*

*

Ads

Selasa, 18 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 033

“Jadi kaukah orang yang menolongku dari sumur tadi?” tanyanya perlahan.

“Tiada harganya untuk disebut-sebut, Loan Eng. Kau tahu bahwa aku bersiap sedia selalu untuk membelamu dengan taruhan nyawa sekalipun!”

Berdebar jantung janda muda itu dan ia memeras rambutnya lalu di gelungnya.
“Punyamukah jubah panjang ini, Ong Kiat?”

“Ya, aku melihat kau….. kau kedinginan, maka aku kerobongkan baju luarku.”

Dengan muka terasa panas biarpun masih basah oleh air, Loan Eng mengerling ke arah punggung orang muda itu.

“Dan… kau….. kau melihat…..”

“Apa, Loan Eng?”

“…….tidak apa-apa! Aku sudah selesai berpakaian, Ong Kiat!”
Orang muda itu memutar tubuhnya dan mereka saling pandang.

“Ah, kau tidak berubah, Loan Eng. Masih seperti dulu.”

“Siapa bilang tidak berubah? Aku sekarang sudah tua.”

“Kau keliru! Setiap orang akan dapat mengatakan bahwa kau tiada ubahnya seorang gadis berusia tujuh belas tahun saja. Sungguh, kau tidak berubah, Loan Eng.”

“Kau pun tidak berubah, Ong Kiat, yakni…. watakmu, masih baik seperti dulu.”

“Jadi keadaan jasmaniku berubah dalam pandanganmu?”

“Hanya pakaianmu!”

Ong Kiat tertawa dan biarpun usianya sudah hampir tiga puluh tahun, ketika tertawa dia nampak masih muda sekali.

“Memang aku telah menjadi piauwsu (pengantar dan pengawal barang kiriman) dan aku tinggal di kota Hak-keng, tidak jauh dari sini.”

Percakapan mereka terhenti karena terdengar suara orang dan tindakan kaki.
“Akan kubasmi semua gerombolan anjing itu!” kata Loan Eng perlahan dan tanpa berjanji dulu, kedua orang ini lalu melompat menerjang ke arah pintu, keluar dari ruangan itu.

Alangkah kagetnya Sin Sai dan Sin Houw yang memimpin orang-orangnya ketika melihat dua orang itu. Mereka tidak mengira bahwa Loan Eng sudah dapat keluar dari sumur itu.

Namuan Loan Eng dan Ong Kiat tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka untuk berheran-heran lebih lama lagi karena Loan Eng sudah lantas menggerakkan pedangnya dan menerjang dengan hebat sekali. Juga Ong Kiat telah menerjang dengan goloknya yang terkenal karena dia adalah anak murid Thian-san-pai yang berkepandaian tinggi.

Hebat sekali sepak terjang kedua orang muda yang marah ini. Terutama sekali Loan Eng. Pendekar wanita ini mengarahkan serangannya khusus kepada Sin Sai dan Sin Houw yang mengeroyoknya, sedangkan Ong Kiat dengan enaknya membabati anak buah gerombolan yang segera roboh sambil menjerit kesakitan.

Hanya dalam waktu tiga puluh jurus saja, berturut-turut Sin Sai dan Sin Houw roboh dan tewas di ujung pedang Loan Eng, kemudian bersama Ong Kiat ia membasmi semua anak buah gerombolan. Tak seorangpun dapat melarikan diri.

Ong Kiat lalu mengajak Loan Eng menyerbu ke dalam gedung itu. Mereka membebaskan orang-orang wanita yang tadinya diculik oleh gerombolan itu dan jumlah mereka semua adalah sembilan orang, penduduk dusun-dusun dan juga ada dua orang berasal dari kota Hak-keng.






Ong Kiat mengumpulkan barang-barang kawalannya yang tadinya dirampok oleh gerombolan itu. Ia tidak mau mengambil lain barang berharga untuk keperluannya sendiri, bahkan lalu membagi-bagikan barang-barang lainnya kepada sembilan orang wanita itu yang berlutut di depan Loan Eng dan Ong Kiat sambil menghaturkan terima kasih.

Lalu mereka membakar gudang sarang gerombolan itu dan kedua orang gagah ini mengantar sembilan orang wanita itu menuju Hak-keng. Tak perlu kiranya diceritakan betapa dua orang muda pendekar ini disambut dengan penuh kegembiraan dan rasa terima kasih oleh keluarga para korban itu.

