*

*

Ads

Kamis, 20 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 037

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak dan berkata keras-keras.
“Kwan Cu, dengan pengakuanmu ini, kau berarti menang! Seorang yang menangkan orang lain, belum boleh disebut gagah. Hanya orang yang sudah bisa mengalahkan kesombongan dan nafsunya sendirilah yang patut disebut gagah!. Orang menangkan orang lain tidak akan kekal, akan datang masanya dia dikalahkan oleh orang lain. Akan tetapi, kau telah dapat mengakui kelemahan, kebodohan dan kekalahanmu, inilah yang penting sekali. Kelak kau akan berlaku berhati-hati dan tidak akan terkalahkan untuk kedua kalinya. Ha, ha, ha!”.

“Bagus, bagus!” Siangkoan Hai bertepuk tangan memuji dengan kagum. “Tak kusangka bahwa jembel tua ini benar-benar pandai menjadi guru. Eh, Swi Kiat dan Kun Beng, kau perhatikan baik-baik ajaran tadi. Memang bagus dan tepat sekali!”.

Sambil tersenyum Ang-bin Sin-kai menghampiri Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan bertanya,

“Eh, jago tua utara! Kenapa kau bisa tersesat sampai disini?”

“Kau kira aku akan membiarkan Hek-i Hui-mo berlaku kurang ajar begitu saja? Biarpun kitab itu palsu, aku harus mengejarnya dan memberi hajaran kepadanya!” kata Siangkoan Hai.

“Hm, kau sudah tua akan tetapi masih berkepala batu. Kau hendak menyusulnya ke Tibet?”

“Ke neraka sekalipun pasti akan kususul! Mana bisa orang merampas sesuatu dari depan hidungku begitu saja?”

Kembali Ang-bin Sin-kai tertawa.
“Kau benar-benar orang tua sombong sekali. Pantas muridmu juga memiliki sifat tidak baik itu.”

“Bukan muridku yang sombong, melainkan muridmu yang terlalu bodoh. Eh, Ang-bin Sin-kai, mengapa kau memilih murid seorang bocah gendeng yang pikirannya miring?”

Siangkoan Hai memandang ke arah Kwan Cu yang diam saja mendengarkan percakapan antara dua orang tokoh besar ini, sama sekali tidak bergerak, hanya hatinya saja terasa panas sekali. Ia tidak berdarah lagi pada bibirnya, karena luka di bibir itu telah rapat kembali.

“Biarlah dia bodoh, dan biarlah kau menganggap miring otaknya. Akan tetapi coba saja kau lihat lima tahun lagi. Kukira dua orang muridmu ini takkan mampu mempermainkannya seperti tadi.”

“Begitukah? Berani kau bertaruh, Ang-bin Sin-kai?” tantang Siangkoan Hai.

“Lima tahun lagi kita adukan mereka, yang kalah gurunya harus memberi hadiah semacam ilmu pukulan kepada murid yang menang! Setujukah?”

Berseri muka Ang-bin Sin-kai. Ia tahu bahwa di antara para tokoh besar, Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini termasuk seorang yang baik hatinya, akan tetapi dia sombong sekali.

“Jadi kalau muridku kalah, aku harus memberi hadiah ilmu pukulan kepada murid-muridmu, sebaliknya kalau muridku menang, kau akan memberi padanya semacam ilmu pukulan?” tanya Ang-bin Sin-kai Lu Sin kepadanya.

“Benar, benar begitu. Bukankah adil sekali namanya?”

“Baik. Kelak, lima tahun kemudian, aku kan membawa muridku mencarimu!”

Siangkoan Hai lalu memberi tanda kepada murid-muridnya.
“Hayo kita pergi, Hek-i Hui-mo takkan jauh dari tempat ini!” tanpa berpamit dan tanpa menoleh lagi, Siangkoan Hai dan murid-muridnya lalu pergi dari dalam hutan itu.

Ang-bin Sin-kai menoleh kepada Kwan Cu yang menundukkan mukanya.

“Suhu, apakah kekalahanku tadi membikin malu nama Suhu?” tanyanya perlahan.

“Bukan memalukan aku, melainkan kuharap akan dapat membuka kedua matamu bahwa ilmu silat itu bukan tidak perlu sama sekali seperti yang kau kira. Coba kau dahulu tidak membenci ilmu silat, bukankah kau sudah dapat membela diri dan belum tentu dipermainkan orang.”






“Mulai sekarang, teecu akan belajar ilmu pukulan dengan baik-baik, Suhu.”

