*

*

Ads

Kamis, 27 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 054

“Tutup mulutmu! Sekali lagi kau berkata demikian terhadapku, betapapun besar rasa sayangku kepadamu dan betapapun baiknya bakatmu menjadi muridku, kau akan kutinggalkan! Tuduhanmu hanya terdorong oleh rasa iri hati dan putus asa. Iri hati melihat aku menurunkan Kong-jiu-toat-beng kepada Lu Thong, perasaan iri hati yang tidak berdasar. Dia adalah cucu luarku, mengapa aku tidak boleh memberi sesuatu kepadanya. Dan kau putus asa melihat kitab peninggalan Gui-siucai dicuri orang. Juga perasaan putus asa ini bodoh sekali. Kau tadi melihat sendiri betapa ilmu lari cepat hwesio gundul itu hebat sekali, tidak kalah olehku? Dikejar pun tidak akan ada gunanya, karena mereka telah meninggalkan kita. Aku masih ragu-ragu……. apakah betul Jeng-kin-jiu yang mencuri kitab itu, Si Gundul dari selatan itu tidak demikian hebat lari cepatnya. Aku lebih condong menduga kepada Hek-i Hui-mo!”

Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.
“Ampunkan kelancangan mulut teecu, Suhu. Sesungguhnya, teecu bingung sekali melihat kitab itu sudah tidak ada lagi. Bagaimana kita harus berbuat sekarang, Suhu?”

“Tenanglah dan kita perlahan-lahan menyelidiki siapa orangnya yang sudah mencuri kitab itu. Bukankah kau dulu bilang bahwa kitab itu ditulis dalam bahasa kuno yang sukar dimengerti dan yang hanya diajarkan mendiang Gui-siucai kepadamu?”

“Memang benar, Suhu. Akan tetapi siapa tahu kalau orang lain yang dapat membacanya. Menurut mendiang Gui-sianseng, pujangga-pujangga besar seperti Tu Fu dan Li Po pasti bisa membacanya. Hwesio gundul tadi terlalu jauh dari kita sehingga sukar untuk mengenal mukanya, akan tetapi teecu yakin bahwa dia tentulah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.”

“Bagaimana kau bisa memastikannya?”

“Karena hanya Jeng-kin-jiu yang mempunyai seorang murid laki-laki sebesar teecu. Setahu kita, Hek-i Hui-mo tidak mempunyai murid.”

Ang-bin Sin-kai mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku pun berpikir demikian. Akan tetapi, masih terlalu pagi untuk menuduh tanpa bukti. Baiknya kita menyusul ke kota raja dan bertanya terang-terangan kepada Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”

Kwan Cu girang sekali karena ternyata bahwa suhunya benar-benar mau membantunya merampas kembali kitab itu. Mereka lalu berangkat dengan cepat, turun dari Liang-san menuju ke kota raja untuk mencari Jeng-kin-jiu yang disangka mencuri kitab sejarah peninggalan Gui Tin.

Di dalam perjalanan menuju ke kota raja, mereka melalui kota Po-keng yang ramai dan terkenal sebagai tempat berkumpulnya para sastrawan dan orang-orang gagah.

“Kita mampir dulu di rumah Kwa-pangcu (Ketua she Kwa), seorang sahabatku yang baik,” kata Ang-bin Sin-kai kepada Kwan Cu.

Yang disebut Kwa-pangcu oleh Ang-bin Sin-kai adalah Kwa Ok Sin, seorang ahli silat Bu-tong-pai yang selain memiliki ilmu pedang yang lihai, juga terkenal sebagai seorang ahli sastra terkemuka.

Kwa Ok Sin atau Kwa-pangcu adalah ketua dari perkumpulan Bun-bu-pang (Perkumpulan Ahli Silat dan Sastrawan) yang didirikan oleh para ahli sastra dan ahli silat di seluruh daerah Po-keng. Kwa Ok Sin dipilih karena memang dia memenuhi syarat, tidak saja ahli dalam bun (sastra), akan tetapi juga tinggi ilmu kepandaiannya dalam bu (silat).

Kwa Ok Sin yang memang keturunan keluarga kaya raya, amat besar rumahnya dan gedung ini selain dijadikan tempat tinggalnya, juga menjadi rumah perkumpulan Bun-bu-pai. Papan nama yang tergantung di depan rumahnya, benar-benar amat indah. Papan itu berukir dan besar sekali, ditulisi dengan huruf-huruf yang amat indah dan gagah “RUMAH PERKUMPULAN BUN BU PAI”. Hal ini tidak mengherankan, akrena sebagai perkumpulan ahli sastra, tentu saja tulisannya hebat !

Tak seorangpun di kota Po-keng yang tidak mengenal rumah ini, karena perkumpulan ini Bun-bu-pai memang dihormati oleh setiap ornag. Bahkan, dengan adanya perkumpulan ini, di daerah Po-keng bersih dari pada semua penjahat. Penjahat manakah berani bermain gila di gedung naga dan gua harimau ?

