*

*

Ads

Kamis, 27 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 055

Ang-bin Sin-kai menegur dan ketika guru dan murid ini bertemu pandang, tahulah Kwan Cu akan kesalahannya sendiri. Ia maklum bahwa urusan Im-yang Bu-tek Cin-keng ini tidak perlu diketahui oleh orang lain, maka dia lalu menundukkan muka dan menutup mulut.

“Muridku ini memang panjang lidah.” kata Ang-bin Sin-kai kepada semua orang.

“Tuduhannya tadi hanya kira-kira saja, karena memang muridku sudah pernah melihat Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang berkepala gundul dan bertubuh gendut. Betapapun juga, aku akan pergi ke kota raja untuk menyelidiki apakah benar-benar Jeng-kin-jiu yang menculik Tu-siucai.”

“Syukurlah, memang sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk menyelidiki dan menolong Tu-siucai,” kata Kwa Ok Sin, kemudian dia berpaling kepada Pouw Hong Taisu ketua Thian-san-pai sambil berkata, “Karena persoalan pertama telah dibicarakan, maka lebih baik sekarang taisu menuturkan kembali persoalan kedua yang Taisu bawa jauh-jauh dari Thian-san!”

Sambil berkata demikian, Kwa Ok Sin lalu duduk kembali dan kini semua mata memandang kepada Pouw Hong Taisu yang sudah bangkit berdiri dengan muka merah.

Pouw Hong Taisu bertubuh jangkung, mukanya lonjong dan rambutnya yang digelung di atas kepala itu masih hitam sekali sungguhpun usianya tidak kurang dari lima puluh tahun. Di punggungnya kelihatan gagang sepasang golok, karena memang tokoh Thian-san-pai in terkenal sekali sebagai seorang ahli ilmu silat siang-to (golok sepasang).

“Cu-wi sekalian, sesungguhnya bukan hanya pinto (aku) seorang saja yang membawa persoalan ini seperti telah kuceritakan tadi. Soal yang kubawa juga persoalan dari sahabatku Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai. Kami mempunyai persoalan yang sama, karena muridnya dan murid pinto telah terbunuh mati oleh seorang saja.”

Sampai di sini Pouw Hong Taisu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata bernyala, dan agaknya orang tua ini sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.

Pouw Hong Taisu menggebrak meja dan aneh sekali. Cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang-bin Sin-kai dan berada di depan Pengemis Sakti ini, tiba-tiba mencelat ke atas tinggi sekali.

Benar-benar hebat demonstrasi tenaga lweekang dari tokoh Thian-san-pai ini, karena begitu banyak cawan arak di atas meja, namun begitu dia menggebrak meja yang mencelat hanya cawan arak dari Ang-bin Sin-kai saja, tepat seperti dikehendakinya!

Melihat ini, terkejutlah Ang-bin Sin-kai karena dia maklum bahwa orang sedang marah kepadanya. Namun dengan tenang sekali dia mengulur tangan menerima cawannya kembali di hadapannya.

“Tenang, Pouw Hong Taisu, ceritakanlah dengan jelas persoalannya, jangan marah-marah seperti anak kecil!” kata Ang-bin Sin-kai untuk melampiaskan kedongkolannya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Bin Kong Siansu yang juga sekarang telah berdiri di dekat Pouw Hong Taisu. Tokoh Kim-san-pai ini lalu berkata mengejek.

“Pinto merasa heran sekali melihat ketenanganmu, Ang-bin Sni-kai! Kau bahkan masih dapat memberi nasihat kepada Pouw Hong Taisu untuk berlaku tenang. Benar-benar berani mati dan tak tahu malu!”

Sambil melontarkan kata-kata ini, Bin Kong Siansu mengerakkan tangan kanannya ke arah cawan arak di depan Ang-bin Sin-kai dan…… “praaaaaakk!” cawan itu pecah berkeping-keping seperti dipukul dengan palu besi! Padahal yang menyerang cawan arak itu hanya angin pukulan tangan saja dari Bin Kong Siansu. Dari sini saja sudah dapat diukur sampai bagaimana hebatnya kepandaian dari tokoh Kim-san-pai ini.

Kwan Cu tertawa geli mendengar ucapan suhunya. Ia tadi sudah menyaksikan sikap kedua orang tosu itu, dan sudah mendengar pula kata-kata mereka, maka karena selama ini dia berada dengan suhunya dan merasa yakin bahwa suhunya tidak pernah melakukan hal yang tidak patut, dia dapat menduga bahwa tentu terjadi kesalah fahaman dari fihak mereka.