“Hm, tidak mudah. Kau mempunyai watak tidak mau mempersakiti orang lain. Ini sukar sekali. Kalau kau belum mempunyai kekerasan hati dan ketegaan untuk memukul dan merobohkan orang, bagaimana kau dapat mempelajari ilmu pukulan? Kau harus berlatih ketabahan lebih dulu, baru ilmu pukulan ada gunanya. Hayo kau ikut aku!”

Ang-bin Sin-kai melompat dan berlari pergi. Kwan Cu cepat mengejar suhunya sampai malam tiba, Ang-bin Sin-kai masih terus berlari, tanpa berhenti untuk makan, sedikitpun tidak pernah bicara.

Diam-diam Kwan Cu mengerti bahwa gurunya ini marah dan kecewa kepadanya, karena kalau dia pikir-pikir, peristiwa dengan murid-murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai tadi, tentu saja amat memalukan gurunya!

“Aku harus belajar ilmu silat, aku harus dapat mengalahkan mereka,” demikian Kwan Cu berpikir sambil berlari di belakang suhunya.

Setelah memasuki sebuah hutan besar, hari telah malam dan Ang-bin Sin-kai berhenti lalu mengaso di bawah pohon.

“Kau lihat ini baik-baik!” kata kakek jembel itu dan setelah memasang kuda-kuda, dia lalu menggerakkan kedua kakinya.

Terdengar suara keras dan tahu-tahu dua batang pohon yang besarnya setubuh orang menjadi tumbang!

Semenjak tadi Kwan Cu memasang mata baik-baik dan dia mencatat dalam otaknya bagaimana tadi suhunya menggerakkan kedua tangan, bagaimana menggeser kaki dan cara memukul ke depan dan kanan kiri!

“Nah, kau latih gerakan pukulan Sam-hoan-ciang (Pukulan Tiga Lingkaran) tadi!”

“Teecu sudah melihat Suhu.”

“Coba kau tiru gerakan Sam-hoan-ciang.”

Kwan Cu memasang kuda-kuda seperti gurunya tadi, dan sambil mengerjakan otak mengingat bagaimana tadi suhunya bergerak, dia lalu memukul dengan kedua tangan dan menggeserkan kakinya, lalu mainkan tiga jurus Sam-hoan-ciang seperti yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai tadi. Dari sepasang kepalan tangannya yang kecil, menyambar angin yang membuat daun-daun pohon kecil bergoyang-goyang!

Ang-bin Sin-kai mengangguk setelah Kwan Cu menyelesaikan gerakan tadi.
“Gerakan tangamu sudah baik, hanya tenaga pukulan jangan kau buyarkan. Tenaga dalam pukulan Sam-hoan-ciang harus dikumpulkan, ditujukan kepada bagian tubuh yang lemah dan jalan darah yang penting, jika tangan kanan memukul, mulut harus mengeluarkan suara “hah!” dan jika tangan kiri memukul harus berbunyi “heh!” Ingat, Sam-hoan-ciang dilakukan tiga jurus, jurus pertama pukulan tangan kanan, jurus kedua pukulan tangan kiri, dan jurus ke tiga pukulan kedua tangan dibarengkan, mendorong ke depan, agak jongkok dan tenaga dari pusar disalurkan kepada kedua lengan. Mengertikah?”

Kwan Cu mengangguk.
“Mengerti, Suhu.”

“Coba lagi! Sekarang anggap aku sebagai lawanmu dan tiga macam pukulan itu lakukanlah terhadap tubuhku! Mulai!”

Demikianlah, dalam keadaan yang remang-remang di dalam hutan itu, dengan perut kosong. Ang-bin Sin-kai mulai melatih muridnya.

Kwan Cu memasang kuda-kuda, lalu mulai menggerakkan dua kakinya, dan melihat suhunya berdiri di depannya, ia lalu mulai menyerang dengan jurus pertama. Ia menyalurkan semua tenaganya, di ujung tangan kanannya, menyerang ke arah ulu hati gurunya sambil membentak,

“Hah!”

Ang-bin Sin-kai dengan gerakan sedikit saja dapat mengelak dari pukulan muridnya. Kwan Cu menyusul dengan jurus serangan kedua. Tangan kirinya yang telah diisi dengan tenaga lweekang yang dipindahkan dari tangan kanan, menyambar dengan pukulan dahsyat kearah lambung suhunya dan mulutnya berbunyi,

“Heh!”

Kembali Ang-bin Sin-kai mengelak, lalu kakek jembel ini sengaja berdiri tegak untuk menanti datangnya pukulan ketiga dari muridnya.

Kwan Cu lalu menyerangnya dengan jurus ketiga dari ilmu Sam-hoan-ciang. Anak ini sekarang memukul dengan kedua tangannya, mengerahkan tenaga dan mendorong ke arah tubuh suhunya bagian bawah.

