*

*

Ads

Sabtu, 29 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 056

Anak ini terlalu percaya kepada suhunya sehingga seruannya itu sama sekali tidak tercampur rasa kekhawatiran terhadap keselamatan gurunya. Dalam hal ini dia memang benar, karena betapapun hebat ilmu golok dari tokoh Thian-san-pai itu, namun gerakan Ang-bin Sin-kai lebih hebat dan cepat lagi.

Kakek ini nampaknya seperti tengah menari-nari di antara gulungan sinar biru itu. Yang membuat Kwan Cu menjadi bengong dan kagum adalah ketika dia mendapat kenyataan bahwa suhunya dalam menghadapi sepasang golok tokoh Thian-san-pai itu hanya mempergunakan Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to (Atur Pintu Tahan Ratusan Golok) yang telah dia pelajari!

Ah, betapa tadinya dia memandang rendah ilmu silat tangan kosong ini! Betapa buta matanya yang menganggap gurunya berat sebelah karena telah memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-jiu-toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa) kepada Lu Thong.

Dan sekarang dia menyaksikan dengan matanya sendiri betapa ilmu silat yang telah dia pelajari dengan baik itu, yakni Pai-bun-tui-pek-to, ternyata oleh gurunya telah dimainkan dan dapat dipergunakan untuk menghadapi amukan Pouw Hong Taisu dengan sepasang goloknya!

Ketika dia memperhatikan permainan kedua tangan dan kaki suhunya, dia menjadi makin heran, Pai-bun-tui-pek-to yang dimainkan oleh suhunya itu sama sekali tidak ada bedanya dengan permainannya sendiri, bahkan gerakan suhunya itu terlalu lambat nampaknya. Bagaimana dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan yang begitu tangguh?

Ketika dia mencurahkan perhatiannya, barulah dia tahu. Setiap kali senjata golok Pouw Hong Taisu menyambar, kalau suhunya tidak sempat lagi mengelak, suhunya lalu mempergunakan tangan untuk dipukulkan ke arah golok itu dan benar-benar heran sekali, golok itu selalu terpukul oleh angin keras sehingga menjadi mencong dan menyeleweng arahnya!

Ia maklum bahwa dalam mainkan Pai-bun-tui-pek-to, perbedaan antara dia dan gurunya ialah bahwa gurunya hanya bergerak dengan perhitungan yang tepat sekali menanti perkembangan serangan lawan. Setiap gerakan suhunya bukan hanya gerakan percuma, melainkan gerakan yang penuh isi, tidak mau bergerak dengan sia-sia atau untuk selingan belaka.

Maka bocah gundul ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan tahulah dia kini akan arti kata-kata suhunya yang sering menyatakan bahwa semua ilmu silat itu lihai, tergantung orang yang menggerakkan atau memainkannya!

Setelah “mengukur” tingkat ilmu golok dari Thian-san-pai, Ang-bin Sin-kai telah dapat menguras semua gerakan ilmu golok ini dan diam-diam Pengemis Sakti ini mencatat di dalam hatinya beberapa gerakan golok yang dianggapnya luar biasa dan baik sekali untuk dijadikan penambah pengetahuan ilmu silatnya.

Beginilah sikap seorang jagoan besar. Di dalam setiap pertempuran menghadapi lawan tangguh dia selalu membuka matanya untuk memetik beberapa gerakan yang baik dari lawannya. Dengan sikap seperrti inilah maka tokoh-tokoh besar dunia persilatan selalu makin tinggi saja kepandaiannya dan makin tenar namanya.

Ang-bin Sin-kai sebetulnya kalau mau dengan mudah saja dia akan dapat merobohkan Pouw Hong Taisu, akan tetapi betapa pun juga, tokoh besar dari timur ini dahulunya adalah seorang sastrawan. Maka masih ada sifat-sifat sopan dan halus di dalam dirinya dan dia merasa tidak seharusnya dia merobohkan tokoh pertama dari Thian-san-pai di hadapan orang banyak.

Selain hal ini akan menjatuhkan nama Pouw Hong Taisu, juga akan menimbulkan sifat dendam dan bibit permusuhan dengan partai Thian-san-pai yang besar. Pula, ketua Thian-san-pai ini menyerangnya karena menduga bahwa dia membunuh anak murid Thian-san, maka tidak seharusnya ketua ini dirobohkan. Ia hanya mau merobohkan seorang yang memang jahat dan ketua Thian-san-pai ini biarpun agak keras kepala dan sombong, namun sekali-kali bukan orang jahat!

“Pouw Hong Taisu, biarlah pinto menggantikanmu menghadapi Ang-bin Sin-kai!” tiba-tiba Bin Kong Siansu berkata keras dan pedangnya berubah menjadi sinar yang panjang dan gemerlapan, mengalahkan cahaya sepasang golok ketua Thian-san-pai itu.

