*

*

Ads

Selasa, 18 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 034

Ong Kiat mengerutkan keningnya, beralasan juga kata-kata wanita yang dicintainya ini.
“Akan tetapi, Loan Eng. Dalam hal pembentukan rumah tangga, suara orang luar itu hanya mendatangkan kerusakan belaka. Apa sangkut pautnya orang lain dengan kita? Pula, hendak kulihat, siapa orang-orangnya yang berani mencacimu? Pendeknya begini, Loan Eng. Kau pulanglah dan pikirkanlah masak-masak. Aku tidak terburu-buru dan masih tetap bersabar, karena bertahun-tahun aku menanti, bahkan aku telah mengambil keputusan takkan menikah dengan orang lain. Masa aku tidak dapat bersabar menanti sampai kau dapat mengambil keputusan? Ingatlah selalu, bahwa di Hak-keng, aku selalu menanti kedatanganmu dan anakmu.”

Demikianlah, Loan Eng lalu pulang ke Tun-hang dengan berat hati dan ragu-ragu untuk mengambil keputusan.

Dan dalam perjalanan pulang inilah ia bertemu dan menolong Lu Kwan Cu dari tangan Tauw-cai-houw sebagaimana telah dituturkan di bagian depan. Kemudian terjadi peristiwa penculikan Sui Ceng oleh anak buah suaminya, yakni anggota-anggota Sin-to-pang.

Melihat keadaan ini, ngerilah hati Loan Eng. Ia takut kalau-kalau puterinya yang hanya satu-satunya dan yang amat dikasihinya itu akan benar-benara menjadi ketua dari Sin-to-pang! Maka ia lalu membawa pergi puterinya, meninggalkan Lu Kwan Cu.

Kemanakah perginya Loan Eng dan Sui Ceng. Mudah diduga. Kemana lagi kalau tidak ke Hak-keng, ke tempat tinggal Ong Kiat, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi harapan Loan Eng.

Bukan demi rasa cintanya kepada Ong Kiat maka ia datang kepada piauwsu muda itu, melainkan karena ia bingung bagaimana harus mendidik Sui Ceng tanpa ayah. Ia tahu bahwa di samping Ong Kiat, ia akan merasa kuat dan tabah, dan Sui Ceng akan mendapatkan rumah tangga yang kokoh kuat dan berbahagia.

Ong Kiat menerima mereka dengan girang bukan main. Pernikahan dilangsungkan secara sederhana sekali. Ong Kiat hanya mengundang kawan-kawan dan kenalan-kenalan yang dekat, dan upacara pernikahan hanya cukup dengan sembahyang dan disaksikan oleh para tamu.

Akan tetapi, dalam upacara ini, terjadilah hal yang sangat hebat sekali. Selagi para tamu bergembira-ria minum arak dan makan hidangan, sedangkan Loan Eng telah kembali ke kamarnya, tiba-tiba dari luar datang seorang tokouw (pendekar wanita) yang tua akan tetapi berwajah keren sekali.

Pendeta wanita ini memegang sebatang cambuk berbulu sembilan. Dia bukan lain adalah Kiu-bwe Coa-li, tokoh besar ke dua dari selatan! Pada waktu itu, Loan Eng sedang memeluk puterinya, sambil menangis terisak-isak. Selama dilakukan upacara pernikahan, Sui Ceng tidak mau keluar dari kamar dan anak ini marah-marah saja dan menangis.

“Ibu, kau terlalu! Mengapa menikah dengan Paman Ong Kiat?” demikian berkali-kali anak kecil ini menegur ibunya dengan muka cemberut.

“Sst, anakku. Bukankah paman Ong amat baik? Dia akan menjadi ayahmu yang baik sekali.”

“Ah, aku tidak suka, Ibu. Ayahku ketua dari Sin-to-pang, baik mati atau hidup dia tetap ayahku!”

Mendengar ucapan ini, Loan Eng memeluk puterinya dan menangis. Ia tidak harus berbuat dan berkata bagaimana. Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di bagian luar. Suaminya masih melayani tamu di depan, maka mendengar suara ribut-ribut itu, Loan Eng lalu melepaskan penutup kepalanya, dan memang ia berpakaian sederhana. Kemudian ia lalu bertindak keluar, meninggalkan puterinya yang masih berbaring menangis di atas tempat tidur.

Ketika Loan Eng tiba di luar, ia terkejut sekali. Ia melihat seorang tokouw dikelilingi oleh banyak tamu dan suaminya menghadapi tokouw itu dengan marah-marah.

“Suthai, kau terlalu sekali! Bagaimana kau bisa minta begitu saja anak orang. Harap kau jangan mengganggu kami, Suthai. Kesalahan apakah yang telah kami lakukan sehingga kau datang-datang hendak mengacau?”






Mendengar ucapan suaminya, Loan Eng terkejut sekali dan ia berseru keras,
“Ong Kiat, jangan kurang ajar……!”

