*

*

Ads

Kamis, 20 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 036

“Kwan Cu, lebih baik kau tinggalkan kami saja. Untuk apa mencari keributan?”

Kwan Cu mengangguk dan berjalanlah dia untuk kembali kepada suhunya. Di tengah jalan, dia berhasil menimpuk mati seekor kelinci dan dengan girang dibawanya kelinci itu kepada suhunya. Ia mendapatkan gurunya telah bangun dari tidurnya dan kini gurunya itu duduk bersandar pada pohon dan memandangnya.

“Suhu, teecu mendapatkan seekor kelinci!” kata anak itu girang.

Akan tetapi gurunya tidak ikut bergembira, bahkan menegurnya.
“Kwan Cu, kau membikin malu padaku! Kau hanya berani menyerang seekor kelinci, akan tetapi tidak berani membalas serangan seorang lawan yang menghinamu! Kau membiarkan kepalamu yang gundul itu menjadi permainan pukulan murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Bukankah itu amat memalukan dan merendahkan nama guru?”

Kwan Cu tertegun. Gurunya tadi tidur pulas di bawah pohon, bagaimana suhunya ini tahu akan peristiwa yang terjadi antara dia dan Swi Kiat?

“Suhu, teecu tidak berniat berkelahi. Untuk apakah berkelahi dengan orang? Tidak ada alasannya bagi teecu untuk membalas serangannya. Dan pula, bagaimana teecu bisa membalas? Dia lihai sekali.”

Merah muka Ang-bin Sin-kai yang memang sudah merah itu,
“Murid goblok! Kalau tiada hujan tiada angin kau mengamuk dan memukul orang, itu memang tidak baik dan tidak beralasan. Akan tetapi kau dihina dan dipukul. Itu sudah merupakan alasan kuat sekali bagimu untuk membalas memukulnya!”

“Akan tetapi, Suhu…..”

“Tidak ada tapi! Lekas kau kembali dan membalas pukulannya!”

“Dia lihai, Suhu……”

“Eh, kau takut?”

Mata bocah gundul itu bersinar penasaran,
“Takut?? Siapa takut, Suhu? Biar kepada iblis sekalipun teecu tidak takut!”

“Kalau begitu, kau lekas kembali kepadanya. Tanya apakah dia masih mau memukulmu, kalau dia menyerang, balas!”

“Teecu belum pernah suhu ajari ilmu pukulan.”

“Untuk apa kedua tangan dan kakimu? Belajar atau tidak, memukul dan menendang tak bisa lain harus menggunakan kaki tangan. Dan kaki tanganmu masih ada, bukan?”

Kwan Cu mengaku kalah dan segera dia kembali mencari Swi Kiat! Di dalam hutan, dia melihat Swi Kiat dan Kun Beng duduk di bawah pohon bersama gurunya, yakni Pak-lo-sian Siangkoan Hai!

Keder juga hati Kwan Cu melihat orang tua yang bertubuh pendek kecil itu, akan tetapi memang dia seorang anak yang tidak mengenal arti takut. Pendiriannya sungguh teguh, seteguh batu karang di pinggir laut, bahwa kalau tidak bersalah dia tidak boleh takut kepada siapapun juga!

“Eh, Swi Kiat. Apakah kau masih juga mau memukulku seperti tadi?” tanyanya sambil menghampiri Swi Kiat yang memandangnya dengan mata terheran.

Juga Kun Beng heran sekali sehingga tidak dapat mengeluarkan kata-kata.

Adapun Siangkoan Hai memandang dengan mata penuh perhatian, lalu berkata,
“Ah, bukankah bocah gundul itu murid Gui Tin?”

“Teecu sekarang murid Ang-bin Sin-kai, Locianpwe.” Jawab Kwan Cu dengan suara tenang.

Siangkoan Hai tertawa bergelak.
“Bersemangat juga anak ini. Eh, Swi Kiat, dia datang menegurmu hendak apakah?”






“Tadinya teecu telah menghajar dia, agaknya dia masih kurang dan minta tambah lagi,” kata Swi Kiat sambil bangun berdiri, “Kwan Cu, apakah kau datang hendak minta di gebuk kepalamu yang gundul itu lagi? Jangan kurang ajar, lekaslah pergi dari sini!”

“Aku datang hendak menyatakan bahwa kalau kau menyerangku, sekarang aku akan membalasmu!”

