengejarnya dan mengambil beberapa potong batu kecil. Di goyang-goyangnya rumpun di mana kelinci itu bersembunyi. Binatang ini menjadi ketakutan dan melompat keluar lalu berlari cepat.

Akan tetapi Kwan Cu lebih cepat gerakannya dan tangannya menyambar. Sebuah batu kecil meluncur ke arah binatang itu. Kwan Cu merasa yakin bahwa sambitannya pasti akan mengenai sasaran, karena dia telah mempelajari Pek-po-coa-yang (Ilmu Timpuk Tepat Dalam Jarak Seratus Kaki).

Akan tetapi, ketika batu itu sudah menyambar dekat dengan tubuh kelinci, tiba-tiba dari lain jurusan, menyambar sebutir batu bundar yang meluncur cepat sekali dan membentur batu yang disambitkan Kwan Cu. Kwan Cu terkejut dan juga heran sekali. Ia menoleh ke sana ke mari namun tidak melihat orang. Kelinci itu sudah berlari pergi dan sebentar saja lenyap.

“Binatang yang begitu lucu mengapa harus dibunuh?” terdengar suara nyaring menegur dan tiba-tiba melompatlah bayangan seorang anak kecil keluar dari balik sebatang pohon besar.

Ketika Kwan Cu memandang, ternyata bahwa anak itu adalah The Kun Beng, murid kedua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Kun Beng keluar sambil tersenyum-senyum ramah dan wajahnya yang tampan tampak menarik sekali.

Kwan Cu tidak menjadi marah kehilangan kelincinya.
“Maksudku bukan untuk membunuh, akan tetapi makan dagingnya,” bantahnya sambil tersenyum juga.

Kun Beng membelalakkan kedua matanya.
“Apa bedanya? Bukankah makan dagingnya berarti membunuh juga?”

Dengan wajah sungguh-sungguh, Kwan Cu menggeleng kepalanya.
“Jauh sekali bedanya! Membunuh karena marah dan mata gelap, itu bodoh namanya. Membunuh untuk memuaskan hati dan memperlihatkan keunggulan, itu kejam namanya. Akan tetapi membunuh untuk mengisi perut karena lapar, itu lain lagi, bukan membunuh lagi namanya!”

Kun Beng tertegun.
“Ah, lidahmu lemas sekali, Kawan. Ucapanmu itu benar-benar aku tidak mengerti maksudnya. Cara kau bicara seperti suhu saja, membingungkan. Bukan bicara anak-anak dan aku tidak suka. Lebih baik kita main gundu, lebih menggembirakan.”

“Main gundu?” kini Kwan Cu yang terheran-heran.

Anak aneh, datang-datang dan bertemu di tengah hutan mengajak main gundu! Pula, dia tidak bisa main gundu. Kun Beng mengeluarkan kelereng yang dipegangnya. Semua ada tujuh butir, terbuat daripada batu-batu hitam yang keras.






“Sebetulnya harus delapan butir, akan tetapi yang sebutir tadi kupakai menolong nyawa kelinci,” kata Kun Beng sambil tertawa. “Akan tetapi tidak apa, pakai tujuh butir pun sudah cukup.”

“Bagaimana cara memainkannya?” tanya Kwan Cu yang ikut pula berjongkok seperti Kun Beng.

“Kau lihatlah baik-baik! Yang enam butir kulemparkan di atas tanah dan berpencaran, kemudian dengan sebutir ini aku membidik sehingga berganti-ganti dapat mengenai enam butir kelerang itu.”

Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu membidikkan sebutir kelereng dari jarak lima kaki. Kelereng itu meluncur dari tangannya dan menggelinding, dengan jitu sekali mengenai kelereng pertama, terus mental kepada kelereng kedua, ketiga dan seterusnya sampai enam butir kelereng itu terkena benturan semua!

“Bagus!” kata Kwan Cu memuji, “Kau pandai sekali!”

“Nah, yang berhasil membenturkan kelereng jagonya sampai mengenai enam yang lain, boleh main terus. Kalau tidak kena, baru kau boleh dapat giliran.”

Demikianlah, dua orang anak-anak ini sambil berjongkok bermain gundu di tengah hutan! Akan tetapi karena tidak terlatih, tentu saja Kwan Cu kalah selalu.

“Kau benar-benar pandai. Siapa sih namamu?’

“Namaku The Kun Beng. Aku sudah tahu namamu, Lu Kwan Cu, bukan?”

Kwan Cu mengangguk.
“Suhumu itu amat lihai dan terkenal. Suhuku sering kali memuji namanya. Dan suhengmu yang galak itu, siapa namanya?’

“Suheng bernama Gouw Swi Kiat, biarpun galak akan tetapi hatinya baik dan dia lihai mainkan sepasang kipas.”

“Kau pun tentu lihai main kipas.”

Kun Beng menggeleng kepalanya.
“Aku lebih suka mainkan tombak dan pedang, terutama sekali tombak. Kau sendiri belajar apakah dari suhumu?”

Kwan Cu menggelengkan kepalanya yang gundul.
“Tidak belajar apa-apa, hanya belajar gerakan kaki saja. Eh, Kun Beng, kau mengapa bisa berada di tempat ini? Mana suhengmu dan suhumu?”

“Mereka masih di belakang. Aku mendahului mereka masuk ke dalam hutan. Aku paling senang berada di dalam hutan, dikelilingi pohon-pohon besar dan daun-daun. Nah, itu dia suhengku datang.”