Semua orang terkejut dan lebih-lebih heran mereka ketika melihat betapa Loan Eng berlari setelah tiba di depan tokouw itu, Loan Eng lalu menjatuhkan diri berlutut di depannya dan mengangguk-anggukkan kepala.

“Teecu mengaku salah, harap Locianpwe sudi memberi maaf kepada teecu sekalian…….” katanya dengan suara amat menghormat.

Kiu-bwe Coa-li tersenyum dan lenyaplah kekakuan pada mukanya.
“Hm, Loang Eng, kau masih muda, tentu saja kau ingin berumah tangga lagi. Pinni bukan datang hendak mengganggu, hanya untuk minta anakmu, karena bukankah dia hanya mengganggu kebahagianmu saja?”

Pada saat itu, Sui Ceng sudah muncul pula, karena anak ini tadi mengejar ibunya. Melihat tokouw itu, Sui Ceng tertegun. Mengapa ibunya berlutut didepan tokouw aneh ini?

Sementara itu Kiu-bwe Coa-li ketika melihat Sui Ceng, lalu menggerakkan cambuknya. Dua helai bulu cambuknya itu melayang dan tahu-tahu telah melibat tubuh Sui Ceng. Sekali betot saja, tubuh anak itu telah melayang ke arahnya dan diterima terus di pondong oleh pendeta wanita itu. Sui Ceng bersorak girang.

“Hebat, hebat! Kau lihai sekali, Suthai,” kata Sui Ceng.

Kiu-bwe Coa-li tertawa.
“Mau kau ikut aku belajar silat? Di sini kau hanya mengganggu ibumu yang sedang bersenang-senang!”

Sui Ceng memandang kepada ibunya yang berlutut, kemudian memandangi Ong Kiat yang berdiri di dekat situ, lalu ia memandang kembali kepada Kiu-bwe Coa-li dan menganggukkan kepalanya.

“Aku ingin belajar silat, karena aku adalah ketua dari Sin-to-pang. Aku harus lihai!”

“Bagus, hayo ikut aku pergi!” Sambil berkata demikian, Kiu-bwe Coa-li membawa Sui Ceng.

“Sui Ceng….!” Loan Eng mengeluh akan tetapi tidak berani mengejar.

Tokouw itu menengok dan berkata dengan suara keren,
“Loan Eng, apa kau tidak rela memberikan anakmu sebagai muridku?”

“Bukan tidak rela, hanya teecu berat berpisah dari dia…..” jawab ibu ini.

Kiu-bwe Coa-ii tertawa mengejek.
“Bukankah kau sudah mendapatkan suami baru? Dia yang akan menghiburmu dan kau akan lupa kepada anakmu!”.

“Suthai, kau terlalu sekali!” Ong Kiat membentak. “Kembalikan Sui Ceng kepada kami!”

Piauwsu muda ini lalu melompat mengejar dan menubruk, hendak marampas Sui Ceng.

“Ong Kiat, jangan…!” Loan Eng memberi peringatan, namun terlambat.

Begitu Kiu-bwe Coa-li menggerakkan tangannya, tubuh Ong Kiat terpental ke belakang bagaikan tertiup angin puyuh.

“Hm, kalau tidak ingat kau seorang pengantin baru, tentu kau sudah menggeletak tak bernyawa pula!” kata Kiu-bwe Coa-li dan sekali ia menggerakkan tubuhnya, lenyaplah bayangan bersama Sui-Ceng.

Loan Eng menangis, dipeluk dan dihibur oleh suaminya yang masih terheran-heran bagaimana dia tadi sampai terpental ke belakang, karena dia tidak dapat melihat tangkisan atau serangan wanita tua yang lihai itu.

“Sudahlah, Loan Eng. Tak perlu kita bersedih terus. Bukankah Sui Ceng berada dalam tangan orang sakti? Ia akan menerima latihan ilmu silat yang luar biasa. Guru-guruku sendiri di Thian-san tak mungkin dapat menandingi kelihaian nenek tadi. Siapakah dia itu?”

Setelah menyusut air matanya dan dapat menentramkan hatinya, Loan Eng berkata,
”Tidak tahukah kau siapa dia? Dia adalah Kiu-bwe Coa-li!”

“Ayaaa…….! Pantas saja ia demikian lihai dan aneh. Baiknya ia masih tidak berlaku kejam padaku, kalau tidak demikian, bagaimana aku masih bisa hidup?” kata Ong Kiat.

“Dia telah beberapa kali menolongku dan aku percaya bahwa anakku tentu akan aman di dalam pendidikannya, akan tetapi, bagaimana aku bisa senang ditinggalkan oleh anakku?”

Loan Eng mengeluh sedih. Ong Kiat menghiburnya dengan penuh cinta kasih dan perhatian sehingga lambat-laun dapat juga Loan Eng mengatasi kedukaannya.

Demikianlah keadaan dan pengalaman Loan Eng sehingga Kiu-bwe Coa-li dapat muncul memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng bersama Bun Sui Ceng yang telah menjadi muridnya.

**** 034 ****





Tidak ada komentar :