Oleh karena ini, anak ini pun merasa tenang-tenang saja, bahkan ada kegembiraan dalam hatinya. Ia bahkan mengharapkan agar suhunya dapat bertanding melawan dua orang jago tua dari Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu agar di dalam pertempuran yang hebat, dia mendapat pemandangan yang bagus dan penambahan pengalaman!






“Bin Kong dan Pouw Hong dua tua bangka yang sudah pikun. Apa sih harganya main-main seperti ini? Lebih baik kau bicara terus terang, sebetulnya ada urusan apakah maka kalian seperti kemasukan setan dan marah kepadaku?” kata Ang-bin Sin-kai sambil memandang kepada dua orang tosu itu.

“Pengemis busuk, kau masih berpura-pura tidak tahu? Kau telah membunuh mati Ong Kiat, murid yang pinto tahu belum pernah melakukan pelanggaran dan yang selalu bersikap sebagai seorang pendekar yang patut menjadi kebanggan Thian-san-pai. Akan tetapi, mengapa kau seorang tua yang sudah mendapat nama baik telah menurunkan tangan kejam dan membunuhnya? Tak perlu banyak cakap lagi, sekarang kebetulan kau datang sehingga memudahkan pinto untuk membalas dendam dan menagih hutang. Bersiaplah, mari kita mengadu nyawa, tua sama tua, jangan kau hanya berani mengganggu orang-orang muda!”

Sambil berkata demikian, tokoh Thian-san-pai ini mencabut sepasang goloknya yang ternyata berwarna kebiruan menyilaukan mata.

Inilah sebuah tantangan terbuka dan kini semua memandang ke arah Ang-bin Sin-kai untuk melihat bagaimana sikap dari tokoh besar timur itu. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai masih bersikap tenang dan kini kakek pengemis ini memandang kepada Bin Kong Siansu sambil berkata,

“Bin Kong Siansu, baru saja Pouw Hong Taisu dari Thian-san-pai telah melontarkan tuduhannya. Agar dapat sekaligus membereskan persoalan ini, cobalah kau menuturkan pula tentang muridmu yang katanya kubunuh itu.”

Melihat sikap Ang-bin Sin-kai, Bin Kong Siansu merasa ragu-ragu, akan tetapi dia menjawab juga.

“Benar-benarkah kau tidak tahu atau hanya berpura-pura, Ang-bin Sin-kai? Seperti juga murid Pouw Hong Taisu, muridku, atau lebih tepat cucu muridku yang bernama Pek-cilan Thio Loan Eng yang menjadi isteri dari Ong Kiat anak murid Thian-san-pai, terbunuh olehmu secara sewenang-wenang? Karena itu, sekarang kau pun harus menghadapi sebatang pedangku untuk menentukan siapa yang harus membayar nyawa!”

Bin Kong Siansu menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kuning emas telah berada di tangannya.

Tiba-tiba terdengar orang menjerit dan Kwan Cu sudah melompat maju menghadapi Bin Kong Siansu.

“Siapa bilang Thio-toanio mati? Bohong! Bohong semua! Thio-toanio tidak mati…..!”

“Hm, anak gundul, otakmu agak miring rupanya. Kami sendiri sudah menyaksikan kuburan dari Thio Loan Eng. Dia dibunuh oleh gurumu, kau masih mau main sandiwara untuk menutupi kedosaan gurumu?”

Bin Kong Siansu membentak dan tangan kirinya menyambar menempiling kepala Kwan Cu yang gundul.

Gerakan itu cepat sekali sehingga biarpun Kwan Cu mengelak, tetap saja dia terkena kemplangan tangan kiri tosu itu. Tubuh Kwan Cu mencelat dan bergulingan menabrak meja kursi, akan tetapi anak ini tidak apa-apa, lalu bangkit berdiri lagi.

“Thio-toanio mati…….? Terbunuh………? Ah, Suhu, kita harus membalaskan sakit hatinya….” katanya setengah menangis sambil menghampiri suhunya.

“Bocah lancang, kau diamlah saja, jangan turut campur.” kata Ang-bin Sin-kai menghibur.

Kakek ini maklum bahwa kesedihan muridnya mendengar tentang kematian Pek-cilan, mungkin lebih besar daripada kesedihan dan kemarahan Bin Kong Siansu, tokoh Kim-pan-sai itu.

“Bin Kong dan Pouw Hong, apakah kalian menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa aku membunuh murid-murid kalian?” tanya Ang-bin Sin-kai.

