*

*

Ads

Kamis, 27 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 053

Guru dan murid ini lalu melanjutkan perjalanan ke Liang-san. Semenjak mengalahkan harimau muda itu, semangat Kwan Cu menjadi makin besar saja. Dan tiga hari kemudian setelah dia menghabiskan tiga butir pil merah pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong, dia merasa kepalanya dingin dan dadanya tenang. Pikirannya makin kuat saja dan kini dia tidak terganggu oleh rasa pening yang seringkali datang dikala dia melatih diri dengan pengendalian napas dalam samadhinya. Ia merasa girang dan Ang-bin Sin-kai berkata sambil menarik napas panjang.

“Karena itulah ketika dulu aku melihat dia memberi pil ini kepadamu, aku cepat menyuruh kau menerimanya. Hang-houw-siauw Yok-ong dahulunya adalah seorang tabib istana yang amat terkenal, bukan saja karena ilmu pengobatannya, akan tetapi terutama karena ilmu silatnya yang tinggi dan pribadinya yang luhur. Mungkin sekali tingkat kepandaiannya tidak akan menang dari tokoh-tokoh persilatan dari empat penjuru, akan tetapi tentang ilmu pengobatan dan pribadi mulia, kiraku di dunia ini sukar mencari keduanya!”

“Yang diberikan kepada teecu itu, disebut olehnya Liong-kak-hian-tan (Pil Darah Tanduk Naga), apakah benar-benar terbuat daripada darah yang berada di tanduk naga, Suhu?”

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.
“Orang-orang pembuat obat dan masakan sama saja, keduanya seperti orang gila! Untuk memudahkan mereka mengingat namanya dan untuk membuat obat atau masakannya terkenal, mereka itu suka memberi nama yang aneh-aneh! nama liong (naga) dan burung hong (burung dewata) selalu dibawa-bawa dalam pemberian nama pada obat. Siapa percaya tentang liong kalau belum melihat sendiri?”

“Apakah liong itu tidak ada, Suhu?”

“Aku sendiri percaya bahwa naga itu memang ada, hanya terus terang saja aku belum pernah melihat dengan mataku sendiri. Memang kulihat banyak ular-ular besar sekali, bahkan ada pernah kulihat ular bertanduk lunak di kepalanya, akan tetapi, ular itu tidak berkaki seperti naga yang sering kali disebut-sebut! Betapapun juga, aku percaya bahwa naga itu memang ada. Kalau tidak ada, mengapa rakyat di empat penjuru dapat melukiskan rupa dan bentuk tubuhnya? Pasti ada, seperti adanya pula burung hong!”

“Kalau begitu, obat Liong-kak-hian-tan itu benar-benar terbuat daripada darah tanduk naga, Suhu?” kata Kwan Cu dengan suara tetap.

Ang-bin Sin-kai kembali tertawa lagi.
“Hal inilah yang meragukan, karena kepandaian yang dimiliki oleh Hang-houw-siauw Yok-ong itu, biarpun cukup lihai, mana bisa dia pergunakan untuk menangkap seekor liong dan mengambil darah dari tanduknya? Sudahlah, hal ini tidak penting, muridku. Yang paling penting adalah kenyataan bahwa obat itu memang kupercaya amat baik bagimu.”

Setelah tiba di lereng bukit Liang-san di sebelah barat, mereka mulai bertanya-tanya kepada orang kampug tentang Gui Tin yang di tempat itu dahulu mengaku bernama Gui-lokai.

Beberapa orang sudah ditanya oleh Kwan Cu, akan tetapi tak seorang pun mengaku telah kenal dengan Gui-lokai (pengemis tua Gui).

“Anak bodoh, mengapa kau tanya hanya orang-orang muda saja? Tanyalah kau kepada orang tua, dan wanita pula, karena yang biasa menderma kepada para pengemis, kebanyakan hanya orang-orang wanita,” kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya.

Kwan Cu menganggap kata-kata suhunya benar, maka dia lalu bertanya pada seorang wanita dusun yang sudah agak tua akan tetapi masih rajin sekali bekerja. Wanita ini tengah memikul air bersama beberapa wanita lain.

Kwan Cu merasa tidak enak kalau langsung menghentikan orang yang sedang bekerja, dan nampaknya wanita-wanita itu tergesa-gesa. Maka dia lalu ulurkan tangannya ke arah pundak wanita yang berada di depan dan dalam sekejap mata saja pikulan itu telah berpindah ke atas pundaknya sendiri! Tantu saja wanita itu terkejut dan heran sekali, akan tetapi bocah gundul itu tersenyum kepadanya sambil berkata,

“Bibi, aku kasihan melihat kau bersusah payah memikul air yang berat ini. Biar aku bawakan ke rumahmu.”

