*

*

Ads

Sabtu, 29 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 057

“Bodoh, kalian tua bangka-tua bangka bodoh! Pembunuh Pek-cilan Thio Loan Eng dan Ong Kiat bukan Ang-bin Sin-kai, melainkan Toat-beng Hui-houw dan hal ini pinni (aku) telah menyaksikan sendiri!”

Mendengar kata-kata ini, tentu saja dua orang tokoh persilatan itu terkejut sekali dan muka mereka menjadi pucat. Mereka telah melakukan kesalahan luar biasa besarnya terhadap Ang-bin Sin-kai dan hal itu bukan hal yang kecil saja.

Akan tetapi ketika mereka menengok kepada Ang-bin Sin-kai, orang tua ini hanya tersenyum-senyum saja.

“Nah, terimalah senjata-senjatamu kembali, kalau kalian tidak bisa menerima dan binasa karenanya, jangan salahkan aku, anggap saja sebagai hukumanmu!” kata Kiu-bwe Coa-li dan begitu ia menggerakkan cambuknya, sepasang golok itu terlepas dan meluncur ke arah Pouw Hong Taisu sedangkan pedang itu meluncur ke arah Bin Kong Siansu!

Luncuran ini hebat sekali, cepatnya melebihi anak panah dan tenaganya melebihi tusukan seorang ahli silat! Kedua ketua Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu terkejut sekali. Dengan gerakan Monyet Sakti Memetik Bunga, Bin Kong Siansu dapat mengelak ke kiri dan tangannya menyambut pedangnya sendiri pada gagangnya. Ia berhasil menerima pedangnya itu akan tetapi dia merasa telapak tangannya pedas sekali.

Yang lebih hebat adalah Pouw Hong Taisu karena tosu ini menghadapi serangan dari sepasang goloknya yang meluncur ke arah tenggorokan, akan tetapi tangan kirinya terlambat menyambar yang meluncur ke lambung. Terpaksa dia melemparkan tubuh ke kiri sehingga golok itu meluncur terus mengancam seorang tamu muda yang duduk di belakangnya!

Keadaan amat berbahaya bagi tamu muda itu, akan tetapi tiba-tiba tubuh Ang-bin Sin-kai berkelebat dan sekali tendang saja, golok itu terlempar ke atas dan menancap pada tiang melintang di atas sampai setengahnya. Gagang golok itu bergoyang-goyang, tanda bahwa luncuran tadi amat kuatnya!

Pouw Hong Taisu menjadi pucat, demikianpun semua tamu. Ternyata bahwa gedung Bun-bu-pang telah kedatangan dua orang tamu yang memiliki kepandaian luar biasa sekali. Biarpun mereka telah mendengar dan mengenal Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li sebagai tokoh-tokoh besar yang tiada taranya, namun baru hari ini mereka kebetulan dapat menyaksikan kepandaian mereka yang benar-benar hebat.

Keringat dingin mengucur di jidat mereka, terutama sekali Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu yang sudah merasa bersalah terhadap Ang-bin Sin-kai yang mereka tuduh secara keji sekali.

Kini Kiu-bwe Coa-li menghadapi Ang-bin Sin-kai dan sepasang matanya menyatakan bahwa nenek sakti ini sedang marah bukan main.

“Ang-bin Sin-kai, pengemis hina-dina. Kau benar-benar berjiwa pengemis rendah dan tidak merasa jijik untuk menelan ludah sendiri yang sudah kau keluarkan di atas lumpur busuk! Orang lain boleh kau bodohi begitu saja, akan tetapi pinni tidak sudi kau tipu!” sambil berkata demikian Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu mengancam sembilan jalan darah di tubuh Ang-bin Sin-kai!

Menghadapi serangan yang hebat ini Ang-bin Sin-kai terkejut sekali. Ia sebenarnya terkejut bukan karena jerih melainkan heran mengapa iblis wanita ini benar-benar menyerang dengan niat membunuh. Kesalahan apakah yang telah diperbuatnya? Agaknya dia hari ini sial benar-benar, semua orang menuduhnya yang bukan-bukan dan menghendaki nyawanya!

Menghadapi Kiu-bwe Coa-li jauh sekali bedanya dengan menghadapi keroyokan Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu, karena dia maklum bahwa nenek ini benar-benar lihai dan berbahaya. Cepat Ang-bin Sin-kai mempergunakan ginkangnya untuk mencelat mundur sehingga bulu-bulu cambuk yang panjang itu tidak sampai mengenai tubuhnya. Ia mengangkat kedua tangan sambil berkata keras,

“Eh, eh, eh, nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li! Kau agaknya tidak lebih waras dari dua orang yang menyerang aku tadi. Katakan lebih dulu mengapa kau menganggap aku si tua bangka ini sebagai si pelanggar sumpah?”

“Bagus, jembel siluman masih hendak berputar lidah! Mengakulah bahwa kau dahulu pernah bersumpah takkan mempergunakan Lu Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Betul tidak?”

“Betul,” jawab Ang-bin Sin-kai dengan suara tenang.

