*

*

Ads

Sabtu, 29 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 058

Semua orang menahan napas dan kini melihat Ang-bin Sin-kai melayang turun kembali, mereka memandang penuh perhatian.

“Di mana adanya muridku?” tanya Ang-bin Sin-kai kepada mereka. Tak seorang pun menjawab. “Hai….! Tulikah kalian? Di mana adanya Kwan Cu muridku yang tadi duduk di atas tumpukan meja itu?”

Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu melangkah maju. Dua orang kakek ini merangkap kedua tangan dan memberi hormat dengan muka nampak malu dan menyesal.

“Muridmu telah di ambil oleh Kiu-bwe Coa-li ketika kau tadi bertempur melawan kami,” kata Pouw Hong Taisu dengan suara menyesal. “Semua adalah kesalahan kami, Ang-bin Sin-kai dan kami mohon maaf sebanyaknya. Benar-benar tadi kami semua berlaku amat buruk terhadapmu. Maaf, maaf….” Kata Bin Kong Siansu dengan hati tidak enak sekali.

“Marah, menyesal! Ah, orang-orang seperti kalian masih diombang-ambingkan oleh perasaan dan nafsu, sungguh lucu dan menggelikan sekali!” kata Ang-bin Sinkai gemas. “Eh, orang she Kwa, apakah kau tidak malu menjadi ketua Bun-bu-pang?”

Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai lalu melompat pergi meninggalkan rumah perkumpulan Bun-bu-pang itu. Semua orang saling pandang dan menghela napas.

“Biarlah hal ini merupakan pelajaran bagi kita sekalian,” kata Kwa Ok Sin sambil menarik napas panjang. “Lain kali kita harus berlaku hati-hati sekali dalam memutuskan sesuatu hal, harus melakukan penyelidikan sedalam-dalamnya dan tidak percaya begitu saja kata-kata orang lain.”

Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu menjadi merah mukanya. Diam-diam mereka mengutuk Hek-i Hui-mo, karena sesungguhnya Hek-i Hui-mo yang membakar hati mereka dan Hek-i Hui-mo yang memberi tahu mereka bahwa Ang-bin Sin-kai yang membunuh murid-murid mereka.

“Kiu-bwe Coa-li, hati-hati kau! Kalau sampai kau ganggu muridku, aku Ang-bin Sin-kai belum mau mati sebelum mencabuti sembilan ekormu,” sepanjang jalan Ang-bin Sin-kai berkata begini sungguhpun hatinya tidak begitu mengkhawatirkan tentang keadaan muridnya.

Ia tahu bahwa Kiu-bwe Coa-li menculik Kwan Cu ada maksudnya, yakni hendak mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi oleh karena kitab sejarah peninggalan Gui Tin yang dapat memberi petunjuk di mana adanya kitab sakti itu telah dicuri orang, tentu Kwan Cu akan berkata terus terang dan Kiu-bwe Coa-li tentu akan berusaha merampas kembali kitab sejarah yang tercuri.

“Betulkah Jeng-kin-jiu yang mencurinya? Tak salah lagi, karena Kwan Cu menduga Jeng-kin-jiu, tentu Kiu-bwe Coa-li akan menyusul pendeta gundul gendut itu ke kota raja. Hm, tiada jalan lain, akupun harus menyusul ke sana. Betapapun juga, kitab sejarah itu tidak boleh terjatuh ke dalam tangan orang lain, harus menjadi milik Kwan Cu yang memang berhak.”

Setelah mengambil keputusan begini, Ang-bin Sin-kai lalu berlari cepat menuju ke kota raja. Pada masa itu, yang menjadi kaisar kerajaan dari Kerjaan Tang adalah Kaisar Hian Tiong yang terkenal sebagai seorang yang doyan pelesir. Kaisar ini selalu tenggelam dalam kesenangan, memelihara banyak sekali selir yang cantik-cantik, setiap hari menghibur diri di tengah-tengah selir-selirnya sambil melihat tari-tarian dan nyanyian merdu, sama sekali tidak mau peduli akan pemerintahannya dan juga tidak mau peduli akan keadaan rakyat jelata yang banyak menderita.

Istana-istana indah dan megah dibangun di mana-mana, menghamburkan uang yang mengalir masuk dari keringat rakyat petani. Istana-istana indah di mana selalu dihias oleh perabot-perabot mahal dan juga “perabot-perabot hidup” berupa dara-dara jelita yang dikumpulkan dari berbagai daerah!

Tidak mengherankan jika pujangga besar Tu Fu menjadi naik darah dan sedih juga ketika pada suatu hari di musim dingin dia pulang dari perjalanannya dari Tiang-san dan melewati Bukit Li-shan. Di situ, yaitu di puncak Bukit Li-shan di mana terdapat sebuah di antara istana-istana kaisar yang disebut Istana Hwa Ceng.

