*

*

Ads

Rabu, 02 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 062

Kita ikuti perjalanan Lu Kwan Cu, bocah gundul yang diculik Kiu-bwe Coa-li. Biarpun dia merasa dongkol sekali atas perbuatan Kiu-bwe Coa-li terhadap dirinya namun berada di dekat Sui Ceng yang bicara dengan lucu dan menghibur dengan kata-kata membesarkan hati, Kwan Cu berlaku tenang dan mulai memutar otaknya. Ia dapat menduga apa maksud wanita sakti itu menculiknya. Tentu ada hubungannya dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pikirnya. Kalau tidak untuk kitab itu, apa perlunya Kiu-bwe Coa-li menculiknya.

Tak lama kemudian setelah Bun Sui Ceng menggendong dan meletakkannya di pinggir hutan, datanglah Kiu-bwe Coa-li dan sekali menepukkan tangannya ke pundak Kwan Cu, bocah gundul ini terbebas dari totokannya.

Diam-diam Kiu-bwe Coa-li memuji anak ini, karena begitu terbebas, Kwan Cu sudah lantas melompat berdiri, seakan-akan tak terpengaruh sama sekali oleh bekas totokannya itu. Padahal, untuk orang biasa, kalau habis mengalami pengaruh totokannya, tentu sampai beberapa lama akan menjadi kaku tubuhnya dan setelah digerak-gerakkan beberapa kali baru dapat bergerak seperti biasa. Akan tetapi anak ini begitu terbebas, lantas saja melompat berdiri.

“Suthai, kau benar-benar keterlaluan sekali!” Dengan mata bersinar marah Kwan Cu menegur Kiu-bwe Coa-li! “Kalau ada keperluan dengan aku, mengapa tidak bertanya dengan baik-baik saja? Akan tetapi kau tiba-tiba menyerang dan menculik, apakah perbuatan ini boleh dibuat bangga?”

Untuk sejenak Kiu-bwe Coa-li memandang bengong. Belum pernah ada orang berani menegurnya seperti itu! Kemudian timbul marahnya.

“Anak setan, kau berani menegurku?”

Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan bajunya yang panjang menyambar ke arah pipi Kwan Cu.

“Plak!”

Kwan Cu merasa seakan-akan kepalanya disambar petir dan dia roboh berguling-guling, kemudian dia melompat dengan berdiri pula dengan tegak, sedikit pun tidak takut. Juga rasa sakit tadi hanya di pipi saja dan sekarang tidak terasa lagi.

“Kiu-bwe Coa-li, nama besar yang sering kali kudengar dipuji-puji oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, belum pernah aku mendengar bahwa tokoh besar ini hanya mempunyai kesukaan memukul anak kecil yang tak mampu melawan!”

Mendengar ucapan ini, Kiu-bwe Coa-li menjadi merah dan sepasang matanya memancar sinar yang aneh sekali. Memang benar-benar hebat sekali keberanian Kwan Cu, tidak saja menegur, bahkan kini dia mencela tokoh besar yang ditakuti oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw ini!

“Bocah setan penipu busuk!” Kiu-bwe Coa-li memaki sambil melompat maju, kedua tangannya menggigil dalam nafsunya hendak menghancurkan mulut kecil yang berani mencelanya itu. “Tidak kuhancurkan kepalamu juga sudah untung kau! Kau telah berani menipuku kemudian menegur, dan sekarang mencela! Berapa banyak sih cadangan nyawamu maka berani main gila memutar lidah?”

Pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li menggigil dan Sui Ceng memandang dengan khawatir sekali. Gurunya ini memang baik, akan tetapi kalau sudah marah agaknya tidak ada iblis yang dapat melebihi keganasannya! Maka ia tahu bahwa kali ini nyawa Kwan Cu takkan tertolong lagi. Cepat ia melompat maju ke depan gurunya dan berkata,

“Suthai, harap jangan bunuh Kwan Cu. Teecu kasihan kepadanya, lagi pula, kalau dia mati, siapa yang akan dapat menunjukkan di mana adanya Im-yang Bu-tek Cin-keng?”

Mendengar ini, cambuk yang sudah diangkat tadi turun kembali dan Sui Ceng bernapas lega. Akan tetapi, alangkah kagetnya anak perempuan ini ketika tiba-tiba dia mendengar isak tangis dan ternyata bahwa Kwan Cu telah duduk di atas tanah sambil menutup mukanya, menangis!

Tentu saja Kiu-bwe Coa-li menjadi terheran, bahkan Sui Ceng sendiri pun merasa heran sekali atas sikap Kwan Cu. Dipukul, dimaki, dihina tidak pernah meruntuhkan air mata, sekarang tiada hujan tiada angin menangis sedih!