Ternyata bahwa tokoh Kim-san-pai itu telah turun tangan menyerang Ang-bin Sin-kai dengan hebatnya. Tadi dia telah menyaksikan kehebatan Ang-bin Sin-kai dan tahu bahwa kawannya itu takkan dapat menangkan Pengemis Sakti yang benar-benar amat luar biasa itu. Ia sendiri pun masih sangsi apakah dia akan dapat mengalahkan Ang-bin Sin-kai, akan tetapi karena dia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya, dia sengaja maju sebelum Pouw Hong Taisu dirobohkan untuk menolong kawan ini.

Akan tetapi Pouw Hong Taisu benar-benar berhati keras. Biarpun dia maklum bahwa lawannya ini lihai sekali dan sukarlah baginya untuk menang, akan tetapi kalau mundur, berati dia mengalah atau kalah.






“Tidak, Bin Kong Siansu. Aku harus menjatuhkan pengemis ini!” jawabnya dan sepasang goloknya diputar makin hebat dalam gerakan-gerakan terlihai dari ilmu golok Thian-san-pai.

“Ha, ha, ha, tua bangka pikun. Majulah kalian berdua, mari kita tua sama tua main-main sebentar!”

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak dan tiba-tiba tubuhnya lenyap dan berubah menjadi bayangan yang cepat sekali gerakannya menyambar-nyambar di antara sinar golok dan pedang!

Baru sekarang kakek ini memperlihatkan kelihaiannya dan tidak saja dua orang pengeroyoknya yang amat terkejut karena seakan-akan mereka berdua mengeroyok sesosok bayangan setan, akan tetapi juga Kwan Cu duduk dengan bengong karena matanya yang terlatih masih tak mampu mengikuti gerakan suhunya yang demikian cepatnya!

Kini dia benar-benar melihat suhunya dengan kepandaian yang sesungguhnya, yang membuat hatinya berdebar bangga dan kagum. Tiba-tiba Kwan Cu merasa tubuhnya terikat oleh sesuatu yang kuat sekali dan sebelum dia sempat memberontak, tubuhnya telah terlempar naik ke atas melalui genteng yang sudah dilobangi dan nyeplos terus ke atas genteng!

Ketika dia membuka matanya yang terheran-heran, ternyata dia telah berdiri di depan Kiu-bwe Coa-li dan Bun Sui Ceng!

“Eh…………, apa artinya ini……?” tanyanya sambil memandang muka Sui Ceng yang manis dan kini bersinar seperti sepasang bintang pagi.

“Artinya, kalau aku tidak membutuhkanmu, pada saat ini juga aku tentu sudah menghancurkan batok kepalamu yang gundul ini karena kau ternyata adalah seorang penipu cilik, pembohong pandai yang kurang ajar sekali!”

Kwan Cu memandang kepada nenek sakti itu dengan kedua matanya dibuka lebar-lebar.

“Eh, eh, eh, Suthai kenapakah datang-datang marah besar kepada teecu? Apa kesalahanku?”

“Kau tahu tempat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli, mengapa dahulu tidak mau memberi tahu kepadaku?”

“Itulah rahasiaku sendiri, Suthai. Mengapa harus dibuka kepada orang lain? Dan aku yang menutup rahasiaku sendiri, Suthai anggap pembohong dan penipu? Dalam hal apakah teecu membohong dan perbuatan mana pula merupakan penipuan?” Dilawan dengan tabah oleh bocah gundul ini, Kiu-bwe Coa-li tertegun dan tak dapat menjawab!

“Sudahlah tak perlu banyak cakap. Sekarang kau harus ikut pinni dan membawa pinni ke tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kalau kau masih ingin hidup lebih lama lagi di dunia ini. Kalau kau menolak, sekarang juga kuhancurkan batok kepalamu.”

“Teecu masih mau hidup karena di dalam hidup teecu masih ada dua hal yang harus teecu penuhi, yakni pertama mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kedua kalinya, membalaskan sakit Thio-toanio yang terbunuh orang!”

Sambil berkata demikian, dia memandang kepada Sui Ceng. Anak perempuan ini tiba-tiba mengucurkan air matanya dan membalas pandangan Kwan Cu dengan penuh arti.

“Terima kasih, Kwan Cu, akan tetapi aku sendiri yang kelak akan menghancurkan kepala si keparat Toat-beng Hui-Houw!” kata Sui Ceng.

“Apa …….? Pembunuh ibumu Toat-beng Hui-houw??” muka Kwan Cu menjadi girang sekali. “Dan suhu di bawah dikeroyok orang karena disangka suhu yang membunuh ibumu!”

Mendengar ini, Kiu-bwe Coa-li cepat menotok pundak Kwan Cu yang segera menjadi lemas tak berdaya lagi!

“Sui Ceng, cepat bawa bocah gundul ini ke luar kota dan tunggulah aku di pingggir hutan sebelah utara. Biar aku membereskan dulu Ang-bin Sin-kai si manusia pelanggar sumpah!”