Tentu saja wanita itu girang sekali dan tertawalah dia, memperlihatkan deretan gigi yang jarang dan kecil-kecil.

“Anak baik, terima kasih,” katanya sambil melanjutkan perjalanan di sebelah Kwan Cu.

Dua orang wanita di belakangnya juga memandang heran kepada Kwan Cu, bocah gundul yang baik hati itu.

Setelah menurunkan pikulan di depan rumah wanita itu, barulah Kwan Cu mengajukan pertanyaan,

“Bibi, pernahkah kau mengenal seorang pengemis tua di daerah ini yang dipanggil Gui-lokai?”






“Gui-lokai…….?” Wanita itu mengerutkan keningnya yang sudah mulai keriputan, “Ah, kakek yang gila itu? Siapa yang tidak mengenalnya? Dia adalah seorang tua yang malas dan gila, tidak mau bekerja, hanya menulis dan membaca saja kerjanya. Baiknya dia masih suka memberi pelajaran kepada beberapa orang anak, akan tetapi pelajaran membaca dan menulis, untuk apakah di dusun ini? Lebih baik belajar mencangkul tanah daripada menggerakkan pit menulis!”

Bukan main girangnya hati Kwan Cu.
“Tahukah kau dimana adanya dia? Dan dimana tempat tinggalnya ketika dia berada di daerah ini?”

“Tempat tinggalnya? Dimana saja orang mau menerimanya. Kadang-kadang dia bahkan tidur di pinggir sawah, di tempat terbuka. Benar-benar orang aneh. Eh, anak baik, kau pernah apakah dengan Gui-lokai maka kau mencarinya?”

Pada saat itu, seorang kakek tua yang mendatangi tempat itu mendengar kata-kata ini lalu menyambung,

“Aneh sekali! Baru kemarin sore ada juga dua orang yang menanyakan tentang Gui-lokai!”

Mendengar ini, Kwan Cu terheran.
“Lopek, siapakah mereka yang bertanya tentang Gui-lokai?”

“Seorang hwesio gemuk sekali dan seorang muridnya. Mereka pergi ke batu karang berbentuk menara yang berada di lereng barat, mencari gua yang dulu ditinggali oleh Gui-lokai,” jawab kakek itu.

“Dimana batu karang itu, Lopek? Aku pun ingin sekali pergi ke gua tempat tinggal Gui-lokai!” Kwan Cu bertanya cepat-cepat.

Kakek itu ragu-ragu, akan tetapi wanita yang ditolongnya membawa air tadi segera menudingkan jari telunjuknya ke arah puncak bukit yang tak jauh dari situ.

“Di sanalah tempatnya. Di sana terdapat sebuah batu karang yang menjulang tinggi, bentuknya seperti menara. Di sekitar tempat itulah adanya gua tempat tinggal Gui-lokai ketika dia masih berada di daerah ini.”

“Terima kasih!” jawab Kwan Cu dan dua orang dusun itu menjadi bengong dan saling pandang ketika tiba-tiba Kwan Cu melompat dan lenyap dari depan mereka.

“Suhu, cepat, Suhu! Ada orang mendahului kita!” kata Kwan Cu ketika dia kembali ke tempat di mana Ang-bin Sin-kai menantinya.

“Siapa orangnya yang mendahului kita?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan muka terheran.

“Entahlah, kata orang dusun itu, ada seorang hwesio gemuk dan muridnya juga mencari gua tempat tinggal Gui-siu-cai!”

Berubah wajah Ang-bin Sin-kai mendengar ini.
“Hm, jangan-jangan Jeng-kin-jiu dan Lu Thong yang mendahului kita.”

“Mari cepat, Suhu. Guanya berada di puncak itu,” kata Kwan Cu dan bocah gundul ini mendahului suhunya berlari ke arah puncak itu.

Ang-bin Sin-kai menyusul dan guru ini pun merasa gelisah kalau-kalau kitab yang dikehendaki oleh muridnya itu telah dicuri orang lain.

Sebentar saja mereka telah tiba di puncak bukit di mana terdapat batu karang berbentuk menara. Mudah saja mendapatkan gua bekas tempat tinggal Gui Tin, karena gua ini besar dan panjang.

Kwan Cu segera membuat obor dan bersama gurunya dia memasuki gua itu. Tak salah lagi, inilah bekas tempat tinggal Gui-lokai, karena dindingnya banyak terdapat pahatan dan ukiran, tentu Gui Tin mempergunakan waktunya untuk membuat sajak-sajak ini. Kwan Cu mencari terus dan akhirnya dia mendapatkan lubang di mana tersimpan sebuah peti.

