*

*

Ads

Sabtu, 29 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 059

“Cui Hwa, mengapa kau?”

“Can Kwan…. tak salah lagi….. kau tentu sudah mati…..! Rohmu yang datang mengunjungiku….. ah, Can Kwan. Kalau kau sudah mati, tenanglah, aku pasti akan menyusulmu. Sudah tidak tahan lagi aku berada di sini, terpisah darimu!” Bi Lian lalu menangis tersedu-sedu.

Can Kwan melangkah maju dan merangkulnya kembali. Ia tertawa perlahan dan membelai rambut kepala Bi Lian.

“Cui Hwa, pernahkah kau mendengar roh dapat memelukmu seperti yang yang kulakukan sekarang ini? Lihatlah aku baik-baik, aku belum mati. Aku adalah Can Kwan yang masih hidup, masih berdarah masih berdaging. Ketahuilah, semenjak kau dibawa ke sini, aku melepaskan pena dan berlatih giat sekali mempelajari ilmu silat dari seorang gagah. Akhirnya, malam ini aku berhasil melampaui penjaga-penjaga itu dan naik melalui pagar, walaupun dengan susah payah namun aku berhasil sampai ke kamarmu.”

“Can Kwan….!” Bukan main girang dan terharunya hati Bi Lian mendengar ucapan kekasihnya ini. “Akan tetapi, apa gunanya…..? kau bisa masuk akan tetapi bagaimana keluarnya? Bagaimana kalau nanti kau ketahuan oleh penjaga? Ssst…… bersembunyilah, pelayanku datang….”

Akan tetapi, Can Kwan tidak bersembunyi, sebaliknya dengan sekali lompatan dia telah berada di depan pelayan wanita itu dan menotok pundak wanita itu, pelayan itu roboh tak sadarkan diri lagi.

“Can Kwan, kau…. mem….. membunuhnya?” tanya Cui Hwa dengan kaget dan ngeri.

Can Kwan tersenyum dan bukan main tampannya wajah pemuda itu dalam pandangan Cui Hwa.

“Tidak, Cui Hwa, aku hanya membikin dia tak berdaya untuk beberapa jam saja. Ia tidak apa-apa.”

“Can Kwan, setelah kau datang kesini…. apa kehendakmu?”

Can Kwan memegang kedua tangan kekasihnya.
“Cui Hwa, mari kita pergi dari sini, mari kita mulai hidup baru sebagai suami istri, jauh dari sorga dunia yang merupakan neraka bagi batin kita ini.”

“Can Kwan! Bagaimana mungkin? Kau… kau akan tertangkap dan mereka akan membunuhmu! Ah, Can Kwan….. biarlah aku seorang yang menderita, aku tidak tahan melihat kau mereka bunuh! Pergilah, carilah seorang isteri lain yang bijaksana, biarlah, aku…. aku tak berharga lagi menjadi…. isterimu. Tak boleh kau mendapat bencana karena aku….. tinggalkanlah aku, Can Kwan. Kedatanganmu ini sudah merupakan bahagia sebesarnya bagiku, akan menghiburku sampai aku mati. Akan kuingat sebagai tanda cintamu…..”

“Hush, Cui Hwa, jangan mengeluarkan omongan bodoh! Aku datang sengaja untuk membawamu keluar dari sini.”

“Bagaimana caranya?”

“Akan kubawa kau melompati pagar tembok, keluar dari istana.”

“Kalau kau diketahui oleh penjaga?”

“Akan kubuka jalan darah, biar mati bersamamu!”

“Tidak, Can Kwan…..” Cui Hwa menangis dan memandang dengan muka ngeri. “Kau tidak boleh mati karena aku….! Apa dayamu menghadapi para pengawal yang banyak jumlahnya? Biar aku sengsara, biar aku mati asal kau bahagia, asal kau hidup……”

“Cui Hwa…..!”

Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dari luar,
“Penjahat! Pencuri! Tangkap, tangkaaaap!”

Cui Hwa menjadi pucat.
“Celaka, Can Kwan, mereka sudah datang!”






Wajah Can Kwan yang tampan menjadi beringas dan pemuda ini mencabut pedangnya, lalu melompat keluar. Ia disambut oleh belasan orang pengawal yang segera mengepungnya.

Can Kwan memang telah mempelajari ilmu silat dengan tekunnya dari seorang pandai, dan pedangnya bergerak laksana naga mengamuk. Beberapa orang pengawal sebentar saja roboh mandi darah di bawah sabetan pedangnya.