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila nama Bun-bu-pai di Po-keng ini amat terkenal dan namanya dipuji sampai jauh di luar daerah Po-keng. Bahkan, pujangga-pujangga besar dan ternama seperti Li Po dan Tu Fu sendiri tidak jarang datang mengunjungi Bun-bu-pai untuk bercakap-cakap dengan Kwa Ok Sin dan para anggauta lain. Juga para locianpwe, ahli-ahli silat tinggi dari seluruh Tiongkok apa bila lewat di Po-keng, selalu memerlukan untuk mampir.






Sungguh kebetulan sekali, ketika Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu tiba di Po-keng, Bun-bu-pai penuh dengan anggautanya. Hari itu mereka dari berbagai tempat sengaja datang berkumpul karena ada beberapa hal yang amat penting yang harus mereka rundingkan. Bahkan, banyak tokoh-tokoh dari jauh datang mengunjungi pertemuan itu.

Kwan Cu dan gurunya berdiri di depan gedung Bun-bu-pai dan Kwan Cu amat kagum melihat papan nama yang ditulis indah itu.

“Alangkah indahnya tulisan itu, suhu,” kata bocah gundul itu dengan kagum.

Ang-bin Sin-kai tersenyum.
“Apa sih indahnya tulisan macam itu ? mari kita masuk dan kau akan melihat tulisan yang jauh lebih indah dari pada ini.”

Mereka masuk melalui pintu gerbang dan ketika tiba diruang depan, benar saja. Di situ tergantung tulisan-tulisan dan lian-lian (tulisan berpasangan yang merupakan sajak indah) yang ditulis dengan indah sekali dalam berbagai-bagai bentuk.

Belum pernah selama hidupnya Kwan Cu menyaksikan sekumpulan tulisan demikian indah baik gaya maupun isinya, maka tiada bosan ia membaca dan menikmati tulisan itu satu demi persatu, Hal ini memang tidak mengherankan oleh karena yang tergantung di situ adalah hasil karya pujangga-pujangga terkemuka. Bahkan Tu Fu dan Li Po sendiripun menyumbang ruangan ini dengan tulisan-tulisan dan sajak-sajak mereka !

Tidak seperti rumah perkumpulan lainnya, disitu tidak ada penjaga. Memang, siapakah orangnya yang akan berani mencuri atau membikin ribut di tempat ini ? Maka tidak perlu lah diadakan penjagaan. Ketika Kwan Cu sedang enak dan asiknya membaca tulisan-tulisan itu, tiba-tiba terdengar suara yang halus,

“Anak baik, sekecil ini sudah dapat menghargai tulisan baik !”

Ketika Kwan Cu menengok, ia melihat seorang laki-laki tinggi tegap berusia kurang lebih empat puluh tahun dan sungguhpun pakaiannya seperti seorang ahli silat, namun gerak-geriknya amat halus dan sopan. Orang ini kini menghadapi Ang-bin Sin-kai, lalu menjura dan berkata.,

“Sungguh kebetulan sekali Ang-bin Sin-kai locianpwe datang berkunjung. Memang kami sedang berkumpul dan ada sesuatu yang hendak disampaikan kepada locianpwe.”

Ang-bin Sin-kai tertegun. Orang yang menyambutnya ini adalah Kwa Ok Sin sendiri ketua dari Bun-bu-pai. Biasanya, tidak beginilah sambutan Kwa-pangcu yang sudah lama menjadi sahabat baiknya. Sambutan kali ini mengapa begini dingin dan pada wajah ketua itu seakan-akan terbayang kekurang senangan dan juga kegelisahan ?

“Selamat bertemu, Kwa-pangcu ! Apakah gerangan yang telah terjadi ?”

“Silahkan masuk saja dan kau orang tua akan mendengarnya sendiri nanti,” jawab Kwa-pangcu dengan muka masih tetap dingin dan beberapa kali ia melirik ke arah Kwan Cu seakan-akan ia pernah mendengar sesuatu tentang bocah gundul yang pandai membaca sajak itu.

Ang-bin Sin-kai lalu memberi tanda kepada muridnya untuk masuk ke dalam. Di ruang ke dua, Kwan Cu kembali kagum sekali melihat lukisan-lukisan indah tergantung di dinding dan di bawah terdapat tempat senjata-senjata persilatan yang delapan belas macam banyaknya. Senjata-senjata yang berada disitu kesemuanya terdiri dari senjata-senjata pilihan belaka, sehingga bukan hanya Kwan Cu, bahkan Ang-bin Sin-kai sendiri memandang sambil mengeluarkan suara pujian.

Akhirnya tibalah mereka didalam ruang tengah. Ruang ini luas sekali, dan di situ telah berkumpul lebih dari dua puluh orang. Melihat orang-orang ini Kwan Cu tertegun. Sesungguhnya memang aneh tempat itu penuh dengan orang-orang yang berpakaian beraneka macam. Ada yang seperti seorang sastrawan dan bersikap lemah lembut sekali, ada yang berpakaian seperti ahli silat atau guru silat, ada pula pendeta-pendeta, hwesio kepala gundul atau tosu-tosu yang rambutnya digelung di atas kepala.