Kiu-bwe Coa-li tersenyum mengejek.
“Dan kalau kau melanggar sumpahmu itu, kau bersumpah akan mampus seperti anjing, betulkah?”






“Memang begitulah kira-kira bunyi sumpahku.”

Mata kiu-bwe Coa-li mendelik.
“Jahanam! Dan sekerang kau ternyata bersama Kwan Cu mencari kitab peninggalan Gui Tin untuk mencari tahu di mana disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Karena itu, kau harus mampus seperti anjing di bawah cambukku.”

Terbelalak mata Ang-bin Sin-kai memandang nenek sakti itu.
“Eh, eh, eh, nanti dulu. Dari manakah kau bisa mengetahui semua ini?”

“Semua orang sudah tahu. Empat tokoh besar di seluruh penjuru sudah tahu, mengapa aku tidak?”

“Kiu-bwe Coa-li, siluman perempuan yang galak. Memang betul Kwan Cu mencari peninggalan itu atas pesanan mendiang Gui-siucai, apakah hubungannya dengan aku? Ingat, sumpahku ialah kalau aku mempergunakan dia mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kini soalnya lain lagi, bukan aku yang mencari, melainkan anak itu. Dia berhak mendapatkannya, karena bukankah dia hanya memenuhi pesanan terakhir dari gurunya yakni Gui-suicai?”

“Bohong! Kau sengaja memutarbalikkan kenyataan untuk menutupi kesalahanmu. Apa kau takut mampus?”

Ang-bin Sin-kai mulai marah.
“Kiu-bwe Coa-li, alangkah sombongmu. Kau kira aku takut kepadamu? Kau boleh menuduh apa pun juga, aku tidak takut dan kau mau apa?”

“Bangsat tua, mampuslah!”

Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya yang berbunyi “tar! tar! tar!” keras sekali sehingga semua orang yang berkumpul di situ menjadi jerih dan tak terasa pula segera mundur mepet ke tembok, takut kalau-kalau terkena ujung cambuk yang lihai itu.

Kiu-bwe Coa-li mengamuk seperti iblis, ujung cambuknya kalau mengenai bangku, pecahlah bangku itu seperti dibacok kapak tajam. Sengaja dia mempergunakan cambuknya menangkap meja dan bangku dan dilontarkannya meja bangku itu ke pinggir sehingga sibuklah orang-orang yang berada di situ untuk mengelak dari hujan bangku yang tadi mereka duduki.

Yang celaka adalah kaum sastrawan, karena berbeda dengan kaum persilatan yang dapat menangkis dan mengelak, mereka ini tertimpa meja dan bangku sehingga menderita benjol! Ruangan yang luas itu kini bersih dari meja dan bangku, dan tanpa membuang waktu lagi, Kiu-bwe Coa-li serentak menyerang dengan cambuknya.

Ang-bin Sin-kai yang tahu kelihaian lawan tidak mau berlaku sembrono menghadapinya dengan tangan kosong. Memang biasanya kakek ini tak pernah mempergunakan senjata dalam pertempuran menghadapi siapapun juga, akan tetapi karena dia tahu bahwa cambuk dari Kiu-bwe Coa-li amat berbahaya, kini dia mencabut suling pemberian dari Hang-houw-siauw Yok-ong untuk menangkis.

Pertempuran antara kedua orang tokoh besar ini berlangsung amat hebatnya. Biarpun orang-orang yang berkumpul di situ telah berdiri mepet pada tembok namun sambaran angin yang keluar dari cambuk dan kedua tangan Ang-bin Sin-kai, masih terasa oleh mereka yang membuat rambut dan pakaian mereka berkibar dan kulit terasa dingin!

Suara yang mengiringi pertempuran ini pun mengerikan sekali. Tidak saja suara bersiutnya bulu-bulu cambuk yang sembilan helai banyaknya itu diseling oleh suara menjetar yang menulikan telinga, juga suara dari suling yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai menimbulkan suara angin yang mengerikan. Karena suling ini digerakkan secara cepat sekali, angin yang memasuki lubang-lubang suling menimbulkan suara seperti seekor binatang buas menangis.

Bergidiklah semua orang mendengar suara-suara ini dan kaburlah pandangan mata mereka melihat betapa bayangan dua orang tokoh besar itu lenyap sama sekali. Di ruangan itu kini hanya terlihat gulungan sinar yang tak tentu ujudnya, yang bergerak-gerak ke sana ke mari sehingga sukar untuk diduga siapa yang menang siapa yang kalah.

Melihat cara Kiu-bwe Coa-li mainkan cambuknya, Ang-bin Sin-kai terkejut bukan main. Pernah dia menyaksikan permainan cambuk lawannya ini, yaitu dulu ketika mereka berebutan kitab palsu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan biar pun dia sendiri belum pernah menghadapi Kiu-bwe Coa-li, namun dia sudah dapat mengukur kelihaian lawan ini.