Akan tetapi makin banyak pengawal datang mengeroyok sambil berteriak-teriak, dan biarpun Can Kwan pernah belajar silat dengan amat tekun, namun sampai di manakah tingkat kepandaian seorang yang baru belajar ilmu silat selama setahun? Ia mulai lelah dan telah mendapat beberapa luka ringan.

“Can Kwan…….!” Terdengar seruan Cui Hwa menyayat kalbu.

Permuda itu menengok dan alangkah kagetnya melihat tubuh kekasihnya itu terhuyung-huyung mandi darah! Sebuah pisau menancap di ulu hati Bi Lian atau Cui Hwa. Ternyata bahwa wanita muda itu ketika melihat betapa kekasihnya dikeroyok dan tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, dan tahu pula bahwa pertemuannya dengan Can Kwan itu tentu mengakibatkan bencana hebat bagi dirinya dan pemuda itu, telah mengambil keputusan pendek membunuh diri.

“Cui Hwa…..!”

Can Kwan tidak mempedulikan keroyokan para pengawal dan menubruk tubuh kekasihnya yang segera dipeluknya. Akan tetapi tubuh Cui Hwa sudah lemas dan manita muda ini hanya dapat membuka mata sebentar memandang kepada Can Kwan sambil berbisik lemah,

“Aku….. menunggumu…….” dan tewaslah dia.

“Cui Hwa…….!”

Para pengeroyok meloncat maju, beberapa belas batang tombak dan golok datang bagaikan hujan ke arah tubuh pemuda itu. Sudah jelas nasib Can Kwan, karena biarpun dia memiliki kepandaian sepuluh kali lipat daripada kepandaiannya yang sekarang, belum tentu dia akan dapat menyelamatkan diri dari serangan hebat itu.

Tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali, menyambar ke arah para penyerang yang hendak membunuh pemuda itu. Terdengar suara keras, senjata beterbangan dibarengi pekik kesakitan dan tidak kurang dari tujuh orang pengeroyok terguling roboh! Seorang kakek berpakaian tambal-tambalan telah berdiri di depan Can Kwan dan dialah yang menolong pemuda ini.

Can Kwan telah berdiri dan kini dengan muka pucat dan menyinarkan sakit hati yang hebat, dia menerjang kepada para pengeroyok. Akan tetapi, kakek itu menggerakkan tangannya dan sekali rampas saja pedang Can Kwan telah berpindah tangan!

“Tak perlu melawan lagi, kau takkan menang!” kata kakek ini.

“Kalau tidak bisa menang, biar aku mati bersama Cui Hwa kekasihku!” jawab pemuda yang sudah nekat itu.

“Bodoh!” kakek itu mencela dan tubuhnya berkelebat ke arah Can Kwan.

Pemuda ini hendak mengelak, akan tetapi gerakan kakek itu amat cepatnya sehingga tahu-tahu dia telah dikempit dan dibawa meloncat tinggi ke atas genteng. Para pengawal istana berteriak mengejar, akan tetapi sebentar saja kakek itu menghilang bersama pemuda yang dikempitnya.

Can Kwan hanya merasa sambaran angin dingin meniup mukanya sehingga dia terpaksa meramkan kedua matanya. Tak lama kemudian, kakek itu membawanya meloncat turun dan ketika Can Kwan membuka matanya, tahu-tahu dia telah berada di atas tanah, jauh di luar istana!

“Locianpwe, mengapa kau menghalangi kehendakku mengamuk? Aku ingin mati bersama Cui Hwa!” kata Can Kwan penasaran, karena dia tidak menghendaki pertolongan kakek ini.

Kakek ini tertawa bergelak.
“Pikiran muda mendekati kegilaan, karena selalu dikendalikan nafsu! Orang muda, kau benar-benar sudah gila. Aku yang sudah tua bangka, masih tidak begitu gila untuk mengakhiri hidup yang membosankan ini, apalagi kau yang masih begini muda. Nyawa adalah kurnia Thian, mengapa hendak di permainkan? Kau mengacau di istana kaisar, bukankah itu termasuk pelanggaran dan pemberontakan?”

“Siapa yang mau menghargai kaisar lalim? Dia telah merampas tunanganku dan aku memang sudah setahun mengandung maksud merampas kembali Cui Hwa!”