Pendeknya, ditempat ini berkumpul ahli-ahli sastra dan ahli-ahli silat yang agaknya tidak memiliki kepandaian kepalang tanggung. Sikap mereka saja sudah menjelaskan bahwa baik ahli sastra maupun ahli silat yang berkumpul di situ rata-rata memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya di bidang masing-masing.

Baik nama maupun orangnya, Ang-bin Sin-kai sudah amat terkenal di antara tokoh-tokoh persilatan dan sastrawan itu. Akan tetapi, kalau biasanya mereka menyambut kedatangan Ang-bin Sin-kai dengan muka girang dan kata-kata ramah, adalah pada saat itu tak seorangpun berdiri dari tempat duduknya dan hanya memandang dengan sinar mata dingin.

Tentu saja Ang-bin Sin-kai menjadi heran dan tidak enak hati sekali, akan tetapi dia bersikap tenang dan mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku, lalu memandang ke kanan kiri menentang pandang mata semua orang yang duduk di situ.

Pandang mata Ang-bin Sin-kai amat tajam dan berpengaruh, maka siapapun juga yang bertemu pandang dengan dia, lalu menundukkan muka atau mengalihkan pandang matanya.

Kwa-pangcu duduk kembali ke bangkunya yang berada di kepala meja. Di kanan kirinya duduk dua orang tokoh besar yang sudah amat terkenal, yakni sebelah kiri adalah Pouw Hong Taisu, ketua dari Thian-san-pai yang berilmu tinggi. Adapun di sebelah kanannya duduk Bin Kong Siansu, seorang tokoh besar ketua Kim-pan-sai.

Diam-diam Ang-bin Sin-kai sudah merasa heran melihat dua orang tokoh besar ini, karena tidak biasanya ketua-ketua dari Thian-pan-sai dan Kim-pan-sai duduk di tempat ini. Tidak mungkin kehadiran mereka hanya hal yang kebetulan saja, karena kalau memang demikian, tentu dua orang kakek itu telah menyambutnya dengan ramah sebagai orang-orang segolongan yang bertemu jauh dari tempat kediaman masing-masing.

“Cu-wi sekalian, karena ada saudara yang baru datang, maka kuharap soal-soal penting yang tadi telah dibicarakan, diulangi lagi laporannya,” kata Kwa Ok Sin dengan suara keren.

Semua ornag menyatakan setuju dan dari ujung kiri berdirilah seorang muda yang nampaknya gagah. Dia adalah Lie Seng, anak murid Go-bi-pai yang berkepandaian cukup tinggi dan sudah terkenal sebagai seorang pendekar muda yang banyak menolong rakyat.

Karena semua orang telah mendengar penuturannya, kini Lie Sieng memandang kepada Ang-bin Sin-kai dan berkata,

“Tadi telah siauwte ceritakan bahwa kemarin hari ketika siauwte bersama pujanggan Tu Fu, tiba-tiba seorang tinggi gemuk yang berkepala gundul, malam-malam datang dan menculik Tu-siucai. Gerakan orang itu cepat sekali dan ketika siauwte berusaha menolong Tu-siucai, dengan sekali dorong saja siauwte roboh tak sadarkan diri. Karena cepatnya gerakan orang itu, siauwte tidak sempat mengenal mukanya, hanya tahu bahwa kepalanya gundul dan pakaiannya seperti pakaian pendeta. Tubuhnya gemuk sekali.”

“Apakah bajunya hitam semua?” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai bertanya.

Lie Seng menggeleng kepala.
“Entahlah, karena sebelum menyerang, orang itu melambaikan tangan ke arah lampu yang menjadi padam seketika.”

Kwa Ok Sin berdiri lalu berkata,
“Demikianlah persoalan pertama yang kita hadapi. Ternyata bahwa Tu-siucai telah diculik orang jahat yang lihai, entah dengan maksud apa. Oleh karena kita semua sudah mengenal Tu-siucai sebagai seorang sastrawan yang berjiwa gagah, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mempergunakan kepandaian dan mencoba menolong Tu-siucai dari tangan orang jahat.”

Warta ini menggirangkan hati Kwan Cu. Tanpa dapat di tahan lagi dia berkata dengan suaranya yang kecil nyaring.

“Penculiknya pasti Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”

Semua orang terkejut.
“Eh, anak gundul, bagaimana kau berani menuduh Kak Thong Taisu?” terdengar suara keras dan yang membentak ini adalah Pouw Hong Taisu ketua dari Thian-san-pai yang semenjak tadi memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata membenci.

Tak senang hati Kwan Cu mendengar suara yang galak ini, maka dia menjawab dengan suara kasar juga.

“Karena hanya si gundul itulah yang mempunyai alasan untuk menculik seorang sastrawan besar!”

“Diam kau, Kwan Cu!”






Tidak ada komentar :