Akan tetapi sekarang permainan cambuk itu sudah maju dengan pesat sekali. Berat dan aneh. Tiba-tiba dia teringat akan tenaga lweekang yang didapat bocah gundul itu dalam mempelajari lweekang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu. Maka mengertilah dia bahwa entah dengan cara bagaimana, iblis wanita ini telah pula mempelajari ilmu lweekang dari kitab palsu itu!

Menduga tentang ini, otomatis Ang-bin Sin-kai menoleh ke arah tumpukan meja di mana tadi dia melemparkan Kwan Cu agar terhindar daripada gangguan lawan. Alangkah kagetnya ketika dia tidak melihat muridnya berada disitu. Ia sudah tahu akan ketaatan muridnya ini dan tak mungkin Kwan Cu berani pergi dari situ tanpa perkenannya. Tentu telah terjadi sesuatu dengan anak itu. Pikiran ini membuat Ang-bin Sin-kai marah sekali dan tiba-tiba dia berseru keras sekali.

Begitu kedua tangannya bergerak dia telah dapat memegang tiga helai bulu pecut dan direnggutnya sekuat tenaga! Kiu-bwe Coa-li terkejut dan cepat ia mempergunakan bulu pecut yang lain untuk dipukulkan ke arah kepala Ang-bin Sin-kai. Ia maklum bahwa untuk lain orang, sekali pukulan dengan ujung sehelai bulu pecut saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Akan tetapi menghadapi Ang-bin Sin-kai, belum tentu ia dapat merobohkan kakek ini dengan semua bulu pecutnya dirangkap menjadi satu kalau tidak mengenai bagian yang penting seperti ubun-ubun kepala!

Ang-bin Sin-kai marah sekali dan begitu dia menarik, tiga helai bulu pecut itu copot! Akan tetapi serangan enam helai bulu pecut telah menyambar ubun-ubun kepalanya, maka cepat dia mengelak sambil miringkan tubuhnya. Betapapun cepat gerakannya, dia terlambat dan beberapa helai bulu pecut masih mengenai pundaknya yang menimbulkan rasa sakit dan ngilu. Ia mengerahkan tenaga lweekang untuk melawan pecutan ini dan tubuhnya tiba-tiba menubruk maju dengan kedua tangan dipentang.

Ternyata dalam marahnya Ang-bin Sin-kai telah mengeluarkan tipu serangan yang berbahaya sekali, yakni pukulan yang disebut Pukulan Ombak Mengamuk! Kakek muka merah ini telah dapat meniru dan menangkap inti pukulan serangan ombak pada batu karang ketika dia masih suka bermain-main dengan ombak di pinggir Laut Po-hai!

Kiu-bwe Coa-li berseru kaget ketika hawa pukulan lawannya membuat semua bulu pecutnya terpental kembali dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang! Ia berseru lagi dan tiba-tiba tubuhnya melayang naik untuk menghindari serangan lawan.

Kesempatan itu di pergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk melompat naik dan nyeplos dari genteng yang sudah berlubang, di atas meja di mana tadi Kwan Cu berada. Ia maklum bahwa muridnya keluar dari tempat ini.

“Kwan Cu…..!”

Ia berteriak di atas genteng sambil memandang ke kanan kiri. Namun keadaan di situ sunyi saja, tak nampak bayangan seorang pun manusia.

“Kwan Cu…..! Hai,……. Kwan Cu bocah gundul, kau di mana?” kembali kakek ini berseru memanggil sambil mengerahkan tenaga lweekangnya sehingga seruan ini tentu akan terdengar oleh Kwan Cu seandainya anak itu berada dalam jarak beberapa lie saja dari tempat itu.

Dan memang betul, Kwan Cu dapat mendengar suara gurunya yang memanggil ini, akan tetapi dia tidak berdaya karena dia telah lumpuh dan pada saat itu dia rebah di bawah pohon ditunggu Bun Sui Ceng yang mendongeng kepadanya tentang Pek-cilan Thio Loan Eng yang terbunuh oleh Toat-beng Hui-houw!

“Jangan kau khawatir, Kwan Cu. Biarpun kelihatan galak, guruku berhati mulia dan kau pasti takkan diganggunya, asal saja kau mau memberi petunjuk kepadanya bagaimana untuk mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.”

Kata Sui Ceng kepada bocah gundul itu. Adapun Ang-bin Sin-kai ketika memanggil beberapakali tidak mendapat jawaban, menjadi makin gelisah dan bingung. Ia berpikir sejenak dan timbul dugaannya bahwa Kwan Cu tentu telah diculik oleh Kiu-bwe Coa-li pada saat dia masih dikeroyok oleh dua Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu! Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau anak itu bersembunyi di dalam rumah? Ia lalu melompat kembali turun ke tengah ruangan itu dan dia tidak melihat lagi bayangan Kiu-bwe Coa-li.

Orang-orang yang berada di situ tadi melihat Ang-bin Sin-kai melayang naik melalui atap yang bolong, dan Kiu-bwe Coa-li setelah mengeluarkan suara tertawa yang nyaring dan mendirikan bulu tengkuk, lalu berkelebat pergi dari pintu.






Tidak ada komentar :