Kali ini Ang-bin Sin-kai tidak mengelak, melainkan mengulur kedua tangan pula menyambut dorongan muridnya. Dua pasang tangan bertemu dan Kwan Cu terlempar ke belakang, bergulingan sampai beberapa kaki jauhnya! Ia menjadi agak nanar, akan tetapi cepat bangkit kembali dan menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.

“Mohon Suhu memberi petunjuk tentang bagian yang salah dari gerakan teecu,” katanya.

“Kakimu yang salah, kalau tidak masa kau akan jatuh berguling-guling? Kau menghabiskan seluruh tenagamu pada lengan, sama sekali tidak mempedulikan kedudukan kaki. Kalau kau bertemu dengan lawan yang tenaganya kecil, itu masih tidak mengapa. Akan tetapi kalau kau menyerang orang yang tenaganya lebih besar, tentu kedua kakimu tidak kuasa menahan pertemuan tenaga dan kau akan terpelanting seperti tadi! Lupakah kau mengapa aku selama ini mengajarmu dengan gerakan kaki dan pemasangan kuda-kuda? Karena ilmu silat, pokok dasarnya terletak pada keteguhan pemasangan kuda-kuda, seperti bangunan berdasar kepada tiang-tiang yang kuat. Nah, berlatihlah lagi, dan kini perhatikan gerakan kaki, aku hanya akan memberi contoh sekali lagi.” Ang-bin Sin-kai kembali melakukan gerakan Sam-hoan-ciang.

Kwan Cu memperhatikan dengan mata tak pernah berkedip. Setelah kakek jembel ini melakukan gerakannya, kembali dua batang pohon besar menjadi tumbang! Kwan Cu merasa kagum bukan main.

Setelah memberi contoh untuk kedua kalinya, Ang-bin Sin-kai lalu duduk menyandar pohon dan sebentar saja dia telah tidur pulas! Sudah dua malam kakek ini tidak makan, namun dia dapat tidur begitu mudah, sungguh membuktikan adatnya aneh.

Akan tetapi, Kwan Cu lebih aneh lagi dan kekerasan hatinya serta ketekunan hatinya boleh dipuji. Sebetulnya dia merasa lapar sekali, akan tetapi pelajaran baru ini membuat dia lupa akan keperihan perutnya. Ia terus berlatih ilmu pukulan Sam-hoan-ciang. Ia ulangi dan ulangi lagi dan mempergunakan batang pohon sebagai lawan!

Makin lama, tenaganya bukan makin lemah, bahkan karena menghadapi kekuatan pohon, dia makin dapat mengatur tenaganya sedemikain rupa sehingga lambat-laun dapatlah dia mengerahkan tenaga sampai pada titik yang tepat!

Kalau tadinya pukulannya pada pohon membuat kulit kepalan tangannya merah-merah sampai akhirnya lecet-lecet, menjelang fajar, dia telah dapat memukul pohon itu sampai menjadi doyong!

Ketika Ang-bin Sin-kai pada keesokan harinya membuka matanya kakek ini girang dan kagum melihat muridnya masih berlatih diri dan melihat betapa gerakan Kwan Cu kini tidak kaku lagi!

“Cukup! Jangan menghabiskan tenagamu!” serunya.

Kwan Cu berhenti bersilat dan barulah dia merasa letih bukan main sehingga untuk berdiri saja kedua kakinya gemetar dan terpaksa dia menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Akan tetapi kepalanya yang gundul dan mukanya yang berkilau karena peluh itu berseri-seri ketika suhunya memujinya,

“Bagus, Kwan Cu, kau telah maju banyak sekali.”

“Masih jauh, Suhu. Suhu tanpa menyentuh pohon, sudah dapat merobohkan pohon-pohon dalam jarak lima kaki lebih. Sedangkan teecu, sampai rusak kulit tangan, tetap saja tidak dapat merobohkan sebatang pohon juga.”

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.
“Bocah bodoh. Kau lihat pohon ini, bukankah biarpun luarnya lecet kulitnya, akan tetapi dalamnya telah menderita pukulanmu yang bertubi-tubi itu? Kau lihat!”

Sehabis berkata demikian, kakek ini mendorong pohon tadi dan sambil mengeluarkan suara keras, pohon itu tumbang. Ternyata bahwa di bagian dalamnya telah banyak yang remuk menjadi bubuk seperti dimakan kutu. Kwan Cu meleletkan lidahnya melihat kehebatan akibat pukulan-pukulannya yang telah membuat tangan-tanganynya lecet-lecet malam tadi!






Tidak ada komentar :