Terutama sekali Ong Kiat yang memang sudah terkenal di kota Hak-keng sebagai seorang pendekar yang budiman, mendapat sambutan hangat, bahkan kepala daerah di Hak-keng memberi gelar Hak-keng taihiap kepadanya.

Kemudian, di ruang tamu di rumah Ong Kiat, dua orang pendekar itu duduk menghadapi arak. Loan Eng merasa terharu melihat betapa keadaan rumah bekas kawannya ini sunyi saja, hanya ada dua orang pelayan wanita tua yang mengurus rumah tangga.

“Ong Kiat, di mana orang tuamu?”

Ong Kiat menarik napas panjang.
“Mereka telah meninggal dunia ketika di kota ini mengamuk wabah penyakit.”

“Dan kau hidup sebatang kara?”

Ong Kiat mengangguk.

“Apakah kau tidak…… tidak beristri?”

Mendengar pertanyaan ini, merahlah wajah Ong Kiat dan dia menjawab agak kasar,
“Loan Eng, kau kira aku laki-laki macam apakah? Selama hidup, aku takkan melanggar sumpahku!”

Kini Loan Eng menghela napas sambil menundukkan mukanya. Ia masih ingat baik-baik akan sumpah Ong Kiat, bahwa pemuda ini tidak akan menikah dengan lain orang wanita kecuali dengan Thio Loan Eng yang sudah di jodohkan oleh orang tuanya kepada Bun Liok Si!

“Loan Eng, kau baik-baik saja selama ini? Bahagiakah hidupmu?”

“Ah, Ong Kiat. Kau tidak tahu. Aku adalah seorang yang paling berdosa, seorang istri yang tidak baik. Aku…… aku telah membunuh suamiku sendiri.”

Akan tetapi Ong Kiat tidak heran mendengar ini.
“Aku sudah tahu, Loan Eng. Aku sudah mendengar tentang semua keadaanmu.” Kemudian untuk menggembirakan suasana, dia bertanya. “Ah, ya, bagaimana dengan puterimu? Sudah besarkah?”

Berseri wajah Loan Eng.
“Kalau tidak ada puteriku, agaknya aku takkan ada di dunia ini.” Setelah berhenti sebentar, Loan Eng lalu mengubah percakapan yang tidak enak itu. “Ong Kiat, bagaimana kau bisa berada di sarang gerombolan itu dan kebetulan sekali menolongku keluar dari dalam sumur?”

Ong Kiat lalu bercerita. Telah beberapa tahun dia menjadi piauwsu dan karena gagahnya dan jujurnya, maka dia dipercaya penuh oleh banyak pedagang dan bangsawan.

Pada suatu hari, pembantu-pembantunya mengantarkan barang-barang berharga dari seorang bangsawan dan barang-barang itu harus di antarkan ke kota raja. Pada waktu itu, Ong Kiat tidak berada di Hak-keng karena piauwsu muda ini sedang mengantar seorang keluarga, yang melakukan perjalanan jauh. Ketika dia datang di Hak-keng kembali, dia mendengar bahwa barang kiriman itu dirampok oleh gerombolan di dalam hutan itu.

Marahlah Ong Kiat dan seorang diri saja dia lalu membawa goloknya melakukan penyelidikan. Melihat gerombolan itu terdiri dari dua puluh orang lebih, ia lalu melakukan pembakaran pada bagian belakang gedung itu, tidak tahu bahwa Loan Eng sudah menyerbu masuk ke dalam. Ong Kiat maklum akan kelihaian gerombolan ini, karena dia tahu bahwa bekas kelenteng ini memang mempunyai banyak bagian-bagian rahasia.

Kemudian dia merobohkan beberapa orang anggauta gerombolan dan menyerbu ke dalam. Ia datang pada saat yang tepat karena dia melihat empat orang gerombolan mengintai dari pintu sebuah ruangan besar, di mana terdapat sumur rahasia itu.

Ia merobohkan dua orang anggauta gerombolan dan yang dua lagi lari keluar. Maka tepat sekali kedatangannya dan dia masih sempat menolong Loan Eng dari bahaya maut. Ia tadinya tidak tahu bahwa orang yang terjebak adalah Loan Eng, wanita satu-satunya di dunia ini yang menjadi pujaan kalbunya.

Melihat keadaan Loan Eng cepat Ong Kiat mengerobongi tubuh wanita yang dikasihinya ini dengan baju luarnya, kemudian dia menyerbu ke dalam kamar belakang dan minta sesetel pakaian dari seorang wanita tawanan untuk diberikan kepada Loan Eng setelah pendekar wanita ini siuman kembali.