Swi Kiat tertawa geli, bahkan Kun Beng juga tertawa, akan tetapi murid kedua dari Siangkoan Hai ini berkata,

“Kwan Cu, jangan berlaku bodoh. Kau bukan tandingan Suheng, untuk apa mencari penyakit?”

“Aku tidak ingin menyerangnya. Akan tetapi kalau dia berani memukulku, pasti kali ini akan membalasnya,” kata Kwan Cu masih tetap tenang.

“Kalau begitu aku akan memukulmu!” kata Swi Kiat sambil bersiap-siap menyerang Kwan Cu.

Bocah gundul ini tidak seperti tadi, sekarang diapun bersiap-siap dan memasang kuda-kuda.

Melihat sikap Kwan Cu, Pak-lo-sian tertawa bergelak.
“Eh, bocah gundul, benar-benarkah kau murid Ang-bin Sin-kai? Kalau benar kau murid Ang-bin Sin-kai, kau biasa mempelajari ilmu senjata apa sajakah?”

Kini Kwan Cu mengerti bahwa tinggi rendahnya nama suhunya tergantung dari sikap dan sepak terjangnya, maka dia hendak menebus kesalahannya yang tadi membuat malu nama gurunya. Ia melihat sebatang ranting pohon di depan kakinya, maka dipungutnya ranting itu dan dia menjawab,

“Apapun juga yang berada di tangan suhu, menjadi senjatanya yang ampuh. Kalau Lociapwe bertanya tentang senjata, pada waktu ini teecu memegang ranting dan inilah pula senjataku!”

“Bagus! Eh, Kun Beng kau lawan bocah gundul ini. Kau pun boleh menggunakan ranting pohon!”

Kun Beng tertegun, akan tetapi dia pikir lebih baik melawan dia daripada menghadapi suhengnya bagi Kwan Cu,

“Kwan Cu, sekarang kita mengukur kepandaian, kalau kau roboh berarti kau kalah!”

“Sesukamulah!” kata Kwan Cu karena baginya, bertanding dengan siapapun sama juga, asal dia telah dapat menebus nama suhunya dengan melawan. “Siapa saja yang memukul dan menyerangku, tentu kubalas.”

Kun Beng menggerakkan rantingnya seperti kalau dia bermain tombak. Memang semenjak kecilnya, Kun Beng lebih suka mempelajari ilmu tombak dan berbeda dengan suhengnya, dia mewarisi ilmu tombak dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

“Awas senjata!” serunya dan Kwan Cu bingung sekali melihat betapa setelah ranting itu digerakkan oleh tangan Kun Beng, ujung ranting seakan-akan berubah menjadi banyak sekali yang kesemuanya menyerang tubuhnya dengan hebat!

Ia lalu menggerakkan rantingnya menangkis sejadi-jadinya, namun karena tenaga lweekangnya memang sudah boleh juga, dia berhasil menyampok ranting di tangan Kun Beng.

Akan tetapi, ilmu tombak yang dipelajari oleh Kun Beng termasuk ilmu silat tinggi yang jarang bandingannya, maka begitu terkena tangkisan, ranting itu meluncur turun dan tanpa dapat dicegah lagi, kaki Kwan Cu kena dikait dan terjungkallah bocah gundul itu!

“Ha, ha, ha! Pukul kepalanya yang gundul, Sute, biar dia tahu rasa!” kata Swi Kiat tertawa gembira.

Sebaliknya, Siangkoan Hai menjadi melongo. Bagaimana Ang-bin Sin-kai dapat mengambil seorang murid yang begini tolol? Ia akui bahwa memang si gundul ini bertulang baik, akan tetapi agaknya otaknya tidak genap! Kwan Cu memang bandel dan juga tubuhnya sudah kuat sekali. Begitu terjungkal dia bangun lagi dan siap sedia bertempur lagi.

“Eh, Kwan Cu. Kau sudah kalah, mengakulah,” kata Kun Beng.

Murid kedua Siangkoan Hai ini memang mempunyai perasaan yang halus dan dia tidak tega untuk melawan Kwan Cu lagi yang terang-terangan tidak mempunyai kepandaian silat.

“Menyerah kalah tak mungkin. Kalau kau menyerang lagi, aku tetap akan melawan!” Kwan Cu membandel.