Benar saja, Swi Kiat muncul dan datang-datang ia menegur sutenya.
“Sute, kau terlalu sekali. Suhu menyuruh aku mencarimu di mana-mana hingga kucari sampai berputaran di dalam hutan ini. Eh, bukankah ini Lu Kwan Cu, bocah yang mengacaukan urusan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu?” tanyanya sambil memandang tajam kepada Kwan Cu.

“Suheng, Kwan Cu kalah main kelereng denganku!” kata Kun Beng.

“Main kelereng? Ah, kau seperti anak kecil saja. Mengapa tidak mengalahkan dia dalam main silat?”

“Kwan Cu belum belajar silat, Suheng. Bagaimana bisa minta dia pibu (mengadu kepandaian silat)?”

“Dia bohong! Mana bisa murid Ang-bin Sin-kai tidak mengerti ilmu silat? Hm, orang yang suka menyembunyikan kepandaiannya, dia mempunyai hati curang dan licik. Eh, Lu Kwan Cu, beranikah kau mengadu kepandaian dengan aku?” Gouw Swi Kiat menantang dengan sikap sombong.

“Berani sih tentu saja berani. Takut atau tidak berani hanya bersarang dalam hati seorang bersalah, sedangkan aku tidak bersalah sesutau terhadapmu. Akan tetapi, tentang mengadu kepandaian denganmu, apanya yang harus diadu? Aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa,” jawab Kwan Cu sejujurnya.

Memang, semenjak suhunya mengeluarkan semua tenaga yang dipelajarinya, dari kitab palsu, kini dia tidak mempunyai kepandaian silat sama sekali, kecuali ginkang dan lweekang yang masih dimiliki tanpa disadarinya.

“Mulutmu lemas sekali seperti perempuan! Kau hanya mempergunakan lidahmu untuk mencari alasan, padahal sesungguhnya kau takut padaku. Hayo bilang saja kau takut!” Swi Kiat membentak sambil mengejek.

“Aku tidak takut!” jawab Kwan Cu menggelengkan kepala.

“Bagus, kalau begitu mari kita mengukur kepandaian!”

Sebelum Kwan Cu sempat menjawab, Swi Kiat sudah menyerang dengan pukulan tangan kiri ke arah dada!

Biarpun belum menerima latihan ilmu pukulan dari suhunya, namun Kwan Cu sudah mempelajari cara pergerakan kaki dan kedudukan tubuh, maka dia memiliki kegesitan dan gerakan otomatis dari seorang ahli silat tinggi.

Menghadapi pukulan ini, dia miringkan tubuh dan menarik kaki yang berada di depan sehingga pukulan itu mengenai angin! Swi Kiat menjadi penasaran dan menyerang bertubi-tubi!

Swi Kiat adalah murid pertama yang berbakat dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Tentu saja ilmu silatnya sudah baik dan tinggi. Seorang laki-laki dewasa saja, dalam satu dua gebrakan tentu akan roboh olehnya. Usianya sebaya dengan Kwan Cu dan dalam hal ilmu silat, dia masih menang jauh. Maka, setelah dapat mengelak beberapa jurus, akhirnya kepala Kwan Cu yang gundul itu terkena pukulan tangan kiri Swi Kiat.

“Buk!”

Tubuh Kwan Cu berputaran saking kerasnya pukulan itu. Untuk sejenak kepalanya terasa pening dan seakan-akan kepalanya terasa bengkak membesar. Akan tetapi, hanya sebentar saja karena di dalam darah Kwan Cu telah mengalir darah ular dan buah coa-ko, ditambah pula latihannya lweekang tanpa disadarinya telah mencapai tingkat tinggi juga.

“Kita tidak berkelahi, bagaimana aku bisa mengaku kalah?” Kwan Cu berkata sambil menggelengkan kepalanya.

“Eh, gilakah kau? Bukankah baru saja kau kuserang dan kepalamu terpukul?”

“Memang kau menyerangku, akan tetapi tidak berkelahi!”
.
“Suheng, jangan pukul dia! Dia benar-benar tidak mempunyai kepandaian silat!”

Kwan Cu mendengar suara Kun Beng mencegah suhengnya.

Akan tetapi Swi Kiat sambil bertolak pinggang, berkata kepada Kwan Cu,
“Hayo kau mengaku kalah padaku!”

“Suheng, dia benar! Dia sama sekali tidak membalas seranganmu, bagaimana disebut berkelahi?”

“Kalau begitu, sekarang aku akan memaksa dia berkelahi dengan aku!” seru Swi Kiat yang menyerang pula.

Akan tetapi, tiba-tiba Kun Beng melompat menangkis serangan suhengnya itu.

“Eh, Kun Beng. Apa kau sudah gila?”

“Tidak segila engkau, Suheng! Seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak mau membalas!” jawab Kun Beng.

Swi Kiat ragu-ragu. Ia harus akui bahwa tingkat kepandaian sutenya tidak kalah olehnya, kalau tidak mau dibilang lebih tinggi dan lebih maju. Pula, dia sayang kepada sutenya ini dan tentu saja tidak mau cekcok dengan sutenya hanya karena Kwan Cu, bocah gundul itu.

“Kau pergilah!” bentaknya kepada Kwan Cu, yang memandang semua itu dengan matanya yang bersinar-sinar.

Mendengar bentakan ini, sebetulnya kalau menurut wataknya yang keras dan tidak mau tunduk, Kwan Cu tidak mau mengambil perhatian. Akan tetapi Kun Beng berkata halus,






Tidak ada komentar :