“Kalau kami melihat dengan mata kepala sendiri, apakah kau kira masih dapat hidup sampai sekarang?” bentak Pouw Hong Taisu marah.

Kedua Thian-san-pai ini memang agak sombong wataknya dan berbeda dengan Bin Kong Siansu yang agak jerih menghadapi Ang-bin Sin-kai, ketua Thian-san-pai ini menganggap kepandaian sendiri akan dapat mengatasi kepandaian Pengemis Sakti Muka Merah.

“Kalau begitu, siapa yang memberi tahu kepada kalian bahwa aku telah membunuh murid kalian?”

Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu saling pandang, kemudian Bin Kong Siansu yang menjawab,

“Ang-bin Sin-kai, kami mendengar dari seorang yang boleh dipercaya benar-benar, dan kami sudah bersumpah takkan memberitahukan namanya kepada siapapun juga.”

“Hm, hm, hm, jadi kalian percaya penuh kepadanya?”

“Tentu saja kami percaya! Dia seorang terhormat, tidak seperti engkau!”

Pouw Hong Taisu membentak sambil melangkah maju dengan sepasang goloknya siap untuk menyerang.

Bersinar sepasang mata Ang-bin Sin-kai.
“Kalau aku bilang bahwa aku tidak membunuh murid-muridmu, apakah kalian tidak percaya padaku?”

Bin Kong Siansu ragu-ragu, akan tetapi Pouw Hong Taisu membentak,
“Siapa bisa percaya kepada seorang yang telah membunuh mati muridku?”

Akan tetapi Bin Kong Siansu lalu cepat berkata,
“Ang-bin Sin-kai! Orang yang telah memberitahukan tentang pembunuhan itu adalah seorang ternama dan dia telah bersumpah. Maka kalau kau juga mau bersumpah bahwa kau tidak membunuh anak muridku, aku Bin Kong Siansu berjanji hendak menyelidiki lebih lanjut urusan ini.”

Ang-bin Sin-kai makin marah. Ia menggebrak meja di depannya dan empat kaki meja itu melesak ke dalam sampai setengahnya, akan tetapi semua cawan arak yang berada di atas meja tidak ada satupun yang terguling!

“Kalian percaya omonganku atau tidak habis perkara! Orang macam apakah kau kira aku ini! Kalian percaya, baik. Tidak percaya pun boleh, siapa pusing? Hayo Kwan Cu, kita pergi!”

Ang-bin Sin-kai menggandeng tangan muridnya dan meninggalkan bangkunya. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba menyambar tubuh dua orang dan tahu-tahu Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu telah berdiri menghadang di depannya.

“Jembel pembunuh! Enak saja kau mau minggat dari hukuman mati!” bentak Pouw Hong Taisu yang langsung menyerang dengan sabetan sepasang goloknya yang kebiruan.

“Kwan Cu, menyingkir ke sana!” kata Ang-bin Sin-kai dan secepat kilat kaki kanannya menendang pantat muridnya sehingga tubuh Kwan Cu mencelat seperti bal karet ke pojok ruangan di mana terdapat tumpukan meja yang agaknya memang kelebihan dan di tumpuk di situ agar tidak memenuhi ruangan.

Sambil berpoksai, berjumpalitan dengan gerakan Koai-liong-hoan-sin (Naga Siluman Balikkan Badan), bocah gundul itu lalu mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga dia dapat turun ke atas meja itu dengan baik, lalu menonton dengan enaknya!

Adapun Ang-bin Sin-kai yang menghadapi sabetan sepasang golok dari kanan kiri, berlaku tenang akan tetapi cepat sekali. Ia maklum akan kelihaian ilmu golok dari ketua Thian-san-pai ini, maka melihat dua sinar kebiruan menyambar dari kanan kiri mengarah leher dan perut, dia lalu menggenjot tubuhnya mencelat mundur menghindarkan diri.

“Ang-bin Sin-kai, makanlah golokku!”

Pouw Hong Taisu mengejar sambil menghujankan serangan bertubi-tubi yang kesemuanya amat berbahaya. Permainan golok dari kakek Thian-san-pai ini memang hebat sekali dan tingkat kepandaiannya sudah mencapai puncak, maka sepasang goloknya itu menyambar-nyambar merupakan sepasang tangan maut. Nampak dua gulungan sinar biru yang terang sekali bergulung-gulung mengepung tubuh Ang-bin Sin-kai!

Melihat permainan golok ini, Kwan Cu menjadi kagum sekali dan dia memuji dari tempat duduknya yang tinggi.

“Bagus, bagus! Sinar golok yang bagus sekali!”






Tidak ada komentar :