Memang hal ini aneh sekali, karena tidak biasanya Kwan Cu menangis. Anak ini berhati keras dan berani, bersemangat baja sehingga baginya merupakan pantangan untuk mengeluarkan air mata apalagi air mata karena takut atau bingung. Akan tetapi, pada saat itu, hatinya merasa amat terharu dan berduka.

Kwan Cu masih merasakan kasih sayang yang diberikan oleh Loan Eng kepadanya, dan kepada nyonya itu dia sudah menganggap seperti ibunya sendiri. Tadinya dia pun sudah merasa hancur hatinya mendengar betapa Pek-cilan Thio Loan Eng dan suaminya terbunuh orang, akan tetapi dia masih dapat menahan kedukaan hatinya.






Kini, tiba-tiba dia melihat Sui Ceng bersikap membela dan berkasihan kepadanya, maka tak dapat ditahan lagi Kwan Cu teringat akan kebaikan dan cinta kasih ibu anak ini terhadap dia dan keharuan besar karena sikap manis Sui Ceng membuat dia terisak-isak!

Sui Ceng menjadi gelisah sekali dan bingung melihat bocah gundul itu menangis begitu sedihnya. Ia khawatir kalau-kalau pukulan tangan gurunya tadi telah membuat otak Kwan Cu menjadi rusak dan atau miring!

Ia cukup maklum akan keganasan dan kehebatan tangan gurunya kalau memukul. Sui Ceng maju mendekat dan mengulurkan tangan untuk meraba kepala Kwan Cu yang gundul, untuk melihat apakah kepala itu panas. Ternyata tidak terasa panas dan tidak apa-apa!

“Sui Ceng, apa kau mengira bocah ini gila?”

Kiu-be Coa-li berkata dan hampir tak dapat menahan senyumnya saking geli melihat perbuatan Sui Ceng. Akan tetapi Sui Ceng seperti tidak mendengar ucapan gurunya, bahkan lalu bertanya kepada Kwan Cu dengan suara halus,

“Kwan Cu, apamukah yang sakit? Mengapa kau menangis begitu sedih? Sudahlah, Kwan Cu, untuk apa menangis terus? Hidup sesungguhnya dipikir-pikir tidak begitu menyedihkan!” anak perempuan yang masih kecil ini dalam usahanya menghibur Kwan Cu, mengeluarkan kata-kata yang lucu.

Mendengar ini, Kwan Cu mengangkat mukanya. Dengan kekerasan hatinya dia telah dapat menahan air matanya dan kini dia berkata perlahan,

“Sui Ceng, aku tidak menyedihkan sesuatu, hanya merasa sakit hatiku kalau teringat akan kematian ibumu. Aku harus membalas dendamnya, biar aku akan berkorban nyawaku yang tak berharga!”

Ketika mendengar ucapan Kwan Cu ini, tiba-tiba Sui Ceng mengeluh dan anak perempuan inilah yang sekarang menangis sedih, tersedu-sedu menutupi muka dengan kedua tangannya! Sekarang Kwan Cu yang memegang pundaknya dan menghibur, seperti seorang kakak kepada adiknya.

“Siauw-pangcu, jangan menangis. Tak pantas seorang ketua perkumpulan besar seperti engkau meruntuhkan air mata!” kata Kwan Cu.

Seketika keringlah air mata di mata Sui Ceng yang bening. Ia memandang Kwan Cu dan kini wajahnya berseri.

“Kau benar! Aku harus seperti mendiang ayahku. Aku akan menahan derita ini dengan tabah dan sebagai seorang Siauw-pangcu (ketua cilik), aku tak boleh menangis. Akan tetapi, bukan kau yang berhak membalaskan sakit hati ibuku, Kwan Cu. Kedua tanganku sendiri yang akan menghancurkan kepala Toat-beng Hui-houw!”

Setelah berkata demikian, Sui Ceng bangkit berdiri sambil mengepalkan kedua tangannya yang kecil.

“Cukup semua itu, Sui Ceng! Apa sih sukarnya mencari dan membunuh Toat-beng Hui-houw? Jangan bersikap lemah seperti bukan muridku saja! Hayo lekas kau ceritakan, Kwan Cu. Di mana adanya kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng? Awas, jangan kau membohong, karena sekali kau membohong, kepalamu akan hancur oleh cambukku dan pinni tak mau mengampunimu lagi, biarpun Sui Ceng sayang kepadamu.”

Mendengar disebutnya tentang Sui Ceng sayang kepadanya, Kwan Cu menoleh kepada anak perempuan itu dan berkata mesra dan wajah berseri lalu mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul,

“Sui Ceng memang manis dan baik sekali, seperti ibunya…..”

“Bocah gundul jangan nyeleweng. Jawab pertanyaanku!” bentak Kiu-bwe Coa-li tidak sabar.

Kwan Cu memandang kepada wanita sakti itu, sama sekali tidak nampak takut.

Sambil menahan kegemasannya, Kiu-bwe Coa-li berkata,
“Dimana adanya kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng?”