Sui Ceng mengangguk dan ia segera memondong Kwan Cu dan meloncat pergi! Biarpun seluruh tubuhnya lumpuh, namun panca indera Kwan Cu masih bekerja baik, maka kagumlah dia melihat kemajuan ilmu lari Sui Ceng yang biarpun menggendongnya, masih dapat berlari dengan ringan dan cepat sekali.

Adapun Kiu-bwe Coa-li setelah melihat Sui Ceng membawa Kwan Cu pergi jauh, lalu menyambar turun ke dalam ruang di mana Ang-bin Sin-kai masih dikeroyok dengan hebat oleh dua orang kakek tua Kim-san-pai dan Thian-san-pai.

Menghadapi ilmu pedang Kim-san-pai yang benar-benar ganas dan gerakannya amat kuat, Ang-bin Sin-kai menjadi kagum dan gembira. Tak mungkin lagi baginya untuk main-main seperti tadi ketika menghadapi Pouw Hong Taisu seorang, karena kini keroyokan dua orang tokoh besar itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan begitu saja.

Maka begitu tubuhnya berkelebatan untuk menghindari serangan lawan, dia mulai membalas dengan pukulan-pukulannya yang lihai. Beberapa kali dia hampir berhasil memukul runtuh senjata lawan, namun kedua orang kakek yang cukup mengenal kelihaiannya, bertempur dengan hati-hati dan saling membantu.

Pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi “tar! tar! tar!” nyaring sekali dan tahu-tahu sembilan sinar menyambar ke arah medan pertempuran! Inilah cambuk ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li yang telah turun tangan. Bagaikan sembilan ekor ular sakti, bulu-bulu cambuk itu melayang-layang dan setiap helai merupakan senjata maut yang luar biasa lihainya.

Pada saat itu, karena kini Ang-bin Sin-kai membalas serangan kedua orang lawannya, Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu mencurahkan seluruh perhatiannya kepada serangan Ang-bin Sin-kai dan tidak dapat menjaga datangnya “ular-ular hidup” ini. Maka tanpa dapat dicegah pula, sepasang golok di tangan Pouw Hong Taisu dan pedang di tangan Bin Kong Siansu, gagangnya terkena libatan bulu-bulu cambuk dan ditarik oleh Kiu-bwe Coa-li, senjata-senjata itu terlepas dari pegangan!

Adapun Ang-bin Sin-kai, biarpun dia menghadapi keroyokan dua orang lihai, namun memang tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka kedatangan Kiu-bwe Coa-li ini dia ketahui baik-baik. Apalagi ketika terdengar bunyi “tar-tar-tar!” tadi, tahulah dia bahwa senjata istimewa dari Kiu-bwe Coa-li telah beraksi. Ia tidak berani lengah dan ketika tiga helai bulu cambuk menyambar ke arahnya, dia cepat menggulingkan tubuhnya sambil menghantamkan kedua tangannya ke arah tubuh Kiu-bwe Coa-li!

Ang-bin Sin-kai sengaja mengerahkan tenaga membalas dengan pukulan maut, karena tiga helai bulu cambuk tadi pun menyerangnya dengan maksud membunuh. Ia merasa heran dan juga marah mengapa datang-datang Kiu-bwe Coa-li hendak membunuhnya, sedangkan terhadap dua orang tokoh Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu, iblis wanita ini hanya merampas senjata mereka saja.

Pukulan yang dilancarkan Ang-bin Sin-kai mengandung hawa yang dahsyat sekali dan biarpun jarak antara Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li ada tiga tombak, namun nenek sakti itu merasa datangnya hawa pukulan yang menyambar ke arah lambung dan ulu hatinya! Terpaksa ia menarik cambuknya sambil melompat ke kanan menghindarkan diri dan dengan demikian, ia gagal menyerang Ang-bin Sin-kai, namun berhasil merampas senjata-senjata Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu!

Ketua Kim-pan-sai dan ketua Thian-san-pai menjadi marah sekali. Akan tetapi mereka juga amat terkejut menyaksikan kelihaian nenek sakti yang dikenal baik namanya namun belum pernah disaksikan kepandaiannya itu.

“Suthai, apakah maksud kedatanganmu ini dan mengapa kau mencampuri urusan kami?” kata Pouw Hong Taisu dengan mata bernyala merah.

Kiu-bwe Coa-li menjebikan bibirnya dengan mengejek,
“Hm, tua bangka tak tahu diri! Kalau aku tidak datang turun tangan, apakah kau kira akan dapat mengalahkan Ang-bin Sin-kai? Ada dua hal yang mengharuskan aku turun tangan. Pertama, karena kalian menyerang orang yang tak berdosa, ke dua, karena aku sendiri yang akan memberi hajaran pada Ang-bin Sin-kai, si manusia pelanggar sumpah!”

“Kiu-bwe Coa-li!” bentak Pouw Hong Taisu marah, “Kau tidak tahu, pengemis jahat ini telah membunuh murid-murid kami!”






Tidak ada komentar :