Dengan hati berdebar girang, Kwan Cu mengeluarkan peti itu dan segera membawanya keluar. Setelah tiba di luar, dia membuka peti tadi, akan tetapi tiba-tiba pundaknya di tarik orang dan ternyata suhunya yang menarik tadi.

“Hati-hati, Kwan Cu. Keliru sekali berlaku tergesa-gesa seperti itu menghilangkan kewaspadaan. Aku masih bersangsi mengapa Gui-siucai semudah ini menyimpan petinya terisi kitab-kitab yang lebih disayangnya daripada harta benda lain. Aku sangsi kalau-kalau ada orang yang telah mendahului kita dan sengaja memasang perangkap. Biarkan aku yang membuka peti ini!”

Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai mempergunakan sulingnya untuk mencokel tutup peti dan benar saja dugaannya, begitu tutup peti terbuka, dari dalam menyambar keluar kepala seekor ular kehijauan yang mendesis dan menjulurkan lidahnya.

Kwan Cu tertawa.
“Ah, ular kecil seperti itu saja, apa sih bahayanya?”

Ang-bin Sin-kai mengerutkan keningnya dan memandang tajam kepada Kwan Cu.
“Salah, salah! Sama sekali salah kalau kau memandang rendah soal-soal kecil. Kau mau tahu tentang ular ini? Inilah yang di sebut Jeng-tok-coa (Ular Racun Hijau) yang bisanya jauh lebih berbahaya daripada seekor ular sendok. Sekali pagut saja, tidak ada obat di dunia ini yang akan menyembuhkan dan menolong orang yang dipagutnya! Biarpun kau sendiri yang telah memiliki darah penolak racun di tubuhmu, agaknya akan bergulat dengan maut apabila tadi kau membuka peti dan kena digigit oleh ular ini!”

Mendengar ini, Kwan Cu meleletkan lidahnya saking kaget dan ngerinya. Ular itu bergerak-gerak dan gerakannya benar-benar cepat sekali sehingga dapat dibayangkan kalau ular ini menyerang orang.

Ang-bin Sin-kai menggerakkan sulingnya dan sekali terbentur suling, pecahlah kepala ular itu, mengeluarkan lendir berwarna hijau yang berbau amis keharum-haruman dan yang membuat kepala menjadi pening ketika hidung mencium bau itu.

Ang-bin Sin-kai segera mengangkat peti itu menjauhi bangkai ular, kemudian barulah dia memperkenankan Kwan Cu memeriksa isi peti. Peti itu ternyata terisi banyak buku-buku tebal dan kuno. Dengan jari-jari tangan gemetar saking menahan gelora hatinya, Kwan Cu memeriksa buku-buku itu satu demi satu. Buku-buku sajak, buku-buku tentang bintang-bintang dan kitab-kitab kebatinan yang amat kuno. Namun tidak sebuah pun kitab sejarah tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng!

“Heran sekali…….., kitab yang di maksudkan Gui-sianseng itu tidak ada…….. !” kata Kwan Cu setelah untuk kelima kalinya dia membuka dan memeriksa lagi buku-buku itu satu demi satu.

“Hm, benar ada orang yang mendahului kita,” kata Ang-bin Sin-kai, “kau lihat di sana itu!”

Kwan Cu memandang dan melihat bayangan dua orang berlari cepat sekali menuruni gunung. Bayangan seorang berkepala gundul yang gemuk bundar bersama seorang anak laki-laki yang sebaya dengan dia!

“Keparat!”

Kwan Cu memaki dan hendak mengejar. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai menahan dan memegang pundaknya.

Tiba-tiba Kwan Cu membalikkan tubuhnya dan memandang kepada suhunya dengan mata basah dan muka pucat.

“Suhu, kau benar-benar tidak adil dan berat sebelah!” katanya dengan tangan terkepal. “Ketika Suhu memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-jiu-toat-beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut Nyawa) kepada Lu Thong, teecu sudah tahu bahwa betapapun juga, Suhu lebih memberatkan keluarga sendiri! Sekarang terbuktilah dugaan teecu. Sudah terang yang mencuri kitab dari Gui-siucai adalah Lu Thong dan gurunya, akan tetapi Suhu tidak mengejar mereka, bahkan melarang teecu mengejar. Suhu, sebetulnya Suhu hendak berlaku bagaimanakah terhadap murid?”

Mendengar ucapan Kwan Cu yang sifatnya menegur dan menuntut ini, sepasang mata Ang-bin Sin-kai mengeluarkan cahaya berkilat.






Tidak ada komentar :