“Kalau begitu pertanyaan Suthai, teecu tidak bisa menjawab karena memang teecu sendiri tidak tahu dimana adanya kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng.”

Suara anak ini terdengar tegas, sepasang matanya memandang jujur dan tabah, maka kecillah hati Kiu-bwe Coa-li. Tadinya dia mengharapkan akan mendengar petunjuk anak gundul itu untuk mendapatkan kitab pelajaran ilmu silat yang diidam-idamkannya semenjak lama sekali. Akan tetapi mendengar jawaban Kwan Cu, ia tahu bahwa anak ini tidak membohong dan kecewalah hatinya.

Setalah menentang pandang mata anak gundul itu seketika lamanya, Kiu-bwe Coa-li berkata,

“Aku mau percaya omonganmu. Akan tetapi, kau dan gurumu mencari apakah di Bukit Liang-san?”

Tertegunlah Kwan Cu mendengar pertanyaan ini.
“Eh, eh, eh, bagaimana Suthai dapat saja mengerti dan tahu akan segala gerakan teecu dan suhu? Apakah Suthai selama ini mengikuti kami dan diam-diam menyelidiki segala kelakuan kami?”

Sepasang mata Kiu-bwe Coa-li bernyala lagi dan tangannya sudah gatal-gatal untuk menampar kepala gundul yang bicaranya selalu menusuk dan mengganggu hatinya itu.

“Kwan Cu, jawablah sebenarnya saja kepada Suthai,”

Sui Ceng memberi nasihat karena gadis cilik ini merasa khawatir kalau-kalau gurunya akan marah dan menyiksa Kwan Cu lagi.

Senang hati Kwan Cu mendengar kata-kata Sui Ceng ini. Betapapun juga di dunia ini masih ada orang yang menaruh hati kasihan kepadanya. Ia lalu memandang sepasang matanya yang lebar kepada Kiu-bwe Coa-li dan berkata.

“Suthai, agaknya tak perlu pula kusembunyikan lebih lama lagi. Pertama-tama karena Suthai amat bernafsu untuk mendapatkan tempat di mana disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dan kedua karena agaknya teecu memang tidak bernasib baik untuk mendapatkan kitab itu. Ketahuilah bahwa teecu mengajak suhu ke Liang-san, karena teecu hendak mencari kitab sejarah peninggalan guru teecu mendiang Gui-siucai. Kitab sejarah itu ternyata telah dicuri orang!”

“Hm, jangan bicara kacau-balau! Apa perlunya kau menceritakan tentang kitab sejarah? Apa hubungannya dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?”

“Sesungguhnya, kalau orang hendak mencari di mana adanya kitab rahasia yang diperebutkan itu, orang harus membaca kitab sejarah peninggalan Gui-siucai, karena di situ terdapat petunjuk-petunjuk tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng.”

Kiu-bwe Coa-li nampak bernafsu lagi.
“Begitukah? Siapa yang telah mencuri kitab sejarah itu? Hayo katakan cepat!”

“Hal ini teecu dan suhu sedang menyelidiki pula. Menurut penuturan orang dusun di lereng Liang-san, yang datang adalah hwesio gundul gemuk sekali bersama muridnya, dan teecu sendiri ketika berada di lereng, juga melihat bayangan mereka. Agaknya, tidak salah lagi yang mencuri itu tentulah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu bersama muridnya. Kalau bukan mereka, siapa lagi?”

Kiu-bwe Coa-li menyumpah-nyumpah.
“Keparat gundul!”

“Eh, mengapa Suthai memaki teecu? Apa salahku?”

“Tolol! Bukan kau yang kumaki. Melainkan Jeng-kin-jiu!”

Sui Ceng tertawa.
“Kwan Cu, kau kira di dunia ini hanya kau sendiri yang gundul?”

Memang Sui Ceng mempunyai watak jenaka, di mana saja ada kesempatan, dia selalu memperlihatkan wataknya ini. Kwan Cu juga tersenyum mendengar godaan ini.

“Kwan Cu, sekali lagi jelaskan, benar-benarkah di dalam kitab sejarah itu adanya petunjuk-petunjuk tentang tempat tersimpannya Im-yang Bu-tek Cin-keng? Kau tidak bohong?” tanya Kiu-bwe Coa-li, sekarang suaranya tidak begitu galak lagi.

“Teecu bersumpah bahwa demikianlah yang teecu dengar dari mendiang Gui-sianseng. Betul tidaknya, bagaimana teecu bisa memastikannya kalau teecu sendiri belum pernah melihat kitab sejarah itu? Sebelum Gui-sianseng meninggal dunia, dia pernah meninggalkan pesan kepada teecu untuk mencari kitab itu dan kemudian menurut petunjuk ini mencari tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi, sekarang teecu tidak bernafsu lagi untuk mendapatkan kitab aneh itu.”






Tidak ada komentar :