Kun Beng tidak mau menyerang lagi, bahkan melempar rantingnya ke atas tanah.
“Suhu, dia tidak bisa ilmu silat, bagaimana teecu dapat melawannya?”

Tiba-tiba Swi Kiat melompat maju.

“Anak ini memang bandel dan dia tidak akan tahu kelihaian ilmu Suhu kalau tidak diberi hajaran. Eh, Kwan Cu, apakah kau berani menghadapiku?”

“Mengapa tidak berani?” jawab Kwan Cu tenang.

“Kau boleh menggunakan rantingmu, biar aku menyerangmu dengan tangan kosong!” kata Swi Kiat.

“Aku bukan pengecut yang menghadapi orang bertangan kosong dengan senjata,” Kwan Cu juga membuang rantingnya.

Diam-diam Siangkoan Hai memuji.
“Hm, anak gundul ini benar-benar memiliki sifat gagah, sayang sekali otaknya miring. Mana bisa dia belajar silat? Sungguh kali ini Ang-bin Sin-kai menggelikan sekali.”

Swi Kiat sudah maju menyerang. Kwan Cu mengelak dan menangkis. Dalam hal mempertahankan diri, dia boleh juga dan beberapa jurus lewat tanpa ada pukulan dan tendangan Swi Kiat yang mengenai tubuh Kwan Cu.

Akan tetapi, Kwan Cu hanya membalas dengan pukulan-pukulan ngawur saja, asal pukul dan asal menendang. Ketika dia menendang Swi Kiat menangkap tumitnya dan sekali mendorong ke depan, tubuh Kwan Cu terlempar ke belakang dan dengan suara keras tubuhnya mengukur tanah!

Namun dia bangkit kembali dan sebelum dia dapat memperbaiki kedudukannya kembali Swi Kiat menyerbu dengan pukulannya yang membuat Kwan Cu untuk kedua kalinya jatuh tersungkur.

“Kau masih belum mengaku kalah?” bentak Swi Kiat.

Kekerasan hati Kwan Cu memang luar biasa sekali. Ia menggeleng kepala dan mencoba untuk merayap bangun pula, akan tetapi sebuah tendangan membuatnya terguling-guling.

Sampai lima kali dia mencoba bangun dan terpaksa harus mencium tanah lagi, bahkan pukulan yang kelima kalinya membuat bibirnya pecah dan berdarah. Namun pukulan itu seperti tidak terasa olehnya karena sedikit pun dia tidak mengeluh dan begitu roboh, dia merayap bangun kembali.

“Cukup, Suheng!” kata Kun Beng.

“Diam kau, Sute. Di dalam pibu, yang kalah harus mengaku kalah!” jawab Swi Kiat yang mengejar Kwan Cu lagi.

Sementara itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai hanya tertawa-tawa saja. Kakek ini merasa bangga sekali dan diam-diam dia pun mengakui kekuatan Kwan Cu. Jangankan seorang anak-anak, biarpun orang dewasa menghadapi pukulan bertubi-tubi dari Swi Kiat yang sudah memiliki tenaga lweekang lumayan itu, pasti akan terluka hebat.

Bagaimana bocah gundul ini tubuhnya seakan-akan terbuat daripada baja dan tidak pernah merasa sakit? Kalau saja dia melihat bocah gundul itu terluka, tentu dia akan mencegah Swi Kiat melanjutkan serangannya, akan tetapi karena dia tahu betul bahwa Kwan Cu tidak terluka di dalam tubuhnya, maka dia hanya menonton saja.

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa, disusul oleh kata-kata,
“Bagus sekali!! Memang seorang yang kalah dalam pibu harus mengakui kebodohannya. Hayo Kwan Cu, kau harus mengakui kekalahan dan kelemahanmu!”. Muncullah Ang-bin Sin-kai sambil tertawa-tawa.

Melihat kakek ini, Swi Kiat melompat ke belakang dan tidak melanjutkan serangannya. Adapun Kwan Cu setelah mendengar kata-kata suhunya ini, merahlah mukanya. Ingin dia menangis keras, akan tetapi semangat dan kekerasan hatinya melarang air matanya mengucur keluar. Ia amat taat kepada suhunya, maka sambil menghadapi Swi Kiat yang berdiri dengan dada terangkat, dia berkata,

“Swi Kiat, aku mengaku kalah.”






Tidak ada komentar :