“Kau keliru! Kalau memang bermaksud melawan kehendak kaisar, mengapa tidak dari dulu sebelum tunanganmu menjadi selir kaisar? Sekarang tunanganmu telah menjadi selir terkasih, telah hidup bahagia dan kau datang-datang mendatangkan bencana kepadanya. Kalau kau tidak datang, apa kau kira tunanganmu itu akan mati? Kau bertindak menurutkan nafsu hati tidak menggunakan akal budi dan pikiran sehat. Andaikata kau tadi berhasil membawa lari bekas kekasihmu itu, apa kau kira akan dapat bersembunyi dari para petugas kaisar? Kemana pun kau pergi, kau tentu akan bertemu dengan kaki tangan pemerintah dan akhirnya kau akan dibekuk juga! Kalau kau yang menderita dan kena bencana, itu tidak mengapa karena memang kau sengaja, akan tetapi kau menyeret wanita itu ke jurang kecelakaan! Bahkan, kalau kau masih mempunyai keluarga, seluruh keluargamu akan terseret juga.”

Mendengar ucapan terakhir ini Can Kwan nampak lemas dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menangis.

“Teecu memang mengaku seorang anak puthauw (tidak berbakti), mohon petunjuk dari Locianpwe.”

“Hm, bagus! Lebih baik menghadapi seorang yang menyesali perbuatannya yang salah daripada menghadapi seorang yang menyombongkan perbuatannya yang baik! Anak muda, jangan kau kira bahwa seandainya kau berhasil membawa lari wanita itu, hidupnya akan bahagia. Ah, orang muda seperti kau selalu tertipu oleh nafsu hati. Sekarang wanita itu telah tewas, sudahlah. Dia sudah terbebas daripada penderitaan hidup, yaitu kalau memang ia menderita di dalam istana itu. Kau lebih baik pulang dan rawat orang tuamu baik-baik, menikah atas pilihan orang tuamu sebagai seorang anak berbakti. Jika kau berjalan di atas kebenaran, pasti kelak kau akan berbahagia.”

“Terima kasih, Locianpwe. Mohon tanya siapakah adanya Locianpwe yang telah menolong teecu?”

“Aku? Aku adalah pengemis miskin dan orang menyebutku Ang-bin sin-kai!”

Can Kwan terkejut sekali. Ia sudah tentu pernah mendengar nama tokoh besar ini, maka dengan girang dia berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kalau Locianpwe sudi, teecu mohon diterima menjadi murid.”

Akan tetapi karena tidak ada jawaban, Can Kwan mengangkat mukanya dan alangkah herannya ketika melihat bahwa kakek itu sudah lenyap dari situ! Dengan hati kecewa dia lalu berdiri dan berjalan pulang, kedukaan hatinya banyak terobati oleh nasihat-nasihat dari Ang-bin Sin-kai.

Memang, kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Ang-bin Sin-kai menuju ke kota raja hendak mencari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Setibanya di kota raja, diam-diam dia pergi ke rumah keponakannya, yaitu Lu Seng Hok, karena dia tahu bahwa Jeng-kin-jiu tinggal di rumah muridnya, Lu Thong atau putera dari Lu Seng Hok.

Akan tetapi dia merasa kecewa sekali karena Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Lu Thong belum pulang dari perantauannya. Ang-bin Sin-kai lalu menyelidiki di kota raja untuk melihat kalau-kalau Kiu-bwe Coa-li yang menculik Lu Kwan Cu telah berada di sana, akan tetapi ternyata iblis wanita itupun belum nampak berada di kota raja.

Untuk menghilangkan kekesalan hatinya, sambil menanti munculnya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu atau Kiu-bwe Coa-li, timbul seleranya untuk makan hidangan istana dan melihat-lihat kebun bunga di istana yang luar biasa indahnya itu.

Dahulu memang sering kali ia melancong dan bersuka-suka di istana kaisar, tanpa ada seorang pun yang melihatnya. Ia bermain-main di taman bunga, tidur di kamar-kamar besar yang indah setelah mengunci dan mengganjal pintu kamar dari dalam sehingga tidak ada orang dapat membukanya, atau memasuki dapur istana dan menyikat habis hidangan-hidangan untuk raja yang paling lezat. Ada kalanya ia menikmati bacaan buku-buku di perpustakaan istana atau minum anggur terbaik di gudang minuman.

Kebetulan sekali pada malam hari itu, ketika memasuki istana, dia melihat Can Kwan di keroyok, maka dia menolong pemuda itu setelah mengetahui sebab-sebab pertempuran.

Diam-diam dia menaruh hati kasihan kepada pemuda itu, dan makin besar rasa jemunya terhadap kaisar yang merampas tunangan orang lain, akan tetapi kalau dia tidak berlaku keras dan mengeluarkan nasihat-nasihat seperti yang telah diucapkan di depan pemuda itu, dia takkan dapat menimbulkan semangat hidup baru di dalam hati Can Kwan.






Tidak ada komentar :