Tu Fu mendengar bahwa kaisar Hian Tiong tengah berpesta pora, berpelesir mendengarkan musik dan nyanyian, menonton tari-tarian dan bersenang-senang dengan para selirnya. Teringatlah Tu Fu akan keadaan rakyat jelata yang amat sengsara dan menderita di dalam angin dingin dan kelaparan rakyat yang menggeletak kelaparan dan kedinginan di atas jalan-jalan raya di Tiang-san. Maka menulislah pujangga patriot ini kata-kata yang sampai kini masih di hargai oleh seluruh rakyat:

“Di belakang pintu gerbang
merah indah cemerlang
anggur dan daging berlebih-lebihan
hingga masak membusuk!
Di luar pintu gerbang
Kotor sunyi melengang
Berserakan tulang rangka
Sisa korban dingin dan lapar”






Memang, Kaisar Hian Tiong terlalu mengumbar kesenangan jasmani atau boleh juga di sebut terlalu menurutkan nafsu hewan. Di dalam istana di kota raja, selirnya tak terhitung banyaknya, terdiri dari gadis cantik jelita yang didatangkan dari berbagai daerah.

Ada yang memang diserahkan oleh orang tuanya dengan hati bangga, akan tetapi tidak kurang pula yang didapatkan oleh kaisar dengan jalan keras, yaitu dengan paksaan dan sebagian besar adalah “hadiah” yang diberikan oleh para pembesar untuk mengambil hati sang junjungan.

Yang paling hebat, di antara sekian banyak selir itu, adapula yang tadinya menjadi isteri orang, yang direnggut dari suaminya untuk dipaksa melayani kaisar, orang terbesar di dalam negeri, orang yang dianggap sebagai “Pilihan Tuhan”!

Di antara para selirnya ini, terdapat seorang wanita muda yang amat cantik jelita. Kaisar pernah tergila-gila kepada selirnya ini dan diberinya nama Bi Lian atau Teratai Jelita kepada selirnya ini. Untuk menggambarkan betapa cantiknya Bi Lian, seorang ahli sajak di dalam istana atas perintah kaisar telah membuatkan sajak pujian kepada Bi Lian yang ditempel di kamar selir cantik ini. Beginilah sajak itu:

Rambut panjang hitam dan halus.
Melebihi kehalusan benang sutera.
Diikal menjadi mahkota hidup.
Terhias bunga cilan dengan dua kuncup
Sisir emas jadi penahan,
Sedap, wangi, semerbak harum!
Wajah indah jelita berbentuk telur
Berkulit halus dan betapa putihnya,
Putih kuning seperti susu.
Dua alis melengkung hitam
Menghias sepasang mata burung hong.
Kering tajam lunak menikam kalbu
Hidung kecil mancung berbentuk sempurna
Bagaikan ukiran batu kemala.
Mulut kecil mungil, merah membasah
Di balik bibir manis
Tersembunyi gigi mutiara!
Tubuh ramping
Mengalahkan batang yang-liu (cemara)
Tertiup angin
Melenggak-lenggok mempesona
Tangan kaki kecil mungil
Seperti kuncup bunga,
Setiap gerakan
Menyedapkan pandangan mata
Di dalam dunia memang banyak wanita jelita
Namun siapakah dapat menyamai bunga istana
Teratai Jelita (Bi Lian) kekasih raja?

Namun, cinta kasih seorang laki-laki seperti Kaisar Hian Tiong tidak bertahan lama, tidak tahan uji. Hanya dicinta dan dipuja kala masih baru. Setiap kali berganti kekasih, datang yang baru lupa yang lama. Demikianpun halnya dengan Bi Lian. Belum cukup setahun menjadi kekasih kaisar yang paling dicinta, kaisar mulai bosan dan kini jarang lagi datang ke kamarnya.

Semenjak dibawa dengan paksa ke kota raja dan menjadi penghuni harem kaisar, remuk redamlah hati Bi Lian. Dia telah mempunyai seorang tunangan, seorang pemuda terpelajar yang sedianya menjadi suaminya.

Akan tetapi nasib buruk menimpa dirinya dan dari kota Hang-ciu ia dibawa dengan paksa, seperti seekor domba muda dibawa ke penjagalan, untuk di sembelih! Dengan hati hancur ia harus melayani segala kehendak kaisar yang buas dalam pandangannya itu.