Mendengar penuturan Ong Kiat, Loan Eng berkata kagum,
“Tak kusangka bahwa kepandaianmu telah maju demikian hebatnya, Ong Kiat.”

“Ah, mana bisa di bandingkan dengan ilmu pedangmu?” jawab Ong Kiat merendah, kemudian dengan wajah bersungguh-sungguh dia berkata, “Loan Eng, setelah kau sekarang menjadi janda, hidup berdua dengan puterimu, adakah harapan kiranya bagiku untuk membantumu mendidik puterimu itu? Aku akan menganggap sebagai anakku sendiri, Loan Eng.”

Sambil berkata demikian, dia menatap wajah bekas kawannya itu dengan penuh harapan.

Loan Eng tertegun dan menundukkan mukanya yang menjadi merah! Terus terang saja, dahulu sebelum ia di jodohkan dengan Bun Liok Si, diam-diam ia juga merasa suka kepada Ong Kiat, kawan mainnya semenjak ia kecil. Setelah mulai dewasa rasa suka ini menjadi perasaan cinta kasih yang terpendam.

Akan tetapi, setelah menjadi istri Bun Liok Si, perasaan terhadap Ong Kiat ini diusirnya jauh-jauh, dan tidak pernah dipikirkannya lagi. Sebagai seorang istri, ia harus mencinta suaminya dan harus bersetia lahir dan batin! Biarpun suaminya telah meninggal dunia, namun andaikata ia tidak bertemu Ong Kiat, agaknya selama hidupnya ia pun tidak akan mengingat lagi kepada bekas kawan itu.

Akan tetapi, nasib agaknya menghendaki lain, karena dalam keadaan yang amat tidak tersangka-sangka, ia bertemu dengan pemuda ini. Dan lebih hebat lagi, ternyata bahwa Ong Kiat masih setia dan tidak mau menikah dengan wanita lain, bahkan sekarang mengajukan pinangan kepadanya!

Dapat dibayangkan betapa gelisah dan bingungnya hati Loan Eng menghadapi pinangan pemuda ini. Ia maklum akan kemuliaan hati dan kebaikan watak Ong Kiat, dan ia berani memastikan bahwa andaikata ia meneriman pinangan ini, ia akan dapat hidup beruntung, dan juga puterinya, Sui Ceng, pasti akan menemukan seorang ayah tiri yang jauh lebih baik adat wataknya daripada ayahnya sendiri yang sudah meninggal!

Akan tetapi….. hatinya masih terasa berat untuk menerima pinangan ini. Memang, di Tiongkok pada masa itu, adalah merupakan hal yang langka dan tidak mungkin bagi seorang janda, apalagi sudah mempunyai anak, untuk menikah lagi.

Melihat sampai sekian lamanya Loan Eng tidak menjawab dan menunduk saja dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Ong Kiat lalu bertanya, dengan nada mendesak.

“Loan Eng, bagaimana jawabmu? Apakah masih juga aku tidak mempunyai harapan?”

Loan Eng mengangkat mukanya memandang dan Ong Kiat melihat betapa sepasang mata yang bening itu menjadi basah.

“Ong Kiat, bagaimana aku harus menjawabmu? Aku tidak ingin menyakitimu, tidak ingin mengecewakanmu, kau begitu baik…. Sedangkan aku……”

“Hush Loan Eng, jangan ucapkan kata-kata seperti itu. Aku bukan seorang anak-anak lagi. Marilan kita bicara dengan tenang, tidak baik kalau orang-orang yang sudah banyak menderita seperti kita ini masih dapat dikuasai oleh nafsu.”

Mendengar ucapan ini, legalah Loan Eng. Ia mengangkat mukanya lagi dan kini ia memandang dengan berani. Pandangan matanya penuh kekaguman.

“Loan Eng, aku dapat menduga isi hatimu. Kau tentu suka sekali menerima pinanganku, akan tetapi kau merasa tidak enak, sebagai seorang janda muda menikah lagi, bukan?”

Loan Eng mengangguk,
“Bukan cuma itu, Ong Kiat. Aku telah membunuh suamiku sendiri karena dia menyeleweng karena cemburu. Kalau sekarang aku menikah lagi dengan kau, apakah orang lain tidak akan mengatakan bahwa aku sengaja membunuh suamiku untuk dapat menikah lagi dengan orang lain?”






Tidak ada komentar :