Memang tadinya ia agak terhibur ketika dirinya dihujani benda-benda mahal dan indah, ketika ia hidup dalam kemewahan, selalu dilayani oleh para pelayan. Akan tetapi, setelah kaisar mulai bosan dengan dia, ia teringat kembali kepada Can Kwan tunangannya. Ia rindu bukan main, dan setiap hari ia menangis di dalam kamarnya.

Pada malam hari itu, seperti biasa Bi Lian duduk di dalam kamarnya seorang diri. Sore tadi, pelayannya datang dan hendak memandikannya dan membereskan pakaian serta rambutnya seperti biasa.

Namun Bi Lian menolak dan menyuruh pelayan itu mundur. Ia duduk termenung di dalam kamarnya, mendengarkan tetabuhan yang dibunyikan orang di bagian lain dari istana yang luas itu. Bunyi suling dan yang kini membuat hatinya makin hancur dan berduka. Ia memandang ke arah sajak pujian untuk dirinya yang tergantung di dekat pembaringannya. Bunyi sajak itu bahkan membuat Bi Lian terharu dan sedih, mengingatkan dia akan sajak yang pernah dibacanya dahulu:

“Aduh sayang, setangkai mawar indah
terbawa hanyut oleh air bah!
Air buas mengalir terus tanpa peduli
mawar yang malang
tertinggal di atas lumpur!”

Teringat akan bunyi sajak ini, tak terasa pula dua titik air mata bagaikan dua butir mutiara menitik turun di atas sepasang pipinya yang putih halus kemerahan.

“Can Kwan…..” keluh-kesah yang berkali-kali dibisikkan oleh hati wanita muda itu, kini keluar dari bibirnya, merupakan keluh kesah yang amat menyayat hatinya, dan berderailah air matanya tak dapat ditahan lagi.

“Cui Hwa….” tiba-tiba terdengar suara panggilan perlahan dari luar jendelanya yang menembus ke dalam taman bunga yang sengaja dibuat oleh kaisar di luar kamarnya atas permintaannya beberapa bulan yang lalu.

Bi Lian terkejut bukan main. Nama Cui Hwa adalah nama aslinya sebelum ia dibawa ke istana kaisar dan nama ini hampir setahun tidak pernah disebut orang. Namanya telah berganti menjadi Bi Lian. Maka dapat dibayangkan betapa heran dan terkejutnya ketika ia mendengar nama lama itu disebut orang. Terutama sekali yang membuatnya terkejut adalah suara itu! Suara orang yang tak pernah dapat dilupakannya, bahkan suara orang yang pada saat itu sedang memenuhi pikiran dan hatinya….. Can Kwan!

Bagaikan dalam mimpi, Bi Lian atau Cui Hwa berjalan menghampiri jendela dan membukanya. Sesosok bayangan orang melompat masuk dan dengan cepat telah berada di dalam kamar Bi Lian. Wanita ini memandang dan…….

“Can Kwan……!” serunya sambil berdiri memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

Adapun orang yang masuk itu, seorang pemuda yang tampan dan berpakaian seperti seorang pelajar, juga berdiri dengan pandangan mata kagum menyaksikan kecantikan wanita yang berdiri di hadapannya.

“Cui Hwa….”

Biarpun dahulu mereka belum pernah bersentuh tangan, hanya bicara secara sopan sebagaimana lazimnya orang bertunangan, namun pada saat itu suara hati mereka yang bicara dan perasaan rindu dendam yang hebat mempengaruhi jiwa raga, tanpa dapat dicegah lagi oleh akal sadar, keduanya saling menubruk dan berangkulan.

“Cui Hwa…….kekasihku….”

“Can Kwan, alangkah senangnya bertemu denganmu walau hanya dalam mimpi…..”

“Cui Hwa, siapa bilang dalam mimpi?’ Can Kwan melepaskan rangkulannya dan memegang kedua pundak wanita muda itu, memandang dengan mata penuh cinta kasih mesra. “Lihatlah baik-baik, bukankah aku Can Kwan tunanganmu? Aku benar-benar datang kekasihku.”

Namun Cui Hwa menggeleng-geleng kepalanya yang cantik.
“Tak mungkin! Sungguh tak mungkin! Bagaimana kau bisa masuk ke sini? Istana di kurung pagar tembok yang tinggi, terjaga kuat oleh pasukan! Sedangkan kau adalah seorang pelajar yang lemah, yang hanya kuat menggerakkan tangkai pena dan membalik lembaran buku. Kau tak mungkin dapat datang kesini, kecuali kalau…… kalau…….”

Tiba-tiba pucatlah muka Cui Hwa atau Bi Lian. Ia hampir menjerit ngeri, tetapi buru-buru menutupkan mulutnya dengan tangan, lalu bertindak mundur sampai tiga langkah.






Tidak ada komentar :